70 - Bad Weekend
Rafael Lazuardi
Future Wife - Daffa menagih janjimu untuk bermain bersama.
Rafael L - Dia tidak menghubungiku.
Future Wife - Menurutmu dia berani ngirim pesan ke kamu duluan?
Rafael L - Well, I love his attitude.
Future Wife - Serius, El, jangan menjanjikan sesuatu yang nggak bisa kamu tepati.
Aku perlu beberapa saat untuk menelaah isi pesan terakhir Zara dan memikirkan balasan yang bagus untuk itu. Waktu itu aku memang berkata akan bermain bersama dengannya, tetapi hanya jika Daffa kembali berkunjung ke rumah Zara. Mungkin aku juga perlu mengatakan secara spesifik.
Rafael L - Dia memegang janjiku ternyata.
Future Wife - Dia protes padaku. Ini nggak akan berakhir kalau kamu nggak menghubunginya.
Aku tertawa membacanya.
Rafael L - Adik ipar bisa langsung menghubungiku dan melayangkan protes, tapi kenapa lewat kamu dulu?
Future Wife - He doesn't think that you both close enough.
Rafael L - My bad. Akan kutelepon dia setelah pekerjaanku selesai.
Rafael L - By the way, how is everything going on there?
Zara benar-benar pergi ke rumah Vita dan bertemu dengan Dian dan Rosetta. Kemarin aku menawarkan diri untuk mengantarnya, tetapi Zara menolak, karena itu adalah sesi reuni kecil-kecilan mereka para wanita. Aku tidak mengerti secepat apa wanita saling merindukan satu sama lain, sebab mereka sudah bertemu di acara syukuran rumah Vita seminggu lalu.
Akhirnya, aku berakhir merindukan Zara dengan kondisi seperti ini; mengenakan kaos polo berlengan pendek dengan celana jogger panjang, dan rambut yang acak-acakan karena tidak disisir setelah mandi tadi. Penampilanku terlalu santai untuk menemui seseorang yang sudah berjanji akan ke rumahku sekitar lima belas menit lagi. Aku sudah menunggu di ruang tamu dengan laptop menyala dan setumpuk berkas di atas meja. Tak ada makanan atau minuman karena tamuku akan membawanya sendiri. Keterlaluan, ya? Tetapi ia memang sudah biasa seperti itu.
Ponselku bergetar dan kutemukan pesan dari Zara, tepatnya setelah cukup lama aku dibuat menunggu.
Future Wife - Kami bersenang-senang dan pulang sore nanti.
Rafael L - Gimana kalau ketemu di luar?
Future Wife - Mungkin lain kali. Aku perlu istirahat.
Aku cukup kecewa dengan penolakannya. Itu berarti aku harus bersabar lagi. Rencanaku ingin mengajaknya makan malam sekaligus pelan-pelan membicarakan tentang rencana pernikahan kami. Daria akan terus-terusan menghubungiku jika aku tidak segera melamar Zara. Wanita itu terlalu ambisius jika sudah menginginkan sesuatu. Dari hari ke hari, aku semakin dibuat takut dengan keberadaannya.
Rafael L - Oke, see you very soon, Ra.
Aku baru mengirimkan pesan balasan untuk Zara ketika pintu depan diketuk. Ini belum lima belas menit dari waktu yang dijanjikan oleh orang itu, dan seandainya ia datang lebih awal, ia tidak akan repot-repot mengetuk pintu dan langsung masuk seperti ini adalah rumahnya.
Sejak aku kembali ke sini, jarang sekali ada yang bertamu tanpa membuat janji terlebih dahulu. Selain karena hanya teman-temanku yang tahu alamat ini, aku memang tidak sering mengundang orang lain. Jadi, aku cukup penasaran siapa yang akan datang dan bergerak cepat untuk membuka pintu di sisi kiri dari tempatku duduk saat ini.
