75 - After Engaged
Zara Naulia
Tak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti biasa. Berangkat dijemput, pulang diantar. Jam dua belas tepat membuat janji makan siang bersama. Seharian di kantor, malamnya bermain bersama dua bocah kesayangan—tak peduli Daffa akan masuk SMA tahun depan, ia tetap bocah bagiku. Waktu rasanya berlalu cepat sekali.
Saat ini aku tengah menunggu jarum pendek jam menunjuk angka dua belas. Pekerjaan hari ini cukup membuatku pusing, aku sampai meminta Abel untuk mengunduh file-file yang masuk ke emailku. Sementara aku mengecek ulang laporan mingguan mereka.
Ini bukan yang pertama kali aku dibuat serepot ini, tetapi entah kenapa rasanya semakin hari, aku jadi mudah lelah. Mungkinkah karena pikiran-pikiran yang menggangguku akhir-akhir ini?
"Bel, panggil aku kalau udah jam dua belas, ya," pintaku pada Abel dan hanya dibalas dengan gumaman olehnya. Namun, belum sempat aku menelungkupkan wajah di atas meja, Daria sudah lebih dulu tiba di sebelah mejaku.
"Iya, Dar?"
"Aku perlu parafmu sebagai mentor sebelum laporan ini kuserahkan pada HR. Kalau aku berhasil, ini akan jadi laporan terakhirku dan resmi menjadi karyawan tetap. Kalau nggak, ya ... aku akan bertahan dengan status kontrak."
Cara bicara Daria tidak secanggung akhir-akhir ini, tetapi kembali ke saat di mana ia belum tahu bahwa aku berkomitmen dengan El. Ini cukup melegakan walau bertemu dengannya masih menyisakan sesak di dada.
Daria menyerahkan berkas laporannya padaku, dan aku langsung memeriksanya. Entah aku melupakan pusingku tadi, atau aku ingin lekas-lekas Daria kembali ke mejanya. Yang kedua terkesan agak jahat, tetapi aku juga tidak munafik untuk mengakui bahwa berinteraksi dengannya adalah sesuatu yang sangat kuhindari.
"Aku bisa memeriksa progresmu dari waktu ke waktu dan selalu kulaporkan ke HR. Laporan ini hanya bukti dari apa yang kulaporkan, jadi kupikir semuanya udah sesuai, Daria. Aku cuma perlu tanda tangan." Sambil mengatakan itu, aku meraih pena dari rak di sudut mejaku dan menggoreskan tanda tangan di beberapa kolom yang sudah ditandainya.
Setelah selesai, aku menutup laporan itu dan mengembalikannya pada Daria. Namun, wanita itu malah bergeming dengan tatapan tertuju pada tangan kiriku. Tepatnya di mana posisi cincin tunanganku berada; jari manis.
"Cincin itu?"
Aku tidak tahu Daria bertanya pada siapa dengan suara yang sepelan itu. Dari ekspresi wajahnya, kupikir ia tampak sangat terkejut dan ... apakah itu mata yang berkaca-kaca? Karena merasa tidak enak, aku menarik tanganku dan menyembunyikannya di bawah meja.
"Ini sudah kutandatangani," ujarku lagi.
Detik berikutnya, ia tersadar dan lekas-lekas menarik laporannya dariku.
"Terima kasih," sahutnya dengan nada datar.
Aku tidak ingin menduga-duga, tetapi apakah Daria terluka karena pertunangan kami?
***
Makan siang seperti biasa, di rumah makan yang sama pula dengan yang aku dan El kunjungi akhir-akhir ini. Aku berada di meja sementara El yang mengantre untuk memesan. Ini pertama kalinya aku tidak ikut mengantre dengannya di depan sana. Kubilang aku terlalu letih, jadi El memintaku untuk duduk saja.
Sambil menunggu El datang dengan makanan kami, aku kembali memikirkan tentang reaksi Daria. Jujur saja, aku merasa tidak enak dengannya. Walau statusnya adalah mantan kekasih El, tetapi tetap saja itu membuatnya tampak kasihan. Bisa saja ia belum bisa melupakan El.
Aku memandang cincin pertunangan kami dengan intens, sambil sesekali jari-jari tangan kananku bermain di atas permatanya. Meski sudah seminggu lebih kupakai, tetapi cincin itu masih sangat berkilau. Cincin yang sangat cantik, sampai-sampai rasanya aku masih belum pantas untuk memakainya.
"Kenapa cincinnya dipelototi sampai kayak begitu?"
El kembali dengan nampan berisi pesanan kami yang sudah diletakkannya di atas meja.
"Kamu nggak suka sama modelnya?" tanyanya lagi.
"Aku yang milih, kok, mana mungkin nggak suka."
"Terus kenapa?"
Aku menatap El dan mengangkat bahu sekilas. Aroma makanan yang terendus membuatku merasakan lapar lagi. Jadi, aku mulai menyantap pesananku lebih dulu dari El.
