59 - The Worries
Zara Naulia
Aku terbangun pukul enam pagi. Itu sudah bisa dibilang sangat pagi bagi seseorang yang tidur pukul dua dini hari untuk bersenang-senang. Sebenarnya aku masih mengantuk, tetapi berada di rumah orang dan sekamar dengan orang asing–siapa pun yang bukan keluargaku akan kusebut asing–membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Kulirik Daria yang masih tidur sangat nyenyak di sebelahku. Aku jadi iri karena ia bisa terlelap tanpa merasa terbebani. Mungkinkah karena terbiasa? Ia mengobrol banyak dengan Kak Naya dan Tante Rena semalam. Namun, bukan berarti mereka mengabaikanku. Daria sering bertemu mereka, dan kedekatan mereka membuatku ragu apakah aku masih mendapat kesempatan untuk mengenal keluarga El dengan baik.
Namun, aku tidak benar-benar merasa sendirian saat itu, Om Ferdi; ayahnya El, bersama Kak Tiara; kakaknya El yang nomor satu, mengobrol banyak denganku. Mereka orang yang hangat. Aku yang kaku ini bisa banyak bicara karena mereka. Kak Tiara selalu punya topik untuk dibicarakan dan itu tidak membosankan.
El juga tidak mengabaikanku. Ia hanya menikmati waktunya bersama dua kakak ipar dan adik laki-lakinya. Men zone. Aku tidak perlu merasa khawatir karena ia juga menyempatkan diri untuk mengirimiku pesan.
Rafael L - Kurasa Papa menyukaimu.
Pesan itu yang paling kuingat. Ada rasa lega yang bersarang di hati. Dan aku berharap itu sesuatu yang baik, karena aku sendiri tidak tahu harus memakai cara apa untuk menarik perhatian mereka.
Aku memeriksa ponselku sebentar sebelum beranjak dari kasur. Mungkin aku lupa bahwa tidak ada satu pun yang akan mengirim pesan padaku sepagi ini. Aku membuka tirai jendela. Dari sini aku bisa melihat Tante Rena baru saja keluar dari pintu depan dengan gulungan slang air di tangan. Aku tidak perlu menebak-nebak apa yang akan beliau lakukan karena banyaknya pot yang berjejer dan rimbunnya tanaman semak sudah lebih dulu memberi jawaban.
Ada niat untuk menghampiri beliau yang muncul dalam diriku. Aku juga memiliki rutinitas menyiram tanaman setiap pagi, walau aku bukan seseorang yang tahu banyak tentang apa yang kutanam, tetapi memiliki hobi yang sama bisa sangat membantu untuk membuatku dekat dengan Tante Rena.
Padahal aku baru membayangkan, tetapi perutku sudah bergejolak kesenangan. Haruskah aku menghampirinya? Ingin itu ada, tetapi aku khawatir beliau akan terganggu.
Aku bimbang selama beberapa saat, sebelum akhirnya menguatkan tekadku untuk menghampiri beliau. Namun sebelum itu, aku lebih dulu ke kamar mandi untuk membersihkan muka dan menyikat gigi. Setidaknya dengan begitu wajahku tidak akan tampak seperti tanaman layu.
"Selamat pagi, Tante."
Aku bersorak berhasil dalam hati. Selama di jalan dari kamar sampai di halaman depan, aku tidak berhenti berlatih untuk mengucapkannya dengan baik. Sampai aku merasa intonasi dan nadanya sudah tepat, barulah aku benar-benar melewati pintu depan.
"Pagi, Zara," sahut beliau dan tersenyum padaku sebentar. Kuanggap langkah pertamaku sudah berhasil. "Kok, udah bangun? Suara air dari slang nggak mengganggumu, 'kan?" sambung beliau tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Bukan, Tante, saya lupa matiin alarm di ponsel." Berbohong sedikit kupikir tidak masalah daripada aku mengaku kalau aku tidur tidak nyaman. "Saya boleh bantuin Tante?" tawarku kemudian. Aku tidak akan merasa nyaman jika membiarkan beliau bekerja sendirian sementara aku hanya menonton.
