65 - The Feeling is Mutual
Rafael Lazuardi
Aku masih memeluk Zara, tanpa tahu sudah berapa lama dalam posisi ini. Kali ini ia tidak terisak dan kupikir air matanya juga sudah tidak mengalir lagi. Zara tidak membalas pelukanku, tetapi aku berusaha menyamankan posisinya, berharap dengan itu mampu membuatnya merasa tenang atas apa pun yang menyebabkan ia menangis.
"El." Suara Zara sangat lemah dan aku yang mendengarnya hanya bisa meringis iba.
"Iya, Ra, kenapa?"
"Aku capek berdiri terus."
Aku tersenyum geli pada kejujurannya. Zara memang tidak pernah terduga.
"Maaf, ayo kita duduk." Aku menuntunnya kembali ke ranjangnya. Lalu memosisikan bantalnya di kepala ranjang agar nyaman untuk Zara bersandar. Tiang infusnya pun kukembalikan di tempatnya semula.
Setelah memastikan Zara cukup nyaman, aku meraih tisu di atas meja untuk menghapus sisa-sisa jejak air mata di wajah Zara. Kali ini Zara tidak menolak, padahal biasanya ia akan mengambil alih tisu itu dari tanganku dan melakukannya sendiri. Ini tidak biasa, dan setiap detiknya aku semakin cemas.
"Kamu lapar, Ra?" tanyaku sembari menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga. Tanganku berhenti di pipi Zara dan mengusapnya lembut dengan ibu jari. Suhu tubuhnya sudah kembali normal kurasa, tidak sedingin semalam.
"Sedikit," balasnya.
"Tunggu, aku beli bubur buat kamu tadi. Kita bisa makan bersama."
Aku bergerak cepat menuju pantri kecil di sudut ruangan lalu mengeluarkan piring dan sendok dari sana. Satu porsi bubur dan satu porsi kwetiau kubawa ke ranjang Zara. Kuletakkan sementara keduanya ke atas nakas sebelum menarik meja lipat yang menyatu di salah satu sisi ranjang. Meja itu kubuka dan kukaitkan kakinya ke sisi lain ranjang, dengan begitu, Zara akan makan dengan mudah.
"Aku beli bubur buat kamu," ujarku sambil meletakkan sepiring bubur di atas meja ranjang.
"Aku mau punyamu."
Aku melirik sepiring kwetiau di tanganku. "Ini?" Dan Zara mengangguk. "Kamu, kan, lagi sakit. Bubur aja."
"Aku bukan sakit lambung, El. Ayolah."
Ini mengejutkan, Zara merengek untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Aku sampai tidak bisa bereaksi apa-apa lagi selain menganga dan menyodorkan kwetiauku padanya. Aneh, bukankah ini yang selalu kuharapkan darinya? Sekarang kenapa aku justru kebingungan?
Kuharap sakitnya Zara tidak mengubah aspek apa pun dari dirinya.
"Boleh nggak aku disuapi?"
Aku menggaruk leher yang tiba-tiba terasa gatal tanpa sedikit pun mengubah ekspresiku. Mataku masih tertuju padanya, tetapi dahiku kian berkerut.
"Boleh," sahutku kaku dan meraih garpu dengan tempo yang lambat, bak sebuah robot yang dikontrol seseorang dari jauh.
Ketika garpu yang sudah ada gulungan kwetiau itu kuarahkan ke mulut Zara, ia malah terkekeh geli yang terkesan dibuat-buat.
"Mukamu aneh banget," celetuknya.
"Kamu kenapa, Ra?"
Aku tidak tahu apa yang salah dari pertanyaanku, karena senyum Zara menguap begitu saja, menyisakan hampa di wajahnya. Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat. Mungkin intonasi bertanyaku agak kasar tadi.
"Ra, kamu baik?" Aku bertanya sekali lagi dengan lebih lembut, mengenyampingkan kemungkinan bahwa Zara sedang terluka karena tidak sengaja mendengar ucapan Mama.
"Risi, 'kan?"
"Apa?" Aku benar-benar dibuat semakin bingung dengan sikap Zara. Kuharap ini tidak berakhir buruk, karena menghadapinya seperti ini membuat jantungku berpacu di dalam sana.
