53 - Gagal membujuk
Rafael Lazuardi
Pernah kudengar beberapa kali, bahwa ketika hatimu sudah terlibat sepenuhnya terhadap sesuatu, kamu tidak akan mudah menyerah untuk meraihnya. Kupikir itu sedang terjadi padaku akhir-akhir ini. Sudah seminggu sejak aku mengajak Zara untuk pulang bersamaku dan bertemu orangtuaku. Namun, selama itu pula jawabannya selalu tidak. Hal itu membuatku tidak tenang meski masih ada waktu tersisa tiga minggu lagi untuk membujuknya.
Sulit sekali membujuknya. Aku bertanya setiap ada kesempatan. "Apakah jawabanmu sudah berubah?" berulang kali sampai, seandainya itu adalah makanan, pasti sudah dimuntahkan saking membuat bosannya. Aku sudah kehabisan akal untuk memikirkan cara membujuknya. Ingin kubelikan sesuatu, pasti akan ditolaknya. Belum lagi intensitas bertemu kami berkurang, hanya sebatas menjemputnya pulang dan beberapa kali mampir jika sedang senggang.
Kami memutuskan untuk tidak makan siang bersama dulu demi menghindari Daria. Aku yang mengusulkan itu lebih dulu dan tanpa kuduga Zara menyetujuinya dengan senang hati. Selain karena aku tidak ingin perasaan yang sudah tenggelam ini kembali ke permukaan karena terus bertemu dengannya, aku juga tidak ingin Zara sedih karena Daria terus berusaha bersikap akrab kepadaku. Parahnya, aku tidak setega itu mengabaikannya.
Jadi, hatiku sebenarnya milik siapa?
On second thought, aku masih meyakinkan diriku bahwa Zara memilikiku seutuhnya. Semuanya jadi kacau karena Daria datang ke kota ini, seniat itu untuk kembali padaku. Aku sendiri tidak habis pikir jika ia rela melepaskan pekerjaan lamanya untuk mengejarku. Ia cukup nekat untuk ukuran seorang wanita. Kini tinggal semesta yang kuharapkan memberi restu kepadaku dan Zara.
"Pulang, El," tegur Yohanes cukup nyaring. Ketika kulihat, pria itu sudah meraih gagang pintu, bersiap pulang.
"Jam berapa ini? Kenapa sudah mau pulang?" Kendati bertanya, mataku tertuju pada jam di pojok kanan bawah tampilan desktop-ku. Namun, pikiranku yang masih melancong jauh ini terlalu lambat mencerna angka yang ditunjukkan di sana.
"Kamu kacau lagi. Ini sudah setengah jam lewat dari waktu pulang seharusnya. Aku nggak tau kamu kenapa, tapi kayaknya perlu istirahat." Yohanes memang selalu peka.
"Aku sedang memikirkan sesuatu ... ," ujarku sengaja dibuat menggantung.
Yohanes berdeham dan melihat arlojinya. Mimik wajahnya tiba-tiba berubah menyebalkan. "Maaf, El, tapi aku sudah ada janji dengan istriku. Harus pulang sekarang."
Persis seperti dugaanku. Aku memang berencana untuk bercerita padanya sekaligus meminta saran seperti yang sudah-sudah, tetapi hanya dengan melihat gesturnya tadi, rencana itu pupus seketika. Aku tidak mau memaksa jika ia tidak ingin mendengarkannya.
"Terima kasih karena sudah berpikir sampai ke sana. Mungkin aku telepon kamu nanti." Aku tersenyum miring kemudian.
Aku tidak tahu apa yang dilakukan Yohanes di sana, tapi tampaknya bukan sesuatu yang menyenangkan untuknya. Detik berikutnya, ia kembali berjalan menghampiriku.
"Ganggu aku sekarang aja. Aku nggak sibuk, yang tadi bercanda," ujarnya seraya meletakkan tas ranselnya di atas mejaku. Dan aku hanya bisa menertawakan Yohanes yang tidak punya bakat berbohong.
"Sayangnya, aku nggak bisa sekarang. Harus jemput Zara, udah sangat terlambat sekarang." Jeda sebentar karena aku harus memasukkan laptop ke tas. "Menurutmu aku harus beli apa untuknya sebagai permintaan maaf?"
