7 - The Beginning
Zara Naulia
Aku berterima kasih pada El, yang dengan tindakan heroiknya berhasil membuat Dimas pergi. Meski hanya sesuatu yang sepele, tak ayal membuatku bernapas lega setelah dibuntuti seperti tadi. Meski begitu, aku tidak yakin jika Dimas akan benar-benar berhenti menggangguku.
Kami masuk ke kafe kemudian. Aku cukup sering datang ke sini saat istirahat makan siang. Selain karena dekat dengan kantor, desain interior kafe ini juga sangat indah. Natural-modern jika aku menyebutnya. Kafe ini tidak pernah sepi. Kebanyakan pengunjungnya adalah mereka yang suka berfoto-foto untuk konten media sosial mereka.
El berjalan mendahuluiku menuju konter dan aku berada satu langkah di belakangnya. Kami memesan minuman yang sama. Aku baru tahu jika dia juga seorang penikmat kopi.
"Aku aja yang bayar, Ra." El meraih tanganku yang ingin mengeluarkan uang dari dompet. Sedangkan sebelah tangannya yang lain mengeluarkan dompet dari kantong celananya.
Aku ingin menolak, tapi El bergerak cepat sekali menyerahkan uang pada Mbak kasir yang ada di seberang meja konter. Akhirnya hanya ucapan terima kasih yang kukatakan padanya. Kami berdua berjalan menuju satu-satunya meja kosong di pojok ruangan.
"Kamu doyan banget diikutin sama cowok, Ra," celetuk El memecah keheningan.
"Apanya yang doyan?" Aku menyahut tidak terima sambil meraih tisu di tengah meja.
"Lagian setiap ketemu kamu pasti ada yang ngikutin."
"Bukan keinginanku diikutin kayak gitu," keluhku.
Memang enak diekori oleh pria yang tidak disukai? Tidak sama sekali. Aku bahkan merasa risih. Bukan karena dikejar-kejar, melainkan risih karena aura permusuhan yang menguar dari pegawai-pegawai wanita di kantor. Tidak semuanya, tapi tetap saja. Itu agak menyulitkanku jika ingin berinteraksi dengan mereka. Rasanya seperti tidak diterima.
Selalu ada kemungkinan bahwa mereka sebenarnya mengincar pria yang mengaku suka padaku. Kalau tidak, kenapa mereka harus memusuhiku? Abel, rekan kerja satu divisi, satu-satunya yang menerimaku dengan baik sebagai wanita, mengatakan bahwa itu hanya sebuah kondisi dari kecemburuan sosial. Sebenarnya aku tidak mengerti maksudnya, tapi Abel selalu meyakinkanku bahwa aku tidak bersalah. Aku sudah menolak, tapi pria itu tetap datang padaku. Jadi, itu bukanlah kesalahanku.
"Tapi kamu masih sendiri padahal yang naksir banyak?" El mencibir, membuyarkan segala pikiran di kepalaku.
Aku hanya memandang El tanpa ekspresi. Berharap ia paham bahwa aku tidak suka ia berkata begitu. Namun, reaksi tak terduga kuterima dari El yang justru tersenyum jenaka. Di saat bersamaan, minuman yang kami pesan tiba. Seorang pelayan wanita meletakkan gelas minuman kami sambil mengucapkan namanya satu per satu ke atas meja. Memastikan bahwa yang diantarkan sesuai dengan apa yang mereka berdua pesan.
"Makasih, Mbak." El tersenyum.
Pelayan tersebut tersenyum malu-malu setelahnya. Namun hanya sebentar, karena saat ia mengalihkan pandangan kepadaku, senyumnya luntur seketika. Aku lupa tidak tersenyum padanya. Mungkin pelayan itu berpikir bahwa aku adalah kekasih yang posesif dan tidak suka ia tersenyum pada El. Aku jadi merasa jahat sekali.
"Jadi ...." Suara El mengalihkan atensiku. "Gimana tentang ajakanku kemarin?"
