76 - Mother's Talk

Zara Naulia

Akhirnya aku ada di sini, dalam perjalanan pulang dengan diantar Felix. Suasana di mobil benar-benar hening. Kendati malam ini cukup melegakan karena tidak ada masalah apa pun saat mengobrol dengan Mama. Ya ... sampai akhirnya Daria datang. Aku bukan menganggapnya sebagai pengacau, tetapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku baik-baik saja ketika atensi Mama beralih kepadanya.

Mama bukan sepenuhnya mengabaikanku, tetapi Daria selalu punya cara untuk membuka topik obrolan baru dengan Mama, hingga aku berakhir menjadi pendengar dengan respons yang baik. Aku lantas iri, ingin jadi sepertinya yang tahu bagaimana cara menghidupkan komunikasi. Bakatku hanya membunuh obrolan, membuat orang berpikir keras untuk mencari topik baru agar obrolan tetap mengalir. Sebab sahutanku sering kali tidak memerlukan respons apa-apa lagi.

"Maaf, ya, Kak," ujar Felix tiba-tiba, meruntuhkan keheningan.

Aku menatapnya dari samping semua aspek yang ada di wajahnya sangat mirip dengan El, tetapi alisnya jauh lebih tebal. Potongan dahi, hidung, dan mulut sampai ke dagu rasanya memiliki proporsi yang sama panjang. Aku jadi teringat El hanya dengan melihat adiknya.

"Kenapa minta maaf?" Aku balas bertanya. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun dan malah meminta maaf.

"Mewakili Mama," ujarnya cengar-cengir.

"Itu ... bukan masalah." Kendati demikian, sulit bagiku untuk menerimanya.

"Daria memang keterlaluan."

Aku kaget Felix tidak memanggilnya dengan embel-embel 'kak' seperti yang ia ucapkan padaku. Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa ia menyimpan rasa kesal padanya.

"Nggak tahu diri, udah ninggalin Bang El malah masih berani menampakkan diri."

Felix kemudian memukul kemudinya dengan tangan kiri, seolah-olah sedang melampiaskan kekesalannya pada benda melingkar yang tidak bersalah itu. Namun, aku mendapat informasi dari itu.

"Meninggalkan El? Bukannya mereka pisah baik-baik?"

Maksudku, itu yang selama ini  berusaha El sampaikan padaku.

"Itu yang kusimpulkan, Kak, tapi aku tahu gimana Bang El. Dia bahkan nggak punya alasan buat mengakhiri hubungannya dengan Daria. Bang El nggak setega itu."

Dari cara El memperlakukanku, itu ada benarnya. Namun, detik berikutnya aku teringat tentang itu.

"El sering mengakhiri hubungannya pas masih kuliah."

"Aku tahu soal itu, Kak, tapi menurutku ... nggak satu pun dari mereka yang patah hati. Tahulah, Kak, hubungan masa-masa kuliah itu jarang ada yang serius."

Tahu dari mana? Namun, aku tidak menyuarakannya.

"Aku memantau media sosial mereka. Rata-rata cuma buat ajang pamer karena Bang El bisa dibilang tampan." Dan Felix mengatakan itu seolah-olah mampu mendengarkan pikiranku. "Benar, kan, Kak?"

"Aku nggak tahu pasti soal itu, tapi teman-teman kami sering mengatainya playboy. Mantannya memang banyak, dan aku nggak pernah memperhatikan apa yang mereka lakukan."

Kami saling diam setelahnya. Aku sempat melihat Felix mengangguk ringan sebelum kudaratkan pandangan ke luar jendela mobil. Jalanan cukup ramai padahal sudah hampir pukul sepuluh malam. Aku enggan memikirkan apa pun saat ini, dan memperhatikan lampu-lampu di pinggir jalan adalah pengalihan terbaik untukku saat ini.

"Awalnya aku kaget Bang El bilang mau nikah sama Kak Zara." Felix bicara lagi. "Bukan bermaksud buruk, tapi aku justru khawatir Kakak terluka. Bang El penuh keraguan. Meski tampak menjanjikan, dia punya potensi besar buat melukai orang lain. Kejadiannya, ya, kayak Daria itu, masih bisa dengan leluasa menempeli Mama karena Bang El nggak benar-benar membiarkan dia pergi."

"Aku akan berhati-hati," sahutku asal-asalan. 

Felix menggumam selama beberapa saat, mungkin sedang memikirkan sesuatu.

"Maaf, aku bukan menakut-nakuti, Kak, cuma rasanya ada sesuatu yang mengganjal waktu Bang El minta Papa buat melamar. Kayak terburu-buru bukan, sih? Padahal baru ngenalin Kak Zara ke Papa sama Mama."

