58 - Father and Son

Rafael Lazuardi

Sore ini aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Dulu, aku akan pergi mengunjungi teman lama dan menghabiskan waktu bersama, hitung-hitung melepas kangen. Namun, hal itu tidak bisa kulakukan lagi karena mereka sudah menikah dan sebagian tinggal di luar kota bersama istri mereka.

Lagi-lagi, aku tertinggal.

Rencananya aku ingin mengajak Zara pergi, tetapi aku sadar mungkin ia cukup lelah karena perjalanan tadi. Dan aku justru menemukan dirinya membantu mama di dapur bersama kakakku dan Daria. Sebenarnya aku merasa aneh karena mantanku juga ada di sana, tetapi mana mungkin aku mengusirnya? Yang terpenting mereka tahu bahwa kami sudah berakhir.

Setelah melewati fase kebingungan akan apa yang harus kulakukan, akhirnya aku menghampiri papa di halaman belakang. Biasanya beliau akan duduk di sana sambil membaca buku. Sebagai seseorang yang bekerja di bidang penerbitan, papa punya banyak sekali buku. Bahkan di rumah ini ada ruangan khusus untuk menyimpan koleksinya, yang bahkan lebih luas dari kamar tidurnya. Kecintaan pada buku mengantarkannya pada bisnis penerbitan. Terlebih lagi buku mempertemukannya dengan mama, yang juga hobi mengoleksi buku.

Bisnis itu pun diturunkan pada kakak pertamaku yang bekerja sebagai editor. Aku sempat ditawari, tetapi bidang itu bukan seleraku, jadi aku menolaknya dan memilih untuk memulai karirku sendiri di perusahaan otomotif. Berawal dari admin, sampai sekarang aku menjadi pimpinan cabang. Aku cukup senang karena papa tidak memaksa agar aku mengikuti jejaknya.

Sebelum menghampiri papa, aku pergi ke dapur lagi. Rasanya kurang afdal jika duduk di sana tanpa secangkir kopi. Senyumku mengembang ketika kutemukan Zara tengah mengaduk sup di panci. Hanya sendiri, dan aku tidak tahu di mana yang lainnya.

"Apa aku pernah bilang kalau kamu jago memasak?" bisikku di telinganya.

Rupanya Zara tidak menyadari kehadiranku tadi, hingga ketika aku bersuara, ia sampai tersentak.

"El, bisa, kan, nggak ngagetin?" protesnya. Wajah marahnya sama sekali tidak menyeramkan bagiku. Justru sebaliknya, tampak lucu dan membuatku sangat terhibur.

"Kamu terlalu fokus sama masakan," sahutku dan melingkarkan lengan di bahunya.

"Aku takut masakanku nggak enak."

"Hanya lidah yang mati rasa yang bilang masakanmu nggak enak." Aku meyakinkan Zara seraya mengusap bahunya.

"Nggak tau, El. Mereka aja belum nyobain, 'kan?"

Aku melepaskan bahu Zara dan meraih sendok di atas meja pantri. "Sini kucicipi."

Tanpa menunggu persetujuannya, aku menyendok kuah sup yang masih diaduk Zara dan menyuapnya. Zara tak tampak terganggu dengan perbuatanku. Dan saat ini justru menatapku takut-takut. Bibir bawahnya digigit ketika lidahku mencecap kuah di mulut.

"Enak?" tanyanya.

"Banget, Ra. Aku yakin mereka bakal suka." Dan selanjutnya aku tersenyum, berusaha terlihat tampan agar dapat membuatnya senang.

"Aku berharap mereka punya lidah yang sama kayak kamu," ujarnya sembari mematikan kompor.

Ketika wajahnya tertuju padaku, aku segera menangkupnya dengan dua tangan dan mengecup dahinya cukup lama. Anggap saja sebagai bentuk terima kasih karena ia sudah memasak untuk keluargaku. Sepele, sih, tetapi aku suka melakukannya.

