51 - Teringat

Zara Naulia

Daria tidak hanya dekat dengan El, tetapi sangat dekat. Sejak pertemuan tidak sengaja di sebuah rumah makan khas Korea minggu lalu, ia beberapa kali ikut makan siang bersama kami. Di satu sisi, aku tidak mempermasalahkan kehadirannya, tetapi aku juga merasa risi karena El mengundangnya untuk ikut bersama kami.

Sebenarnya aku tidak memprotes itu pada El. Sebab, hanya Daria yang mengatakan bahwa El mengajaknya. Aku ingin menanyakannya pada pria itu langsung, tetapi aku enggan dikira menolak kehadiran teman baiknya. Terlebih lagi, interaksi mereka memang seakrab itu. Aku sampai merasa berada di dunia yang berbeda.

Siang ini pun seharusnya aku pergi makan siang bersama mereka. Sayangnya, kepalaku terlalu pusing karena akhir-akhir ini tidak bernafsu untuk makan. Tahu bahwa Daria akan makan siang bersama kamu pun sudah membuatku tidak bernafsu untuk makan. Apalagi pekerjaanku sedang banyak dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Jadi, ketika Daria menghampiri mejaku tadi, aku minta ia untuk meninggalkanku.

Harusnya aku lebih memperhatikan kondisiku, karena semakin aku lapar, pusingku semakin menjadi-jadi. Dan ini bukan hal yang baik mengingat aku memiliki penyakit mag yang bisa kambuh kapan saja. Apa aku berlebihan pada diriku sendiri? Mungkin iya. Ditambah, kondisi keluarga ibu akhir-akhir ini juga tidak berhenti kupikirkan.

Akhirnya aku menyerah dan menjatuhkan kepalaku ke atas meja, bertelungkup. Posisi ini terasa lebih baik, sebab kepalaku rasanya sudah semakin berat.

"Ra?"

Abel memanggilku dan aku hanya membalasnya dengan gumaman. Kemudian, tangannya mendarat di bahuku.

"Kamu sakit? Badanmu hangat."

Keningku berkerut karena tidak percaya dengan ucapan Abel. Aku tidak merasakan perubahan apa pun pada suhu tubuhku. Alih-alih merasa gerah karena suhu tubuh yang lebih tinggi, aku justru kedinginan saat ini. Seperti ada seseorang yang sengaja menurunkan suhu AC.

"Ra, kamu masih sadar, 'kan?" Abel mengguncangkan bahuku pelan-pelan.

"I'm sober, don't worry,"  sahutku seraya menyingkirkan tangannya dari bahuku. Aku tidak bisa menahan geli lebih lama lagi karena jari-jarinya terasa seperti menggelitikku.

"Tapi kamu hangat, Ra."

Untuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja, aku lantas bangkit dan duduk dengan tegap. "Lihat, aku nggak papa, 'kan?"

"Kamu tu nggak bakat bohong, Ra. Mukamu pucat tuh. Udah makan belum? Kamu tumben istirahat nggak ke mana-mana," cerocosnya. Keningnya berkerut dan ujung dalam alisnya terjun bebas hampir menyentuh pangkal hidung. Aku menyukainya sebagai teman yang baik, tetapi aku tidak suka ketika ia mengkhawatirkanku.

"Aku cuma nggak pakai lipstik. Tadi udah nyemil snack oat, jadi masih kenyang."

"Serius?" Abel masih menyerangku dengan rasa khawatirnya. "Kalau perlu apa-apa, bilang aja."

"Iya, iya. Udah sana, aku mau ngasih laporan ke Pak Jared." Aku mengayunkan tanganku tanpa tenaga agar Abel kembali ke kursinya dan aku bisa lewat.

Sayangnya, ketika aku hanya selangkah lagi sampai di pintu, Daria muncul di hadapanku. Tepatnya, aku akan keluar di saat yang bersamaan Daria ingin masuk ke ruangan. Kami saling tatap sebentar, and I feel a pang in my heart. Kepalaku semakin berdenyut dan yang terakhir kurasakan adalah tubuhku melayang. Disusul dengan menggelapnya seisi ruangan.

