67 - Dilemma
Zara Naulia
"Nggak papa, kan, kalau kutinggal?" El bertanya lagi ketika sedang membantuku mengeluarkan stroller dari bagasi mobilnya. Aku menghela napas, sebab ada satu hal yang tidak kumengerti darinya.
Selama di perjalanan yang kami habiskan selama hampir setengah jam, El tampak sangat gusar, seperti ingin segera menemui teman yang dimaksudnya tadi. Sampai-sampai membuatku merasa bahwa pertanyaan yang ia lontarkan tadi hanya karena merasa tidak enak denganku. Sedangkan aku bukan orang yang suka menjawab satu pertanyaan yang sama secara berulang-ulang.
Ketika El menyerahkan stroller-nya padaku, barulah aku menjawab, "Kalau kubilang aku mau kamu tetap di sini, apa kamu bakal nurut?"
El hanya menatapku, tampak enggan untuk mengiyakan. "Kalau gitu jangan bertanya lagi," ujarku seraya mengambil alih stroller darinya. Aku tidak mengatakan apa-apa lagi dan bergegas meninggalkannya di sana. Kupikir seperti ini lebih baik, daripada terluka karena harus mendengar penolakannya.
Sebelum mengetuk pintu rumah Vita, aku berbalik sebentar untuk melihat El sekali lagi. Namun, yang kutemukan justru mobilnya yang melaju pergi. Situasi temannya mungkin memang sangat urgensi. Sudahlah, menjadi calon istri El bukan berarti aku berhak membatasinya untuk menemui orang lain.
Kudengar suara kenop pintu diputar sebelum aku ingin mengetuknya. Aku berbalik dan Vita sudah ada di hadapanku. Senyumnya mengembang seperti seseorang yang sudah mengharapkan kehadiranku. Ya, Vita memang sempat mendesakku untuk datang kemarin ketika kami mengobrol di telepon. Padahal tanpa diminta pun, aku memang ingin datang.
"Kenapa kamu sendirian? El mana?"
Itulah yang kukhawatirkan akan kuterima dari teman-temanku. Mereka tahu aku bersamanya, tetapi sekarang aku justru datang tanpanya. Bukan masalah yang besar bagiku, hanya tidak ingin kerepotan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan menerorku nanti.
"El mendadak sibuk, jadi dia pergi lagi setelah nganterin aku." Maaf, aku tidak bisa berkata jujur dulu, karena itu bisa merusak mood-nya. Bagian terburuknya, ia bisa melayangkan protes langsung pada El. Dan aku akan merasa bersalah karena sudah menceritakan masalah itu pada orang lain.
Bahkan, baru kujawab seperti itu saja, Vita sudah berdecak kesal. "Ah, anak itu masih nggak berubah, padahal udah mau nikah. Oh, iya, tanggal berapa, Ra?"
Dan itu akan jadi pertanyaan lain yang sangat kuhindari. "Rencana kami belum sampai sana, Vit."
"Hm. Aku nunggu kabar baiknya lho."
"Ya, doakan aja yang terbaik." Aku menepuk pundaknya dan menunjukkan stroller padanya, sekadar untuk mengalihkan pembicaraan. "Kuharap kamu belum beli. Soalnya aku cuma bisa ngasih ini."
Berhasil. Vita menatap stroller tersebut dan matanya berbinar. Aku tidak ingin berekspektasi tinggi, tetapi tampaknya ia menyukai itu.
"Baru semalem aku sama suamiku liat-liat stroller buat Rafael."
Karena namanya disebutkan, aku langsung bereaksi, "Hah?"
"Rafael Ananda Putra. Nama anak kami. Sengaja disamain," sahutnya kalem. "Udah ada rencana mau beliin, eh kamu kasih duluan. Makasih, lho, Ra."
Aku senang ketika aku tahu apa yang kuberikan adalah yang orang itu butuhkan. "Aku juga bawa ini, tapi maaf semuanya nggak kubungkus pakai kertas kado dulu." Dan kutunjukkan tas karton besar padanya. "Jadi, kapan kamu bolehin aku masuk?"
Vita terkekeh geli dan mengambil alih tas karton dari tanganku. Padahal aku belum benar-benar memberikan itu padanya. "Kuterima dengan senang hati walau ini bukan acaranya Rafael, Ra. Yuk, masuk."
Sungguh, perutku benar-benar bergejolak setiap mendengarnya menyebutkan nama Rafael. Kuharap nama panggilannya tidak sama dengan El.
Aku membuntuti Vita masuk ke rumahnya. Agak jauh sampai kami tiba di teras belakang. Di belakang rumah masuh lapang, kosong, belum diisi apa-apa. Hanya ada beberapa pohon yang tumbuh di beberapa titik. Rumahnya jauh lebih luas dari sebelumnya. Seseorang yang sudah berumah tangga ketika membangun atau membeli rumah, jelas akan memikirkan jauh ke depan, di mana mereka akan memiliki beberapa anak dan memerlukan lebih banyak kamar pula.
