71 - All Out
Zara Naulia
Aku memikirkan ini lagi; hukum alam bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk salah satunya adalah hubungan. Kita diminta untuk siap menghadapi semuanya. Hidup ini adalah untuk datang dan pergi, sama seperti kelahiran dan kematian. Jika berani menghadapi pertemuan, maka harus berani pula menerima perpisahan. Sekuat apa pun mempertahankan, jika memang sudah waktunya untuk pergi, maka itu akan pergi. Rasanya akan menyakitkan, tetapi aku tahu hidup memang tidak akan mudah. Itu adalah apa yang terpikir di kepalaku ketika menemukan Ibu yang matanya memerah karena keseringan diusap.
Ibu sudah mantap untuk berpisah dengan Abah. Jadwal sidang sudah ditentukan dan akan dilaksanakan kurang lebih sebulanan lagi. Aku ingin bertanya apa alasannya meski aku sendiri sudah tahu. Aku hanya ingin memastikan dugaanku, tetapi aku juga tidak ingin menyentuh lukanya jika mengungkit masalahnya.
"Sertifikat rumah atas nama Ibu. Nanti bisa dijual buat tabungan adik-adik kamu."
Aku mengangguk saja ketika Ibu memasukkan sertifikat rumah ke tas miliknya. Sudah ada dua koper besar barang berisi pakaian di pojok ruangan. Saat ini aku sedang memasukkan pakaian adikku, Fia, ke tas jinjing besar.
Hanya aku dan Ibu yang ada di kamar Fia saat ini. Daffa dan Fia diajak Abah pergi jalan-jalan. Sebenarnya aku hampir tidak mengizinkan mereka dibawa pergi, karena aku takut mereka akan dibujuk dan memilih untuk ikut dengan Abah. Kendati bukan adik kandung, tetap saja aku tidak rela. Aku telanjur sayang, dan tidak tahu apa jadinya jika tidak bertemu dengan mereka lagi.
"Bu, apa baik-baik aja ngebiarin Abah bawa adik-adik? Zara takut mereka dipengaruhi."
Ibu berhenti memasukkan berkas-berkasnya dan memandang kosong pada apa pun di depannya. Di detik itu juga aku langsung bertanya-tanya, apakah ada yang salah dari ucapanku.
"Zara, dia punya hak juga atas anak-anak. Daffa dan Fia pun berhak memilih ingin ikut siapa. Tapi Zara nggak perlu khawatir, percayakan semuanya sama Daffa." Ibu tersenyum untuk menenangkanku. Walau itu tidak cukup untuk membuatku berhenti memikirkannya, tetapi aku tidak membicarakannya lagi.
Aku menutup ritsleting tas yang baru saja selesai kuisi dengan baju Fia. Yang mana itu berarti kamu selesai mengemas semuanya. Ibu bilang sudah mencicil mengemas barang-barang lain dan dibungkus rapi dalam dus-dus. Karena mobilku tidak akan muat membawa semuanya, Ibu sudah menyewa mobil pick up untuk mengangkut dus.
Sekarang yang kulakukan adalah memandang wajahnya. Urat-urat wajahnya sudah tidak setegang kemarin saat aku baru datang. Aku penasaran, sudah berapa lama Ibu menderita bersama Abah. Sebenarnya aku tidak ingin mereka sampai berpisah, karena perceraian yang lalu sudah pasti membuatnya terluka. Namun, jika memang keputusan itu akan membuatnya lega, aku berharap inilah yang terbaik.
"Ibu sudah benar-benar yakin?" Dan aku masih menanyakan hal yang sama untuk yang kesekian kalinya. Aku hanya tidak ingin hal ini membuat Ibu menyesal di kemudian hari.
"Abah nikah sama Ibu bukan karena berawal dari saling cinta, Ra. Dia bilang mau menolong Ibu membesarkan kamu." Ibu mengangkat tangannya untuk mengusap rambutku. Aku baru tahu soal ini, dan menyadarkanku bahwa menikah bukan melulu karena saling cinta.
"Memang berjalan baik pada awalnya, kami saling mengerti satu sama lain, dan Zara juga diperlakukan dengan baik."
"Sampai akhirnya keluarga Bapak datang," sambungku.
"Ya. Ibu bukan ingin menyalahkan mereka, tapi rasanya cukup wajar kalau Abah semarah itu. Mereka mengabaikanmu, tapi kembali setelah Zara masuk usia remaja."
Kalau dipikir-pikir lagi, mereka memang cukup keterlaluan. Mungkin aku kesal dengan sikap Abah karena aku tidak pernah berada di posisinya. Namun, melarangku melakukan kegiatan apa pun di luar jam sekolah juga sangat keterlaluan.
"Dan sekarang Abah sedang jatuh cinta, Ra. Pada hati yang lain, bukan dengan Ibu. Sedangkan Ibu nggak bisa diduakan, dan adik-adikmu nggak bisa terus-terusan diberi harapan, tapi dia nggak kunjung menepati. Abahmu sudah dibutakan oleh cintanya, anak-anaknya terabaikan. Sekarang untuk apa kami tetap di sini? Apa lagi yang harus Ibu pertahankan?"