Aku tidak pernah merasa ingin mengumpat pada seorang tamu seperti saat ini. Tidak pernah, sampai Daria berdiri di hadapanku saat ini, dengan senyum menawan yang pernah membuat hatiku melompat-lompat tidak karuan. Sekarang justru tampak menyebalkan di mataku.
"Kenapa kamu di sini?"
Itu cukup kasar untuk ditujukan pada wanita, tetapi aku perlu menegaskan padanya bahwa aku tidak akan memberinya kesempatan untuk kembali padaku, dan kehadirannya juga tidak pernah kuharapkan. Aku tahu itu akan melukainya, tetapi aku berusaha untuk mengabaikan rasa kasihan yang muncul setelah air mukanya berubah murung.
"Hanya berkunjung. Tante Rena bilang kalau kamu menempati rumah yang lama, jadi aku sekalian minta alamat."
Aku mengerang frustrasi. Lagi-lagi karena Mama yang terlalu baik padanya.
"Aku lagi nggak nerima tamu. Mending kamu pulang aja." Aku ingin menutup pintu, tetapi Daria segera meraih gagang pintu dan mendorongnya agar tetap terbuka. Pertama, usahanya tidak berarti apa-apa, tetapi setelah ia nekat menyelipkan tangannya di sela-sela pintu, aku kembali membukanya. Aku tidak ingin ia terluka dan mengadu pada Mama.
"Aku bawa cemilan kesukaan kamu. Kita bisa makan bareng." Daria tersenyum seolah-olah itu adalah ide terbaik yang dimilikinya. Ia mengangkat kresek yang aku tidak sadar dibawanya sejak tiba di sini.
"Daria, please, temenku mau datang buat bahas soal pekerjaan. Aku nggak mau dia salah paham karena ngeliat kamu ada di rumah." Aku tidak tahu bagaimana lagi cara untuk membuatnya pulang tanpa harus menyeretnya.
"Aku bisa membantumu dengan membuatkan minum, El. Aku nggak akan mengganggu."
Sekarang Daria justru meyakinkanku seperti seorang anak kecil yang berjanji tidak akan belanja banyak-banyak agar diizinkan ikut ibunya ke pasar, persis seperti itu.
Aku menyugar rambutku ke belakang dan menatapnya serius. "Sebenarnya apa tujuanmu datang ke sini?" tanyaku frustrasi.
Tanpa kusangka, Daria memperpendek jarak kami. Aku bergeming karena ia tidak menunjukkan tindakan yang berisiko.
"Aku sedang berusaha mengembalikan apa yang tersisa dari kita, El. Aku nggak akan menyerah," ujarnya pelan, mirip berbisik.
"Berhenti mengharapkan sesuatu yang nggak akan terjadi. Apa harus kuingatkan terus kalau di antara kita nggak ada apa-apa lagi?" Aku mendesis, kesal sekali rasanya.
"Kamu belum sepenuhnya melepasku, El. Aku ingat kamu menolak berakhir denganku."
"Itu sudah setahunan yang lalu, Dar, kamu pikir aku nggak bisa ngelupain kamu?" Aku berdecih pelan dan tersenyum meremehkan. "Berhenti hidup dalam bayangan masa lalu, Daria. Kenapa kamu nggak kejar dia lagi aja? Dia lebih baik daripada aku, 'kan? Kamu sendiri yang bilang."
Aku akan mengingat ini dalam sejarah hidupku, bahwa untuk yang pertama kalinya aku bersikap cukup kasar pada seorang wanita.
"Tapi perasaan ini masih buat kamu, El. Aku pasti akan menyesal seumur hidup kalau kami benar-benar menikah."
Aku mendengkus. "Itu masalahmu sendiri."
"Dan aku bukan satu-satunya korban, El."
Daria melotot padaku, dan aku menemukan matanya berkaca-kaca. Aku tidak tahu di bagian mana yang membuatnya sedih.
"Bukan cuma kamu yang perasaannya dikorbankan, El, tapi aku juga. Aku hancur berpisah denganmu, tapi Dion memperparah semuanya dengan memberi harapan palsu padaku. Kamu bukan satu-satunya yang terluka, El!"