"Nggak masalah selera mereka kayak gimana. Yang pasti, kamu bakal mendapat tempat di antara kami, Ra. Dan sebelum itu terjadi, masakanmu akan lebih dulu mencuri hati mereka."

Zara menahan senyum dan meninju pelan dadaku. Dari sikapnya, ia tampak sedang menyembunyikan malu.

"Kamu nggak perlu bikin aku senang dengan berbohong."

"Lho, siapa yang bohong?"

"Ekhem."

Kami serempak menoleh menatap wanita berambut bob yang tengah menghampiri kulkas di sebelah kanan kami.

"Jangan ganggu Zara masak, El," tegurnya.

Tiara, kakak pertamaku, mengerling geli padaku ketika mengeluarkan sestoples daging dari kulkas. Aku membalasnya dengan picingan mata, dan berhasil membuatnya segera meninggalkan dapur.

"Kamu jangan aneh-aneh dong, El. Kan, malu diliat sama kakakmu." Zara menggeser tubuhnya selangkah dan mengangkat mangkuk di samping kompor. "Kamu balik ke sini lagi ngapain?" tanyanya ambil menyendok kuah sup di panci dengan sendok sayur.

"Oh iya, aku lupa."

Aku menghampiri rak piring dan mengeluarkan dua gelas dari sana. Sambil membuat kopi, aku mencuri-curi pandang pada Zara. Kemudian melirik sekali ke ruang makan, di mana mama, Daria, dan dua kakakku ada di sana. Mereka mengobrol dan aku mendadak merasa kesal melihat itu.

Bagaimana tidak? Calon istriku ada di sini dan tidak ada satu pun yang menemaninya untuk sekadar mengobrol. Aku bisa mengerti kalau mereka memang sudah dekat dengan Daria, tetapi apa seperti itu mereka memperlakukan Zara sebagai tamu?

"Ra," panggilku.

"Iya?"

"Kamu baik?"

Zara menatapku dengan dahi berkerut. "Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?"

"Ada Daria di sini, pasti bikin kamu nggak nyaman."

Bagian yang membuatku sesak adalah ketika Zara beralih menatap keluar dapur, ruang makan, di mana Daria dan mama berada. Aku tidak bisa mengartikan tatapan Zara, tetapi kurasa itu bukan sesuatu yang baik.

"Aku bisa apa? Mereka sudah sedekat itu dan nggak mungkin aku tiba-tiba menyusup di antara mereka, 'kan?"

Aku tersenyum pahit. "Maaf sudah membuatmu nggak nyaman."

"Nggak ada yang salah dalam situasi ini, El." Zara tersenyum tulus dan itu berhasil membuatku merasa tenang.

"Kamu bikin kopi dua, satunya buat siapa?"

Aku melirik dua gelas di depanku dan tersenyum kaku. Berada di dekat Zara benar-benar membuatku lupa akan hal lainnya. Entah pengaruh Zara memang sebesar itu atau aku yang lemah terhadapnya.

"Buat Papa. Kamu udah selesai? Kita ke halaman belakang sama-sama." Aku berbinar menatapnya, seperti berharap ia mengiyakan ajakanku.

"Aku masih harus menyelesaikan ini," sahut Zara seraya menunjukkan mangkuk di tangannya.

"Kalau udah selesai, nyusul ya?"

Zara hanya mengangguk. Aku meremas lengannya pelan dan tersenyum sebelum benar-benar pergi dari sana, tentunya dengan dua cangkir kopi di tangan.

Dugaanku benar, papa memang sedang membaca buku di kursi goyang kesayangannya. Hanya papa yang boleh duduk di sana, sebab katanya itu diturunkan dari generasi ke generasi. Dan pertama kali dimiliki oleh kakek dari kakeknya. Papa juga berkata setelah dirinya akan diturunkan kepadaku. Ada-ada saja.