"Aku ngerepotin banget ya, El. Maaf, maaf, maaf. Gara-gara aku, liburan keluargamu jadi berantakan. Aku—"
"Cukup, Ra." Aku meraih bahu Zara dan meremasnya lembut. "Jangan salahkan dirimu, please. Aku yang salah karena nggak mau dengerin kamu. Harusnya aku nggak maksa kamu. Aku emang egois, Ra. Jadi, maafkan aku." Tanganku merambat turun ke lengannya, turun terus dan berhenti di telapak tangannya.
"Kalau aku ngasih tahu kamu lebih dulu, ini nggak akan terjadi, 'kan?"
Aku mendadak bungkam untuk yang satu itu, secara tidak langsung membenarkannya meski aku tidak bermaksud demikian. Menyadari perubahan air mukanya, aku berpindah duduk di ranjang, di sebelahnya. Aku memeluk Zara dari samping dan mencium keningnya berkali-kali, dan kuharap itu bisa menenangkannya.
"Aku nggak akan memaksamu, Ra. Ceritakan saja kalau kamu pikir itu waktu yang tepat. Aku akan selalu menunggu kamu siap."
"Mamamu nggak akan suka itu," lirihnya, agak serak seperti sedang menahan tangis.
Benar. Zara mendengar obrolan kami tadi.
"Mama cuma perlu waktu. Daria memang memberi kesan yang cukup baik pada Mama. Jadi, kumohon jangan tertekan karena itu, Ra."
"Aku mendengar semuanya, El. Awalnya aku hanya ingin pergi ke kamar mandi," ujarnya dan melirik pintu kamar mandi yang posisinya dekat dengan pintu ruangan, "Tapi aku mendengar suara kalian. Mamamu pasti membenciku sekarang."
Aku lekas-lekas menarik diri agar bisa melihatnya. "Jangan ngomong gitu, Ra. Itu hanya bentuk khawatirnya Mama aja. Terkadang, ucapannya memang agak kasar."
Aku berdecak kecil dan kembali memeluk Zara, menarik kepalanya agar bersandar di bahuku. Aku mulai menyukai momen saat ini, bukan bagian sedihnya Zara, tetapi ketika aku memeluknya dan ia sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan diri. Rasanya ingin sekali kuhentikan waktu saat ini.
"Aku ingin percaya padamu." Kemudian ia menggumam. "Atau harus percaya padamu?"
"Harus, dong," gurauku karena kupikir perasaan Zara sudah membaik. "Karena aku mencintaimu. Sangat."
Zara melepaskan diri dan mendelik bingung kepadaku. "Apa ini saat yang tepat buat bilang itu?"
Kedua tanganku menangkup wajahnya yang mungil dan tersenyum lembut. "Hanya mengingatkan," ujarku dan terkekeh.
"Apa harus kubalas?"
"Ya. Aku juga suka diingatkan."
Zara tersenyum dulu sebelum berkata, "Aku juga, cinta sama kamu."
Aku berteriak kegirangan dalam hati walau Zara sangat kaku mengucapkannya. Sampai-sampai rasanya ingin sekali aku menciumnya. Dan itu hampir terjadi, aku sudah mendekatkan wajahku, tetapi ketika hidung kami sudah bersentuhan, pintu ruangan terbuka—
"Zara."
—dan itu adalah suara Om Zayed. Aku lekas-lekas menarik diri dan duduk dengan canggung di sebelah Zara selama sepersekian detik. Kemudian turun pelan-pelan dari ranjang dan berusaha bersikap normal.
Om Zayed tak tampak curiga pada gelagatku maupun Zara. Ekspresinya hanya dipenuhi dengan kekhawatiran dan hanya ditujukan pada Zara. Aku bisa melihat betapa beliau sangat takut terjadi sesuatu yang buruk pada putri sulungnya.
"Zara kondisinya gimana, Nak?" Om Zayed sudah di samping Zara dan mengusap puncak kepalanya berkali-kali.
"Udah mendingan, Yah."
"Syukurlah. Udah makan, Nak? Mau disuapi?" tawar Om Zayed setelah menemukan sepiring kwetiau di hadapan Zara.
Zara menggeleng lemah. "Zara bisa makan sendiri. Lagian ini udah enakan, Yah."
Om Zayed menghela napas lega dan membanting tubuhnya ke sofa yang kupakai tidur semalam. Melihat gurat-gurat lelah di wajahnya membuatku merasa sangat bersalah karena telah mencelakai putrinya.