Kehidupan pernikahan ternyata lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Mudah saja memulai semuanya, tetapi mempertahankannya adalah tugas penting bagi sepasang suami istri. Lantas, aku memikirkan tentang kami, sanggupkah El dan aku mempertahankan rumah tangga kami kelak? Ada banyak faktor perusak keharmonisan rumah tangga, dan aku tidak yakin siap menghadapi itu.
"Kayaknya mobil pick up yang ibu sewa udah datang."
Ibu lekas-lekas beranjak meninggalkanku. Aku tidak menyusulnya, tetapi menajamkan pendengaran, mencari-cari suara mobil yang dimaksud Ibu. Sayangnya, aku tidak mendengarkan apa pun. Daripada berdiam saja di sini, aku pun menghampirinya. Benar kata Ibu, mobil pick up-nya sudah datang.
"Di dus-dus itu apa aja isinya, Bu?" tanyaku ketika Ibu selesai mengarahkan dua pria yang mengerahkan tenaganya untuk mengangkat dus.
"Mainan adikmu, peralatan sekolah mereka, perabotan memasak, sama pakaian yang nggak muat di koper. Total semuanya ada delapan dus," jawabnya seraya menghitung sambil mengingat-ingat isinya.
Aku tak menjawab dan hanya mengangguk. "Barang-barang yang lain nggak diangkut sekalian, Bu?" Aku menunjuk sofa, rak TV, dan berbagai dekorasi di ruang tamu secara bergantian.
"Rumahmu muat?"
Pertanyaan itu hanya kujawab dengan cengiran.
"Nanti sekalian dijual sama rumahnya aja."
Ibu memberitahu alamat rumahku pada sopir pick up dan meminta mereka untuk berangkat lebih dulu. Komplek rumahku cukup aman, jadi tidak masalah jika barang-barang itu ditaruh sementara di teras.
Ketika mobil pick up melaju meninggalkan halaman rumah, Abah datang dan memarkirkan motornya di depan teras. Aku yang enggan untuk bertegur sapa dengannya lantas memilih masuk kembali ke kamar Fia.
"Jadi minggat?"
Aku meremas ponsel di tanganku ketika mendengar suaranya yang kasar.
"Kita mau pisah, Mas. Rumah ini nantinya mau dijual buat anak-anak."
"Kak Zara." Aku menunduk ketika Fia memanggilku, dan di belakangnya ada Daffa. Mereka baru saja masuk kamar dengan sekresek jajanan di masing-masing tangan.
"Sini, Sayang," sahutku dan meminta Fia duduk di sebelahku. Tadinya aku juga ingin meminta Daffa mendekat, tetapi rupanya anak itu tahu jika Ibu dan Abah sudah bicara, maka tidak akan berakhir baik. Sebab, sudah ada earphone tersemat di telinganya.
"Kita jadi ke rumah Kak Zara, 'kan?" Aku tersenyum dan mengusap kepala Fia. Walau ia lebih tua dari usiaku ketika menghadapi perpisahan orangtua, tetapi aku tetap merasa kasihan padanya.
"Fia habis belanja apa tadi?" Kali ini aku menaikkan volume suaraku, karena di luar sana Abah mulai membentak Ibu dengan membahas soal uang yang dihabiskannya untuk menghidupi kami.
"Banyak, Kak, nih." Fia membuka kresek dan memintaku untuk melihat sendiri isinya. "Jajanan kesukaan Kakak juga ada."
"Nanti kita makan sama-sama di mobil, ya?"
"Oke, Kak. Nanti Fia suapi, kan, Kakak harus nyetir mobil."
Tadinya aku ingin membalas ucapan Fia, tetapi pintu kamar telanjur dibuka dan Ibu menghampiri kami dengan napas yang tersengal. "Kak, ayo kita berangkat sekarang," ujarnya sambil mengangkut tas Daffa dan Fia, lalu menarik koper paling besar.
Daffa menarik satu koper lain tanpa melepas earphone-nya. Ia paham meski hanya melihat gerak-gerik Ibu. Sedangkan Ibu terlalu tergesa-gesa sampai melupakan tasnya sendiri. Aku menyusul terakhir dengan membawa tasnya bersamaku.
"Ini dia yang nggak tau diri. Mentang-mentang udah kerja, anakku dipengaruhi."
Jantungku berdebar kencang sekali sampai terdengar oleh telingaku. Sensasi menyesakkan ini kembali muncul hingga membuatku lemas. Aku ingin mengabaikannya andai pria itu tidak bicara lagi.
"Kamu lupa apa-apa sudah kuberikan, ini itu kubelikan, semua keperluanmu sudah kupikirkan sebelum kamu minta. Enak, ya, punya bapak dua?"
Aku geram. Dengan sengaja aku berhenti dan balas menatapnya dengan penuh benci. Ia sudah kehilangan respek dariku sebagai seorang ayah. Aku tahu aku perlu berterima kasih dengannya karena menghidupi kami dulu. Namun, apakah pantas memperhitungkan semuanya dan bersikeras bahwa ia tidak akan meminta apa pun jika aku sudah bekerja? Di mana letak ikhlas pada semua pemberiannya?
