73 - I Want to Marry Your Daughter
Rafael Lazuardi
Semenjak aku tahu Tante Mei tinggal bersama Zara, aku tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa mampir ke rumah Zara setelah pulang bekerja. Di hari libur pun aku akan datang dengan alibi bermain bersama Daffa. Tante Mei menerimaku dengan baik meski aku belum memperkenalkan diri secara resmi. Namun, tampaknya beliau sudah mengetahui sesuatu, karena aku pernah beberapa kali tidak sengaja melihatnya tersenyum aneh saat aku sedang mengganggu Zara. Terkadang Zara akan mengadu pada ibunya, tetapi beliau justru membelaku. Hal itu membuat Zara kesal sekaligus meningkatkan rasa percaya diriku.
Hari ini, tepat sudah dua minggu Tante Mei tinggal di rumah Zara, aku akan memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa aku ingin menjadikan Zara sebagai istriku. Aku sangat gugup sekarang, berbeda sekali dengan ketika aku memberitahu ayahnya. Itu terjadi secara spontan, sedangkan hari ini aku mempersiapkan semuanya. Mulai dari apa yang ingin kukatakan, merapikan rambut, dan memastikan pakaian yang kukenakan saat ini sudah cukup pantas untuk menemui ibunya Zara.
Di depan cermin, aku menertawakan diriku sendiri. Pada akhirnya, aku mengenakan pakaian bergaya casual untuk menemui mereka malam ini. Jeans hitam yang dipadu dengan kemeja cokelat tua dan dilapis sweater rajut cokelat muda. Slipper shoes hitam menjadi pilihanku karena mudah dipakai, tanpa tali. Penampilan ini tidak ada bedanya dengan yang biasa kukenakan ketika berkunjung ke rumah Zara. Yang membedakan hanya rambutku ditata lebih rapi.
Aku melihat arlojiku untuk menghitung mundur waktu yang sudah kujanjikan untuk bertemu. Sengaja aku mengajak Tante Mei, Zara, dan dua adiknya untuk makan malam di luar. Satu jam lagi sebelum kami bertemu, tetapi aku sudah siap berangkat.
Aku keluar kamar dan duduk di sofa ruang tamu. Kakiķu bergerak gelisah. Tidak pernah kurasakan yang seperti ini sebelumnya, karena memang ini adalah kali pertama aku memperkenalkan diri in proper way pada calon mertua—kuharap aku tidak asal mengakui Tante Mei sebagai itu.
Satu jam itu lama, bahkan terasa sangat lama di saat seperti ini. Aku perlu sedikit dukungan moral, dan kupikir menelepon Papa akan menekan rasa gugupku.
Telepon pertama tidak diangkat. Yang kedua dan ketiga juga tidak. Namun, aku tidak berhenti, menunggu Papa menjawab teleponku lumayan mengalihkan rasa gugupku tadi. Sampai akhirnya Papa mengangkat teleponku yang kesebelas kali.
"Ada apa, Rafael? Kamu nelepon Papa kayak orang kesetanan. Nggak biasanya."
Aku mengusap tengkukku sambil cengengesan. "Papa nggak angkat teleponku." Mungkin aku terdengar seperti merengek, karena di seberang sana Papa tertawa puas sekali.
"Kamu kayak mau ngelamar anak orang aja. Sampai sepanik itu."
Anak dan orangtua itu memang punya ikatan yang kuat meski tidak tinggal bersama. "Itu yang akan kulakukan, Pa."
Selanjutnya aku mendengar suara semburan air. Dan aku membayangkan Papa sedang minum kopi dan tersembur ke luar dari mulutnya.
"Serius mau ngelamar Kak Zara, Bang? Kenapa nggak sama keluarga?"
"Felix, ambil tisu, ini kamu nyembur kena baju Papa."
Pertama, aku menjauhkan ponselku dari telinga karena teriakan Felix. Kemudian meringis karena ternyata yang baru saja menyemburkan air bukan Papa, tetapi Felix.
"Rafael, masih di sana?" ujar Papa setelah jeda sebentar.
"Iya, masih di sini."
"Kamu mau ngelamar Zara kenapa nggak ajak Papa sama Mama? Terus Pak Zayed gimana?"
Papa pernah bilang, bahwa ia menyesal telah banyak melewatkan hal-hal penting dalam hidupku. Jadi, Papa tidak ingin melewatkan yang satu itu, melamar Zara. Ia ingin menyaksikan semuanya, dan berperan selayaknya seorang ayah yang datang untuk mendampingiku memperistri anak orang. Aku hargai itu. Lagi pula, tidak mungkin aku melakukannya sendirian.