"Ibumu tahu?"
Zara melirikku, memberi isyarat dengan gerakan mata agar aku yang menjawab pertanyaan Om Zayed.
"Maaf, Om. Kami nggak mengabari ibunya Zara."
Ketika aku bicara, Om Zayed melihatku dan tampak kaget. "Rafael? Om nggak sadar kamu ada di sini."
Rupanya Om Zayed panik bukan main sampai tidak menyadari aku ada di sini. Padahal kukira beliau sudah melihatku ketika masuk ke sini.
"Bagus saja kalau ibumu nggak tahu, Nak. Dia bisa panik bukan main, kayak dulu."
"Kayak dulu?" Aku mengulangi kata-kata Om Zayed, tetapi dengan nada interogatif. "Maaf, Om. Tapi Zara jadi seperti ini karena saya. Semalam saya ajak menembus hujan-hujanan."
"Itu adalah ketika Zara didiagnosis menderita hipotermia. Dan bukan sesuatu yang bagus untuk diingat. Sekarang Om tanya, apa Zara udah ngasih tau Rafael kalau dia hipotermia?"
"Zara belum ngasih tau El, Yah."
"Kalau gitu Nak Rafael nggak perlu minta maaf. Kalau terjadi sesuatu, semuanya salah Zara."
Kupikir Om Zayed ingin memarahi Zara, jadi aku lekas-lekas menyela, "Tapi, Zara berusaha memberitahuku, Om. Tapi saya—"
"Nggak masalah, Nak. Yang penting Zara baik-baik aja. Terima kasih karena sudah menjaganya ya." Perasaanku menghangat ketika Om Zayed meletakkan tangannya di bahuku.
Pintu ruang inap Zara terbuka, dan kali ini Papa yang datang sendirian. Aku tidak tahu ke mana perginya Mama. Namun, aku enggan bertanya karena Papa sudah mengobrol dengan Om Zayed, seperti dua orang yang pernah bertemu sebelumnya.
Diam-diam, aku mendekati Zara lagi, tepat ketika dua pria berumur itu beranjak menuju sofa di salah satu sisi ruangan.
"Aku bisa membawamu kabur dari sini, Ra," bisikku.
"Aku memikirkan hal yang sama," sahutnya. "Aku bosan di sini."
"Tapi kamu harus istirahat."
Zara menghela napas. "Iya, aku tahu."
"Kamu belum makan, ayo aku suapi." Aku meraih piring kwetiau yang belum tersentuh tadi dan mulai mengangkat garpunya mendekati mulut Zara.
Alih-alih membuka mulut, Zara justru berusaha mengambil alih garpu tersebut, dan aku cepat-cepat menjauhkannya dari jangkauan Zara.
"Aku bisa sendiri, El."
"Please, Ra. Biarin aku yang nyuapin kamu hari ini." Kemudian aku memajukan wajahku ke arahnya. "Mumpung ada ayahmu di sini."
Zara tersenyum geli. "Dasar caper. Kalau nggak ada Ayah?"
"Aku akan tetap memaksa."
Aku kembali menyodorkan garpu ke mulutnya. Zara menggeleng pada awalnya, tetapi kemudian membuka mulut dan tidak lagi menolak sampai kwetiau di piring tersebut hampir habis.
***
Sejak bertemu di rumah sakit, Daria tampak menjaga jarak dari kami. Aku bukan bermaksud ingin mengobrol lagi dengannya, tetapi agak aneh saja ia mendadak bersikap demikian. Bagus, sih, jadi aku tidak perlu lagi meladeninya yang masih berusaha untuk menarik perhatianku lagi.
Pagi ini kami packing untuk kembali pulang. Setengah jam lagi kami berangkat ke bandara dan pesawat yang akan kami tumpangi nanti lepas landas dua jam kemudian. Aku sudah menyelesaikan milikku dan sekarang aku berada di kamar tamu tempat Zara tidur. Kami hanya berdua, Zara bilang Daria sudah menyelesaikan miliknya sejak tadi dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Itu artinya, kami punya momen berdua saja.
"El, kopermu masih ada ruang kosong, nggak?"
"Koperku bahkan lebih kecil dari punyamu, Ra. Kenapa?"
Zara tidak langsung menjawab, bola matanya bergulir pada setumpuk jaketku yang sudah dilipat rapi di atas kasur.
"Aku nggak bisa bawa jaketmu."