El rupanya bukan pria yang suka basa-basi. Entah memang ia seperti itu, atau karena El sudah terlalu lama menunggu jawabanku. Aku bahkan masih tidak tahu harus menjawab apa. Ini semua terlalu mendadak.
Untuk beberapa saat aku hanya menggumam, belum menjawab. Sambil sesekali menyesap latte yang masih hangat. Berharap rasa gugup itu ikut membaur dengan udara yang kuembuskan ke dalam gelas untuk mendinginkannya. Seandainya pertemuan kami hari ini tidak memiliki tujuan apa pun, tentu tidak sampai berefek pada jantungku yang berdegup kencang seperti sekarang.
Aku bukannya tidak sadar jika saat ini El tidak berhenti menatapku. Aku sampai menunduk untuk menghindari tatapannya. Agak menyesal juga mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Namun, jika dibandingkan dengan mimpi kilatku tadi siang, bukankah itu lebih buruk?
"Ra? Aku masih nungguin jawaban kamu loh. Harusnya kalau nggak siap, bilang aja. Aku nggak akan memaksa."
Aku terkejut mendengar suaranya sampai-sampai hampir menumpahkan isi gelas di tanganku.
"Santai, Ra. Kayak mau diaudit aja," gurau El diiringi dengan seulas senyum miring. Aku tidak sadar kapan ia meletakkan siku di atas meja dan bertopang dagu. Melihatnya mengingatkanku pada salah satu artikel di majalah fashion yang model prianya juga berpose seperti El sekarang. Namun, El justru lebih tampan.
Aku menghela napas berat. Hal ini harus segera diselesaikan. Hanya berteman, kan?
"Sebenarnya, maksud pertanyaan kamu waktu itu apa?" Tidak kusangka aku akan menanyakannya. "Itu ... kukira kita kan sudah berteman karena kita satu angkatan kuliah. Tapi, kenapa?"
El menaikkan sebelah alisnya. "Kukira kamu paham sama maksudku. Soalnya waktu aku nanya begitu, kamu malah tegang. Kaya mau kuajak nikah aja." Ia diam sebentar sebelum melanjutkan, "Emang tujuannya itu sih."
Kali ini aku benar-benar menegang. Di bawah meja, tanganku yang dingin saling tertaut. Aku takut. Sangat takut sampai-sampai aku ingin pulang sekarang. Namun El sepertinya paham dengan reaksiku dan bersuara lagi.
"Kamu takut ya?" Aku tidak menjawab, tapi tampaknya El mengerti itu. "Sebenarnya aku berharap kamu nggak nolak. Karena ini akan menguntungkan buat kita berdua."
"Menguntungkan?" Aku mengerutkan dahi. Suaraku yang tadi menghilang kini sudah kembali.
El melirik sekitar entah untuk apa. Namun dari gelagatnya, ia tampak tidak ingin orang-orang memperhatikan kami. Ia saja sampai meletakkan kedua sikunya di atas meja dan mencondongkan badan ke arahku. Meja di kafe ini cukup kecil, jadi jarakku dengan El sekarang bisa dikatakan sangat dekat. Aku saja sampai memundurkan badan.
"Hubunganku baru saja berakhir. Oke, aku udah cerita waktu di pernikahan Rosetta, kan?" El memberi jeda sebentar untuk membiarkanku mengangguk. "Dan aku belum ketemu penggantinya."
"Tunggu." Aku mengangkat tangan agar El tidak melanjutkan ucapannya. Ada sesuatu yang menggangguku dari ucapannya. "Itu artinya kamu masih sayang sama dia, kan?"
Aku menanyakan itu bukan ingin membuat El teringat lagi dengan mantan kekasihnya. Hanya saja, aku ingin memastikan agar seandainya aku menjawab iya, El akan benar-benar serius terhadapku. Bukan menjalani semuanya dengan bayang-bayang rasa yang belum hilang.
El bergeming. Tatapannya berubah sendu. Mungkin salah jika aku menanyakan itu tadi, tapi aku harus memastikan ia bukan menjadikanku sebagai pelampiasan dari lukanya saja. Namun dengan begini, aku bisa menyimpulkan sesuatu dan aku tidak perlu membuatnya bicara lagi. Aku mengartikan itu sebagai 'ya' dan sekarang tahu jawaban apa yang bagus untuknya.
