50 - Terbiasa
Rafael Lazuardi
"Aku tau kamu mau bawa aku ke mana."
Zara tiba-tiba bicara seperti itu ketika kami baru saja berbelok ke kanan di bundaran dengan air mancur di tengahnya. Sebab untuk pergi ke sana, hanya jalan ini yang bisa dilewati. Jika Zara sering pergi ke sana, ia pasti sudah hafal dengan pemandangan di sekitar jalan yang dilewatinya.
"Ke mana?"
"Kalau kujawab, bukannya akan merusak kejutan yang kamu rencanakan?" sahutnya dan tersenyum jenaka.
Jika tebakanku benar, ia pasti membayangkan tempat favoritnya sekarang. Sebab suasana hatinya tampak lebih baik daripada tadi.
"Ini bahkan tidak direncanakan sama sekali," sahutku dengan bangga. Bagaimana tidak? Dengan Zara yang jadi seceria itu membuat rasa percaya diriku meningkat begitu saja. Rasanya seperti aku berhasil menyelesaikan sebuah tantangan.
"Tapi kamu datang ke rumahku untuk apa? Bukannya kamu selalu punya rencana?" sahutnya bingung.
"Rencana apa?" godaku. Aku mengerling sebentar meski selalu ingin menatapnya sesering mungkin. Sayangnya di depanku ada lajur yang harus diperhatikan jika aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kami.
"Apa aku harus mengatakannya?"
"Tentu."
"Rencana untuk ... membuatku senang?" tanyanya dengan suara pelan.
Aku selalu tahu Zara tidak pernah merasa percaya diri terhadap hal-hal seperti itu. Hingga aku dapat menyimpulkan bahwa Zara pasti sedang malu sekarang.
Tadinya aku ingin merespons ucapannya, tetapi ia kembali bicara dan kali ini terdengar panik.
"Tidak, tidak. Aku bukannya terlalu percaya diri dan menganggap semua yang kamu lakukan hanya untuk membuatku merasa senang, tapi aku tidak pernah berhenti merasa begitu kalau kamu melakukan sesuatu untukku. Jadi–ya ... itu ... aku benar-benar malu karena sudah mengatakannya."
Zara mengatakan itu cepat sekali, tidak memberiku kesempatan untuk menyela sedetik pun. Dan ketika kulirik, ia sudah menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Sampai-sampai aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyunggingkan senyum.
Aku baru saja menemukan Zara dengan sifat manjanya. Nada bicaranya memang persis seperti ketika ia merengek pada ayahnya. Hal itu membuatku berpikir jika Zara mulai merasa nyaman berada di sekitarku. Kendati Zara sudah beberapa kali mengatakannya, aku belum benar-benar puas jika ia belum menunjukkan seluruh emosi dan ekspresinya kepadaku.
"Kenapa sampai nutupin muka, Ra?" tanyaku seraya menarik sebelah tangannya. "Lagian kamu benar, kok. Membahagiakan kamu adalah tujuanku sekarang."
Tanganku perlahan merambat turun dari pergelangan tangan sampai telapaknya. Bersamaan itu pula jantungku berdebar luar biasa di dalam sana, persis remaja labil yang ingin memegang tangan kekasih pertamanya. Kemudian menyelipkan jari-jariku di sela jari tangannya. Aku menggenggamnya erat untuk membuat Zara yakin dan percaya padaku. Beruntungnya, ia tidak menolak.
"Kamu nyangka nggak aku bakal ngomong begitu? Aku nggak lho, El."
"Dari dulu aku selalu yakin suatu saat kamu bakal mengakui itu."
Ini buruk, rasa percaya diriku terus meningkat begitu saja. Sulit untuk menaklukkan Zara, dan sekali berhasil membuatnya tersipu, euforia meledak begitu saja dalam perutku. Bahkan untuk merayakannya, aku sampai berani menarik tangan Zara dan menciumi ruas-ruas jari kami yang bertemu. Dan Zara tidak merasa keberatan sedikit pun, ia diam saja.
