6 - The Terror

Zara Naulia

Sudah lima hari berlalu sejak aku diantar pulang oleh Rafael. Yang berarti, ia menjadi pria pertama yang tahu rumahku. Aku memang sangat jarang mengundang teman-temanku ke rumah, meski itu untuk mengerjakan tugas sekalipun. Malas kalau setelahnya aku harus membereskan sisa-sisa dari kunjungan mereka.

El yang mengantarku pulang waktu itu menjadi kali terakhir kami bertemu. Ia langsung pulang tepat setelah mengatakan bahwa akan menunggu jawabanku, seperti pertanyaannya ketika di mobil adalah sesuatu yang sangat penting.

"Ra, apa aku bisa jadi temanmu?"

Suaranya tidak berhenti terngiang di telingaku. Seperti kaset rusak yang selalu mengulang beberapa detik potongan film. Aku jadi terus memikirkannya sambil menduga-duga apa maksud El sebenarnya. Kuharap itu tidak seperti perkiraanku, tapi ia jelas-jelas mengatakannya setelah aku bercerita tentang ketakutanku. Sudah pasti maksudnya itu, 'kan?

Lagi pula, jika maksud dari ucapannya memang seperti itu, seharusnya aku sudah mendapat kabar darinya sejak beberapa hari yang lalu. Sebagai bukti bahwa ia memang serius. Yang ada aku justru tidak mendapat kabar darinya sedikit pun. Walau sebenarnya itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan karena El memang tipe orang yang jarang memberi kabar. Bahkan tidak ada yang tahu kalau ia sudah pindah kerja.

Drrt drrt.

Rafael L - Aku masih nungguin jawaban kamu.
Rafael L - Bisa ketemu?

Itu yang kubaca dari pratinjau pesan yang ada di kolom notifikasi di ponselku. Aku sengaja membacanya melalui pratinjau karena aku tidak tahu harus membalas apa. Jika kubuka, ia akan tahu kalau aku sudah membaca pesannya. El akan berpikir aku adalah wanita yang jahat.

Kuletakkan kembali ponselku di atas meja, kemudian disusul dengan kepalaku yang tiba-tiba terasa pusing. Menjadikan lipatan tanganku sebagai bantal, aku berharap dengan memejamkan mata sejenak bisa menyingkirkan semua pikiran yang menggangguku selama beberapa hari terakhir.

Aku memutuskan untuk menghindari El. Pesannya tidak kubalas, teleponnya juga tidak kujawab. Bahkan jika tak sengaja berpapasan atau bertemu di suatu tempat, aku akan menghindar. Khawatir jika kami bertemu, ia akan bertanya, "Ra, kenapa pesanku nggak dibalas?"

Lalu aku harus menjawab apa?

Ingin kukatakan tidak pada El, tapi rasanya jahat sekali. Sebab El bisa saja memang hanya ingin 'berteman' denganku, tanpa ada maksud seperti yang selama ini menjadi dugaanku. Jika menjawab ya, sama saja seperti aku memberi kesempatan untuknya agar dapat mendekatiku. Namun sebenarnya, apa maksud dari pertanyaannya itu? Aku tentu akan tahu jawabannya jika aku tidak menolak untuk bertemu dan membicarakannya dengan El.

Sayangnya, meski penasaran, aku tak urung menghindari setiap pertemuan dengannya. Semakin aku menghindar, aku merasa seperti dia ada di mana-mana. Misalnya saja saat aku pergi ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan dapur, aku melihatnya berada di rak makanan ringan. Aku langsung bergegas menuju kasir padahal aku belum selesai berbelanja.

Kemudian, ketika aku bersepeda di pinggiran sungai di tengah kota, aku malah berselisihan dengannya yang juga bersepeda. Akhirnya aku berbelok dan tersesat di sebuah gang kecil yang belum pernah kulewati sebelumnya. Aku akan mengingat ini sebagai tindakan terkonyol yang pernah aku lakukan selama dua puluh lima tahun hidupku.

Takdir seperti mempermainkanku ketika teman-temanku mengajak bertemu, tapi tidak memberitahuku jika mereka juga mengajak El. Aku tampak sangat konyol karena bersikap sangat kaku di depan mereka. El memanfaatkan kesempatan ini dan mengeluarkan uneg-unegnya selama aku menghindar darinya.

"Ra, kenapa pesanku nggak dibalas? Kenapa kamu selalu menghindar? Padahal jelas-jelas kita sering ketemu. Tinggal jawab aja apa susahnya. Mau jadi temanku apa enggak? Baru segitu udah menghindar. Gimana kalau kulamar jadi istri? Bisa-bisa kamu terjun dari atas jembatan."