"Belum seresmi itu, Pa. Aku cuma memperkenalkan diri dan memberitahunya kalau aku bermaksud serius dengan Zara."
"Bang, aku dukung seratus persen!"
"Bukannya mau menunggu Zara siap dulu?"
Aku mengabaikan ucapan Felix dan mulai menyusun kata-kata untuk menjawab pertanyaan Papa.
Sebelum menguatkan tekad untuk merealisasikan rencanaku malam ini, aku tentu sudah mempertimbangkan semuanya. Zara memintaku untuk menunggu sampai Daffa lulus, tetapi aku tidak bisa menunggu selama itu. Dan saat Daria menyinggung tentang tak ada cincin pengikat antara aku dengan Zara, yang mana membuatnya jadi leluasa dan tanpa tahu diri terus mendekatiku. Ia benar-benar memanfaatkan kebaikan Mama.
"Untuk menikah, aku tetap menunggu Zara siap, Pa. Setelah mendapat restu ibunya, aku akan mengusulkan untuk mengikat hubungan kami dalam pertunangan."
Aku menunggu cukup lama untuk menerima respons Papa. Sampai-sampai aku mulai skeptis bahwa itu adalah langkah yang salah dan aku harus membatalkannya. Aku sudah sangat gugup dan diamnya Papa memperburuk suasana hatiku.
"Itu rencana yang bagus, Bang." Felix mendukungku, tetapi itu tidak cukup membantu.
"Aku menunggu jawaban Papa, Felix."
"Papa sedang pergi membuat kopi lagi. Katanya, perlu asupan kafein untuk bahan bakar otaknya. Rencana Abang perlu dikukus lagi."
"Papa ada di sini, Nak."
Felix memang selalu menyebalkan sejak dulu, sayang, aku tidak bisa marah padanya. Kesal sudah pasti, tetapi hanya sebentar.
"Papa setuju. Kalian tunangan dulu, itu bisa membuktikan kalau kamu serius. Kapan kamu bicara sama ibunya Zara?"
Senyumku terkembang karena balasan Ayah. "Malam ini, Pa."
Di seberang sana Papa tertawa. "Pantas saja menghubungi Papa. Gugup, ya?"
"Ya ... ." Aku menjawab pasrah sementara Papa masih tergelak. Aku tidak tahu di mana letak lucunya.
"Itu wajar, Nak. Setiap laki-laki pasti merasakannya. Melamar bukan hanya memberi tahu kalau kamu mencintai anak orang, tetapi juga meminta izin untuk menggantikan orangtuanya sebagai seseorang yang akan bertanggung jawab penuh atas dirinya. Yang berarti, kita harus bisa membuat mereka yakin bahwa kita orang yang tepat untuk putrinya. Bagian itu memang membuat kita terbebani."
"Papa menjabarkannya dengan cukup jelas, tapi membuatku makin gugup." Jantungku berdentum keras sekarang, hingga aku sendiri dapat mendengarnya.
"Kamu harus tetap tenang, Nak. Bersikaplah natural, lakukan sesuatu dengan sewajarnya. Tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi sempurna, just be yourself. Papa yakin, kalau kamu sudah mantap hatimu untuk Zara, keseriusan akan terpancar di wajahmu dan orang-orang dapat melihatnya."
Aku mengangguk tanpa bersuara, sesuatu yang percuma untuk kulakukan karena Papa jelas-jelas tidak melihatnya.
"Terima kasih, Pa, itu ... cukup membantu, kurasa."
"Papa cuma bisa bilang apa yang kamu rasakan saat ini wajar-wajar saja. Tapi jangan sampai gugup mengambil alih kontrol atas dirimu. Kalau itu terjadi, rencanamu akan kacau."
"Papa benar. Makasih, Pa, doakan aku berhasil."
"Pasti, Nak. Pasti."
Selanjutnya kamu hanya saling mengucapkan salam sebelum sambungan telepon terputus. Aku melihat jam di ponselku dan tersisa waktu setengah jam kurang. Berada di rumah justru membuatku terus memikirkan rencana hari ini. Aku tidak ingin gagal, meski tak sempurna. Setelah cukup lama bergelut dengan pikiran sendiri, aku pun memutuskan berangkat. Tak masalah terlalu dini, aku bisa mampir dulu dan membeli sesuatu, daripada datang ke rumah Zara tanpa membawa apa-apa.
***
Sudah lima menit aku diam di mobil, di depan rumah Zara. Kupandangi pintu rumahnya sambil membayangkan Zara keluar dari dan kusambut dengan sebuket bunga mawar warna merah. Ia tampak kaget, tetapi juga dengan senang hati menerimanya. Bayangan itu terlalu indah untuk terus berkeliaran di kepalaku.
