74 - Engagement

Zara Naulia

"Buat apa tunangan dulu?"

Vita membanting tas jinjing bening berisi perlengkapan bayi ke atas meja. Ia baru datang dan sudah tampak sangat kesal. Wajah cemberutnya adalah hal pertama yang kusambut. Sebenarnya ini adalah pertemuan kami yang sangat mendadak. Ia rela datang jauh-jauh untuk menemuiku. Setengah jam perjalanan itu tidak sebentar, terlebih lagi putra pertama Vita masih berusia tiga bulan, yang entah pada siapa dititipkannya saat ini.

"Buat apa, Ra?" tanyanya lagi, sebelum tatapannya mendarat pada minuman di sebelah tas. "Kamu memesan minumanku," ujarnya lagi sebelum mengangkat gelas minuman tersebut dan menyedotnya. Vita seperti orang yang kehausan karena sudah menghabiskan separuh isi gelas.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku."

Vita baru tiba beberapa menit lalu dan sudah bicara lebih banyak dariku.

"Karena aku ingin," sahutku dan memainkan sedotan minuman, sekaligus menghindari tatapan protesnya. Vita selalu berhasil membuat orang lain terintimidasi hanya dengan matanya jika merasa kesal.

"Maksudnya? Kamu setuju bertunangan dulu?" Nada bicara Vita sudah menunjukkan bahwa ia tidak suka akan hal itu.

Sayangnya, aku justru membuatnya menggeleng setelah aku mengangguk mengiyakan. Vita berdecak keras dan memijat pelipisnya. Penampakannya sudah seperti seorang ibu yang baru menerima rapor jelek milik anaknya.

"Tiana, Tiana, kenapa nggak disegerakan aja, sih? Gemas banget aku sama kalian berdua." Vita bertopang dagu dengan tangan kirinya. Dengan posisi yang tampak nyaman itu, ia menyedot kembali minumannya.

Sekarang aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kupikir Vita akan mengerti setelah kuceritakan padanya di telepon semalam. Berkali-kali kukatakan bahwa aku belum siap berumah tangga. Orang-orang bilang pernikahan juga salah satu bentuk keluar dari zona nyaman. Dan, ya ... aku tidak tahu kapan aku akan siap.

"Selain nggak siap, ada alasan lain?" tanya Vita sebelum berseru untuk memanggil pelayan yang berada tak jauh dari meja kami.

"Aku belum mengenal baik orangtuanya."

"Serius? Dia nggak ngenalin kamu ke mereka, ya?"

"Bukan gitu, Vit."

"Terus?"

Kini giliran aku yang bertopang dagu di atas meja. Pandanganku melayang pada tanaman palsu yang diletakkan menempel ke dinding. Baru kukatakan seperti itu saja, Vita sudah ingin marah pada El. Bagaimana kalau kuceritakan tentang Daria juga? Bisa-bisa Vita akan memintaku menjauhi El. Ya ... walau aku tidak harus menurutinya, tetapi mendengar celotehan Vita seminggu penuh setelahnya akan sangat menyebalkan.

"Rumah orangtua El jauh," ujarku beralibi, dan aku yakin Vita akan tambah kesal karena itu.

"Kamu nggak tinggal di zaman TV hitam putih lagi, Ra. Kan, bisa di-chat atau ditelepon. Gimana, sih?"

Vita ada benarnya. Aku pernah berpikir ingin meminta kontak orangtuanya El, tetapi setelah kupikirkan lagi, aku menghubungi mereka untuk apa? Apa yang akan kukatakan pada mereka?

Bagaimana orang-orang memulai pembicaraan? Aku terus memikirkannya, sampai akhirnya aku hanya diam dan tidak mendapatkan apa yang kumau.

"Aku harus gimana?"

Vita memutar kedua bola matanya. Ia tampak jenuh dengan sikapku. Menjadi seseorang yang pasif dalam semua hal mungkin menyebalkan bagi Vita. Sayang, aku kesulitan membuka diri kepada orang lain. Benar-benar tidak mudah bagiku. Entah sudah berapa banyak orang yang kehadirannya tidak kuterima dengan baik.

"Kamu cuma perlu lebih aktif, Ra. Aku nggak tau mau ngasih saran apa. Mengingat kamu orangnya emang tertutup, aku tahu itu bakalan sulit, tapi apa salahnya mencoba?"

