49 - Unanswered
Rafael Lazuardi
"Nomor yang Anda tuju, tidak menjawab, cobalah-"
Aku menghentikan lari hanya untuk menekan tombol di bluetooth earphone-ku, sekadar untuk mengakhiri sambungan telepon yang selalu disambut oleh suara operator. Napasku terengah, selain karena efek berlari pagi ini, aku juga mulai merasa panik. Sebab sosok yang kucoba untuk hubungi sejak satu jam yang lalu tak kunjung mengangkat teleponku.
Sebenarnya, aku sudah diabaikan sejak tadi malam. Aku mengiriminya pesan beberapa kali, tetapi tak kunjung dibalas. Aku masih ingat betul kalau dia ingin istirahat semalam. Jadi kupikir ia sudah tidur, dan aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, pagi ini, meski aku yakin ia sudah bangun karena matahari sudah menampakkan dirinya dengan sempurna, panggilanku masih diabaikannya.
Aku menghampiri sebuah bangku panjang yang disediakan di taman komplek. Duduk di sana dan menyeka peluhku yang mengalir di pelipis dengan handuk kecil dari kantong celanaku. Sudah cukup lama aku tidak melakukan ini, jogging keliling komplek. Akhir-akhir ini tubuhku terasa lebih cepat lelah, dan aku meyakini bahwa itu diakibatkan oleh kurangnya berolahraga.
Ponsel yang kusimpan di kantong celanaku kemudian bergetar panjang. Aku lantas menekan tombol di earphone-ku cepat-cepat, seperti seseorang yang bersemangat ingin menerima hadiah ulang tahun dari orangtuanya. Sebab kupikir, ia menghubungiku lebih dulu karena tidak kunjung menjawab teleponku.
"Halo, Ra, kenap-" Ucapanku terpotong dan keningku berkerut bingung. Sebab yang kudengar di seberang sana adalah suara tangis seorang bocah dan disusul dengan dua orang dewasa berbeda gender sedang mengobrol.
"Rafael! Halo!"
Aku memejamkan mata ketika mendengar teriakan yang melengking dari seberang sana. Sudah sangat lama sejak kali terakhir telingaku dibuat berdengung seperti ini. Tidak bisa dipungkiri kalau aku terkejut bukan main. Bahkan hampir menjatuhkan handuk di tanganku. Orang itu benar-benar tidak berubah.
"Aku nggak budek, Nay," sahutku kesal.
"Sopan santunmu mana? Selain lupa pulang, kamu lupa sama kakakmu juga?"
"Aku selalu memanggilmu begitu kalau kamu lupa."
"Tunggu sampai aku menghajarmu kalau kita bertemu, El," ancamnya, dan aku hanya terkekeh.
Naya Afika Lazuardi, kakak nomor dua yang selalu marah jika aku memanggilnya langsung dengan nama. Dan aku juga sadar sudah tidak sopan padanya. Namun, perbedaan usia yang hanya dua tahun, membuatku enggan memanggilnya dengan embel-embel 'Kak'. Di samping emosian, sebenarnya ia juga supel penuh perhatian. Hingga membuat siapa pun akan merasa nyaman bersamanya.
"Ada perlu apa menghubungiku pagi-pagi? Nggak biasa."
"Sebenarnya aku agak skeptis mau nelpon kamu. Siapa tau jam segini masih ngorok."
Aku memutar kedua bola mataku jengah. Mood-ku sedang buruk dan ini bukan waktu yang tepat untuk meladeni ejekannya.
"Ada perlu apa?"
"Sombongnya kepala cabang yang satu ini. Memangnya aku menelepon karena perlu bantuan?"
Tuh, kan, salah lagi.
"Ya terus ada apa?"
"Bulan depan, kan, anniversary Mama sama Papa, mereka mau buat acara kecil-kecilan sekaligus kumpul keluarga gitu. Kamu bisa datang, 'kan?"
Jangankan datang, mendengar acaranya saja sudah membuatku ingin segera menutup teleponku.
"Kenapa kamu yang ngundang aku?"
"Karena aku kakak yang baik, jadi aku yang menghubungi kamu duluan. Mbak Tiara juga nanti datang. Ya ... hitung-hitung reuni keluarga. Kapan lagi coba? Dan kamu bisa ngajak Daria sekalian."