Yohanes memutar kedua bola matanya jengah. Ia bahkan tak sedikit pun menyembunyikannya, setidaknya agar aku tidak merasa tiba-tiba ingin menonjoknya. "Kamu tahu sendiri Zara nggak suka dikasih apa-apa. Kenapa masih repot-repot mikirin mau beli apa?"
"Apa salah berusaha membuatnya senang?"
"Kalau gitu, pikirkan saja sendiri," sahutnya kesal sembari menyampirkan tas ranselnya kembali ke bahu dan beranjak pergi lagi. Namun, sebelum ia sempat keluar dari ruangan, aku memanggilnya.
"Apa lagi, El?"
Aku mengangkat tas jinjing dan mengeluarkan ponsel. Sambil berjalan menghampiri Yohanes, aku mengetikkan pesan untuk Zara. Sebelum aku tiba-tiba muncul tak tahu diri di depannya, aku harus meminta maaf dan menyertakan alasanku terlambat menjemputnya. Agar hubungan selalu sehat, semua hal harus diketahui oleh kedua belah pihak. Entah apa yang cocok untuk menamai hubungan kami.
"Ayo bareng."
***
Aku memeriksa kembali ponselku hanya untuk menemukan puluhan notifikasi chat. Namun tak satu pun dari Zara. Bahkan pesan yang kukirimkan padanya tadi juga belum terbaca. Aku mulai khawatir kalau-kalau Zara marah. Namun, aku sadar kalau Zara bukan tipe wanita yang seperti itu. Pasti ada alasan yang lebih bagus selain sengaja memberiku pelajaran.
Karena ditelepon juga tidak bisa, aku memutuskan untuk keluar dari mobil. Namun, sesuatu yang tidak kuharapkan terjadi. Aku menemukan Daria berdiri di samping pos penjaga. Parahnya lagi, aku tidak bisa kembali ke mobil karena ia sudah melihatku. Bahkan melambaikan tangan ke arahku.
Akhirnya, aku berjalan menghampirinya. Sebab kupikir aku bisa menanyakan apakah Zara sudah pulang atau belum.
"Hai, El, apa kabar?" sapanya lebih dulu.
"Baik," sahutku, sengaja tidak menanyakan hal yang sama agar kami tidak banyak mengobrol. "Zara sudah pulang ya?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Kamu nggak dikasih tau ya? Tadi Zara udah pulang duluan sama Dim–maksudku, karyawan dari divisi lain," jawabnya, sedikit tergagap ketika hampir menyebutkan nama seseorang. Namun, aku telanjur mengenali nama itu.
"Dimas maksudmu?"
"Iya. Kamu kenal ya?"
Nggak pernah mau kenal sama dia malahan. Namun, aku tidak mengatakan itu kepadanya.
"Hanya sekadar tahu. Dia teman kerja Zara," sahutku setenang mungkin, meski hatiku terasa panas karena pria itu adalah pria yang menyukai Zara dan suka sekali mengganggunya. Dan aku tidak rela Zara pulang bersamanya.
"Kamu tenang banget. Nggak takut Zara direbut?"
"Zara bukan wanita yang mudah berpaling ke orang lain. Aku nggak perlu takut."
Aku tidak tahu jika kalimat itu menyinggung Daria. Ketika kulihat senyumnya luntur dan ia berubah murung, barulah aku sadar. Itu pasti melukai perasaannya sekarang.
"Kamu nunggu siapa?" Aku cepat-cepat bertanya sebagai pengalihan.
"Nunggu taksi. Tapi dari tadi nggak ada yang lewat," jawabnya dan menghela napas. Dari situ aku menyadari bahwa ia sudah sangat lama menunggu.
Aku mengangguk paham. Bisa saja aku segera pergi karena tidak ada lagi alasan bagiku untuk terus berada di sini. Namun, aku masih merasa bersalah karena perkataanku tadi.
"Ayo kuantar pulang," tawarku. Hitung-hitung menebus rasa bersalahku tadi.
"Jangan, nanti ngerepotin," tolaknya.
"Nggak papa. Ayo."