Aku meletakkan dua cangkir kopi di atas meja di sebelah papa dan selanjutnya duduk di kursi rotan yang ada di sana. "Di sini aja, Pa? Nggak ikut sama mereka?" tanyaku seraya mengerling pada dua kakak ipar yang tengah kerepotan mempersiapkan api pemanggangan di dekat kolam ikan kecil.

Papa menoleh dan menatapku dengan mata menyipit. "Bukankah harusnya Papa yang nanya begitu?"

Aku tersenyum dan menyembunyikan malu di balik cangkir kopi yang tengah kusesap isinya, hingga tercipta hening selama beberapa saat. Aku dan papa memang jarang memiliki topik yang relatable untuk dibicirakan. Namun, aku masih lebih dekat dengannya daripada kedua kakakku, yang hanya tahu merengek jika menginginkan sesuatu.

"Jadi, namanya Zara?"

Pertanyaan itu tiba-tiba dilontarkan papa ketika aku meletakkan cangkir kopi kembali ke atas meja. Papa bahkan tidak beralih sedikit pun dari buku yang dibacanya.

"Iya, Pa."

"Kali ini kamu serius?"

Deja vu. Jantungku berdebar kencang di dalam sana. Ini kali kedua papa menanyakan hal serupa padaku. Yang pertama adalah ketika aku memperkenalkan Daria pada mereka. Papa tidak mungkin menanyakan hal itu jika ia tidak tahu bagaimana aku sebelum bertemu dengan Daria. Hanya ia satu-satunya yang tahu kalau aku sering bergonta-ganti kekasih.

"Iya, aku serius, Pa." Tidak terdengar keyakinan di suaraku. Sebab, aku tahu persis respons apa yang akan papa berikan setelah ini.

"Dulu jawabanmu juga begitu." Persis dugaanku. Papa menutup bukunya dan menatapku tajam. Bukan, tatapan yang menyeramkan, tetapi cukup untuk membuatku merasa terintimidasi.

"Lihat, sekarang kamu justru memperkenalkan perempuan lain pada kami."

"Papa, kan, tahu jika aku serius, maka aku akan benar-benar serius."

"Kalau itu benar, kalian tidak akan berakhir, Nak. Mungkin sekarang sudah melangsungkan pernikahan?"

Lagi-lagi pernikahan.

"Pa, apa yang Daria katakan tadi nggak sepenuhnya benar." Aku mengembuskan napas pasrah. "Sayangnya, aku nggak yakin kalian akan percaya kalau kukatakan yang sebenarnya."

"Lho, kenapa nggak percaya? Kamu, kan, anak kami. Papa tahu betul kalau ada sesuatu yang mengganjal di kepalamu, di hatimu." Papa lalu meraih tanganku dan membungkusnya dengan kedua telapak tangan miliknya. "Tangan ini terus mengepal tadi. Bukankah itu berarti ada sesuatu yang sedang kamu tahan? Keluarkan saja, Nak. Papa percaya padamu."

Perasaanku benar-benar menghangat. Papa benar-benar figur seorang ayah yang mungkin didambakan oleh orang lain, termasuk Zara. Aku mungkin sudah dibutakan oleh hal lain hingga tidak menyadari betapa besar kasih sayangnya padaku. Seharusnya, aku bisa lebih bersyukur lagi dengan kehadiran papa.

Berlebihan? Entahlah, mungkin ini terjadi karena sudah lama aku tidak bertemu dengannya.

Akhirnya, aku menceritakan semua hal pada papa. Mulai dari kerenggangan hubunganku dengan Daria, sampai kejadian sebenarnya yang diceritakan Daria kepadaku, tetapi melewatkan bagian tentang awal kedekatanku dengan Zara. Di beberapa bagian papa tampak terkejut, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Aku mulai bertanya-tanya apakah ia kecewa, atau justru bersyukur. Karena setelah aku mengakhiri kisahku, papa justru tersenyum.

"Perasaanmu ke Daria bagaimana?"