Atensi Vita beralih pada seorang pelayan yang baru mengantarkan pesanannya, dan itu minuman yang sama dengan yang kupesankan untuknya. Menceramahiku mungkin membuatnya cepat merasa haus. Itulah kenapa minumannya yang baru tiba sudah tersisa setengah.

"Nggak ada yang salah, Vit, tapi aku takut." Entah berapa kali lagi aku menyebutkan kata takut pada Vita. Sayang, memang itu yang kurasakan.

"Takut aja terus, Ra. Jadi perawan seumur hidup mau?" 

Aku sadar betul kalau Vita sedang menakutiku, tetapi aku justru dengan tenang menjawab, "Ya ... aku bisa terima."

"Menikah itu impian semua wanita. Kamu takut apa, sih? Ketakutan itu dilawan, Ra, bukan dipelihara." Vita mengempaskan punggung pada sandaran kursinya, kemudian mengibaskan tangan di dekat leher seperti orang yang sedang berkipas. "Aku harus cek tensi darah pas pulang nanti, takutnya malah naik abis ketemu kamu."

"Aku takut mereka nggak menyukaiku."

"Cuma orang-orang bodoh yang nggak suka kamu, Ra. Kamu tuh paket komplit, pinter iya, mandiri, rajin, berbakat, ramah, bisa bekerja sama. Kurang apa lagi coba?"

"Vit, aku mau dijadiin menantu, bukan karyawan."

Vita hanya melihatku sebentar sebelum mulai memainkan ponsel. Dan aku juga membuat diriku tampak sibuk dengan memakan cheesecake yang sudah lama kupesan, tetapi belum kumakan karena menunggu Vita datang. Alhasil, kami sama-sama menciptakan hening. Samar-samar suara pengunjung lain yang mengobrol di kafe ini menyelimuti kami.

Awalnya aku ingin meminta saran dari Vita tentang harus bagaimana jika aku berhadapan dengan orangtua El lagi nanti. Namun, hal itu tak kunjung terucap karena benar kata Vita, aku akan terus-terusan seperti ini jika tidak kunjung melawan ketakutan.

Sebenarnya, apa yang kukatakan tadi; tentang bersedia sendiri seumur hidup, sudah tidak berlaku lagi sekarang. El berhasil membuatku berharap akan kehidupan rumah tangga yang indah, dan aku tidak bisa membayangkan bersama siapa pun selain dirinya. Padahal aku tidak ingin ada perasaan ingin memiliki seseorang seperti ini. Sebab dari banyak kisah, tak sedikit yang berakhir dengan kekecewaan. Dan aku telanjur menaruh ekspektasi bersama El. Namun, sesuatu tentang Daria sering kali membuatku meragukannya.

"Terus kapan tunangannya?"

Suara Vita berhasil membuyarkan semua hal yang mengganggu pikiranku tadi.

"Minggu ini, tapi nggak ngundang siapa-siapa selain dihadiri sama keluarga aja."

Vita mengangguk. "Inget, ya, Ra, setelah tunangan pokoknya kamu harus sering-sering interaksi sama orangtua El. Aku nggak mau denger kabar kalian batal nikah."

Aku refleks memundurkan kepala ketika Vita mencondongkan badan ke arahku. Meja yang kami tempati saat ini memang cukup kecil, sampai-sampai aku bisa menyentuh bahunya jika mengulurkan tangan.

"Ini kali pertama aku liat kamu jatuh cinta, Ra. Sebagai orang yang lumayan ngerti kamu, aku nggak mau kamu sampai patah hati. Aku sudah ingetin El soal itu sejak lama. Bukan bermaksud ikut campur, sih, tapi nggak terima aja kalau sampai dia ninggalin kamu."

Vita sepeduli itu padaku meski aku tidak pernah menceritakan apa-apa terkait ketakutanku. Mungkin instingnya lagi-lagi bekerja dengan baik, ia berhasil menerjemahkan gelagat dan sikapku. Terkadang aku merasa Vita akan sangat cocok jika kuliah di jurusan psikologi.

"Kamu nggak perlu berbuat sejauh itu, Vit. Aku tahu apa yang kulakukan, tapi aku hargai perhatianmu. Terima kasih." Aku mengatakannya dengan tulus, walau itu tidak cukup untuk membalasnya.

"Hm. Jangan lupa acaranya direkam, ya, mau liat El kalau gugup kayak gimana."

***

Hari itu pun tiba. Orangtuaku sibuk mondar-mandir di rumahku. Acaranya memang diadakan di sini, dan kini rumahku sudah ditata sedemikian rupa untuk acara ini, bahkan Bunda seniat itu mendekor ruang tamuku dengan bunga-bungaan. Padahal tidak masalah jika tanpa itu, tetapi mana mungkin aku bisa menolak ketika Bunda sudah membelinya saat di perjalanan ke rumahku.