Wajahnya tampak memerah tanpa kutahu penyebabnya. Sambil tersenyum malu-malu ia beranjak dari sana, mengekorku menuju mobil.
"Makasih ya, El."
Aku mengabaikan ucapannya dan hanya memberi isyarat melalui tatapan agar ia segera masuk ke mobil.
Sekali lagi aku melakukan hal bodoh hanya karena ada Daria di sekitarku.
***
Aku segera menyetir mobilku menuju rumah Zara segera setelah mengantarkan Daria. Tawarannya untuk mampir langsung kutolak begitu saja. Fokus utamaku saat ini adalah Zara. Aku harus bertemu dengannya sebelum pulang ke rumah.
Setibanya di rumah Zara, aku menemukan pintunya masih dikunci. Aku mengetuk beberapa kali, tetapi sang pemilik rumah tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Dan aku memutuskan untuk menunggunya pulang.
Aku merasa tidak tenang. Mengetahui bahwa Zara pergi dengan Dimas saja sudah membuatku emosi. Bukan tidak mungkin kalau pria itu masih menyukai Zara dan berujung menculiknya. Setelahnya aku menertawakan pemikiran konyolku sendiri. Hal seperti itu terlalu dramatis untuk terjadi di kehidupan nyata.
Tak lama kemudian, Zara pulang dengan Dimas berjalan di sampingnya. Aku masih mengenali wajah menyebalkan pria itu. Bahkan terus mengingatnya agar suatu saat aku bisa dengan mudah menemukannya jika dia berbuat sesuatu pada Zara.
"El? Kenapa ada di sini?" tanya Zara begitu ia sudah berada di hadapanku.
"Ponselmu nggak aktif. Pas aku jemput, katanya kamu sudah pulang." Kemudian aku memperpendek jarak agar lebih dekat dengan telinganya. "Kenapa pulang sama Dimas? Kamu bukan dibuntuti atau semacamnya sama dia, 'kan? Kamu nggak papa?" bisikku. Walau niat awalku ingin melabrak pria itu langsung, tetapi aku tidak sanggup melakukannya di hadapan Zara.
Zara tergelak. Namun, kupikir itu bukan karena pertanyaanku, tetapi sesuatu yang kulakukan membuatnya merasa geli. Sebab ia langsung menggeser badan dan menjepit sebelah telinganya dengan bahu.
"Kami pergi memesan sesuatu untuk acara kantor. Karena sama-sama sub manajer, kami harus bekerja sama untuk menyiapkan beberapa hal."
Aku mengangguk-angguk ketika mendengarkan jawaban Zara. Walau aku tidak cukup puas dengan jawaban itu. Seperti apa yang mereka lakukan, dan ke mana mereka pergi tadi.
"Ekhem." Pria itu berdeham dan kami serempak menatapnya. "Kalau gitu aku langsung pulang ya, Ra. Sisa perlengkapannya aku kirim ke grup nanti. Sampai ketemu besok," ujar Dimas pada Zara. Kemudian menatapku sebentar dan tersenyum. Meski enggan, aku tetap membalas senyumnya.
"Ponselmu kenapa nggak aktif, Ra?" tanyaku lagi setelah Dimas sudah tidak cukup jauh untuk mendengarkan obrolan kami.
Zara tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan kunci untuk membuka pintu rumahnya. "Aku lupa membawa charger. Dan baterai ponselku sudah sisa sedikit dari tadi pagi."
"Kenapa kamu harus pergi sama Dimas? Dia bikin kamu takut, 'kan? Kamu bisa mengerjakannya dengan yang lain, Ra." Aku melayangkan protes sembari mengekor Zara masuk ke rumah. Aku masih tidak terima walau tujuan mereka tidak lebih dari urusan kantor.
"Kali ini beda, El. Aku masih takut, tapi harus kutahan. Lagi pula, aku nggak mungkin melibatkan urusan pribadi dalam pekerjaan. Toh, dia juga nggak gangguin aku kayak dulu lagi."
Kami berhenti di dapur. Zara mengambil dua gelas dan menuju dispenser. Selagi ia menuangkan air ke dalam gelas, aku berusaha menerima kalau Zara dan Dimas memang harus melakukannya bersama. Namun, sampai kapan?