"Zara!"

***

Aku mungkin masih memejamkan mata saat ini, sejenak melupakan kejadian-kejadian yang mengganggu kepalaku. Rasanya menyenangkan terbebas dari beban pikiran itu selama beberapa saat. Sayangnya, itu tidak bisa bertahan lebih lama karena suara nyaring seseorang yang benar-benar sangat menggangguku.

Perlahan kubuka mataku, lalu mengerjap beberapa kali untuk membiasakan mataku dengan cahaya di ruangan ini. Detik berikutnya wajah Yuda memenuhi pandanganku dan berseru keras.

"Kenapa kamu ada di sini?"  Aku terkejut sendiri karena suaraku terdengar lemah. Setelah itu barulah aku sadar kalau seluruh tubuhku pun sangat lemas. Salahku sendiri yang melewatkan sarapan sampai makan siang.

"Sebagai teman yang baik, aku menunggumu di sini," jawabnya bangga. Untuk membuat itu tampak meyakinkan, Yuda juga menepuk dadanya sendiri.

"Aku udah nggak papa, Yud. Kamu bisa pulang." Meski berkata begitu, aku justru enggan untuk beranjak dari kasur klinik kantor ini. Rasanya terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

"Ayo kuantar sekalian."

Aku hanya mengernyit bingung karena tawarannya, dan tampaknya ia pun mengerti dan bicara lagi.

"Seisi kantor heboh karena kamu pingsan. Pas tahu itu kamu, aku mampir sebelum pulang. Katanya kamu juga pulang naik taksi, 'kan? Mendingan sama aku."

Biasanya aku pulang bersama El. Hari ini juga seharusnya ia menjemputku. Aku jadi memikirkannya. Apa El menghubungiku? Ini sudah jam berapa? Aku celingukan mencari keberadaan ponselku. Sampai akhirnya tersedar bahwa orang yang pingsan tidak membawa ponsel bersamanya.

"Kamu cari apa?" tanyanya.

"Ponselku. Kamu lihat?"

Yuda memutar badan dan menghampiri kursi di dekat dinding. Ia meraih sesuatu–yang tidak bisa kulihat karena terhalang oleh tubuhnya–dan kembali menghampiriku kemudian.

"Temanmu mengantarkan ini waktu dia mau pulang. Coba cari, mungkin ponselmu ada di dalam."

"Makasih, Yud," ujarku ketika Yuda menyerahkan tasku.

Tanpa menunda lagi, aku langsung merogoh isinya demi menemukan ponselku. Kupikir akan ada pesan dari El ketika waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Namun, dia tidak mengirimiku apa pun. Satu-satunya pesan masuk yang bukan urusan kerja pun hanya dari Abel.

Seharusnya aku tidak mengharapkan El akan mengirim pesan padaku. Berharap hanya akan membuatku kecewa. Bisa-bisanya aku melupakan hal itu.

"Kamu tau aku kenapa, Yud?" tanyaku tiba-tiba, memecah hening yang mencekam.

"Kata Dokter, kamu kecapekan dan magmu kambuh. Di atas meja ada obat buat kamu minum."

Aku melirik arah tunjuk Yuda di sebelah kanan ranjang tempatku berbaring. Di sana ada satu set obat yang aku tidak mengerti harus diminum untuk apa.

"Makasih. Akan kuminum nanti." Aku mengubah posisiku menjadi duduk dan segera memasukkan obat-obat tadi ke tas di pangkuanku. Selanjutnya aku mengibaskan selimut dan mengulurkan kakiku ke lantai. Ternyata aku masih lemas dan di sekitarku berputar.

"Kamu mau pulang, Ra?"  tegur Yuda.

"Aku nggak berencana menginap di sini, Yud."

"Yaudah aku antar."

Tanganku melambai lemah. "Nggak perlu, aku bisa naik taksi."

"Itu akan membuatku dalam masalah. Aku harus memastikan kamu sampai rumah baik-baik aja."

