41 - Datang tak Diundang

Zara Naulia

Momen yang dinanti-nantikan oleh keluarga kami akhirnya tiba. Semua orang sudah berkumpul di venue acara ijab kabul akan berlangsung. Sementara aku masih berada di kamar Nanda, menemaninya dirias oleh MUA. Sambil menunggu, aku menelepon ibu, ingin memberitahunya bahwa aku sedang bersama Nanda.

Kendati telah berpisah, keluarga ayahku masih menganggap ibu sebagai bagian dari mereka. Hanya karena keegoisan abah, ibu jadi tidak bisa berhadir di sini.

Baru beberapa detik aku menekan tombol video call, wajah ibu sudah memenuhi layar ponselku. Pasti beliau sedang bersantai sekarang.

"Zara, ada apa menelepon, Nak?"

"Itu Tante Mei, Kak?" Nanda bertanya.

Suara ibu memang sangat nyaring. Itu sebabnya meski aku duduk di sisi kamar Nanda yang lain, yang mana cukup jauh untuk dapat mendengar pembicaraan orang lain di telepon, Nanda masih bisa mendengar suaranya. Padahal aku belum menekan tombol speaker.

"Iya, Nda," sahutku sebelum kembali menatap layar ponselku. "Lagi ngapain, Bu? Fia sama Daffa belum tidur, 'kan?"

"Kami lagi nonton TV. Jam main ponselnya Daffa udah abis, jadi dia minta ditemani nonton Film."

Aku terkekeh mendengar jawabannya. "Berarti sekarang Abah nggak ada, Bu?"

Karena jika abah di rumah, Daffa boleh main ponsel sepuasnya. Dan aku tidak suka ketika adik-adikku bermain sampai lupa waktu.

"Iya, lagi banyak barang yang diangkut. Jadi tiga hari lagi baru pulang."

"Yahh kalau tau gitu, Ibu Zara ajak ke sini," sesalku dan ibu hanya tertawa. Tawa yang lirih sebenarnya sampai aku merasa sesak saat mendengarnya.

"Zara masih bisa ngajak kami ke sana lain kali. Omamu mana?"

"Oma–"

"Tante, Nanda nggak dicari?"

Ucapanku terputus karena teriakan Nanda. Mukanya berpaling ke arahku. Karena sikapnya itu, si MUA jadi kesulitan merias bagian matanya. Nanda terlalu banyak bergerak.

"Selesaikan riasanmu dulu, Nda," tegurku.

"Mana Nanda, Ra?"

Aku kembali menatap layar ponselku dan menjawab, "Ada. Lagi dirias, Bu."

Tiba-tiba Nanda menabrak bagian kanan tubuhku dan merampas ponsel yang kupegang.

"Nanda di sini, Tante!" sapanya sambil melambaikan tangan ke layar ponselku.

Aku melirik sang MUA yang mematung di tempatnya berdiri dan meringis. "Ya udah kalau gitu rias saya dulu aja, Mbak."

***

Seluruh keluarga besar kami dan keluarga besar Rafi, calon suami Nanda, sudah berkumpul di venue. Kamu semua mengenakan busana berwarna putih, melambangkan kesucian acara malam ini. Dan karena ini merupakan acara sakral, aku sengaja tidak menyalakan ponselku. Aku tidak boleh melewatkan sedetik pun sesi pengucapan ijab kabul kedua mempelai. Ya, hitung-hitung sebagai latihan sebelum aku sendiri yang berada di posisi Nanda.

Sosok El muncul dalam bayanganku ketika aku mengilustrasikan diriku duduk di depan sana. Aku tidak mungkin melakukannya sendirian. Dan siapa lagi yang akan terbayangkan olehku selain Rafael? Tidak mungkin aku akan membayangkan Ren.

Spontan, aku menatapnya yang duduk di paling ujung sebelah kanan paling depan. Ada kamera di lehernya. Ia mendapat posisi spesial itu karena harus mendokumentasikan keseluruhan acara. Sementara aku duduk mengasuh Zia dengan Caca di sebelah kiriku, dan di sebelah kananku kosong. Duduk di paling ujung belakang. Sengaja kupilih di sini agar ketika Zia mulai menangis, aku bisa membawanya pergi dengan mudah.