Tahu dari mana? Ya ... ketiga temanku pernah menceritakannya.
"Zara!" Dian adalah orang pertama yang menyadari kehadiranku. Ia duduk di atas karpet bersama putranya dan beberapa teman kuliah. Vita memang sengaja membagi sesi acaranya untuk para tamu. Dan bagian sore ke malam adalah untuk teman-temannya.
"Duh, lamanya nggak ketemu. El mana?" Ia celingukan untuk memperhatikan sekeliling. Dan ketika tidak menemukannya, ia kembali berkata, "Kamu sendirian ya?" Tanpa memberiku kesempatan untuk bicara.
"Dia sibuk, jadi bisanya nganter aja."
Reaksi Dian selanjutnya sama seperti Vita. "Ck. Dia gitu terus. Heran, tapi ada aja yang kepincut ya."
Aku tersenyum canggung pada satu fakta itu. Sering kutemukan beberapa wanita memelototi El ketika kami sedang berbelanja di mal. Aku bukan bilang bahwa El sangat tampan, tetapi ia sadar dirinya tampan dan tahu caranya bergaya agar ketampanannya jadi berkali-kali lipat. Jadi, aku tidak mau dianggap menyukainya karena bagaimana El terlihat dari luar.
"Ngomong-ngomong, kamu sendiri gimana, Ra? Apa udah jatuh hati sama Rafael juga?" Suara Dian sangat pelan, hingga hampir seperti bisikan.
"Menurutmu? Gimana aku bisa tahan sama dia selama berbulan-bulan?" Mengakui bahwa aku sudah tertarik pada El membuatku malu.
Dian menatapku takjub. "Keren. Kamu wanita pertama yang bertahan lebih dari empat bulan."
Aku tersenyum lagi dan menunduk. Tidak ada yang tahu jika sebenarnya aku adalah yang kedua mencapai prestasi itu.
Acara inti dari syukuran rumah Vita sebenarnya sudah berakhir tadi siang. Dan ia sengaja mengundang kami belakangan agar bisa mengobrol sekaligus reuni kecil-kecilan. Orang-orang di kelas kami memang cukup kompak. Bahkan, beberapa teman kami yang tinggal di luar kota pun bersedia datang demi bertemu dengan satu sama lain meski tak lengkap.
Aku jadi kepikiran El, apa yang ia lakukan saat ini dan dengan siapa?
***
Tadi El berpesan agar ketika pulang, aku menghubunginya. Namun, aku tidak ingin menghubunginya sebelum mendapat kabar darinya. Aku tidak ingin mengganggunya. Jadi, pulang tadi aku ikut bersama Dian dan suaminya. Mereka bilang akan pulang ke rumah orangtua Dian yang berada tak jauh dari rumahku.
Sekarang aku menonton TV. Tak ada acara TV yang seru malam ini, tetapi hanya itu yang bisa kulakukan sebelum memutuskan untuk tidur. Ponsel kutaruh di sebelahku di atas sofa, jika bergetar sedikit saja, aku cepat-cepat memeriksanya. Padahal akhirnya aku hanya akan mendesah kecewa karena itu bukan notifikasi darinya. Ya ... aku tidak berbohong kalau sedang menunggu kabar El.
Harusnya tidak masalah kalau aku yang lebih dulu menghubunginya. Sayangnya, aku tidak terbiasa melakukan itu dan tetap menunggu sampai rasa kantuk mulai menghampiri. Aku menatap jam dinding dan menemukan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Menggelikan sekali rasanya karena mengharapkan kabar dari seseorang yang belum sah menjadi suamiku.
"Zara, Zara, apa yang kamu harapkan dari seorang laki-laki?"
"Pria seperti El, apa kamu yakin memang yang terbaik buatmu?"
"Apakah orang yang membuatmu nyaman sudah pasti orang yang tepat?
"Kenapa baru sekarang memikirkannya?"
Aku diam cukup lama setelah melancarkan pertanyaan itu untuk diriku sendiri. Ada banyak aspek yang berubah dalam hidupku setelah aku bertemu dengan El lagi. Apa benar hanya nyaman yang menjadi modal untuk menikah? Cinta? Kupikir penerimaan dari masing-masing keluarga juga menjadi poin utama keberhasilan pernikahan ini.
Tante Rena. Senyumnya ketika bersama Daria terbayang di kepalaku. Aku tidak tahu sudah seberapa sering memikirkannya, tetapi pada akhirnya hanya selalu menimbulkan iri. Kadang, aku juga bertanya-tanya, apa yang sudah Daria lakukan hingga membuat Tante Rena sampai tidak bisa menggantikan posisinya sebagai calon menantu. Dan apa sebenarnya yang Tante Rena bicarakan dengan El waktu itu?
Sekarang aku justru mempertanyakan semuanya. Tidak hanya tentang Daria dan Tante Rena, tetapi dimulai dari kenapa aku bisa sampai menyetujui tawaran El untuk berkomitmen.
