60 - Little Friend

Zara Naulia

Ketika orang-orang berkumpul dalam satu meja ketika makan, biasanya akan selalu ada obrolan ringan. Entah itu membicarakan tentang hari kemarin, atau berbagai related topic lainnya. Namun, itu tidak terjadi di sini. Sejak makan malam kemarin, orang-orang akan fokus dengan santapan mereka masing-masing dan berbicara setelah isi piring habis. Andai ada yang bicara pun, hanya sebatas meminta tolong untuk diambilkan sesuatu yang posisinya agak jauh dari jangkauan di atas meja.

Oh, dan pengecualian untuk satu balita yang tidak pernah diam ketika makan. Sampai-sampai ibunya; Kak Tiara, kerepotan karena harus menenangkannya sambil menghabiskan sarapan. Si kecil tidak berhenti mengoceh. Entah apa yang balita itu inginkan, apa sudah kekenyangan, atau berontak ingin turun dari kursi makan khususnya.

Aku yang sudah menyelesaikan makan lantas meminta izin untuk membawanya bersamaku, sambil berharap bisa menenangkannya. Daripada mereka harus terganggu terus dengan suara rengekannya, jadi aku berinisiatif untuk memberinya makan di tempat lain.

Halaman belakang rumah orangtua El adalah tujuanku. Aku duduk di dekat kolam ikam sambil memangku Devan-nama putra kedua Kak Tiara-yang saat ini tengah memainkan tali kerah bajuku. Makanannya sudah habis, susunya juga. Aku tak bisa berhenti tersenyum karena melihatnya setenang ini.

"Huh? Kan, kan." Devan tiba-tiba berceletuk ketika terdengar suara riak air dari kolam. Ketika kuperhatikan dengan saksama, ternyata ada beberapa ikan yang sedang melompat-lompat di tengah kolam.

"Ikan?" tanyaku sekadar untuk memastikan bahwa benar itu yang ia katakan. Usianya baru setahun, itulah kenapa ia belum bisa bicara dengan jelas.

"Kan," ujarnya lagi sambil menunjuk kolam.

Aku menunduk sekadar untuk melihat wajah lucunya. Mata Devan menyipit ketika kedua sudut bibir kecilnya naik. Di tengah kolam, ikan masih berlompatan ke udara, hingga membuat riaknya semakin banyak. Setelahnya aku berdiri, menggendongnya dan berjalan lebih dekat ke kolam, hanya agar kami dapat melihat ikan-ikan itu lebih jelas.

"Kamu sangat baik dalam mengurus anak-anak."

Aku berbalik dan menemukan Kak Tiara tersenyum hangat padaku. Saat itu matanya tertuju pada piring kosong di bangku yang kududuki tadi.

"Kupikir Devan hanya perlu udara segar, Kak," sahutku.

Kak Tiara tersenyum, dan aku menyadari ia sangat mirip dengan El. "Devan memang suka diajak main ke taman. Mungkin suatu saat dia bakal jadi anak pecinta alam?"

Aku hanya tertawa kecil sebagai respons, karena selanjutnya aku memeluk Devan erat. Sungguh, Devan sangat menggemaskan dengan pipi chubby-nya, sampai-sampai aku tidak rela mengembalikannya pada Kak Tiara.

Kamu bisa bermain lagi sama Devan di mobil, Ra, sekarang kita harus segera pergi. El nggak lupa ngasih tahu kamu kalau kita belanja bareng, 'kan?"

"Tadi dia ngasih tau, kok, Kak."

"Yuk, kita berangkat."

Alih-alih mengambil alih Devan dariku, Kak Tiara justru mengambil piring dan dot kotor bekas makan Devan dan masuk ke rumah lebih dulu.

***

Kami tiba di sebuah mal besar di kota sebelah setelah menempuh perjalanan selama setengah jam. El bilang kalau mal di kota tinggal orangtuanya tidak terlalu besar dan tidak terdapat banyak pilihan untuk dijadikan hadiah pernikahan. Saat ini aku dan El berkeliling di lantai yang khusus menjual furnitur-karena setibanya di mal, kami langsung berpisah dengan Kak Tiara, yang mana membuatku agak tidak rela karena harus melepas Devan.