Kata-kata Felix lantas mengingatkanku pada awal dari kedekatanku dengan El. Komitmen. Semuanya hanya berawal dari saling membantu satu sama lain. Andai bukan karena perayaan hari jadi pernikahan orangtuanya pun, mungkin aku tidak bertemu mereka sampai saat ini. Semua orang tahu, dua orang yang akan menikah harus mengenal baik keluarga satu sama lain terlebih dahulu. Sekarang aku mulai meragukan banyak hal.

"Terima kasih sudah diingatkan," bisikku, tak peduli Felix mendengarnya atau tidak.

***

"Abah ada ngontak Ibu? Atau adik-adik?"

Di Sabtu pagi, aku iseng menanyakan hal itu pada Ibu, padahal aku baru saja menghampirinya di ruang makan. Hanya ada kami berdua, kedua adikku masih tidur sekarang. Mungkin pertanyaanku akan membuka luka Ibu, tetapi aku lebih penasaran apakah pria itu masih punya sedikit perhatian untuk anak-anaknya.

"Kenapa bertanya?" balas Ibu.

Aku bertopang dagu di atas meja, memandangnya yang tengah mengiris daun bawang untuk adonan telur orak-arik. Salah satu keuntungan dengan tinggal bersama Ibu adalah aku tidak perlu bangun terlalu pagi dan memasak, karena Ibu akan dengan senang hati melakukannya untuk kami.

"Cuma penasaran, Bu. Zara cuma mau tahu dia pria yang bertanggung jawab atau nggak." Tidak penting, sih, tetapi aku perlu topik untuk dibicarakan dengan Ibu, dan hanya itu yang terlintas di kepalaku.

"Waktu masih sama-sama aja dia abai sama anak-anak, apalagi setelah cerai?"

Kupikir Ibu akan mendadak murung, tetapi justru terdengar seperti menumpahkan kekesalannya, bersamaan dengan ditumpahkannya adonan telur ke wajan. Suara penggorengan lantas menjadi pengisi diamnya kami, kemudian disusul aroma bawang yang menguar dari telur itu memancing nafsu makanku.

"Perceraian memberinya kebebasan. Jarang ada pria yang tidak melupakan anak-anaknya setelah perpisahan."

"Apa itu menyakitkan, Bu?" Ini adalah kali pertama aku menanyakan hal bodoh itu. Mana ada perpisahan yang tidak menyisakan luka, dan yang namanya luka pasti terasa sakit.

"Berpisah?" Ibu mendengkus dan mematikan kompor. "Menyakitkan sekaligus melegakan. Apa Ibu juga perlu menjelaskan secara spesifik?" tawarnya seraya meletakkan sepiring penuh telur arik-arik di atas meja makan.

"Hanya kalau Ibu nggak keberatan."

"Zara nggak pernah menanyakan soal itu selama ini."

Aku hanya mengulum senyum ketika Ibu mengatakannya. Benar katanya, ketika aku mulai penasaran, aku selalu takut bertanya karena khawatir itu akan membuatnya sedih. Namun, semakin ke sini, aku semakin tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.

"Entahlah, Bu, Zara cuma mau tahu seperti apa hidup berumah tangga. Setelah tunangan, rasanya jadi waswas gitu." Aku lalu menatap cincin yang melingkar di jari manisku.

Ketika orang-orang yang bertunangan dengan pasangan mereka membagikan momen bahagianya di media sosial, aku justru kebingungan sendiri dengan arti cincin yang melingkar ini. Selanjutnya apa lagi yang harus dilakukan?

"Masalahnya Zara nanya tentang perpisahan, bukan keseharian Ibu."

Aku meringis geli karena ucapan Ibu. "Zara cuma mau tahu, Bu."

"Perpisahan itu ... menyakitkan kalau kita memang sudah telanjur bergantung dan merasa nyaman dengan pasangan, tetapi akan melegakan kalau kita tahu hubungan yang ada sudah tidak bisa dipertahankan. Itu kayak membiarkan diri terbelenggu dalam kesedihan. Padahal pernikahan seharusnya itu menyatukan dua orang yang siap berjuang bersama untuk bahagia." Ibu menatap kosong masakan yang tersaji di atas meja, kemudian menghela napas. "Sayangnya pernikahan Ibu nggak bertahan lama."

Aku meraih tangan Ibu ketika ia mulai murung. "Bu, maaf, Zara nggak bermaksud membuat Ibu sedih." Jempolku mengusap punggung tangannya dengan lembut.

Ibu tersenyum tulus, dan itu cukup melegakan. "Nggak ada pernikahan yang gagal ketika itu sudah terjadi. Namun, kita nggak bisa selalu menahan seseorang yang sudah ditakdirkan akan pergi dari hidup kita. Tentunya setelah semua usaha sudah kita kerahkan untuk mempertahankan."