"Mau diapain?" Aku ingat Zara belum memakai jaket-jaket tersebut.
"Mau kubawa."
"Terus?"
"Nggak tahu. Mungkin dicuci dulu? Kan, bekas kupinjam."
Aku tersenyum dan melingkarkan tanganku di lehernya. Hingga kami berjarak tak sampai satu meter sekarang. "Tinggal aja di sini, itu jaket lama, Ra. Udah nggak kupake lagi."
"Padahal masih bagus-bagus, lho."
"Paling nanti dipakai Felix. Itu pun kalau emang selera dia."
Zara menatap jaket-jaket itu dan mengangguk. Kemudian beralih membalas tatapanku. "Kalau gitu aku udah selesai."
Aku tiba-tiba memikirkan ini; tentang ketakutannya. Kami hanya berdua, di kamar, dan Zara sama sekali tidak bereaksi seperti kali pertama kami bertemu kembali. Karena masih ada waktu sebelum berangkat, aku jadi ingin menggodanya.
"Kamu menyadari sesuatu, nggak?" Aku menahan senyum agar tidak tampak sedang bermain-main.
Dan aku berhasil membuatnya mengernyit kebingungan. "Apa?"
"Kita di kamar, cuma berdua, kamu nggak takut?" Sebelah tanganku beralih menangkup wajahnya. "Aku selalu kepikiran, apa ketakutanmu lenyap waktu sama aku aja, atau sama orang lain juga? Karena ... kalau kamu juga nggak takut sama pria lain, aku pasti akan cemburu."
"Aku lupa soal itu kalau lagi sama kamu. Mungkin karena terbiasa? Atau karena perasaan ini?" Zara meletakkan tangannya ke dada kiri, posisi jantung.
Sekarang aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Kalau bisa, aku memekik kegirangan sekarang. "Aku beneran nggak sabar mau nikah sama kamu, Ra. Ayahmu sama Papa mengobrol banyak dua hari lalu. Kupikir mereka sedang merencanakan pernikahan kita."
Om Zayed memang ikut bersama kami ke vila ketika Zara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Beliau ingin memastikan Zara baik-baik saja dan menginap satu malam dengan kami. Dan pulang ketika kami juga memutuskan mengakhiri liburan.
"Terkadang Ayah bisa jadi terlalu cepat dalam memutuskan. Aku takut."
Aku menggeleng. "Apa lagi yang kamu takutkan? Lebih cepat lebih baik, Ra."
Zara mengangkat bahunya saja, embusan napasnya terasa berat, hingga aku menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya. Dan aku ragu ingin menanyakan hal itu padanya. Sebab, aku tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman jika kupaksa bercerita.
Akhirnya, aku hanya menarik Zara dalam pelukan dan mendekapnya erat, sangat erat sampai aku takut melepaskannya.
"Kamu bisa cerita kalau ada sesuatu yang mengganggumu. Aku nggak akan merasa direpotkan, Ra. Dan aku bakal ngelakuin hal yang sama."
Zara hanya mengangguk. Aku menarik diri, lalu menyelipkan rambutnya yang mulai memanjang ke belakang telinga. Aku mencium dahinya, kedua mata, hidung, dan kedua pipi. Terakhir, aku menatap bibirnya yang berkilau karena lip gloss, kurasa, dan aku mulai ragu.
"Bolehkah?" Aku meminta izin dan Zara justru kebingungan menatapku.
Namun, setelah memikirkannya lagi, aku tidak jadi meneruskan niatku. Agaknya masih belum pantas karena hubungan kami belum sejauh itu walau sudah berencana menikah. Sayangnya, aku kesulitan menahan diri di hadapan Zara. Hanya padanya dan aku tidak pernah merasa seperti ini pada Daria dulu. Aku melepas Zara dan menggandeng sebelah tangannya.
"Ayo, berangkat." Sebelah tanganku yang lain meraih gagang koper Zara dan kami bersama-sama keluar dari kamar. Sementara koperku sudah di mobil bersama Felix yang akan mengantarkan kami.
"Rafael," panggil Mama ketika kami baru tiba di ruang tamu.
"Iya, Ma?"
"Bisa bicara sebentar?"
Aku dan Zara saling lirik sebentar. "Bisa, Ma. Katakan aja."
Mama menggeleng. "Kita berdua aja. Ini soal ... Daria."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top