Mengajak Daria? Mana mungkin aku akan pergi dengannya setelah hubungan kami berakhir. Namun, ini bisa jadi kesempatan untuk memperkenalkan Zara pada orangtuaku. Daripada membawa Daria, lebih baik aku pergi dengan Zara.
"Mama juga bilang katanya kangen sama Daria."
"Aku udah nggak sama Daria lagi."
Ada jeda cukup lama setelah aku mengatakan itu. Untuk ukuran seseorang yang sudah dekat dengan Daria, informasi itu pasti membuatnya cukup terkejut.
"Sejak kapan?"
Aku berusaha mengingat-ingat kapan Daria mengakhiri hubungan denganku. Namun, karena itu adalah masa-masa paling menyakitkan, aku memutuskan untuk melupakannya. Yang pasti rasanya sudah sangat lama.
"Aku lupa."
"Sayangnya ... jadi sekarang kamu jomlo?"
Tunggu saja sampai Naya tahu kejadian yang sebenarnya, aku yakin ia akan menarik kembali simpatinya.
"Aku tidak benar-benar sendiri. Ada seseorang yang dekat denganku saat ini."
"Oh! Apa aku kenal dia? Kamu harus ajak dia ke rumah, El. Kami harus bertemu."
Aku tersenyum mendengar antusiasnya. Meski aku menyebalkan baginya, tetapi ia selalu memberi dukungan luar biasa terhadap apa pun yang kulakukan. Bahkan ketika aku
"Kamu akan bertemu dengannya nanti."
"Ei ... aku merasa akan ada kabar baik setelah ini."
"Hm. Nantikan saja," ucapku penuh percaya diri.
"Apa artinya kamu bakal pulang?"
"Akan kulihat nanti. Aku nggak datang kalau dia nggak bisa ikut."
"Dasar bucin," cibirnya.
"Terserah. Kumatikan teleponnya, mau lanjut jogging."
Dan kuakhiri sambungan telepon tanpa menunggu persetujuan Naya.
***
Tidak sanggup dibuat menunggu tanpa kabar oleh Zara, aku memutuskan untuk pergi ke rumahnya. Untuk memastikan bahwa Zara baik-baik saja, aku harus menemui langsung. Sekaligus sedikit menyenangkan hatinya dengan membeli martabak manis berlapis keju saat di jalan ke rumahnya. Aku ingat Zara sangat menyukai keju. Jadi, aku sengaja meminta si penjual untuk menaburi lebih banyak keju. Dan tentunya aku harus membayar lebih mahal untuk itu.
Aku sudah berada di depan pintu rumah Zara. Sebentar aku melihat ke kaca jendela, sekadar untuk merapikan rambutku. Orang-orang mungkin melihatku tampak seperti seorang remaja yang baru saja jatuh cinta, tetapi aku memang ingin terlihat baik di matanya. Meski apa pun yang kulakukan tidak akan mengubah penampilanku saat ini. Yang pasti, aku tidak akan berhenti sampai aku benar-benar siap bertemu dengannya.
Tanganku yang terkepal sudah terangkat untuk mengetuk pintu, tetapi sebelum sempat menyentuh kayunya, pintu itu sudah terbuka.
"Selamat pagi, Ra," sapaku dan tersenyum semanis mungkin untuknya. Namun, ia hanya tersenyum geli ketika menatapku.
Aku memperhatikannya dengan kening berkerut. Zara masih mengenakan piyama panjang berwarna merah marun dengan motif polkadot. Lalu rambut sebahunya digelung asal hingga menyisakan beberapa helai rambut yang berantakan. Wajah bangun tidurnya juga tidak buruk, tidak berbeda jauh dengan yang biasa kulihat. Kendati bukan kali pertama aku melihatnya berpenampilan seperti ini, tetapi aku selalu berhasil dibuat terpesona.
"Kenapa cekikikan begitu?" tanyaku.
"Kamu kenapa cerminan di jendelaku lama banget?"
"Kok ... kamu tau?"
"Kaca jendelaku satu sisi. Aku bisa ngeliat kamu di luar, tapi kamu nggak bisa liat ke dalam," jawabnya seraya terkekeh.
Aku tersenyum masam. Pantas saja pantulan diriku tampak sangat jelas di jendelanya tadi. Kenapa aku sebodoh itu sampai tidak menyadari bahwa ada kemungkinan Zara akan melihat keluar jendela.
"Aku dengar suara mobil, tadinya mau ngecek siapa yang datang. Tapi kamu udah menampakkan diri di jendelaku."