"Boleh, tolong sirami yang di pot kecil ya, alat penyiramnya ada di sana, dekat keran air."
Aku lantas berjalan ke sebuah rak di sebelah pintu garasi di sisi kanan halaman rumah. Kemudian mengikuti arahan beliau, memosisikan alat penyiram tanaman di bawah keran dan memutar tuasnya. Aku menunggu sampai alat penyiram itu terisi penuh dan membawanya ke sisi kiri halaman rumah, tempat di mana pot-pot kecil disusun rapi.
Halaman rumah El benar-benar sangat hijau dan indah. Saking banyaknya jenis tanaman, aku sampai tidak bisa menyebutkannya satu-satu. Yang pasti, ada satu yang menarik perhatianku.
Philodendron imperial red cardinal.
"Tante punya Philodendron jenis itu," ujarku, tak sadar sudah mengekspresikan kekagumanku.
Tante Rena memutar badan dan memandang tanaman yang kumaksud; memiliki daun lebar dan berwarna hijau kemerahan. "Kamu tahu soal tanaman?"
Aku berhenti menyiram sebentar, lalu tersenyum untuk menanggapi ekspresi tidak percaya yang Tante Rena tunjukkan padaku. Mungkin aku tampak seperti orang yang pemalas baginya.
"Saya hanya suka merawat mereka, Tante. Saya nggak tahu banyak tentang mereka." Aku menjawab dengan suara pelan, khawatir aku tidak akan sesuai dengan ekspektasinya.
"Beneran? Jarang lho wanita karier seusia kamu sekarang yang rajin merawat tanaman di rumahnya." Respons Tante Rena kuanggap sesuatu yang baik, dan aku tersenyum karenanya.
"Sebenarnya saya hanya memanfaatkan halaman rumah yang terlalu kosong, Tante. Rasanya agak aneh kalau nggak ditanami apa-apa."
Obrolan ringan dengan Tante Rena pagi ini membuat perasaanku menghangat. Aku pikir akan sulit untuk bisa berinteraksi dengan beliau, tetapi setelah tahu kami memiliki ketertarikan terhadap hal yang sama, aku jadi berharap lebih beliau akan menyukaiku. Atau mungkin merestuiku dengan El?
Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Baru kemarin aku meragukan kelanjutan hubungan kami, tetapi sekarang aku justru berharap lebih.
Topik yang dibahas berawal dari tanaman, tetapi pelan-pelan Tante Rena mulai menanyakan beberapa hal tentang kehidupan pribadiku. Wajar saja kalau beliau mau tahu untuk memastikan wanita yang dibawa putranya pulang adalah wanita baik-baik. Aku menjawab semuanya dengan jujur tanpa ada unsur melebih-lebihkan. Aku tidak ingin Tante Rena menyesal di kemudian hari karena sudah menganggapku calon istri yang potensial, tetapi justru tidak memenuhi ekspektasinya.
"Lalu orangtuamu bagaimana?"
Aku menantikan pertanyaan itu meski sejak tadi berharap agar aku tidak harus menjawabnya.
"Maaf, kalau pertanyaan itu mengganggumu," sambungnya sebelum aku sempat bereaksi.
Aku lekas-lekas menggeleng dan merespons bahwa tidak masalah beliau menanyakan hal itu. Tidak kusangka jika raut mukaku mudah sekali terbaca oleh Tante Rena. Aku hanya merasa keluargaku terlalu complicated untuk dibicarakan. Terlebih lagi, aku pernah mendengar kabar tentang kegagalan pernikahan karena keluarga salah satu pihak tidak ingin berbesan dengan keluarga broken home. Hal itulah yang menggangguku sejak Tante Rena menanyakan tentang orangtuaku.
"Mereka ... bercerai, Tante, waktu saya masih kecil." Aku menunduk saat mengatakannya, tidak berani menatap Tante Rena yang mungkin kecewa saat ini.
"Oh. Sayang sekali."