Berkat ucapannya, semua teman-temanku jadi memandangku dengan tatapan menghakimi, seolah-olah aku adalah tersangka kriminal yang tidak termaafkan. Sampai-sampai rasanya aku ingin bersembunyi. Selamanya.

Beruntungnya, sebuah tepukan di bahu segera menyadarkanku bahwa itu semua tidak benar-benar terjadi. Aku terlalu memikirkannya sampai terbawa mimpi. Tidak kusangka hanya dengan memejamkan mata, aku sampai tertidur dengan kepala tertelungkup di atas meja kantor. Aku segera menegakkan tubuhku dan menemukan Dimas, rekan kerjaku, berdiri di samping meja dan menatap khawatir kepadaku.

"Kamu sakit, Ra?"

Aku menggeleng singkat setelah mengalihkan pandangan darinya. Ada satu hal yang membuatku tidak suka berdekatan dengannya. Pria ini sudah terang-terangan mengatakan bahwa ia suka padaku. Meski tahu aku menolaknya, ia tidak berhenti mengejarku.

"Aku baik," sahutku ringan sebagai bentuk apresiasi atas perhatiannya. Tidak mungkin kukatakan jika kepalaku pusing. Ia bisa jadi lebih cerewet dari ini. "Mungkin karena kekenyangan aja," sambungku saat Dimas menatapku dengan tatapan tidak percaya.

"Oh, oke. Bilang aja kalau ada apa-apa, Ra." Aku tersenyum simpul sebagai respon dari ucapannya. "Ngomong-ngomong, aku ke sini buat manggil kamu. Rapatnya udah mau mulai. Aku telpon nggak diangkat."

Dimas ditempatkan di divisi yang berbeda dariku. Yang ruangannya berada dua lantai di atasku. Sesuatu yang dapat kusyukuri karena dengan begitu kami jadi jarang bertemu, kecuali saat rapat. Kami berdua sama-sama asisten manajer, yang selalu diminta berhadir saat rapat.

"Maaf, hapeku di-silent." Aku mengatakannya tanpa menatap Dimas. Tanganku sibuk mengemas apa saja yang perlu kubawa untuk rapat. Seperti laptop, alat tulis dan ponsel.

Sebentar aku memeriksa ponselku. Benar kata Dimas, ia sudah menelepon empat kali. Di atasnya, ada notifikasi pesan El. Rupanya bagian itu bukan mimpi. Aku membuka pesannya dan membalas bahwa aku setuju untuk bertemu. Mimpi singkat tadi akan menambah daftar traumaku jika itu benar-benar terjadi.

Rapat siang ini sebenarnya agak dadakan. Yang seharusnya direncanakan jauh-jauh hari, kali ini justru direncanakan kemarin. Ada urusan penting yang harus dibicarakan, kata manajer utama. Karena itu, aku menghadiri rapat tanpa ada persiapan. Entah apa yang akan kulaporkan nanti.

Pembahasan yang alot membuat kepalaku jadi tambah pusing. Jari-jariku tidak berhenti memijat pelipis, berharap bisa meringankan sakitnya, atau setidaknya mengusir apa-apa yang berkeliaran di kepalaku. Setelah dipikir-pikir lagi, seharusnya aku tidak berada di sini. Toh yang dibahas tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan divisiku. Hanya saja, mereka memaksa agar aku tetap ikut.

"Ra, kamu beneran baik-baik aja?" Dimas bertanya lagi. Kali ini seluruh pasang mata di ruangan rapat menatapku termasuk sang manajer. Jujur saja, aku merasa tidak nyaman. Terlebih tatapan dari mereka yang bergender perempuan, sorot mata mereka yang tajam seolah-olah ingin menusukku.

"Oh, iya. Aku baik."

"Kalau sakit, istirahat aja, Ra. Lagi pula, divisi kita tidak ikut andil sama masalah ini." Kali ini manajer divisiku yang bicara. Beliau memang selalu pengertian sebagai atasan dan aku tidak perlu takut padanya. Sebab beliau sudah menikah. Cincin pernikahan yang tak pernah lepas dari jari manisnya meski ia telah berumur, selalu menarik perhatianku. Tipe pria yang setia, kurasa.

"Tidak, Pak," tolakku.

Aku tahu rapat tidak akan berlangsung dengan baik jika aku tidak ada di sini. Bukan apa-apa, tapi perusahaan ini dipenuhi oleh orang-orang yang keras kepala, jika aku boleh jujur. Biasanya aku dan manajerku yang akan jadi penengah jika terjadi sesuatu. Jadi, aku akan tetap di sini sampai rapat berakhir.

"Silakan lanjutkan, saya baik-baik aja."