Ucapan terakhir Yuda membuatku mengernyit heran. "Kenapa? Kamu nggak ada tanggung jawab apa pun atas diriku, Yud."

"Bukan apa-apa. Ayo pulang."

Karena terlalu lemas, aku biarkan saja Yuda membantuku berjalan sampai kami tiba di parkiran. Aku juga terlalu malas untuk mendebatnya.

"Pakai ini, Ra."ok

Aku mendelik kaget ketika Yuda menyodorkan helm padaku. Ia menggunakan sepeda motor. Tahu seperti ini, aku pulang naik taksi saja. Bukan karena gengsi, tapi di kondisiku sekarang, aku akan lebih mudah masuk angin jika diterpa angin malam. Ragu-ragu, aku tetap menerima helm darinya.

"El nggak bisa jemput kamu waktu kukabari kamu dibawa ke klinik. Tapi dia bilang jam sembilan nanti bakal ke rumah kamu." Yuda menghela napas. "Seharusnya nggak kukasih tau biar jadi kejutan."

Aku memutar kedua bola mataku dan tersenyum lega. Senang rasanya mengetahui bahwa El memang sedang sibuk.

***

Sayangnya pukul sembilan yang dijanjikan sudah berlalu dua jam yang lalu. Kalau tahu dia tidak akan datang, aku bisa tidur dari tadi. Aku hanya tidak bisa membiarkan tamuku datang sia-sia jika sebagai tuan rumah, aku malah tidur. Sayangnya, karena menunggu, kepalaku jadi semakin pusing. Aku sudah meneleponnya, tetapi tidak kunjung tersambung.

Mungkin El memang sangat sibuk dengan kerjaannya sekarang. Aku perlu terus mengingatkan diriku sendiri bahwa ada banyak hal yang memiliki peluang untuk menjadi prioritas seseorang, dan aku harus bisa memaklumi semua yang termasuk dalam prioritas El. Kendati menyandang status sebagai calon istrinya, aku tidak boleh menuntut El untuk menempatkanku di atas semua urusannya.

Suhu udara semakin menurun, terlebih lagi karena di luar sana sedang hujan. selimut yang kupakai saat ini pun tidak cukup untuk menghalau dinginnya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah ke kamar. Minum obat lalu tidur. Aku yakin akan tidur nyenyak malam ini.

Aku baru mengibaskan selimut ketika kudengar suara ketukan di pintu rumahku. Sambil menyeret selimut, aku berjalan pelan ke ruang tamu. Sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara agar seandainya si pengetuk adalah seorang penjahat, tidak akan tahu jika aku ada di rumah.

El datang. Aku baru menilik melalui celah gorden dan menemukan pria itu di sana dengan membawa sesuatu di tangannya. Ia tidak lagi mengenakan pakaian kerja, jadi kupikir ia pulang dulu sebelum datang ke rumahku.

Tanpa membuatnya menunggu lebih lama lagi, aku membukakan pintu. Belum sempat aku menyapa, El sudah menarikku ke dalam pelukannya. Rengkuhannya terasa lebih hangat dari selimut yang kukenakan tadi, sampai membuatku berharap agar waktu berhenti saat ini juga. Namun, akal sehat menampar kesadaranku, dan aku segera menarik diri dari pelukannya.

"Kukira kamu nggak akan datang." Aku membuka suara. "Nomormu juga nggak bisa dihubungi."

"Maaf karena datang terlambat. Tadinya aku ingin menemuimu besok karena kupikir kamu udah tidur sekarang." Tangan El meraba-raba lenganku sebelum mendarat di dahiku. "Kamu demam, Ra. Harusnya kamu nggak perlu nunggu aku."

"Aku nggak bisa tidur," sahutku. Aku tidak ingin mengakui bahwa aku memang menunggunya. Sebab, itu akan membuatnya merasa bersalah kepadaku.

"Pasti belum minum obat? Obat demam biasanya punya efek mengantuk, Ra."

Justru itulah alasan kenapa aku belum meminumnya  sampai sekarang. Aku tidak ingin tertidur sebelum El datang.

"Tapi aku benci obat," sahutku seadanya.