Akhirnya aku keluar dari mobil dengan membawa serta beberapa bingkisan dan buket mawar merah yang lumayan besar. Aku pernah dimarahi karena memetik bunga Zara, jadi aku berinisiatif membelinya di luar.
"Bang Rafael!"
Aku belum sempat mengetuk pintu, tetapi Fia sudah keluar dari sana dan tampak semringah menyambutku. Ia sudah rapi dengan mengenakan gaun selutut berwarna kuning. Aku tidak hanya dekat dengan Tante Mei, tetapi pada kedua adiknya juga.
"Cantiknya Fia. Abang mampir beli ini tadi di jalan." Aku menyisihkan satu tas karton berwarna merah muda dan memberikan itu padanya. "Buat Fia."
Ketika membeli bunga untuk Zara, aku sadar belum pernah memberi apa pun untuk kedua adiknya selain camilan.
"Wah ... bonekanya cantik, Bang. Makasih, Fia panggilin Kak Zara dulu, ya." Fia berbalik dan berlari masuk ke rumahnya. Tidak lupa pula ia menutup pintu. Aku kaget, hampir saja aku ingin ikut masuk dan daun pintu tinggal beberapa senti lagi sebelum bertemu dengan hidungku.
Beberapa saat kemudian, pintu rumah Zara kembali terbuka.
"El? Kamu beneran udah datang. Maaf, ya, Fia langsung nutup pintu gitu aja. Ayo, masuk."
Senyumku terkembang ketika Zara muncul di hadapanku. Tak ada yang spesial dari penampilannya, hanya gaya yang simpel seperti biasa. Namun, semakin lama aku melihatnya, ia semakin indah.
"Cantiknya calon istri," gumamku, yang kusadari setelah aku mengatakannya.
"Jangan bersikap aneh deh, El," tegur Zara dengan pipi yang merona. Duh, gemasnya.
"Apakah memuji adalah sesuatu yang aneh?" Aku mengedipkan sebelah mataku dan menyerahkan buket bunga yang kubeli tadi kepadanya.
"El ...," balasnya. Nada bicaranya itu memiliki banyak maksud. Meski ragu pada awalnya, tetapi akhirnya Zara menerima bungaku. "Harusnya kamu nggak perlu sampai serepot ini."
"Hanya ingin menyenangkanmu. Siap-siap aja, aku bakal terus ngelakuin ini." Aku tersenyum, senyum yang kuharap hanya bisa kutujukan untuknya, senyum yang penuh damba.
"Buang-buang uang aja. Ayo masuk dulu, bentar lagi Ibu siap." Zara masuk ke rumah lebih dulu.
Zara, Zara, ketika wanita di luar sana mendambakan kejutan dari pasangannya, ia masih sempat-sempatnya memikirkan tentang pemborosan uang. Karena itulah, aku merasa ia orang yang tepat.
***
Kami sudah tiba di rumah makan, setiap langkah yang kurajut untuk tiba di meja yang sudah kupesan, debar jantungku semakin kencang. Berkali-kali aku mengembuskan napas karena gugup ini semakin mengimpit dadaku.
Di sisi lain, aku cukup bersyukur karena mereka tidak menyadari motif di balik ajakanku untuk pergi makan di luar. Tak sedikit mencurigaiku atau apa pun. Padahal jika Zara tahu tentang ini, ia pasti akan menolak dan memintaku untuk menundanya. Maaf, Zara, tetapi aku ingin membuktikan keseriusanku.
Setibanya di meja yang sudah kupesan, yang posisinya ada di sebuah ruangan khusus agar kami punya privasi, aku meminta mereka memesan makanan dan minuman lebih dulu. Aku yang terakhir sekaligus mengantarkan daftar menu pesanan kami. Selama menunggu pesanan tiba, aku lebih banyak diam. Sampai-sampai panggilan Zara yang sangat pelan membuatku tersentak.
"Kok, tumben ngajak makan di luar?" tanyanya.
"Hanya ingin," sahutku.
"Tapi kamu jadi aneh gini, El, kayak orang lagi nahan sesuatu."
Aku membalas tatapan Zara cukup lama, tetapi bola mataku bergulir sebentar ke arah Tante Mei yang duduk di seberang Zara.
"Maaf, sepertinya aku mengambil langkah tanpa berdiskusi denganmu lagi."
Zara mengernyit kebingungan. "Hah?" Responsnya membuatku tersenyum. Aku seperti mendapat kekuatan untuk memberi tahu Tante Mei sekarang. Ya ... daripada kami menunggu pesanan datang dengan ditemani sunyi yang mencekam, lebih baik kumanfaatkan saja.
"Tante Mei," panggilku.
"Iya?"