Aku tidak langsung menjawab. Kalau kubilang sudah melupakannya, tetapi perasaan itu masih bersarang meski hanya sedikit. Namun, kalau kukatakan masih mencintainya, papa akan bertanya-tanya untuk apa Zara berada di sampingku. Logikanya, aku bisa menyukai banyak orang sekaligus, tapi tidak untuk mencintai. Aku tidak bisa memprioritaskan lebih dari satu orang dalam satu waktu.

"Kamu sudah dewasa, Nak. Papa tahu kamu pasti bisa mengatasi semuanya. Tapi ingat satu hal, jangan sampai kamu menyakiti mereka. Baik itu Zara atau Daria. Karena kamu sudah berakhir dengan Daria, maka sebisa mungkin tahan dirimu untuk tidak dekat lagi dengannya. Kasihan Zara, 'kan?"

Aku mengangguk pada ucapan papa. Beliau benar, aku tentu tidak sebodoh itu untuk kembali bermesraan dengan mantan kekasih.

"Papa jadi bertanya-tanya, kenapa Daria rela mengambil cuti untuk datang? Mama memang mengundangnya, tapi ... kamu paham maksud Papa, 'kan?"

Aku tertawa garing. Mungkin papa saat ini juga sama bingungnya denganku. Namun, aku bergurau dan membalas, "Mungkin dia tersadar dan ingin kembali padaku?"

Papa ikut tertawa dan memukul pundakku gemas. "Kalau itu terjadi, Anakku, apa kamu akan goyah?"

Tawaku perlahan mereda. Sepintas bayangan Zara tersenyum bahagia muncul di kepalaku. Apa aku tega merebut senyum itu darinya dengan kembali bersama Daria? Aku menggeleng ringan, membayangkannya saja sudah membuatku merasa menjadi orang paling jahat.

"Aku nggak bisa melepas Zara, Pa." Aku mengalihkan pandang ke dua pria yang masih repot dengan pemanggangan. "Itu bisa membuatku gila."

"Mamamu bagaimana? Kelihatannya dia masih belum bisa melepas Daria. Lengket banget, 'kan?" Papa mengatakan itu seolah-olah memisahkan Daria dari mama adalah ujian paling berat.

"Papa menyukai Zara?" Aku bertanya hati-hati. Takut salah mengartikan sikapnya.

"Kalau kamu bahagia, Papa bisa apa?" Papa tersenyum dan itu menular padaku. Rasanya seperti aku sudah melewati fase terberat dalam hubunganku dengan Zara.

"Kami tidak berhak melarang kalian untuk meraih apa yang kalian inginkan dan apa yang membuat kalian bahagia. Papa pernah berada di masa-masa seperti yang kamu alami saat ini. Ada banyak kesalahan yang pernah Papa lakukan, pun ada banyak pelajaran yang didapat. Maka dari itu, sudah tugas Papa mengarahkan kalian agar tidak mengalami kesalahan yang sama. Mengerti, 'kan?"

Aku tersenyum dan mengangguk padanya. "Makasih, Pa."

"Kaku banget?" sahut papa diiringi tawa renyah.

"Nggak biasa dengar Papa ngomong gitu." Aku mungkin mengatakannya biasa saja. Namun, sebenarnya itu terdengar sarkastis. Walau tidak bermaksud, tetapi papa tampaknya tersinggung.

Atmosfer di sekitar kami mendadak tidak nyaman. Beruntung, kehadiran Felix, adikku yang usianya lima tahun di bawahku, meruntuhkan dinding kecanggungan ini.

"Mantau aja nih, Bang?" sindirnya dengan muka kesal. Aku tidak tahu pernah berbuat apa di masa lalu sampai sikapnya tidak seramah itu padaku. Bahkan berlalu melewatiku sambil menggeleng.

"Umm, Pa, aku gabung sama mereka ya," ujarku dan pergi menyusul Felix menghampiri dua kakak ipar kami.

Kali ini, untuk yang pertama kalinya aku merasa harus berterima kasih pada Felix.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top