"Ra," panggil El. Aku sudah menyuap makananku berkali-kali, tetapi dia justru bertopang dagu memandangku.
"Kamu lagi mikir apa?"
Mantan kekasihmu yang tampak tidak senang atas pertunangan kita. Ya ... mana mungkin aku akan menjawab seperti itu.
"Menurutmu apa yang berbeda? Sebelum dan sesudah bertunangan."
Kening El berkerut pada pertanyaan anehku itu. El tidak akan berhenti bertanya jika aku tidak akan mengatakan sesuatu yang kuanggap mengganggu pikiranku.
"Tunangan itu bisa memperkuat komitmen, lho, Ra. Aku semakin yakin kalau kita akan terus sama-sama."
El meraih tanganku, ingin menggenggamnya, tetapi aku lekas-lekas menariknya. "Malu, El."
"Nah, kan, sama calon suami sendiri aja masih malu."
"Di sini banyak orang," ujarku sebal.
El melihat ke sekeliling kami sebelum tatapannya kembali mendarat padaku. "Nggak ada yang ngeliatin kita. Lagian kenapa tiba-tiba nanya kayak tadi?"
Pandangan jatuh kembali pada satu-satunya cincin yang melingkar di jariku. "Rasanya yang beda cuma cincin ini. Dulu nggak pakai ini, sekarang pakai. Toh ada cincin atau nggak ... kita masih terikat janji untuk sama-sama terus, 'kan?"
Aku mengangkat kepalaku lagi dan langsung berhadapan dengan wajah serius bercampur bingung yang El tujukan padaku. Ia tampak kecewa dengan apa yang baru saja kukatakan.
"Bagiku, apa yang ada di antara kita sudah lebih dari sekadar janji, Ra. Hidup bersamamu adalah tekad besar, bukan lagi sebatas janji yang harus dipenuhi karena komitmen yang kita mulai."
El menatapku sangat intens, aku sampai tidak berani membalas tatapannya. Hal-hal sekecil itu terkadang masih membuatku merasa tidak nyaman, seperti aku belum sepenuhnya siap menghadapi beragam reaksinya.
"Kamu pintar berkata-kata, El. Aku sampai nggak tahu mau merespons apa."
"Ah, ya ... mungkin itu yang jadi daya tarikku dulu. Mudah merayu wanita, tapi itu nggak mempan buat kamu." El tersenyum penuh arti, sekaligus memamerkan lesung pipitnya yang kerap kali membuatku iri. "Kalau kubilang kamu spesial, pasti menggelikan, ya?"
"Kamu perlu bersikap natural aja untuk membuatku tersipu. Aku nggak perlu pujian," sahutku kalem dan mulai menyendok makananku lagi. Kami mungkin tidak akan berhenti mengobrol, tetapi jika makanan ini tidak dimakan, aku akan kembali ke kantor dengan perut lapar.
"Zara, Zara," panggilnya bernada. "Oh, iya, Mama bilang mau ngajak kamu jalan besok malam."
Sendokku lantas menggantung di depan bibir, aku urung menyuap makananku sendiri karena ucapannya. "Serius?" Dari banyaknya hal mengejutkan pernah terjadi padaku, ini yang paling terasa tidak mungkin bagiku.
"Iya."
"Kukira mamamu udah pulang." Aku ingat, El pernah bilang orangtuanya tidak bisa lama-lama di sini karena papanya El punya kesibukan yang tidak bisa ditunda.
"Felix minta Mama tetap di sini. Katanya biar pas jalan-jalan ada temennya. Yah ... anak bungsu gitu, sih. Manja."
"Manja atau karena kamu nggak mau nemenin?" gurauku, sebentar melupakan bagian Tante Rena yang katanya ingin mengajakku pergi.
"Kamu bayangin aja dua cowok jalan bareng." El bergidik geli, dan itu berhasil membuatku tertawa.
"Kamunya aja yang netthink."
Tangan kiri El menyentuh pipiku. Dingin, aku sampai terkejut, tetapi aku belum sempat bereaksi apa-apa dan ia sudah mencubit pipiku. "Mending aku jalan sama kamulah, Ra," ujarnya seraya menarik pipiku cukup kuat, aku sampai khawatir itu akan melar.
Aku balas mencubit lengannya karena tak kunjung melepaskan pipiku meski aku sudah meronta.
"Jadi, besok malam, ya?" tanyaku sekadar untuk memastikan.
"Iya. Aku juga ikut, kok. Tenang aja."
***
Mana mungkin aku bisa tenang kalau di satu jam tersisa sebelum aku pergi, El mendadak memberitahuku bahwa ia lembur di kantor. Gara-gara perbuatannya, sekarang aku duduk dengan kaku bersama Tante Rena dan Felix di balkon sebuah kedai kopi yang cukup terkenal, dan tanpa persiapan apa pun.