"Saya mau bilang sesuatu ke Tante."
Bertahanlah, jantungku.
"Iya, katakan saja."
Aku dan Zara saling lirik, seperti tahu apa maksudku, Zara menggeleng pelan. Aku meraih tangannya di atas meja dan kugenggam erat.
"Mungkin saya baru mengenal Zara selama beberapa bulan, tetapi saya sudah memantapkan hati untuk menjadikan Zara sebagai istri saya." Aku melirik wajah kaget Zara sebentar sebelum tersadar bahwa Daffa dan Fia ada di sini bersama kami. "Oh, maaf, seharusnya saya nggak bilang itu di depan anak-anak," sambungku, merasa tidak enak.
Aku menunggu respons Tante Mei, tetapi beliau malah terkekeh. Dan itu membuatku mulai khawatir.
"Ibu tahu," ujar Tante Mei. "Maksudnya, sudah menduga hal ini akan terjadi. Memangnya untuk apa seorang pria datang ke rumah wanita setiap hari jika tak ada maksud apa-apa?"
Sekarang aku justru merasa tidak enak. "Maaf, saya nggak bermaksud buruk, Tante." Dengan percobaan beberapa kali ingin mencium Zara, kuharap itu tidak termasuk kategori buruk.
"Ibu pernah bilang, kan, sama Rafael dulu. Kalau Zara udah ngajak orang lain ke rumahnya," ujar Tante Mei seraya melirik Zara sebentar, "Berarti orang itu sangat dia percaya. Ibu memantaumu selama dua minggu ini, Rafael. Zara sangat mengkhawatirkan, dia nggak pernah ngenalin cowok, sampai-sampai Ibu pikir dia terbawa trauma dari perceraian kami dulu."
"Ibu ... ." Kupikir Zara sedang bermaksud menghentikan Tante Mei agar tidak melanjutkan kalimatnya. Karena itu benar, Zara memang ketakutan, tetapi tidak ada satu pun yang tahu soal itu.
"Sekarang Ibu lega, ada seseorang yang bersedia menjaganya. Ibu merestui kalian, kalau itu yang kalian mau. Tapi Ibu mohon, Nak Rafael, jangan pernah lukai Zara, jangan buat dia mengalami hal yang sama kayak Ibu. Kamu pasti tahu, 'kan?"
"I-iya, Tante," sahutku agak tidak enak. Ini kedua kalinya aku menerima hal serupa.
"Zara benar-benar percaya padamu." Tante Mei tersenyum, dan berhasil membuat debar jantungku mulai kembali normal.
"Saya berjanji, Tante." Aku berucap mantap dan menggenggam tangan Zara semakin erat.
"El, maaf, tapi aku belum siap menikah." Zara menarik tangannya dariku.
"Aku tahu, Ra. Aku nggak akan mendesakmu. Kita bisa menikah nanti, ketika kamu siap." Kemudian aku kembali menatap Tante Mei. "Terima kasih, Tante. Setelah ini saya bermaksud mau membawa kedua orangtua saya buat melamar Zara secara resmi sekalian bertunangan kalau Tante mengizinkan. Tapi saya juga perlu ayahnya Zara untuk datang, Tante. Apa baik-baik aja?"
Tante Mei tertawa geli karena ucapanku. Di saat yang sama pelayan resto datang untuk mengantarkan pesanan kami. Jeda yang ditimbulkan sangat menyebalkan, aku jadi kehilangan feel yang sudah kudapatkan saat memberi tahu maksudku.
"Terima kasih," ujarku. Karena makanan sudah ada di hadapan, obrolanku tadi pun tertunda. Tante Mei bisa saja meminta kami makan makanan kami dulu sebelum mengobrol lagi.
"Rafael, kamu mau nikah sama Tante apa sama Zara? Tanya Zara, dong, bersedia tunangan apa nggak. Ibu bagian ngasih restu aja. Soal ayahnya Zara ... dia memang perlu menyaksikan putrinya dilamar, jadi nggak masalah."
Aku mengulum senyum senang, sengaja menahannya karena malu kalau sampai Tante Mei melihat senyum konyol yang membuatku kehilangan wibawa sebagai pria. Lalu berdeham dan menatap Zara penuh harap. Kalau dia bersedia, aku akan langsung mengabari Ayah.
Zara mengerjap cepat, ia menatap ibunya dan aku bergantian. "Um ... tunangan dulu, 'kan?"
Hanya dengan itu, aku tahu kalau Zara mengiyakan. Selama makan malam berlangsung, kami membicarakan banyak hal tentang satu sama lain sampai rencana masa depan juga.
Ini akan menjadi tamparan yang cukup keras untuk Daria, yang mana akan memaksanya agar berpaling dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top