Ibu menegurku, memintaku agar segera keluar rumah ketika aku menghampirinya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas Ibu.
"Terserah Abah anggap aku apa. Kalau aku memang nggak tahu diri, aku nggak bakal bantuin Abah bayar kredit rumah waktu kehilangan pekerjaan, aku nggak akan pulang, dan aku nggak akan manggil Abah dengan sebutan Abah." Aku diam sebentar untuk menarik napas. "Sekarang Abah berpenghasilan lebih besar dariku, tetapi sering menemui wanita lain padahal di rumahmu ada keluarga yang selalu menunggu! Sekarang siapa yang nggak tahu diri? Siapa yang akan ada di sebelahmu saat kamu susah?"
Kemudian aku membanting satu map plastik berisi sertifikat tanah dan rumah ke atas meja di hadapannya.
"Rumah ini milik Abah, terserah mau diapakan. Kalau ini kurang buat mengganti uang yang Abah habiskan buat membesarkanku, bilang aja. Nanti aku tambah."
Sesungguhnya aku tidak pernah menyangka akan mengatakan itu padanya. Semuak-muaknya aku dengan Abah, tidak pernah sedikit pun terpikirkan olehku untuk bicara kasar seperti itu padanya. Mungkin ia akan semakin membenciku, tetapi tidak masalah bagiku, karena setelah ini aku yakin tidak akan berhubungan lagi dengannya.
Ibu menungguku di ambang pintu, tetapi aku justru mendahuluinya masuk ke mobil, yang mana di dalam sana sudah ada Fia dan Daffa yang duduk di bangku belakang. Mereka hanya diam, mungkin tahu jika kakaknya sedang dalam kondisi tidak baik. Namun, aku bisa merasakan tatapan mereka tertuju padaku.
Aku membanting pintu kemudi dan menarik napas sedalam-dalamnya. Tubuhku bergetar, pun jantungku masih berdebar bukan main. Aku tetap diam seperti selama beberapa saat sampai Ibu menyusul masuk ke mobil dan duduk di sebelahku.
"Zara baik-baik aja?" tanya Ibu. Aku menoleh dan menemukan raut kekhawatiran di wajahnya.
"Zara baik, Bu, lega rasanya," jawabku dan tersenyum untuk meyakinkannya bahwa aku memang baik-baik saja. "Maaf, Ibu nggak jadi jual rumah itu. Aku nggak bisa berpikir tadi. Tapi Ibu tenang aja, biaya pendidikan Fia sama Daffa bakal Zara tanggung. Penghasilan Zara cukup buat kita semua. Tabungan Zara juga banyak."
"Makasih, Nak, tapi nanti Ibu juga bakal buka usaha bikin kue, kok. Lagi pula ... Abah pasti bakal nggak terima kalau rumah itu kita jual."
Aku tersenyum miris. "Dia bakal nagih lagi."
Tanpa kusangka, Ibu tertawa. Tawa yang ringan seolah semua beban hidup sudah diangkat dari pundaknya. "Ayo berangkat. Biar sampainya nggak kemalaman, Ra."
Aku memasang sabuk pengaman dan segera melajukan mobilku. Lima belas menit pertama di jalan dilalui dalam kesunyian. Sampai kemudian Fia merengek lapar dan ingin memakan jajanan yang dibelinya bersama Abah tadi. Dan itu adalah awal mula keributan di bangku belakang. Daffa dan Fia memperebutkan jajanan mereka. Itu sudah biasa terjadi, jadi aku dan Ibu hanya geleng-geleng karena sikap mereka. Setidaknya suasana selama perjalanan tidak akan semencekam tadi.
"Kak!" Daffa berteriak tiba-tiba hingga membuatku terkejut.
"Kenapa, Daf? Kakak sampai kaget," sahutku dan membalas tatapannya melalui kaca spion depan mobil.
"Bang Rafael nelepon." Dari reaksinya, aku tahu kalau dia senang karena itu.
Tadi pagi aku memang mengirim pesan pada El kalau Daffa protes. Aku tidak sedang membual saat itu karena Daffa memang kesal karena El tidak kunjung menghubunginya. Aku sudah mengusulkan agar Daffa menyapa El lebih dulu, tetapi dia menolak karena sungkan.
"Aku angkat, ya, Kak."
"Iya. Tapi, jangan bilang kalau lagi sama Kakak, ya?" Aku memperingatinya.
"Kenapa, Kak?"
"Jangan aja. Dia nggak tahu kalau kita ketemu," sahutku. Dan kalau El tahu aku berbohong dengan mengatakan bahwa aku ke rumah Vita, ia sudah pasti akan menanyakan banyak hal padaku. Sementara aku sedang tidak ingin menceritakan apa pun dulu tentang ini kepadanya. Setidaknya sampai proses perceraian Ibu dan Abah berjalan dengan baik.
"Baiklah, Kak."
"Makasih, ya."
Untuk saat ini, aku bisa merasa sedikit lega.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top