Rapat itu berlangsung tiga jam lebih lamanya. Seandainya bukan karena sudah tiba waktu pulang, mungkin rapat itu masih berlangsung. Aku adalah orang pertama yang keluar dari ruangan. Aku ingat ada janji dengan El untuk bertemu sore ini. Sayangnya, ketika aku sudah membawa tas dan bersiap keluar ruangan, Dimas muncul di hadapanku.

"Ra, kamu beneran baik-baik aja?"

Aku refleks menggeser badan saat Dimas mencoba untuk menyentuh lenganku. Kontak fisik dengan pria adalah sesuatu yang sangat kuhindari. "Iya, aku baik."

"Kamu mau pulang? Kuantar, ya?" Dimas memang pria yang baik, tapi karena terlalu baik, aku jadi merasa risi.

Pria sepertinya, tipe pria yang berbuat baik dengan sebuah tujuan. Coba kalau ia tidak suka padaku, mana mungkin ia akan sebaik ini. Kenyataannya adalah, kita sering kali tidak sadar sudah mengharapkan timbal balik ketika berbuat baik. Persis sepertinya yang berbaik-baik padaku agar aku terenyuh dan membalas rasa sukanya.

Namun, tidak semua wanita akan terbujuk semudah itu.

"Nggak bisa. Aku udah ada janji sama temen," sahutku sedingin mungkin. Berharap Dimas paham dan memutuskan untuk meninggalkanku.

"Cowok apa cewek? Kalau cowok aku ikut."

Kenapa kalau aku ketemu sama cowok? Tidak. Aku tidak akan menanyakan itu padanya.

"Please, ya, jangan ikutin aku, Mas." Aku memohon kepadanya.

Reaksi tak terduga kuterima darinya. Matanya berbinar dan kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum yang lebar. "Kamu manggil aku 'mas'. Seneng dengernya."

"Namamu kan Dimas. Ada-ada aja," sahutku dengan cepat sambil menggeleng ringan. Tidak bisa lebih mengerti lagi dengan sikapnya. Namun aku tetap berusaha bersikap ramah meski dalam hati ingin sekali meneriaki pria itu agar berhenti mengekor.

Dimas tidak berhenti mengoceh sejak tadi. Bahkan ketika aku menapakkan kaki di zebra cross. Sebisa mungkin kutulikan pendengaran dan mengabaikan semua pertanyaan Dimas. Pria itu selalu membuntutiku setiap ada kesempatan. Sampai satu kantor tahu bahwa ia menyukaiku. Tidak hanya itu saja, semenjak aku menolak pernyataan cintanya, para wanita di kantor mulai mencapku sebagai orang yang tidak tahu diri.

Terlalu pilih-pilih.

Punya selera yang terlalu tinggi padahal muka pas-pasan.

Tidak tahu diuntung.

Serta berbagai sebutan lainnya. Terima kasih, Dimas dan popularitasnya sebagai pria paling gentle menurut para wanita di kantorku.

"Dimas," panggilku karena sudah tak tahan. "Cukup. Kamu kalau mau pergi ke sana," ujarku, menunjuk kafe beberapa meter di depan kami "Tolong pergi sendiri. Jangan ganggu aku sama temenku." Aku mengatakannya dengan tegas sebelum melangkah cepat mendahului Dimas.

"Ra, tunggu dulu." Ia masih mengikutiku, aku tahu itu dari suara langkah kakinya.

"Zara?"

Aku berhenti melangkah dan menegang seketika. Rasanya seperti deja vu saat melihat El ada di hadapanku. Padahal aku belum benar-benar siap bertemu dengannya. Hingga aku hanya diam menatapnya tanpa tahu harus bereaksi seperti apa.

"Pas banget ketemunya di sini. Udah khawatir kamu nunggu aku lama." El bersuara dengan lembut.

"Ng-nggak kok. Baru aja pulang," sahutku dan tersenyum manis, sambil berharap Dimas melihat itu dan mengira bahwa El lebih dari sekadar teman untukku.

Aku melirik Dimas dan mendapati ekspresi tidak suka yang ia layangkan pada El. "Lo siapanya Zara?" tanyanya dengan nada sinis. Suaranya yang tidak enak didengar itu membuat El memicing padanya.

"Aku?"

Sekali lagi ia melakukan hal yang sama seperti ketika menolongku dari pria asing beberapa waktu lalu; merangkul dan menarikku mendekat dengan posesif. Sampai wajahku berhadapan dengan lehernya. Aroma maskulinnya saja sampai tercium. Biasanya, aku akan segera melepaskan diri jika sudah diperlakukan seperti ini. Sayangnya, ini terjadi begitu cepat dan aku hanya bisa mematung.

"Calon suaminya Zara."

Aku tidak bisa lebih terkejut lagi dari ini. Namun, tidak hanya berlaku padaku, pria yang sedari tadi mengikutiku saja sampai menganga mendengarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top