"Nggak perlu dijawab kalau nggak mau," ujarku sembari memandang minumanku yang tersisa setengah.
"Ng ... nggak gitu, Ra. Aku beneran belum ketemu yang sesuai."
Aku mendongak untuk melihatnya menatap ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkannya sekarang, tapi ia tampaknya sangat lelah dan terluka.
Saat El berkata begitu, apakah itu berarti aku sesuai dengan kriterianya? Aku bahkan tidak tahu seperti apa kriteria yang diinginkan oleh seorang Rafael. Memandang dari mantan kekasih El di masa kuliah, aku bisa menyimpulkan bahwa penampilan fisik adalah poin yang penting untuknya. Aku? Memakai skincare saja harus pakai alarm. Mana mungkin aku mau memakai riasan meski hanya untuk bekerja. Sudah jelas aku sangat jauh dari standar tersebut.
"Oke, aku ngerti. Lalu, kenapa kamu bilang bahwa ini akan menguntungkan buat kita berdua?"
"Kamu cerita sama aku tentang ... ." El diam sebentar, tampak ragu ingin melanjutkan. "Sesuatu yang membuat kamu takut sama pernikahan. Kamu juga bilang hanya akan menikah dengan seorang teman. Itu sebabnya aku ingin menjadi teman yang baik. Aku agak menyesal karena dulu jarang bicara denganmu."
El masih mengingat ceritaku waktu itu rupanya. Lagi pula memang belum sampai seminggu aku menceritakannya. Tentu saja masih membekas di kepalanya. "Tapi aku nggak yakin kita akan jadi teman yang dekat."
"Ini masalah kamu, Ra." El memundurkan badannya hingga bersandar pada kursi. "Kamu nggak akan punya teman dekat kalau kamu nggak ngasih kesempatan ke mereka buat mengenal kamu lebih baik. Paham?"
"Aku takut. Mereka punya maksud lain," cicitku. Tidak kusangka aku bisa sejujur ini padanya. Ia sudah telanjur tahu tentang ketakutanku sih.
Aku memandang ke luar jendela saat ada banyak siswa yang berjalan di trotoar. Mereka bercanda satu sama lain. Baik itu laki-laki maupun perempuan, mereka tampak akrab. Itu membuatku agak iri.
"Padahal nggak semua orang berpikiran begitu, Ra. Gimana kamu tau kalau mereka hanya ingin berhubungan denganmu?" El mengernyit.
Aku menghela napas. Entah sudah berapa kali aku melakukan itu. Kemudian kembali menatap El. "Itu terlihat dari sikap mereka, dan ... nggak sedikit yang bilang langsung."
Mungkin aku lagi-lagi menyinggung El. Sebab ekspresi wajahnya kini berubah jadi ekspresi bersalah. "Apa itu sebabnya kamu merasa nggak enak sama aku sekarang?"
Ekspresinya berubah masam dan mengangguk ringan. "Keliatan banget ya?"
El tertawa kecil. Aku tidak tahu apa yang lucu. Namun, ia tampak terhibur sekali. Ia persis seperti wanita yang mood-nya suka berubah-ubah. Lama-lama jadi membuatku geli.
"Jadi gimana pendapat kamu?" tanya El. Kembali pada tujuan awal pertemuan mereka hari ini.
"Aku masih nggak ngerti sama alasan kamu ingin berteman denganku sampai mau nikah segala."
"Emm ... ." El bergumam. Setelah itu ia berpikir cukup lama. Sampai aku penasaran dan berharap dapat membaca pikirannya. Seperti seorang cenayang. Namun, itu mustahil karena aku akan menanggung rahasia seluruh orang-orang yang kutemui.
