64 - Hospitalized
Rafael Lazuardi
Menunggu di rumah sakit tidak pernah semenegangkan ini sebelumnya. Terakhir kali aku merasakan hal seperti ini adalah ketika aku menunggui kakek dan nenekku ketika sakit. Panik menyelimutiku hingga tak sanggup beranjak pergi. Kupikir mereka akan segera bangun dan aku harus jadi orang pertama yang mereka lihat. Dan ya ... situasi itu terjadi lagi sekarang. Namun, kuharap dengan akhir yang berbeda. Jika sesuatu terjadi pada Zara, maka aku akan berakhir menghabiskan sisa waktuku dalam penyesalan.
Setelah Zara pingsan, aku langsung berlari ke rumah dan meminjam kunci mobil milik Papa. Rumah sakit adalah satu-satunya tempat yang terlintas di kepalaku. Karena terburu-buru, aku sampai tidak memberitahu alasannya. Namun, untungnya Papa mengerti ketika aku hanya menyebutkan nama Zara. Aku tidak mengganti pakaianku, masih pakaian yang kupakai hujan-hujanan tadi dan hanya melapisinya dengan jaket. Risiko masuk angin atau kedinginan tak lagi kuhiraukan. Yang terpenting adalah Zara.
Seharusnya aku menurut saja ketika Zara tidak mau ke gazebo. Seharusnya aku langsung masuk saja ketika Zara menghampiriku. Seharusnya aku tidak perlu keluar dan bermain basket di tengah hujan. Seharusnya juga aku tidak perlu meladeni omongan Felix tadi. Terlalu banyak seharusnya yang berkeliaran di kepalaku sampai aku tidak sadar seorang dokter yang menangani Zara sudah keluar dari ruang UGD dan berdiri di depanku. Aku tahu itu dari name tag dan nurse cap yang masih terpasang di kepalanya.
Aku lekas-lekas berdiri dan mendekati dokter tersebut. "Gimana, Dok?" Jelas terlihat kalau aku mendesak pria berambut klimis itu agar segera menjawab. Padahal aku yakin dokter itu ingin mengajakku ke ruangannya terlebih dahulu agar lebih nyaman menjabarkan. Namun, aku tidak bisa menunggu lagi.
"Anda sudah melakukan yang terbaik. Istri Anda baik-baik saja sekarang." Aku tersenyum kecil ketika dokter itu menyebut bahwa Zara adalah istriku. "Bagus karena Anda segera membawanya ke rumah sakit. Hanya perlu waktu untuk memulihkan suhu tubuhnya. Kami memberikan cairan infus yang sudah dihangatkan sebelumnya. Tim kami sedang memindahkan pasien ke ruang rawat. Dan Anda sudah boleh menemuinya asal jangan sampai membuat istirahatnya terganggu."
"Apa yang akan terjadi kalau saya terlambat membawanya, Dok?"
Dokter itu tampak mempertimbangkan untuk menjawab pertanyaanku. Yang mana meyakinkanku bahwa sesuatu memang tidak beres pada Zara.
"Ada bermacam-macam dampak yang tidak diinginkan akan terjadi. Dan dapat merusak sistem saraf dan jaringan tubuh. Sebab istri Anda itu menderita hipotermia."
Aku lemas seketika. Sekarang terjawab sudah kenapa Zara selalu mengenakan pakaian tebal dan selalu membawa jaket ke mana pun ia pergi.
"Tampaknya Anda baru mengetahui soal ini?" Dokter itu bersuara lagi.
Aku menatapnya dan tersenyum kaku. "Dia tidak suka terlalu dikhawatirkan. Jadi, dia belum pernah bercerita apa-apa pada kami." Jawaban yang dibuat-buat tentunya, meski sebagian adalah apa yang kusimpulkan dari sifat Zara selama aku mengenalnya.
Dokter itu mengangguk. "Setidaknya sekarang Anda sudah tahu dan akan lebih waspada lagi ke depannya. Jika ada perlu lagi, Anda bisa hubungi perawat kami."