Menurut, El, furnitur di rumah orangtuanya sudah sangat tua meski tampak kokoh. Ia mengatakan itu tanpa tahu diri bahwa di rumahnya juga dipenuhi dengan furnitur lama.

"Menurutmu, kita harus membeli apa?" tanyanya. Tanganku masih digenggamnya sejak tadi, seperti pasangan remaja masa kini ketika pulang bersama dari sekolah mereka. Aku sudah berkali-kali memintanya untuk melepaskan tanganku, tetapi El mengabaikan permintaanku.

"Aku nggak tau, El. Kan, kamu yang lebih mengenal mereka."

El menggaruk pelipisnya dengan telunjuk. "Mungkin kasur baru?"

"Apa abis bangun tidur mereka keliatan kacau?"

"Aku udah nggak pernah melihat mereka dalam kondisi itu. Kenapa?"

"Kamu mengusulkan kasur, jadi aku bertanya, apa kasur mereka saat ini sudah nggak nyaman dipakai?"

"Aku nggak tahu."

Gara-gara jawaban El itu, aku jadi mulai berpikir. Padahal aku sudah memikirkan sesuatu untuk kuberikan padanya, tetapi malah jadi melupakannya. "Rak buku baru?"

"Rak buku?" Kami berhenti sebentar di depan section furnitur untuk kamar tidur.

"Semalam papamu cerita kalau dia suka ngoleksi buku. Beberapa di antaranya tulisan mamamu. Aku baru aja kepikiran ini, mungkin kita bisa membeli rak yang bagus dengan beberapa dekorasi untuk dipakai menyimpan buku-buku mamamu?"

El mengerutkan dahinya sebentar sebelum berkata, "Itu akan sangat romantis. Aku setuju, ayo ke bagian rak buku."

Setibanya di section ruang keluarga, aku duduk di sofa dan membiarkan El melihat-lihat katalog rak sendirian. Ketika ia menemukan sesuatu yang menarik, barulah ia akan menunjukkannya padaku. Dan aku berkali-kali memberinya gelengan karena selera El benar-benar buruk dalam memilih furnitur.

Saat ini, sambil menunggu El melihat-lihat katalog lagi, aku mengeluarkan ponselku. Ada beberapa pesan masuk di ponselku, tetapi hanya pesan dari adikku, Daffa, yang menarik perhatianku.

Daffa - Kak, Ibu tadi abis ngucek-ngucek mata. Kayak abis nangis.
Daffa - Liburan semester nanti jemput kami ya, Kak. Biar main di rumah Kakak aja.
Daffa - Abah baru pulang kemarin, hari ini pergi lagi.

Aku tercenung ketika membaca pesan Daffa. Jika sesuatu terasa tidak beres di rumah, ia akan menceritakannya padaku. Pikiranku membumbung jauh menembus dimensi waktu dan kembali ke masa di mana aku masih tinggal bersama ibu. Mereka sudah tidak bisa bersama. Abah dan ibu sudah tidak sejalan lagi dalam menyelesaikan masalah. Terkadang cara ibu selalu tampak salah di mata suaminya. Namun, kupikir orang dewasa selalu punya alasan untuk bertahan dengan seseorang yang jelas-jelas sudah melukainya berkali-kali.

Sampai saat ini, aku tentu belum paham apa alasannya, tetapi kekhawatiran-kekhawatiran itu terus hinggap dalam diriku hingga tanpa sadar sudah memandang El sejak tadi. Sejauh ini, ia berhasil meyakinkanku bahwa kami bisa bersama. Aku sampai percaya bahwa kelak El tidak akan melukaiku, tetapi manusia selalu punya banyak hal untuk dipertimbangkan. Dan begitulah kehidupan berlangsung.

Zara - Kakak akan menjemput kalian libur semester nanti. Kabari aja kapan selesai ulangan ya.

El memanggilku tepat setelah aku mengirimkan balasan kepada Daffa. Lagi-lagi El menunjukkan pilihan kunonya padaku. Aku mengambil alih katalog dari tangannya, lalu membalik halamannya tiga kali, dan berakhir meletakkan telunjukku pada sebuah rak empat tingkat dari bahan rotan yang memiliki dinding kaca. Warna putih gading membuat desainnya jadi tampak minimalis, dan kupikir itu akan sangat cocok dengan rumah orangtua El yang dominan warna putih.