"Usiaku dua tujuh." Ia memulai. "Usulan itu terlintas di kepala sejak aku memikirkan apa yang akan kuterima saat aku pulang ke rumah. El, kapan nikah? Adek sama abangmu aja udah. Masa kamu belum?" El mencontohkan dengan sangat apik sampai aku tidak tahan untuk tidak tertawa. "Maka dari itu, aku harap kamu setuju sama kesepakatan ini. Bukan cuma buat aku aja, ini bisa membantumu juga."
"Kesepakatan? Kamu pikir pernikahan hanya sebuah kesepakatan yang terjalin di antara dua orang?" Aku memprotes.
Kecewa. Aku hanya tidak menyangka jika makna pernikahan bagi El ternyata sesempit itu. Kesepakatan ada untuk suatu saat diakhiri. Jika begitu, lantas aku menikah dengannya hanya untuk berpisah. Padahal itu sesuatu yang sangat kuhindari. El dalam sekejap membuatku membuang jauh-jauh keinginan untuk menikah. Semakin enggan. Sebab satu-satunya peluang terbesar untuk tidak terlibat perceraian adalah dengan tidak menikah.
El buru-buru menggeleng. "Bukan gitu, Ra. Kesepakatan yang aku maksud di sini adalah kita selakat berkomitmen. Kalau kamu setuju, maka komitmen kita adalah saling membersamai satu sama lain, dan berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain bahkan sampai kita menikah sekalipun. Kamu nggak mau ditinggalkan, kan?" Ia mencicit di pertanyaan terakhir.
"Apa mungkin kita nikah tanpa ada rasa untuk satu sama lain sedikit pun?" Aku sebenarnya merasa diskusi ini agak tidak masuk akal. Sebab apa-apa yang El katakan selalu menimbulkan pertanyaan di kepalaku. Lagi pula, dari sekian banyaknya wanita di kota ini, kenapa ia harus memilihku?
El pria yang keren. Mudah baginya untuk membuat wanita jatuh hati karena tampang dan sikap romantisnya. Namun, kenapa aku? Apa benar karena ia hanya ingin menolongku? Terlalu banyak keraguan di kepalaku sampai aku merasa pusing.
"Ra, waktu akan menjawab semuanya. Kita nggak tau apa yang akan terjadi di antara kita di masa mendatang. Apalagi ada Tuhan yang Maha Membolak-balikkan hati. Bisa aja aku jatuh cinta sama kamu bulan depan. Who knows?"
Ucapannya menenangkanku sedikit, tapi tetap tidak meredakan raaa takutku. Teringat lagi dengan ucapannya, padahal nggak semua orang berpikiran begitu, Ra. El benar. Aku hanya terlalu takut mencoba. Aku takut keluar dari zona nyamanku sendiri. Padahal hidup itu tidak akan memberi sensasi apa-apa jika aku tidak memberi kesempatan pada diriku sendiri, pada orang lain.
Aku terdiam cukup lama. Memandangi sisa kopi yang sudah dingin di gelasku. Maka, bisakah aku percaya pada pria di depanku ini? Bolehkah aku menaruh harap bahwa El tidak akan melukaiku? Aku tentu tidak akan tahu jawabannya jika aku tidak memberi kesempatan padanya untuk mencoba. Kapan lagi seorang pria akan meminta kesempatan seperti ini secara baik-baik padaku?
"Baiklah," ujarku akhirnya. Ia tersenyum padaku. Senyumnya indah karena terdapat lesung pipit di kedua pipinya.
"Thanks, Ra. Ini akan jadi komitmen kita berdua. Aku nggak bakal ninggalin kamu. Dengan catatan, kamu harus ngasih kesempatan biar aku bisa mengerti kamu."
Aku tersenyum tipis dan mengangguk sebagai respon.
El mengangkat tangan kanannya ke arahku."Kalau gitu kita sepakat?"
Agak ragu, aku menyambut uluran tangan itu tanpa mengatakan apa pun. El lantas berjengit. Tampaknya ia terkejut bersentuhan dengan telapak tanganku yang dingin sejak tadi.
"Aku beneran bikin kamu takut ya?"
Namun aku hanya meresponnya dengan senyuman. Seiring dengan harap yang terucap di dalam hati.
'Semoga ini akan jadi awal yang baik.'
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top