Sudah sepuluh menit kami diam, bergantian tenggelam dalam buku menu. Aku tidak tahu harus bicara apa. Situasi ini berbeda dengan ketika aku pertama kali mengobrol dengan Tante Rena di rumahnya dulu. Dan kehadiran Felix, sama sekali tidak membantu. Bukan aku berharap ia akan membuka jalan untukku agar bisa dekat dengan Tante Rena, tetapi dengan kehadirannya di sini, aku akan merasa jauh lebih malu jika salah bicara.
"Felix, antar ini ke kounter di bawah, ya," pinta Tante Rena yang baru selesai menulis menunya.
"Nggak nunggu pelayan datang aja, Ma?"
Mungkin El benar, Felix memang agak manja. Itu terbukti dari nada bicaranya yang hampir terdengar seperti memelas.
"Kelamaan. Jadi, kamu aja yang ke bawah."
Meski tampak enggan, tetapi Felix tetap beranjak dari kursinya, dan membawa pergi kertas pesanan kami. Namun, ia berhenti di sebelahku.
"Kak, hati-hati, biasanya Mama suka nginterogasi anak orang," bisiknya sebelum benar-benar pergi.
Aku hanya merespons peringatan kecil itu dengan seulas senyum yang dipaksakan. Aku tahu itu hanya gurauan, tetapi bukan berarti aku mengabaikannya begitu saja.
"Jadi, Zara, gimana pekerjaan hari ini? El cerita banyak tentang kamu sama Papa. Mama salut, kamu punya posisi penting di kantor."
Aku menganggap itu adalah pujian dan tersenyum malu kemudian. "Seperti biasa, selalu sibuk, Tante."
Tante Rena mengerutkan dahi, seperti aku baru saja mengatakan sesuatu yang tidak disukainya. Dan aku menggigit bibir bawahku sedikit saat menantikan apa yang akan beliau katakan.
"Udah mau jadi menantu, masa manggilnya masih tante? Mama, dong." Tidak hanya berucap ramah, tetapi Tante Rena juga mengakhirinya dengan senyum geli. Dan aku baru menyadari, jika senyum menawan yang biasa ditunjukkan El itu diturunkan dari mamanya.
"Harus dibiasakan, ya, Zara," ujar Tante Rena lagi. Ah, maksudku Mama.
"Um, iya, Ma." Jujur saja, lidahku merasa aneh saat menyebut beliau seperti itu. Lalu apa yang biasa dibicarakan oleh seseorang dengan calon mertuanya? Topik apa yang cocok?
"Zara udah berapa lama berkebun sendiri di rumah? Mama kaget tanamannya banyak banget, sampai dibuat rak tanaman juga. Awalnya Mama kira itu pagar tembok, lho."
"Halaman rumah Zara sempit, Ma, tapi tanaman yang dijual orang bagus-bagus, jadi diakalin kayak gitu. Nggak lama, paling baru dua tahun, tapi belinya tanaman yang udah tumbuh, bukan bibit. Jadi, nggak benar-benar berkebun dari nol."
"Tapi Zara pinter, lho, menatanya. Coba lihat depan rumah El." Mama menggeleng gemas. "Kayak nggak ada penghuninya, lapang gitu."
Aku terkekeh pelan. "Tapi El orangnya bersih, Ma. Maksud Zara, dia rajin membersihkan rumahnya."
"Ya ... Mama nggak berharap dia rajin berkebun juga, sih, tapi ya paling nggak, kan, ada usaha buat memperindah rumah gitu, nggak ala kadarnya."
Ya ... kalau dipikir-pikir, rasanya agak mustahil kalau El mau merepotkan diri untuk menghias rumahnya. Ia mungkin sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya, hingga istirahat adalah satu-satunya yang ingin dilakukan setelah brainstorming di kantor seharian.
"Dan dia bisa membayar orang lain untuk mendekor halaman rumah."
Dan aku hanya mengangguk setuju untuk usulan yang satu itu.
Obrolan tentang tanaman dan halaman rumah ini mengalir begitu saja, hingga Felix kembali dengan nampan di tangannya. Namun, ekspresi wajahnya saat ini tampak tidak senang. Aku baru ingin bertanya, tetapi suara seseorang membuatku urung melakukannya.
"Malam, Tante. Kebetulan banget ketemu di sini."
Felix lantas mendekat padaku dan berbisik, "Maaf, Kak. Aku nggak bisa ngusir dia."
Dunia terasa semakin sempit, karena aku tidak hanya bertemu dengannya di kantor, tetapi juga di kedai kopi yang posisinya di ujung kota. Kesannya seperti Daria mampu melacak di mana pun keberadaanku. Mungkin jika aku ingin dekat dengan keluarga El, maka aku juga harus siap dengan kehadiran Daria di sekitarku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top