"Harusnya kamu beritahu aku lebih awal soal jendelanya, Ra," keluhku. Aku menggeleng dan menutupi wajahku sendiri. Pasti ia melihatku mencoba berkali-kali tersenyum dengan baik tadi. Memalukan.
"Kamu sudah keliatan baik dengan apa pun yang kamu kenakan, El," ujarnya dan tersenyum.
Aku tidak tahu apakah itu benar pujian, atau Zara hanya ingin membuatku merasa senang. Namun, rasanya opsi kedua agak tidak mungkin. Sebab, wanita seperti Zara tidak akan pernah terpikirkan untuk menghibur orang lain seperti itu.
"Kamu belajar gombal dari mana, Ra?" gurauku.
"Hah? Gombal?" Reaksi yang sesempurna ekspektasiku.
"Nggak papa, Ra." Aku mencubit hidungnya sampai memerah. "Aku beli martabak manis dengan keju ekstra waktu di jalan tadi. Kamu udah makan siang?"
Ekspresinya langsung berubah total ketika kutunjukkan kresek di tanganku padanya. Bukan sesuatu yang baik, dan itu mulai menggangguku. Aku hanya berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi padanya.
"Aku nggak nafsu makan, El," lirihnya.
Sekarang mood-nya berubah total. Baru beberapa detik yang lalu ia tersenyum, tetapi sekarang ia jadi tampak murung.
"Kamu kenapa? Sakit?" Aku menyentuh dahinya dengan punggung tangan. "Atau ada yang gangguin kamu? Coba kasih tahu aku."
Alih-alih menjawab, Zara justru memandangku dengan ekspresi yang hampa. Seperti pikirannya sedang kosong dan matanya berupaya mencari-cari sesuatu dariku untuk mengisi pikirannya. Sampai akhirnya aku menyadari jika kantung matanya menghitam dan berkantung. Tidak terlalu jelas jika hanya dilihat sekilas.
"Ra, jangan bikin aku khawatir." Sebelah tanganku terangkat untuk menangkup wajahnya. Lalu memberi usapan lembut di pipinya menggunakan jempolku.
"Aku nggak bisa tidur semalam."
"Katanya mau istirahat, 'kan?"
"Iya. Tapi gagal." Meski ekspresinya tampak sedih, tetapi ia masih bisa terkekeh.
Aku mundur beberapa langkah dan merentangkan tanganku. Namun, sebelumnya sudah kuletakkan kresek berisi martabak yang kubawa tadi ke atas meja yang ada di teras rumah Zara.
"Kamu ngapain?" tanyanya.
"Kamu perlu pelukan. Ayo sini."
"Hah? Ada-ada aja kamu, El." Setelah itu, Zara justru memutar badan dan masuk ke rumahnya. Aku memanggilnya, tetapi ia abaikan.
Aku sudah menunjukkan sikap penuh perhatian, tetapi tidak berarti apa-apa baginya. Sekarang apa yang harus kulakukan?
***
Ini agak menyebalkan sebenarnya. Kami sudah menghabiskan dua puluh menit tanpa melakukan apa pun di ruang makan. Bahkan martabak manis yang sudah dipindahkan ke atas piring pun tak tersentuh sama sekali. Padahal aku sudah menatapnya lapar, tetapi aku tidak ingin memakannya sebelum Zara. Apalagi aku sengaja membeli itu untuknya. Aku benar-benar tidak sanggup jika seperti ini terus selama beberapa jam ke depan.
Otakku mulai bekerja keras mencari-cari ide untuk mengembalikan mood Zara. Sampai aku ingat akan senyum Zara waktu itu. Mungkin jika kubawa ia ke sana lagi, suasana hatinya akan membaik.
Sebenarnya aku sangat penasaran akan apa yang mengganggu pikirannya saat ini, tetapi aku tidak bisa memaksanya untuk bercerita ketika kondisinya masih seperti ini. Mungkin nanti, setelah membaik, baru aku akan bertanya apa yang terjadi padanya.
"Ra," panggilku.
"Iya, El?" balasnya cepat. Kukira ia melamun tadi, ternyata tidak.
"Kita jalan-jalan yuk?"
"Ke mana?"
"Ke tempat yang kamu suka."
Meski tujuannya bukan tempat yang kusukai, tetapi untuk Zara, aku akan menahan diri. Menahan diri untuk tidak bersikap sembarangan lagi nanti.
Semoga berhasil, Rafael.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top