Aku tak tahu akan merespons apa selain mengangguk atas penuturannya. Ibu adalah sosok yang sangat kukagumi. Ia benar-benar wanita yang kuat. Kuharap aku juga sekuat dirinya ketika masalah datang menghampiri. Ia terluka, tetapi tidak pernah ditunjukkan kepada anak-anaknya.

"Sekarang giliran Ibu yang bertanya," ucapnya dan tersenyum misterius.

Sekarang aku mulai takut. Udara yang berembus dari AC sampai membuat tengkukku meremang. "Apa, Bu?"

"Kapan kalian menikah?"

Jantungku berdebar ketika pertanyaan itu dilontarkan kepadaku. Sekarang aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku dan El bahkan belum membicarakan hal itu sampai sana. El menurutiku yang ingin menunda pernikahan meski aku tahu ia ingin menyegerakannya.

"Zara punya tanggung jawab lain selain pernikahan, Bu."

Ibu mengernyit karena ucapanku. Sebagai anak yang jarang bercerita padanya, itu pasti membuatnya bertanya-tanya.

"Zara nggak akan tenang kalau Daffa belum lulus SMA, Bu."

"Itu masih tiga tahun lebih lagi, Ra," protes Ibu. Dari air mukanya, aku tahu Ibu tidak setuju dengan itu. "Dan kamu nggak perlu berbuat sejauh itu, Ibu masih sanggup mengurus mereka. Ibu akan kembali membuka usaha kue kayak dulu lagi."

Aku tahu Ibu akan melakukan itu, tetapi aku tidak bisa membiarkannya berjuang sendirian.

"Zara nggak mau Ibu kecapekan, kelebihan orderan kayak dulu."

"Nggak akan, tapi Zara harus janji, jangan menunda pernikahan terlalu lama. Emangnya Zara nggak kasihan sama Rafael? Kalian sudah bertunangan, lho."

Aku tidak sampai memikirkan hal itu. Yang kutahu, semua akan baik-baik saja karena El menerima keputusanku untuk menikah nanti. Dan memperkuat kesepakatan kami dengan bertunangan. Kami mungkin saling mencintai, tetapi aku tidak tahu apakah itu sudah cukup kuat untuk mempertahankan hubungan kami. Apalagi kata-kata Felix beberapa hari lalu masih membekas di kepala.

"Zara, Ibu tahu kamu peduli dengan Daffa dan Fia, tapi nggak kayak gitu caranya. Orang yang bertunangan berarti mereka sudah siap untuk merencanakan pernikahan. Seharusnya Zara dan Rafael lebih banyak membicarakan tentang persiapan menikah. Jangan menunda pernikahan terlalu lama. Ibu lihat ... Rafael tulus sama Zara. Menikah bukan berarti kamu nggak bisa bantu Ibu."

Ibu memandangku dengan mata yang hampir berkaca-kaca. Aku tidak ingin membuatnya sedih, tetapi aku sudah melakukannya. Sekarang pasti Ibu mulai mengkhawatirkanku.

"Mau sampai kapan jadi tamu kondangan terus?" Ibu bersuara lagi, kali ini juga tersenyum menggodaku. Cepat sekali Ibu menghapus wajah sedihnya dengan senyum yang jenaka.

"Ya ... karena orang-orang sudah lebih dulu siap daripada Zara, Bu."

"Dan ngomong-ngomong soal kondangan, tadi ada yang nganter undangan."

"Siapa, Bu?" Dari banyaknya waktu tersisa hari ini, aku cukup penasaran siapa yang mau mengantarkannya pagi-pagi sekali. Dan aku lupa pernah memberitahu alamatku kepada orang lain.

"Ibu nggak nanya namanya, tapi dia bilang teman kerja dan sekampus sama Zara. Dia cowok jangkung."

"Oh, itu Yuda." Aku tidak heran kenapa ia bisa tahu rumahku, sebab ia pernah mengantarku pulang sekali waktu aku dengan cerobohnya pingsan di kantor.

"Zara, ini pesan Ibu. Kalian udah bertunangan, orangtua El juga sudah datang untuk melamar, sebaiknya segerakan pernikahan kalian, jangan buat keluarga mereka dan ayahmu menunggu lama."

Tepat setelah Ibu menarik tangannya dari sentuhanku dan beranjak ke depan kulkas, Daffa dan Fia muncul bersamaan. Wajah mengantuk mereka basah. Aku memang selalu meminta mereka untuk mencuci muka dan sikat gigi terlebih dahulu setelah bangun tidur sebelum melakukan sesuatu yang lain.

Senyumku lantas terkembang, bukan sekadar untuk menyambut mereka, tetapi karena kehadiran mereka berhasil mengalihkan pikiranku dari apa yang kubicarakan dengan Ibu tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top