"Acara kantornya kapan, Ra?" tanyaku tanpa bisa menekan rasa penasaranku.
"Dies natalis kantorku satu minggu pertama bulan depan," sahut Zara sambil menyodorkan gelas kepadaku.
Ada jeda cukup lama di antara kami untuk minum. Selama itu aku menghitung hari. Selain mendapat kesimpulan bahwa selama itu Zara akan terus bersama Dinas, acara di kantor Zara berlangsung bersamaan dengan anniversary orangtuaku.
"Jadi kamu benar-benar nggak bisa ikut aku pulang, Ra?" Suaraku pelan, ada rasa sesal di sana.
"Aku belum memikirkannya, El. Bisa beri waktu untuk aku mempersiapkan diri dulu?" pintanya.
Aku menggeleng ringan. "Bukan itu, Ra. Tapi acara kantormu bersamaan dengan acara orangtuaku."
"Kalau gitu berarti aku nggak bisa ikut kamu, El. Mungkin lain kali?" balas Zara sangat tenang.
Sedangkan aku di sini berharap Zara merasakan sesuatu yang membuatnya menyesal atau merasa bersalah karena tidak bisa bertemu denganku. Minimal ia akan memikirkan sesuatu agar bisa ikut denganku.
"Tapi kamu bisa, kan, nggak ikut acara kantor dan ikut aku pulang?" Kupikir itu hanya acara kantor yang melelahkan dan tidak terlalu penting, jadi lebih baik Zara ikut aku.
Namun, reaksi yang Zara berikan berkebalikan dengan yang kuharapkan. Dahinya berkerut dan ekspresinya tampak tidak terima.
"Maaf, El. Aku nggak bisa. Aku mendapat peran penting dalam acara itu dan aku nggak bisa lepas tanggung jawab gitu aja."
"Apa aku kurang penting bagimu?"
Hening menyelimuti kami. Aku sendiri tidak sadar sudah melontarkan pertanyaan itu dengan intonasi yang tinggi. Zara saja sampai terkesiap mendengarnya.
"Sorry, Ra. Tapi apa nggak bisa digantikan? Aku mau kamu ada di sana. Sudah lama aku nggak pulang. Aku mau sekalian ngenalin kamu ke orangtuaku, keluargaku, Ra. Dan kupikir bulan depan momennya akan sangat pas. Saudara-saudaraku akan berkumpul di rumah orangtuaku." Aku frustrasi dan tampak seperti mengemis padanya.
"Kita bisa lakukan itu lain kali, kan, El? Kamu bisa pulang sendiri tanpa aku kalau menurutmu itu momen yang sangat berarti." Zara berjalan mendekat dan duduk di sebelahku di meja makan. "Aku harus menyiapkan diri dulu agar bisa diterima oleh orangtuamu, El. Aku nggak kayak kamu yang bisa muncul di depan orangtuaku tanpa mempersiapkan diri. Aku dan kamu itu beda."
"Kamu kira aku nggak takut? Aku juga khawatir mereka tidak menerimaku. Tapi mereka orang-orang baik, dan orangtuaku juga akan baik padamu, Ra," sahutku seraya menangkup wajahnya dan mengusap pipinya dengan jempolku.
"Sebulan waktu yang cukup untuk bersiap, 'kan?"
"Tapi aku nggak bisa datang," lirihnya.
Aku memandangnya intens, mencari-cari keseriusan di matanya, dan tanganku terjun bebas dari wajahnya. Kupikir Zara tidak pernah tampak lebih serius dari itu. Akhirnya aku hanya menghela napas. Aku tidak bisa memaksanya lebih jauh. Karena semakin aku melakukannya, aku akan semakin kecewa. Jadi, aku putuskan untuk pulang.
***
Hai! Terima kasih sudah membaca Intertwined sampai di sini 🤗
Kalian yang terbaik. Terima kasih juga karena sudah bertahan membaca cerita yang babnya super banyak ini. Karena aku sendiri belum siap cepat-cepat mengakhiri karyaku yang satu ini 🤧
Ada sepatah atau dua patah kata untuk dua tokoh di atas?
Drop here, 'kay?
See you on next chapter 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top