"Harusnya kamu yang memilih sejak tadi, Ra."

Aku menunjukkan cengiranku padanya, sebisa mungkin membuang jauh-jauh masalah keluargaku tadi. Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkannya walau itu membuatku tidak tenang.

"Aku mau tahu seleramu," sahutku kemudian.

"Dan semuanya buruk bagimu." El tersenyum. Ia kemudian berbicara pada seorang karyawan tentang pembelian rak itu dan kapan harus diantarkan ke rumah. Setelah selesai, ia kembali padaku. "Mulai besok, semuanya akan kuserahkan padamu."

"Emang kita mau belanja kayak gini lagi?" tanyaku tanpa bisa menahan dahiku untuk tidak berkerut.

"Terus siapa lagi yang ngisi furnitur rumah kita kelak kalau bukan kita sendiri?"

Aku mencubit lengan El dengan gemas. Anggap saja sebagai hukuman kecil karena ia sudah mengatakan itu dengan suara keras, dan kebetulan seorang karyawan lewat di depan kami.

"Furnitur di rumahku masih bagus," sahutku seraya melangkah mendahuluinya. Pemesanan sudah selesai, jadi kami tidak punya alasan lagi untuk tetap berada di sana.

"Untuk itu ... akan kita bicarakan lagi nanti."

Aku meliriknya dan tersenyum kecil. "Kita harus hemat," ujarku sebelum kemudian tersadar sendiri. Aku menggigit bibir karena terlalu percaya diri membicarakan tentang masa depan kami. Perencanaan seperti itu belum pantas untuk dibicarakan sekarang.

"Ra, kamu bikin aku berekspektasi tinggi." El mengatakan itu dengan suara rendahnya.

"A-apanya? Aku benar, 'kan? Daripada membeli barang yang nggak benar-benar diperlukan, mending disimpan." Aku beralibi.

El tidak membalas lagi, hanya embusan napas yang kudengar darinya.

"Kamu lapar nggak?" tanyanya setelah beberapa saat.

"Sedikit. Kalau mau makan dulu ayo."

El menunjukkan cengirannya padaku. "Aku lapar banget."

"Yaudah. Kamu mau makan apa?"

"Kebalik, Ra. Harusnya aku yang nanya begitu," protesnya.

"Apa cuma laki-laki yang boleh perhatian?" sahutku, yang mana membuatnya tersenyum lebar. Aku tidak tahu kenapa ia sampai bereaksi berlebihan seperti itu. Jujur saja, ia tampak menggelikan sekarang.

***

"Aku sudah pesan, tinggal menunggu saja."

Aku mengangguk. El baru saja kembali dari meja konter untuk memesan. Resto yang kami datangi menyajikan makanan khas daerah sini dan ramai pengunjung. Kami sampai harus membagi tugas, El antre, dan aku menempati meja untuk kami.

"Ra," panggil El ketika aku sedang mengumpulkan rambutku untuk diikat. Meski pendek, bukan berarti aku tidak merasa gerah.

"Ya?"

"Gimana kalau kita segera menikah?"

Aku menatapnya lamat-lamat, sambil berusaha mencari-cari bukti bahwa ia hanya sedang ingin mengobrol biasa. Namun nihil, yang ada keseriusan, dan tatapan tajamnya saat ini membuatku bergidik ngeri.

"Katakan kalau kamu lagi bergurau, El." Konyolnya, meski tahu jawabannya, aku masih menanyakan itu.

El menumpukan kedua sikunya di atas meja dan tubuhnya lebih condong ke arahku. "Apa wajah ini nggak cukup serius?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.

"Kita belum siap. Aku belum mengenal baik keluargamu, dan kamu juga belum bertemu Abah. Ibuku pun tahunya kita cuma berteman." Aku memberi jeda untuk menghela napas. "Kita belum cukup lama dekatnya, El."