"Tahu nggak? Semua itu nggak akan terjadi kalau kamu mau bersabar sedikit lagi denganku."
Aku baru akan memintanya pulang lagi ketika motor yang dikendari Yohanes tiba di halaman di rumahku. Akhirnya, tamu yang kunantikan tiba.
"Sebaiknya kamu pulang, Daria," ujarku pelan, dan menghampiri Yohanes.
"Berkasnya sudah kamu bawa semua?"
Yohanes tidak berkata apa-apa dan menunjuk tas ranselnya dengan jempol. "Aku akan dapat bonus karena bekerja di akhir pekan," guraunya.
"Apa seutas maaf cukup?"
"Tergantung. Karena kamu temanku, aku akan terima."
"Ayo masuk," ajakku kemudian.
Aku tidak melihat Daria ketika kami masuk ke rumahku. Aku curiga kalau ia lebih dulu masuk ke rumah daripada aku. Rasanya agak mustahil jika Daria menurutiku agar pergi dari rumahku.
Sudah hampir tiga jam aku dan Yohanes bergulat dengan setumpuk berkas berisi pengajuan dari divisi kantor dan beragam proposal kegiatan, Daria tidak sedikit pun menampakkan batang hidungnya. Aku sempat waswas kalau-kalau Yohanes menemuinya ketika pergi ke dapur untuk mengambil minum. Namun, Yohanes kembali dengan tenang tanpa bertanya apa-apa. Di satu sisi aku merasa lega, di sisi lain aku khawatir Daria hanya bersembunyi dan akan menemuiku lagi begitu Yohanes pulang.
"El, sampai di sini paham, kan, bagaimana kontribusi kita sebagai sponsor dari kegiatan ini?"
"Oh, iya. Aku sedang memikirkan cara lain agar sponsor yang ini mendapat timbal balik yang baik dari kita," ujarku setelah sempat teralihkan. Menyebalkan sekali rasanya terpikirkan Daria di saat-saat seperti ini.
"Berarti kita approve yang ini?" Yohanes mengangkat berkas yang baru selesai kami bahas dan tetap seperti itu sampai aku mengangguk mengiyakan.
"El, kamu kayak orang nggak fokus hari ini. Kenapa?" Yohanes bertanya sembari meletakkan proposal tadi di tempat lain agar tidak tercampur dengan berkas yang lain.
"Nggak fokus gimana?"
"Beberapa kali pandangan matamu kosong. Dan itu—" Ia menunjuk dahiku. "—dahi berkilaumu itu sering berkerut. Ini harusnya udah selesai dari tadi, lho."
Yohanes memang terlalu peka jika itu berurusan denganku. Memiliki seseorang sepertinya di sekitarku adalah sesuatu yang bisa kusyukuri. Kepeduliannya melebihi mamaku sendiri. Jika kuceritakan padanya tentang Daria, aku tahu selanjutnya tidak akan merasa kesal sendirian.
"Kita bisa istirahat kalau mau," ujarnya lagi. "Apa ini ada hubungannya dengan Zara?"
"Apa terlihat jelas?"
Yohanes terkekeh seraya menyamankan posisinya di atas sofa. "Cuma dia yang bikin kamu nggak karuan begini. Kamu tu kalau udah cinta banget sama dia, langsung lamar, dong. Nunggu apa lagi?"
"Mudah ngomongnya ya, Han." Jeda sebentar hanya untuk membanting punggungku ke sandaran sofa. "Tapi dia belum siap nikah."
"Mungkin dia ragu karena masa lalumu."
Mataku menyipit ketika menatap Yohanes. Aku belum memberi clue apa-apa, tetapi dia sudah berhasil menebak bahwa masa laluku juga sedang menjadi masalah walau tidak langsung berhubungan dengan Zara.
"Apa dulu aku seburuk itu?"
"Tidak. Tapi bagi wanita seperti Zara, itu sudah pasti membuatnya khawatir."