"Dan aku lebih benci melihat kondisimu sekarang. Ayo masuk."

El menutup pintu rumahku dan menguncinya. Tiba-tiba bersikap seperti seorang tuan rumah.

"Kamu bisa jalan sendiri?" tanyanya dengan jarak wajah yang terlalu dekat denganku. Aku sampai harus memundurkan kepala agar tidak terjadi sesuatu di luar harapan.

"Aku masih–"

"Nggak." El memotong pembicaraanku seraya menggendongku ala bridal style. "Kamu pasti lemes," sambungnya.

Aku yang tidak terbiasa diperlakukan seperti itu lantas mengayunkan kakiku agar ia segera menurunkanku.

"El, turunin aku, dong," pintaku. Namun, ia tidak menggubris dan membawaku kembali ke ruang tengah. Dan aku terpaksa berpegangan di lehernya.

"Kamu mau berbaring di kamar atau di sini?"

"Di sini aja nggak papa," sahutku lemah.

El menurunkanku di sofa perlahan-lahan. Kemudian menyelimutiku dengan selimut yang kuseret-seret dari tadi.

"Obatnya mana? Kamu sudah makan belum? Aku beli sop di depan komplek rumahmu tadi. Kamu punya nasi, 'kan? Biar aku ambilkan."

El tidak memberiku kesempatan untuk bicara dan ia sudah melesat ke dapurku tanpa bersuara lagi. Yang terdengar berikutnya adalah suara plastik dan peralatan makan yang beradu. Tak lama kemudian, ia kembali lagi dengan mangkuk dan gelas berisi air putih.

Aku bangun dan mengulurkan tangan ingin mengambil alih mangkuk itu darinya. Namun, El menjauhkannya.

"Aku akan menyuapimu. Ayo buka mulutmu," ujarnya sambil menyendok nasi dari mangkuk.

"Aku bisa makan sendiri," tolakku.

"Nggak. Anggap aja kita impas. Waktu aku sakit, kamu merawatku. Sekarang biarkan aku melakukan hal yang sama."

Mengingat interaksi kami selama ini, aku mulai mengerti jika El cukup keras kepala. Dan aku tidak memiliki cukup tenaga untuk melawannya. El menyuapiku dengan telaten sampai isi mangkuk itu habis tak tersisa. Nyatanya, aku memang kelaparan.

"Obatnya ada di atas meja rias di kamarku, El," ujarku ketika menemukan gelagatnya sedang mencari-cari sesuatu di sekitar kami.

El hanya mengangguk sekali sebelum pergi ke kamarku. Sementara aku di sini hanya memperhatikannya sambil menahan senyum. El hanya akan diam jika sudah sangat serius. Seperti tadi, aku bisa melihat betapa ia sangat khawatir akan kondisiku. Tatapannya terlalu mengintimidasi sampai aku tidak mampu menolak suapan darinya.

Saat-saat ini mengingatkanku pada masa ketika aku merawatnya yang sedang sakit. Sayangnya, semakin aku mengingat detil dari apa yang terjadi kala itu, senyumku perlahan luntur. Sekarang aku ingat kenapa nama Daria terdengar tidak asing olehku.

Malam itu, dalam tidurnya, El menyebutkan satu nama dan memintanya untuk tidak pergi. Jika sudah sampai seperti itu, pasti Daria pernah sespesial itu bagi El, bukan? Jantungku mulai menggila di dalam sana hingga menimbulkan sesak. Aku berharap ini bukan karena cemburu, melainkan rasa kecewa karena El tidak berkata jujur tentang hubungan keduanya.

"Ini obatnya, Ra."  El kembali dan meletakkan obat di atas meja, bersebelahan dengan gelas air minumku.

Sementara aku hanya menatapnya sambil mempertimbangkan apakah aku menanyakan hal itu padanya atau tidak. Bagaimana jika kuungkit lagi akan membuat hubungan kami merenggang? Atau apakah itu akan menyinggungnya? Namun, aku harus memastikannya agar tidak menimbulkan prasangka buruk pada Daria.

"El, sebenarnya Daria itu siapamu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top