El menyugar rambut dengan tangan kirinya, sementara tatapannya tak kunjung beralih dariku. "Apa enam bulan kurang lama, Ra? Dan soal Abah, kita bisa mengunjungi mereka setelah ini."

Aku tidak tahu kalau kami sudah menjalani komitmen ini selama itu. Dan soal Abah ... aku tidak mungkin mengajak El bertemu dengannya sementara masalah di rumah belum terselesaikan. Namun, aku enggan untuk memberitahunya soal itu. Mungkin tidak akan, sampai semuanya benar-benar membaik. Bahkan kalau bisa, El tidak perlu bertemu Abah.

"Tapi, El-"

"Zara?"

Katakanlah situasi ini terselamatkan oleh kehadiran seseorang yang baru saja memanggil namaku. Aku menoleh dan menemukan seorang pria dengan setelan rapi dan berdiri di samping meja kami. Orang itu tampak familier, tetapi aku lupa pernah mengenal seseorang yang berkumis dan berkacamata sepertinya.

"Iya. Siapa ya?"

"Beneran Zara? Ini aku Ronan, Ra."

Kedua alisku naik dan tatapanku mendarat sebentar ke wajah El yang tampak kebingungan. "Ronan, apa kabar?" tanyaku sebagai bentuk formalitas. Biar bagaimanapun, aku pernah berteman baik dengannya sejak kecil. Dan sebisa mungkin melupakan fakta bahwa ia pernah menyatakan perasaannya padaku dulu.

"Baik. Kamu gimana?"

"Aku juga baik. Kamu sekolah dokter spesialis di daerah sini?" tanyaku.

Ronan menarik kursi di depannya dan segera ia duduki. "Kamu, kok, tahu aku sekolah? Pasti Mama cerita ke kamu?"

"Cerita sedikit aja."

Ronan hanya mengangguk. "Iya, tapi bukan di sini. Aku cuma kebetulan mendapat giliran stase dinas luar di rumah sakit daerah sini sebulan. Dan hari ini aku dapat jatah libur, jadi anak-anak ngajak aku ke sini. Itu mereka." Terakhir, ia menunjuk sebuah meja yang diisi beberapa orang di ujung ruangan.

Aku belum sempat bicara ketika Ronan bicara lagi. "Kamu pindah ke sini?"

"Nggak. Aku juga pengunjung."

Ronan kemudian melirik El, hanya sebentar karena setelah itu menatapku lagi. "Sama temanmu ini ya?"

Tanpa diduga, El berdeham keras sekali. Aku mengerti maksudnya, tetapi aku enggan berkomentar. Dan hanya menaikkan kedua alis ketika El mengulurkan tangannya pada Ronan.

Ronan segera menjabat tangan El dan memperkenalkan dirinya. "Ronan, teman kecilnya Zara." Sebentar ia tersenyum lebar.

"Salam kenal, Teman Kecil. Aku Rafael, calon suami Zara." Senyum Ronan pudar seketika, dan digantikan dengan El yang tersenyum bangga.

"Serius?" Ronan bertanya padaku tanpa melepaskan jabatan tangan El.

"Iya."

Ronan melepaskan tangan El dan mengempaskan punggungnya pada sandaran kursi. "Selamat untuk kalian. Kapan nikahnya, Ra? Kali aja aku bisa datang."

"Sebenarnya kami sedang membicarakan itu, tapi kemudian kamu datang."

Jawaban El membuatku langsung menatapnya tajam, seperti sedang memberi teguran padanya. El membalas tatapanku dan mengedipkan sebelah matanya. Secara tidak langsung El mengusir Ronan.

"Permisi," suara seorang wanita mengalihkan atensi kami bertiga. Ia seorang pelayan yang kemudian meletakkan pesananku dan El di atas meja sambil menyebutkan menu pesanan kami.

"Enjoy your meal. Aku harus kembali, mereka sudah menunggu." Ronan beranjak dari kursi. "Sekali lagi, selamat untuk kalian." Setelah mengatakan itu, barulah ia benar-benar pergi.

"Dia anaknya Tante yang di PAUD itu, 'kan?"

Aku sudah hampir memasukkan sendok makananku ketika El menanyakan itu. "Iya. Kok, tau?"

"Sama-sama nyebelin."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top