"Kamu bener-bener pria penuh percaya diri sejak dulu ya," celetuknya diiringi kekehan. "Pantas saja banyak cewek yang naksir kamu."
"Ra, bisa kita nggak bahas bagian itu? Lagi-lagi aku merasa seperti seorang pria kurang ajar," sahutku lemah. Hal itu selalu membuatku merasa buruk di depan Zara, tak peduli berapa kali ia mengucapkannya. Alih-alih terbiasa, aku justru semakin merasa menyesal.
"Lho? Tadinya aku bermaksud memuji."
Ternyata aku sudah salah menangkap maksud kata-katanya.
"Tapi mendengarnya darimu selalu membuatku merasa sangat bersalah," lirihku. Aku terpaksa melepaskan tautan tangan kami karena lampu lalu lintas di perempatan berwarna merah, dan aku harus memberhentikan mobilku.
"Aku sudah melukai banyak hati. Kamu tau itu, 'kan? Aku nggak akan terkejut kalau kamu masih takut dekat denganku, Ra."
Seharusnya ini bisa jadi momen yang pas untuk menjelaskan alasanku memilih bergonta-ganti pasangan dulu. Sayangnya, kupikir sudah terlambat untuk menceritakan semuanya. Zara bisa saja menganggap aku mencari-cari alasan agar perbuatanku di masa lalu bisa dimaklumi. Karena jika kupikir-pikir lagi, itu bukanlah cara yang baik untuk mengatasi kesepianku. Mengandalkan orang lain untuk melampiaskan sunyi, bukankah sama halnya dengan memanfaatkan mereka?
Mau aku berubah jadi sebaik apa pun, atau menyesali apa yang telah terjadi, masa lalu akan tetap menjadi bagian dari diriku tanpa bisa dibuang. Entah itu hal yang baik atau buruk, akan selalu mengiringi seperti sebuah nama belakang.
Rafael si playboy kelas kakap, sudah biasa kudengar.
"Aku tahu kamu punya alasan untuk itu, El. Dan aku ... harus menerimanya, 'kan?"
Aku spontan menatapnya dengan alis berkedut. Zara sudah membuatku terkejut berkali-kali hari ini. Sampai aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi. Terlebih lagi di bagian Zara yang mengetahui sesuatu soal alasan perbuatanku di masa lalu. Mungkin ia hanya menebak, sebab rasanya agak tidak mungkin jika Zara seniat itu mencari tahu tentangku.
Yang kudengar kemudian adalah Zara menghela napas dan tatapannya lurus ke depan. Ada sesuatu yang tampaknya sedang ia pikirkan, tetapi aku tidak berhasil menebak itu apa. Hingga menyisakan rasa penasaran yang terwakilkan oleh kerutan di dahiku.
"Aku jadi terkesan sok tau ya? Ekspresimu sampai kayak gitu." Zara terkekeh canggung kemudian.
"Nggak. Ini cuma kaget, Ra. Nggak nyangka aja kamu bakal bilang begitu. Apalagi aku belum bilang apa-apa ke kamu."
Dan aku langsung merasa bersalah ketika cahaya di matanya sirna begitu saja. Senyumnya luruh seperti tulisan di pasir yang tersapu oleh ombak.
"Aku mempelajari satu hal akhir-akhir ini, El." Pandangan Zara tertuju ke depan dan tampak kosong. "Ketika kita membiarkan seseorang terlibat dalam hidup kita, kita harus menerima segala aspek yang ada pada orang itu. Termasuk masa lalunya."
"Tapi biar aku bisa menerima, aku harus tahu dulu, 'kan?" sambungnya lagi sebelum aku sempat memproses respons apa yang akan kuberikan untuknya.