"Baik, terima kasih banyak, Dokter."
Dokter itu tersenyum sekali lagi sebelum berjalan meninggalkanku. Karena tidak ada lagi yang kunantikan di sini, aku menuju resepsionis untuk mengurus biaya admin dan menanyakan di ruangan mana Zara dirawat. Sampai kemudian aku berakhir di ruangan Zara.
Aku menutup pintu di belakangku dan berjalan menghampirinya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan darinya. Zara berbaring tak berdaya di atas kasur, selang infus di tangan kiri dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Menyakitkan mendapatinya selemah itu. Namun, di satu sisi aku juga kesal karena ia tidak menceritakan apa-apa padaku tentang kondisinya. Dan itu bukan berarti aku berhak marah-marah padanya. Sebab, wanita seperti Zara, pasti punya alasan kenapa ia sampai menyembunyikan hal itu dariku.
Sebuah sofa single kudorong sampai dekat dengan ranjang Zara, di sebelah kirinya. Aku duduk di sana dan meraih tangan kirinya untuk dikecup berkali-kali. Tangannya masih terasa dingin walau sudah tidak sedingin tadi. Tak ada lagi yang kulakukan selain memandangi wajahnya yang tenang dan pucat. Begitu terus sampai akhirnya aku terlelap dalam posisi duduk.
***
"Rafael, bangun, Nak."
Aku membuka mataku perlahan ketika bahuku ditepuk. Rupanya Papa datang menyusulku. Namun, itu ketika aku belum menyadari bahwa di ruangan ini juga ada Felix dan Mama.
"Papa semalam telpon ayahnya Zara, hari ini mau nyusul ke sini," ujar Papa sebelum nyawaku benar-benar terkumpul semuanya. Bahkan masih meregangkan tanganku.
"Kondisi Kak Zara gimana, Bang? Dia sakit apa?" Aku mengalihkan pandanganku pada Felix yang duduk di sofa bersama Mama. Namun, aku tidak merespons apa-apa dan kembali menatap Papa.
"Tunggu, tadi Papa bilang apa?" Sebenarnya aku mendengar dengan jelas apa yang Papa katakan tadi, tetapi karena belum benar-benar fokus, aku ragu, bisa saja hanya salah dengar.
"Ayahnya Zara take off ke sini jam enam pagi tadi. Mungkin agak siang baru sampai rumah sakit."
"Papa ngasih tau Om Zayed?"
"Dia, kan, orangtuanya Zara, berhak tahu, dong, Nak."
Aku membeliak kaget. Jantungku mendadak maraton di dalam sana. Bagaimana tidak? Om Zayed tahu aku ingin menikahinya, aku sudah meminta restu padanya, otomatis aku menganggap diriku bertanggung jawab atas Zara. Dan Om Zayed sudah sangat lama tidak tinggal bersama Zara. Aku bahkan ragu beliau mengetahui tentang kondisi putri sulungnya.
Namun, jika Om Zayed tahu kondisi Zara, mungkin beliau akan kecewa karena aku gagal menjaga putrinya. Memikirkan itu, bahuku lantas jatuh. Lagi-lagi rasa bersalah menyelimutiku. Kendati kelihatannya Om Zayed tidak tampak seperti orang pemarah, tetapi hal itu bisa berubah 180 derajat jika berkaitan dengan sang buah hati.
Aku bisa saja beralasan kalau Zara tidak memberitahuku apa-apa terkait kondisinya, tetapi kupikir aku tidak pantas membela diri. Aku sudah gagal, dan aku harus menghadapi konsekuensinya.
Lamunanku buyar ketika Papa menjatuhkan sebelah tangannya di pundakku. Aku memberinya tatapan bingung dan ia hanya tersenyum.
"Kami gantikan kamu di sini, El bisa balik ke vila sebentar dan ganti pakaian. Lihat, penampilanmu kacau begitu, malu ketemu sama ayahnya Zara."