Hanya dengan respons singkat itu, aku sadar bahwa Tante Rena mungkin akan menolak hubungan kami. Aku sudah membayangkan hal terburuk tentang ini, agar ketika benar-benar terjadi, aku tidak perlu merasa kecewa karena telanjur berharap banyak.
"Sekarang ikut siapa?"
"Awalnya ikut sama Ibu, tapi sejak kuliah, saya merantau."
"Sampai sekarang?"
Aku mengulum senyum dan mengangguk. "Iya, Tante," balasku.
"Sama seperti Daria ya, terbiasa hidup sendiri."
Daria?
Senyumku luntur, menyisakan wajah kosong. Tante Rena tersenyum, tetapi itu berbeda dari yang sejak tadi ia tunjukkan padaku. Sampai-sampai membuatku merasa seperti baru saja dibandingkan dengan mantan kekasih El itu. Aku tidak tahu tentang Daria, seperti apa latar belakangnya, dan apa alasannya hidup sendiri, tetapi aku sudah dibuat tersinggung disamakan dengannya.
"Saya belum mengenal Daria dengan baik, Tante," sahutku jujur.
"Segera kamu akan kenal dia. Daria gadis yang baik, dan saya sangat menyayangkan dia berakhir dengan El."
Bisakah berhenti membicarakan tentang Daria dulu? Aku menjerit dalam hati.
"Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa, Zara. Mungkin hanya perlu sedikit waktu untuk menerima. Saya harap kamu bisa mengerti, mereka sudah bersama empat tahun. Besar harapan kami pada mereka berdua."
Aku mengangguk dalam tundukan, lalu tersenyum meski aku tahu Tante Rena tidak akan bisa melihat. Itu sudah terjadi, seharusnya aku tidak perlu merasa bersedih. Apalagi El sudah tidak memiliki status apa-apa lagi dengan Daria, tetapi kenapa—sungguh, aku tidak ingin memikirkannya lagi.
"Zara," panggil Tante Rena seraya menyentuh tanganku. "Saya tahu, kalian bersama, tetapi Daria hanya seorang diri. Kami sudah mendedikasikan diri kami untuk membantu kalau dia membutuhkan. Jadi, Tante harap kamu mengerti karena Daria sudah sangat bergantung dengan El."
Sekarang kepalaku pusing, sekitarku mendadak bergoyang seperti aku berada di komedi putar. Apa yamg kulihat tak tampak jelas, dan dengan lugunya aku mengangguk tanpa bisa memberi bantahan. Tunggu saja sampai aku memiliki waktu untuk menyesali ini.
Tante Rena masuk ke rumah lebih dulu, beliau bilang ingin menyiapkan sarapan. Dan aku memilih untuk tetap tinggal sambil menggenggam erat gagang alat penyiram tanaman yang isinya tersisa sedikit. Masih ada beberapa pot tersisa dan aku sudah tidak punya semangat lagi untuk melanjutkannya.
Maaf, Tante, tapi rasanya memang semenyesakkan itu.
"Zara?"
Aku lekas-lekas menoleh dan berbinar ketika menemukan El berjalan menghampiriku. Rambutnya basah dan semakin ia mendekat, aroma parfumnya mulai tercium.
"Kenapa sendirian di sini?" tanyanya dan mengambil alih alat penyiram tanaman dari tanganku.
"Tadi bantuin mamamu nyiram tanaman," jawabku dan memaksakan seulas senyum.
"Udah selesai?"
"Masih dikit lagi, sih, bagian yang itu belum." Aku menunjuk ke beberapa pot yang belum kusiram.
El tidak mengatakan apa-apa dan menggantikan tugasku menyiram tanaman yang tersisa. Yang kulakukan hanya memperhatikannya sambil berpikir, seandainya El masih bersama Daria, di manakah aku saat ini? Dan apa yang kulakukan? Lalu apakah aku akan merasakan gelenyar menggelikan yang orang-orang katakan seperti kupu-kupu beterbangan di perut? Semakin aku mencari-cari jawabannya, semakin aku takut berpisah dengan El. Rasa ketergantungan ini mulai menyiksaku pelan-pelan. Hanya tinggal menantikan keputusan semesta sampai aku benar-benar hancur.