Zara berhasil membuatku semakin tenggelam dalam rasa bersalah. Terlebih lagi masih ada satu hal yang belum bisa kuceritakan padanya. Ke mana akan kutaruh muka ini jika suatu saat Zara mengetahuinya selain dariku?
***
Sudah hampir senja ketika kami memutuskan untuk pulang. Sekarang kami sudah di jalan pulang. Kami berada di PAUD Kartika lumayan lama tadi. Setidaknya sudah lebih dari cukup untuk membuatnya lupa akan apa yang masalah yang mengganggunya hari ini. Kupikir anak-anak kecil memang obat terbaik untuk melepas stres. Sempat terpikir untuk memiliki banyak anak bersama Zara kelak. Namun, ketika teringat bahwa melahirkan akan sangat sakit bagi wanita, aku menekan kuat-kuat keinginan itu.
Mungkin dua anak saja cukup?
Aku tertawa sendiri karena pemikiran konyolku. Belum apa-apa, aku sudah membayangkan masa depan terlalu jauh.
"Kamu kenapa ketawa sendiri, El?" tegur Zara.
"Nggak papa, Ra. Kamu lapar?" tanyaku, sekaligus mengalihkan pembicaraan.
Zara tidak langsung menjawab. Dari sudut mataku, aku bisa melihat tangannya bergerak naik mengusap perutnya sendiri.
"Iya, aku lapar, El."
Benar-benar tidak ada istilah jaim pada Zara.
"Kita mampir makan dulu gimana?"
"Boleh, El."
"Kamu mau makan apa?" Ini kali pertama aku bertanya seperti itu padanya. Dalam hati berharap Zara tidak akan membalas dengan kata 'terserah' seperti yang biasa menjadi jawaban wanita-wanita di luar sana.
"Aku boleh milih?"
"Iya. Apa aja boleh."
Aku meliriknya dan ternyata Zara sudah memberiku tatapan curiga. "Tumben, El."
"Ya ... aku nggak bisa maksa kamu buat mengikuti seleraku terus, 'kan?"
"Aku nggak keberatan. Toh menu masakan yang kumau selalu ada di rumah makan yang kita datangi," sahutnya dengan tenang.
Aku benar-benar tidak bisa lebih kagum lagi pada sosok Zara. Ia wanita yang simpel. Meski tidak banyak bicara, tetapi berada di sekitarnya tidak akan membosankan.
"Jadi, jawabanmu apa? Aku nggak terima kata terserah, Ra."
Zara tertawa geli. Mungkin ia paham dengan maksud perkataanku.
"Resto makanan Korea? Aku jadi pengin ke sana setelah melihat instastory-nya Vita makan Tteokbokki. Keliatannya enak."
Aku melihat Zara tampak semringah ketika menceritakannya. Jika itu akan membuatnya senang, maka kami akan pergi ke sana. Apa pun akan kulakukan untuk membuat Zara bahagia.
***
Kami tiba di resto khas Korea dan Zara langsung keluar dari mobil tanpa mengatakan apa pun padaku. Dan aku segera menyusul setelah memastikan mobilku terparkir dengan baik.
"El, Zara."
Tanganku sudah hampir menyentuh gagang pintu ketika seseorang memanggil kami. Aku dan Zara berbalik hampir bersamaan, hanya untuk menemukan Daria berjalan ke arah kami. Satu hal yang tidak kumengerti adalah, kenapa kesannya wanita itu selalu ada di mana-mana sampai aku harus menemuinya di sini. Padahal aku dan Zara masih belum berada di dalam kota. Jika dunia itu memang sempit, apakah memang harus selalu dipertemukan dengan Daria?
"Hai, Daria." Zara balas menyapa. Ia tersenyum manis pada mantan kekasihku itu. Hatiku terasa nyeri karena Zara tidak tahu pada siapa senyum itu ditujukan. Entah apa yang akan kukatakan padanya suatu saat nanti.