Teguran Papa membuatku menunduk untuk melihat penampilanku sendiri, dan baru menyadari bahwa aku masih mengenakan pakaian semalam. Kalau wajah, sudah pasti sangat kacau sekarang. Jadi, tanpa banyak beralasan, aku menerima tawaran Papa.
Aku melirik Zara sekali lagi sebelum beranjak keluar ruangan. Tanpa kusangka, Daria ternyata juga datang ke sini. Ia duduk di kursi panjang berbahan besi sebelum berdiri dan berjalan menghampiriku.
"Zara sakit apa, El?" tanyanya penuh perhatian. Ia juga meletakkan sebelah tangan di bahuku, dan bodohnya aku tidak menghindar. Aku bukan menerima sentuhannya, tetapi enggan berdebat dengannya.
"Hipotermianya kambuh."
Daria menganga, memberi reaksi bahwa ia benar-benar peduli pada kondisi Zara. Namun, itu justru tidak berarti apa-apa padaku.
"Kasihannya ... sekarang kondisinya gimana? Udah enakan, 'kan?"
Aku memejamkan mata seraya berusaha menahan diri untuk tidak terkesan dengan rasa simpatinya.
"Ya. Kalau mau tahu, kenapa nggak masuk?"
"Kupikir sudah kebanyakan orang di dalam, takutnya malah mengganggu Zara istirahat."
Aku mengangguk ringan, hanya sebatas formalitas untuk merespons ucapannya. Lalu, karena tidak ingin meninggalkan Zara terlalu lama, aku segera pergi. Setelah disadarkan tentang pakaian yang tidak kuganti dari semalam, aku jadi merasa risi.
"El, tunggu."
Aku terpaksa berhenti melangkah karena Daria menarik kain lengan jaketku. "Apa lagi?" tanyaku tanpa menyembunyikan bahwa aku merasa terganggu.
"Ke mana? Mau kutemani? Mungkin kamu perlu teman mengobrol?"
"Serius kamu nawarin diri begitu? Kamu itu mantanku, Dar. Mantan." Aku mengembuskan napas kesal tanpa mengalihkan pandangan dari wajahnya. "Dan kamu tahu sendiri kalau aku sudah bersama orang lain. Maumu apa? Please, kamu boleh deket sama keluargaku, tapi jangan ganggu aku lagi."
"Sebegitu pengennya ya kamu membuang aku?"
Apa yang diucapkannya menyulut emosiku. Tiba-tiba, aku jadi sensitif dengan kata 'membuang'. Mungkin Daria perlu diingatkan tentang bagaimana ia mengakhiri hubungan kami dulu.
"Aku nggak mau berdebat, Dar. Jadi, permisi." Ada akhirnya hanya itu yang kuucapkan sebelum menarik paksa diriku dan segera pergi. Daripada mengingat lagi bagian paling tidak menyenangkan tentang hubungan kami dulu, memikirkan kondisi Zara lebih penting.
***
Aku kembali ke rumah sakit setelah setengah jam. Di jalan, aku sempat mampir untuk membeli makan untukku dan Zara. Kendati belum pernah dirawat di rumah sakit, tetapi aku tahu bahwa makanannya tidak terlalu enak, dan aku juga membelikan satu porsi untuk Zara. Setidaknya, itu bisa mengembalikan nafsu makannya andai makanan dari rumah sakit memang seburuk itu.
Sesampainya di rumah sakit, dari ujung lorong aku menemukan orangtuaku duduk di bangku panjang depan ruangan Zara, hanya berdua dan tanpa Daria. Mereka duduk di sana sambil memainkan ponsel. Kupikir sesuatu terjadi dengan Zara, jadi aku mempercepat langkahku menghampiri mereka.
"Ma, Pa, kenapa di luar?" tanyaku tanpa bisa mengontrol panik.
"Tadi ada perawat yang datang buat meriksa Zara. Jadi kami ke luar. Sekarang udah pergi, tapi kami masih ingin di sini." Papa menjawab.