"Ra? Kamu, kok, bengong?"
Ketika tersadar dari lamunan, wajah El sangat dekat denganku dan aku segera melangkah mundur. Lalu disusul dengan menyelipkan rambut ke belakang telinga. Memalukan sekali kedapatan sedang memandangnya.
"Aku tahu aku tampan, tapi jangan tatap aku kayak gitu, nanti aku salting."
Aku mengulum senyum malu dan memukul dadanya pelan, membiarkan kemejanya yang rapi rusak karena kepalanku. Namun, dengan pakaian serapi itu, aku mulai bertanya-tanya.
"Kamu mau ke mana, El?"
"Mengajakmu belanja."
Aku mengernyit bingung. "Belanja apa?"
"Kita nyari kado ulang tahun. Yang lain juga akan berangkat nanti. Tapi karena kita nggak bawa mobil, kita nebeng sama Kak Tiara," ujarnya sambil berjalan ke rak untuk meletakkan alat penyiram tanaman.
"Kukira acaranya cuma anniversary orangtuamu, El. Siapa yang ulang tahun?"
"Oh! Maksudku itu ulang tahun pernikahan mereka, Ra. Acaranya malam ini."
Aku terbelalak. Acaranya nanti malam dan aku sama sekali belum mempersiapkan apa pun. "Aku boleh ikut? Aku belum nyiapin apa-apa buat mereka soalnya."
"Justru aku datang ke sini mau ngajak kamu," ujar El seraya mengusap rambutku yang belum sempat disisir pagi ini.
"Kalau gitu, aku mandi dulu. Kapan berangkatnya?"
"Abis sarapan. Kita sekalian jalan-jalan. Soalnya besok udah nggak bisa berduaan lagi," ujar El seraya mengerling padaku. Ekspresinya menggelikan sampai membuatku mengernyit.
"Kenapa nggak bisa?"
"Tradisi keluarga tiap tahun, Ra. Kita pergi liburan."
"Ke mana?"
"Rahasia."
"Apa Daria juga ikut?"
Pertanyaan itu secara refleks keluar begitu saja dari bibirku. Aku hanya merasa, dengan kehadiran Daria di sekitar keluarga El akan menyulitkanku untuk dekat dengan mereka. Bukan salah Daria, aku tahu betul soal itu, dan aku bukan sedang menyalahkan kehadirannya. Aku hanya ingin memanfaatkan kesempatan yang ada untuk mengenal baik mereka. Karena jika bukan dengan El, bagaimana lagi bisa menghadapi pria lain di luar sana?
El tidak kunjung menjawab, ia hanya menatapku seperti mencari-cari apa alasanku menanyakan hal itu. Keningnya berkerut agak kesal, kupikir ia tidak suka karena aku terkesan seperti tidak menerima kehadiran Daria. Jadi, sebelum El memberi respons atas pertanyaanku, aku lekas-lekas berkata, "Anggap aja aku nggak pernah bertanya."
Aku baru akan pergi dari sana ketika El menangkap tanganku dan menariknya hingga aku harus kembali memutar badan. Selanjutnya, wajahku bertemu dengan bahunya, dan tangannya melingkar di punggungku.
"Aku mengerti perasaanmu, tapi berhentilah memikirkan hal-hal yang buruk. Tolong jangan membuatku terluka karena melihatmu sedih, Ra."
"Aku nggak bermaksud bikin kamu nggak nyaman, El."
"Justru aku berterima kasih karena kamu sudah mau mengutarakan apa yang kamu rasakan. Ya ... walau nggak secara langsung, sih."
Aku menyembunyikan senyum di bahu El dan membalas pelukannya. Rasanya menenangkan sampai menyadarkanku bahwa inilah yang kuperlukan sejak tadi. Aku akan mempertimbangkan untuk sering-sering melakukan ini jika sewaktu-waktu membutuhkannya. Tentunya jika El bersedia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top