"Habis kencan ya?" Daria bertanya. Tatapannya hanya tertuju pada Zara, dan sikapnya seolah-olah ia tidak melihatku ada di sini. Mungkin sengaja? Namun, aku tidak bisa berprasangka buruk padanya.
"Kami cuma jalan-jalan biasa tadi," jawab Zara. Ia melirikku seperti memberi isyarat agar aku mengafirmasi ucapannya. Dan aku hanya mampu tersenyum tipis meski agak kecewa mendengarnya.
"Berarti aku boleh gabung sama kalian, 'kan?"
Ini yang kutakutkan sebenarnya. Zara terlalu jujur. Andai ia mengiyakan bahwa kami sedang berkencan, Daria mungkin akan berpikir dua kali jika ingin ikut bersama kami. Karena bagaimanapun, bertemu dengannya saja sudah membuatku merasa tidak nyaman. Satu meja dengannya lagi hanya akan membuatku ingin lekas-lekas pulang.
Perasaanku dibuat kacau karena kehadirannya. Sampai-sampai aku merasa takut jika debar jantungku saat ini bukan untuk Zara, melainkan karena perasaanku untuk Daria yang belum benar-benar hilang.
"Emm ... boleh, kan, El?"
Aku mengangguk lemah. Menolak Zara adalah hal tersulit yang pernah kulakukan akhir-akhir ini. Aku melirik Daria sekilas, dan aku sudah menemukan Daria tampak senang. Aku masih ingat kebiasaannya menggoyangkan tangan saat berjalan ketika merasa senang.
Kami menghampiri meja paling ujung dan seorang waiter mengikuti kami. Pria dengan seragam kerja berwarna hitam putih itu lantas meletakkan menu di atas meja tepat setelah kami duduk. Aku dan Zara berdiskusi tentang menu yang akan kami pesan dan segera menyerahkan buku menunya pada Daria begitu susah menyebutkan menu yang kami pilih.
Selama menunggu makanan datang, Zara dan Daria mengobrol ringan terkait pekerjaan. Keduanya tampak dekat dan itu benar-benar sangat menggangguku.
"El, kamu, kok, diam aja?" Daria tiba-tiba bertanya padaku.
"Kalian asyik mengobrol. Kalau aku nimbrung, kan, nggak nyambung," sahutku dan memaksakan seulas senyum.
"Dulu kamu paling andal kalau urusan speaking, nggak tau topiknya pun tetap ikutan nyaut. Apa yang bikin kamu berubah?"
Pertanyaan Daria terlalu sensitif buatku. Kalaupun aku benar berubah, maka ia sendiri penyebabnya.
Kemudian Daria terkekeh dan menambahkan, "El sering bikin kopi di kantor, tapi waktu makan siang dia pesan lagi. Pokoknya satu cangkir kopi sehari tuh nggak cukup buat dia. Lucu. Sampai perutnya sakit dan ujung-ujungnya minta obat antasida ke aku."
"Kalian sedekat itu? Sampai Daria hafal sama kebiasaanmu, El?"
Pertanyaan Zara sekarang membuatku pusing. Beruntungnya, pelayan datang membawakan makanan kami. Dan aku cukup bersyukur karena mereka melupakan obrolan tadi dan fokus pada makanan masing-masing.
"El, kamu makan lahap juga."
Aku mematung ketika Daria mengatakan itu sambil menyodorkan sehelai tisu mendekati daguku. Dan aku tentu refleks memundurkan kepalaku. Detik berikutnya, ia langsung menjauhkan tangannya, tepat ketika aku melotot kepadanya.
"Maaf kebiasaan lama susah hilang," sambungnya. Kebiasaanku, atau kebiasaannya?
Aku menoleh untuk melihat reaksi Zara. Sudah bisa dipastikan ia adalah pihak yang paling terkejut karena hal tadi. Dan dugaanku benar, aku menemukan Zara memandang Daria dengan tatapan yang sulit diartikan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top