Aku menghela napas lega dan berjalan ke pintu. Ketika tanganku mencapai gagangnya, Mama memanggil.
"Harusnya kamu kasih tahu kami kalau Zara hipotermia. Jadi, kita nggak usah pergi ke puncak." Mama kesal karena liburan kali ini tidak benar-benar berjalan lancar, kurasa. Terlebih lagi ini agenda rutin keluarga.
"Nggak enak sama kakak-kakakmu, mereka jadi cepat-cepat mau pulang," sambung Mama.
Aku bergeming di tempatku. Genggaman tanganku pada kresek dan gagang pintu semakin kuat.
"Ma, yang namanya musibah mana bisa ditebak? Kita masih bisa liburan lagi lain kali." Papa berusaha menenangkan Mama seraya mengusap sebelah pundaknya.
Mama mendengkus dan membuang muka, menghindar menatapku. "Kalau sudah tau menderita hipotermia, seharusnya kalian nggak main hujan-hujanan kemarin."
"Udahlah, Ma. Mama bahas ini lagi nggak ngembalikan apa-apa. Lagian aku yang salah, Ma. Aku yang bandel main hujan-hujanan. Zara cuma berusaha memintaku masuk, tapi aku malah memaksanya ikut aku." Biar bagaimanapun, Zara tidak bersalah di sini.
"Kalau tahu dia hipotermia kenapa malah kamu ajak hujan-hujanan?"
Aku langsung bungkam pada pertanyaan yang satu itu. Ada jeda cukup lama bagiku untuk memikirkan akan menjawab apa. Jika kujawab bahwa Zara tidak memberitahuku, Mama pasti akan kembali menyalahkan kami. Bermain-main? Mama pasti akan lebih marah lagi. Di saat seperti ini aku justru lebih takut dimarahi Mama daripada dosa berbohong.
"Ma--"
"Kamu nggak tahu, 'kan?"
Sekarang aku harus mengelak seperti apa lagi? Mama hanya menebak, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Insting seorang ibu memang luar biasa.
"Mama tahu kamu, El, kalau kamu tahu itu sangat berisiko, kamu sudah pasti sangat menghindari hal itu bisa terjadi." Mama lalu bersandar pada sandaran kursi di belakangnya. "Dan kalian sudah mau nikah padahal belum benar-benar saling mengenal?"
"Ma, kenapa kita harus bicara soal ini, sih?" Aku protes, sebisa mungkin menahan diri agar tidak meledak di sini. Sudah bisa kubaca ke mana arah pembahasan ini.
"Mama masih belum benar-benar bisa melepas Daria, El. Kurang apa, sih, dia?"
Aku menunduk untuk menyembunyikan senyum pahit. Salahku sendiri yang tidak membiarkan Mama tahu yang sebenarnya. Kupikir, inilah saatnya. Namun, aku enggan berada di sini lebih lama. Aku perlu Zara, dan ingin menjadi orang pertama yang dilihatnya setelah membuka mata.
"Aku nggak tahu apa Mama bakal percaya, tapi kupikir Papa akan menjelaskan lebih baik daripada aku."
"Menjelaskan apa?"
Namun, alih-alih menjawab pertanyaan Mama, aku hanya memberi isyarat pada Papa sebelum beranjak masuk ke ruangan Zara dengan masih membawa makanan yang sudah dingin.
"Zara?"
Aku baru menutup pintu dan menemukan Zara sudah berdiri di samping pintu dengan tiang infus di genggamnya erat. Bagian paling mengejutkannya yaitu wajah Zara sudah basah oleh air mata meski ekspresinya sangat datar.
Aku lantas panik. Apakah Zara kesakitan, atau ia mendengar apa yang kami bicarakan di luar tadi? Tanpa pikir panjang, aku segera mendekat untuk merengkuhnya. Tak ada kata yang keluar dariku atau darinya. Hanya diam, dan aku menikmati bajuku yang mulai basah karena air mata Zara meski ia tidak terisak.
Sekarang aku merasa sangat bersalah. Aku membuatnya menangis lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top