Ah, benar juga. Bagaimana bisa aku melupakan bagian itu. Seharusnya aku bisa membuktikan padanya kalau aku sudah tidak seperti dulu lagi. Namun, kenapa Zara sama sekali tidak membicarakan ini padaku?
"Dia nggak pernah bahas soal itu sama aku."
"Bisa aja karena dia memantaumu diam-diam." Apa yang baru Yohanes katakan membuat jantungku berdebar kencang. Jika benar itu yang terjadi, apa artinya Zara tahu sesuatu tentang Daria yang masih suka menemuiku?
"Kupikir Zara tidak akan melakukan hal itu." Selain mengafirmasi ucapan Yohanes, tetapi di sisi lain aku tidak pernah bisa membayangkan jika Zara melakukan itu.
"Interaksi terakhir kalian gimana?"
"Semuanya berjalan baik. Dia pernah bilang kalau belum menceritakan apa-apa pada ibunya, jadi kami harus menunggu."
Yohanes menggumam tidak jelas sebelum berkata, "Apa yang bikin dia belum menceritakan tentang kalian pada ibunya? Kamu harus tahu alasannya, El."
Aku ingat, Zara menceritakan tentang kondisi keluarga ibunya yang sedang tidak baik. Makanya ia tidak bisa menceritakan apa pun dulu pada sang ibu. Sebenarnya aku tidak keberatan menunggu, tetapi kehadiran Daria-lah yang membuatku ingin mendesak Zara terus-menerus. Ternyata, aku egois juga.
"Gimana? Kamu tahu?"
Aku tidak bisa menceritakan bagian itu pada Yohanes.
"Ibunya tinggal di luar kota. Kami harus bertemu langsung untuk menceritakan semuanya. Nggak enak, kan, ngobrol lewat telepon?"
"Bicara di telepon itu ibarat kata pengantar dalam skripsi, El. Kenalan dululah, kalian berdua harus sudah saling dekat dengan mertua satu sama lain." Yohanes menggeleng seperti seorang ayah sedang menegur anaknya yang baru saja berbuat salah. Kenyataannya, ia memang sudah menjadi seorang ayah.
Yohanes punya poin penting di sana. Karena terlalu sibuk memikirkan cara menjauhkan Daria, aku sampai melupakan hal terkecil yang seharusnya sudah kulakukan sejak lama.
"Kamu benar," ujarku setelah terdiam cukup lama.
"Perjalanan kalian masih panjang sebelum sampai ke pernikahan, El. Kamu jadi menantu orangtua Zara, dan Zara jadi menantu orangtuamu. Setiap orang tua perlu mengenal calon menantunya sebelum memberi restu. Apalagi restu seorang ibu nggak bisa diabaikan gitu aja. Ada banyak kasus perceraian terjadi di usia pernikahan yang muda karena nekat menikah tanpa restu sang ibu."
"Serius?"
Yohanes berdecak kesal. "Kamu nggak pernah ikutin berita, ya?"
"Too busy to watch TV."
"Terserahlah. Udah selesai sesi konselingnya? Ayo selesaikan ini. Nanti malam istriku jaga klinik lagi."
Dan dua jam berikutnya kami berhasil menyelesaikan berkas-berkas yang tertumpuk karena cutiku seminggu lalu. Yohanes pun langsung pulang. Aku duduk di sofa dan memandang satu-satunya akses menuju ruang tengahku. Dari layar TV yang tidak menyala, aku bisa melihat pantulannya sedang berjalan menghampiriku.
"Apa Tante Rena sudah merestui hubungan kalian berdua?"
Sudah kuduga kalau Daria tidak pulang, aku tidak terkejut lagi melihatnya sudah berdiri di belakang sofa di seberangku saat ini. Dan, ya, itu adalah pertanyaan paling tidak sopan yang pernah kuterima. Terlebih lagi, ia tampak berharap bahwa aku akan mengiyakannya.
Keterlaluan, Daria, apa yang kamu harapkan dengan kembali padaku setelah meninggalkanku bersama pria lain?
"Kamu harus pulang. Akan kuantar."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top