Aku masih berada di depan meja riasku, menempati kursi yang mulai terasa panas di pantat. Sudah berapa lama aku memandangi wajahku sendiri di cermin? Aku tidak tahu dan tidak ingin melihat jam, karena secara tidak langsung, itu akan membuatku menghitung mundur acara malam ini. Terakhir, Ibu bilang setengah jam lagi acaranya akan dimulai. El dan keluarganya sedang dalam perjalanan ke sini. Namun, kupikir ini sudah lebih dari setengah jam sejak Ibu menyembulkan kepalanya di balik pintu kamarku.

Wajah di cermin itu sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan, yang ada hanya kekhawatiran besar. Tak peduli jika aku memasang senyum terbaikku di wajah, karena mata tidak bisa berbohong. Aku tersenyum getir, kenapa di hari yang kebanyakan orang menganggap adalah salah satu hari yang mereka nantikan justru terasa menakutkan bagiku? Kenapa aku tidak ikut merasa bahagia seperti mereka? Apa yang salah denganku?

Sekarang aku mulai mengerti, bahwa aku tidak benar-benar takut pada pria yang mendapatkanku, tetapi aku takut akan memiliki dan dimiliki oleh mereka. Ibarat barang, mudah dibeli, tetapi menjaganya adalah tanggung jawab besar. Barang itu bisa saja hilang, rusak, atau diambil orang lain. Dan kehilangan bukanlah sesuatu yang kuharapkan.

Suara pintu kamar yang dibuka mengagetkanku. Aku menoleh hanya untuk menemukan dua adik perempuanku membawa boneka di masing-masing tangan mereka. Mereka sangat menggemaskan sampai-sampai aku tidak bisa menahan senyumku. Mudah sekali aku terdistraksi hanya karena melihat kelucuan mereka. Apalagi Fia dan Caca tampak akrab satu sama lain meski jarang bertemu.

"Kak Zara mau ikut main?" Fia bertanya dari kasurku. Gadis kecil yang sebentar lagi naik kelas empat SD itu menyodorkan boneka kucingnya padaku.

"Nggak. Kakak nonton aja, kalian main lagi aja," tolakku selembut mungkin.

"Jangan diliatin, Kak, Caca malu." Caca mengerucutkan bibirnya dan tampak sebal. Ia sudah mau lulus SD, tetapi masih sangat pemalu. Kata Ayah, Caca persis denganku.

"Ya udah, Kakak putar badan, nih." Aku kembali memutar badan dan melihat mereka bermain melalui cermin rias.

Tatapanku terpaku pada Fia. Ia bernasib sama denganku, harus menghadapi perpisahan orangtua. Aku tidak ingin ia mengalami hal serupa sepertiku dulu. Itu sebabnya aku ingin benar-benar menjaganya, memberinya pandangan yang baik tentang perpisahan orang tua. Salah satunya dengan menunda untuk menikah dan mengurus segala kebutuhan mereka. Aku tidak tega jika Ibu harus melalui semuanya sendirian lagi seperti dulu.

Pintu kamarku dibuka lagi, dan aku masih dibuat terkejut. Kali ini Ibu pelakunya.

"Zara udah siap, 'kan? Ayo keluar, keluarga El udah datang."

Jantungku langsung berdentum keras di dalam sana. Perutku bergejolak serasa ingin memuntahkan semua yang kumakan hari ini. Berlebihankah?

Ada alasan kenapa aku enggan menceritakan kondisiku sebenarnya pada orang lain adalah mereka tidak akan mengerti rasanya. Di depan, mereka mungkin tampak berempati akan kondisiku, tetapi secara langsung mereka akan meremehkan kondisiku ini dengan memberiku saran agar melakukan ini dan itu. Bagiku itu terdengar seperti 'ah, reaksinya lebay banget'.

Ibu menyentuh bahuku dan mau tidak mau aku berdiri. Ini baru lamaran sekaligus tunangan, tetapi rasanya aku seperti ingin dilepas pergi.

"Zara takut, Bu."

Tadi Ibu tersenyum, tetapi luntur seketika setelah kukatakan itu padanya. "Apa karena perceraian kami dulu?"