Semua itu buyar oleh dering ponselku. Ayah meneleponku semalam ini. Tumben sekali, kuharap bukan sesuatu yang buruk.
"Halo, Ayah?"
"Halo, Zara. Lagi apa, Nak?"
Aku menatap TV di depanku sebentar dan menjawab, "Menonton TV. Ada apa, Yah? Kok, tumben nelpon."
Selain karena sudah semalam ini, Ayah juga lebih jarang menelepon jika dibandingkan dengan Bunda.
"Ayah tadi abis teleponan lama sama papanya Rafael." Aku langsung tahu ke mana tujuan pembicaraan ini. "Kami sudah setuju untuk menikahkan kalian berdua dalam waktu dekat. Mungkin satu atau dua minggu lagi orangtua El datang ke rumah untuk melamar Zara secara resmi. Jadi, Zara nanti pulang ya."
Mana bisa begitu? Aku tahu, Ayah akan jadi wali di pernikahanku nanti. Namun, untuk memberi restu tak cukup hanya darinya.
"Halo, Zara? Masih di sana, Nak?"
"Masih, Yah. Ayah nggak bisa memutuskan gitu aja. Gimana sama Ibu?" Aku tidak terima jika kehadirannya dilupakan.
"Zara bisa beritahu Ibu, kapan orangtua El ke rumah Ayah nanti. Biar Zara ke sininya bareng Ibu."
Keputusan sepihak seperti ini, yang tanpa meminta pendapatku padahal aku terlibat di dalamnya, adalah sesuatu yang paling tidak kusuka. Aku sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. Ayah memang suka sekali memutuskan sesuatu tanpa pikir panjang. Mungkin itu juga yang terjadi ketika dulu memutuskan untuk berpisah dari Ibu.
Namun, sepertinya tidak, karena Ayah tidak tampak menyesali apa yang terjadi di masa lalu.
"Maaf, Yah. Zara nggak bisa. Zara harus bicara soal ini dulu ke Ibu. Dan ... aku belum siap cepat-cepat jadi istri orang."
"Begitu ya."
Ada nada kecewa di suaranya, tetapi maaf, Yah, aku benar-benar belum bisa menikah dengan El sebelum semuanya berjalan dengan baik. Termasuk menunggu sampai Tante Rena menerimaku dan merelakan Daria tidak menjadi menantunya.
"Ayah akan bilang ke papanya Rafael. Kalau kalian masih perlu waktu untuk diskusi. Kabari segera ya, Nak."
Aku mengiyakan dan lebih dulu mematikan sambungan telepon. Setelah itu aku mulai memikirkan untuk menelepon Ibu. Namun, bimbang karena ini sudah cukup malam untuk menghubunginya. Entah bagaimana reaksi Ibu kalau tahu putrinya ini sudah akan menikah. Apalagi aku belum memperkenalkan siapa pun padanya. Kedatangan El kemarin pun tidak disangka-sangka.
Jika belum yakin, untuk apa memaksakan? Aku tahu, Ayah akan senang, dan papanya Rafael juga. Oh, El juga akan senang karena dia yang dari awal ingin kami segera menikah. Membahagiakan orang lain bukan berarti kita harus mengorbankan milik kita. Dan aku bukan orang yang sebaik itu, yang akan memikirkan kebahagiaan orang lain lebih dulu sebelum aku.
Akhirnya, kuurungkan menghubungi Ibu sekarang. Mungkin besok, atau besoknya, setelah aku mempersiapkan apa yang akan aku katakan padanya. Setelah hati ini juga benar-benar yakin untuk menikah dengan El. Tekadku sudah sekuat itu, tetapi tidak bertahan lama setelah aku menerima pesan dari Ibu.
Ibu💚 - Zara, hari Minggu bisa jemput Ibu?
Hanya dengan itu, aku tahu sedang terjadi sesuatu yang tidak beres di sana.
***
Hai, maaf, aku update-nya lama lagi. Karena kondisi di sini lumayan mengganggu fokusku buat menulis.
Jadi, aku tinggal di ibu kotanya Kalsel, buat teman-teman yang punya sosial media, tahu, kan, apa yang sedang terjadi di sini? Hehe.
Selama beberapa malam mau tidur aja waswas, takut kalau airnya pasang masuk sampai rumah. Hari ini, alhamdulillah udah lumayan surut, sih. Cuma, masih ada di daerah lain yangbanjirnya tinggi. Mohon doanya ya, teman-teman, agar banjirnya di sini lekas surut.
Nggak cuma di Kalsel, kan, di daerah lain juga sedang banyak tertimpa musibah. Mulai dari banjir, gempa, longsor, sampai erupsi gunung berapi. Yuk, kita sama-sama mendoakan agar Indonesia kembali membaik dan teman-teman kita di sana selalu dilindungi Tuhan YME. Aamiin.
Last, selamat membaca dan see you on next chapter~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top