Aku belum pernah menceritakan apa-apa, tetapi Ibu sudah berhasil menebak dengan benar. Kalau kuiyakan, itu jelas akan melukai perasaannya. Mudah saja menggeleng, tetapi aku justru tampak ragu-ragu menggerakkan kepala.

"Kenapa?" Suaranya lirih sekali.

"Enggak, Bu, bukan itu."

"Ibu kepikiran soal itu sejak lama, Ra. Zara nggak pernah dekat sama cowok, sebelum kuliah juga Zara nggak pernah main keluar gara-gara dilarang terus sama Abah. Bisa aja itu berefek sesuatu. Dan setelah merantau, Zara malah fokus sama kegiatan kampus. Makanya Ibu senang waktu Rafael bertamu ke rumah Zara dulu."

Tuh, kan, Ibu jadi sedih gara-gara aku. Karena tidak tahu bagaimana caranya mengelak, terlebih lagi yang Ibu katakan juga benar, aku hanya bisa memeluknya. Ibu langsung melingkarkan tangannya di punggungku, lantas mengusapnya pelan. Setidaknya, sekarang aku tahu untuk apa melangsungkan pertunangan, yaitu untuk menenangkan dan menyenangkan Ibu.

"Maaf, Bu, Zara cuma nggak tahu gimana cara memulainya."

Ibu melepas pelukan kami dan tersenyum hangat. "Semuanya akan baik-baik aja. Percaya sama Ibu, ya?"

Aku berhasil merasa sedikit lebih tenang dari yang tadi. Detak jantungku juga sudah kembali netral. Sayangnya, selangkah aku keluar dari kamar dan menemukan semua orang sudah berkumpul membuat panik itu datang lagi. Aku sampai tidak bisa mendengar apa pun selain suara detak jantungku sendiri.

Salah satu sisi ruanganku penuh dengan barang seserahan yang dibungkus dalam kotak mika bening dan diikat pita hijau, warna kesukaanku. Semua orang tersenyum padaku, dan aku berharap senyum yang kutunjukkan pada mereka tidak seburuk yang kubayangkan saat ini.

Acara dimulai, kami duduk lesehan karena sofaku tidak cukup untuk semuanya. Tepat setelah pantatku bertemu dengan karpet beludru tadi, telingaku berdengung. Apa yang mereka katakan, terdengar samar-samar olehku. Sampai akhirnya Tante Rena mengeluarkan kotak beludru berwarna biru tua dari tasnya. Aku ingat kotak itu tempat menyimpan cincin yang aku dan El beli beberapa hari lalu. Apa ini sudah waktunya pemasangan cincin?

Mereka meminta aku dan El untuk berdiri, bersama Tante Rena juga. Pertama, El mengambil cincin dengan sekumpulan permata yang menyerupai tiga buah hati untuk kemudian dipasangkan di jari manisku. Setelahnya, Tante Rena menyodorkan kotak itu padaku agar aku mengambil cincin satunya. Tanganku bergetar saat menyentuh cincin itu, lalu mencabutnya hati-hati agar aku tidak menjatuhkannya.

"Rileks, Ra."

Aku mendongak setelah mendengar suara El dengan sangat jelas. Ia tersenyum hangat, sorot matanya lembut, dan itu berhasil meyakinkanku bahwa kami akan terus bersama. Akhirnya, aku mendorong cincin dengan satu permata kecil itu ke jari manis El. Setelahnya El mengecup dahiku sangat lama, dan diiringi dengan tepuk tangan meriah dari semua orang.

Momen ini ... aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku. Semuanya campur aduk, aku tidak bisa menyebutkan mana yang dominan kurasakan. Yang pasti, semua orang tampak bahagia dan aku juga harus turut merasa demikian.

===

Hm, apa ini? Terlalu absurd kalau boleh kubilang. Hehe.
Bulan ini padat luar biasa, aku nulis bab ini sampai nyicil >,<
Ah, alasan Tuteyoo aja, tuh

Beberapa bagian dari bab ini persis sama yang kualami akhir-akhir ini, yang mana bikin aku jadi lumayan lancar nulisnya malam ini hehe. Karena (sedikit curcol) cerita ini berawal terinspirasi dari masa lalu aku juga. Jadi, Zara itu kayak representasinya aku dalam wujud fiksi. Sayangnya, belum ketemu sama El versi real life.

Tapi, tapi, author belum seusia Zara, ya ... beda tipis sii (menolak tua). Cuma nulisnya aja dilebih-lebihkan hehehe.

Itu aja sii cuap-cuapnya. And I'm sorry for very late update. Sehat-sehat terus, ya, kalian 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top