Nanda baru saja tiba di venue dengan digandeng oleh Om Edi. Aku melihat senyum Nanda dan perasaanku lantas menghangat. Tidak pernah aku melihatnya sebahagia itu sebelumnya. Aku terharu. Dulu ia sering kali menceritakan tentang pria-pria yang menyakitinya melalui telepon. Dan yang membuatku bingung, kalau sudah tau disakiti, kenapa harus mendekati mereka lagi?

Namun, sekarang aku tahu itu bagian dari usaha Nanda mencari pria yang mau dan ikhlas membersamai dengan segala kekurangannya. Rafi-lah hasil dari usahanya selama ini. Aku bisa melihat cara Rafi menatap Nanda; penuh cinta dan begitu mendamba, seolah hanya Nanda satu-satunya wanita di dunia ini.

"Kak Nanda cantik ya, Kak," bisik Caca padaku.

"Iya, nanti Caca bakal kayak gitu juga," sahutku.

"Masih lama, Kak. Caca masih kecil, Kak Zara yang duluan."

Aku menaikkan kedua alisku, memandangnya tak percaya. "Lho, Caca mikir apa? Yang Kakak maksud itu, cantik juga kalau dirias, bukan nikahnya lho."

Caca tersenyum malu dan menyembunyikan wajahnya di lipatan lenganku, tepat di depan perut Zia. Tak lama kemudian, Zia mengangkat tangannya dan memukul kepala Caca. Rupanya balita ini merasa terganggu dengan yang dilakukan kakaknya.

"Tat Caca ahas!" teriaknya dan kembali memukulinya sampai Caca mengaduh. Namun, anehnya tidak sedikit pun Caca mengangkat kepalanya atau setidaknya menghindari pukulan Zia.

"Hayoo Adek nggak boleh gitu sama Kak Caca ya," ujarku sambil menangkap pergelangannya dan mengusap-usapnya punggung tangannya dengan jempol; salah satu cara untuk membuat Zia tenang. "Kak Caca harusnya disayang kayak gini," sambungku sambil menuntun tangan Zia untuk mengelus kepala Caca.

Caca mengangkat kepalanya dan menjulurkan lidahnya pada Zia. "Adek nakal."

"Tata akal!"

Aku hanya bisa menegur Caca lewat tatapan, sekaligus memintanya untuk duduk dengan benar. Sebentar lagi pengucapan ijab kabul dimulai dan aku tidak ingin jadi pusat perhatian karena keributan dua bocahku.

"Kayaknya aku datang tepat waktu."

Aku menegang setelah mendengar orang itu bicara. Suaranya yang familier membuat darahku berdesir sampai jantungku berdetak lebih cepat. Aku tidak berani menoleh, takut suara itu hanya ada di dalam kepalaku. Kehadirannya adalah yang kuharapkan, tapi aku juga tahu itu adalah hal terakhir yang akan ia lakukan.

Rafi mulai mengucapkan kalimatnya, dan aku tidak bisa fokus mendengarnya karena kepikiran dengannya lagi. Aku mengeratkan lingkaran tanganku pada Zia, seperti menahan jantungku agar tidak melompat keluar saking kuat detaknya. Lama-lama seperti ini mungkin aku bisa gila.

"Ra? Kamu nggak mau nyapa aku atau semacamnya?"

Akhirnya kuberanikan diri untuk menoleh. Si pemilik suara tersenyum hangat padaku. Namun, aku hanya mampu membulatkan mataku. Reaksi yang buruk untuk menyambut seseorang sebenarnya.

Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku merindukannya. Ingin mengatakan betapa bodohnya aku menunggu karena ia tak kunjung membalas pesanku. Ingin memakinya yang enggan membicarakan masalahnya padaku. Ingin memukulnya–kalau boleh, aku ingin membuatnya jera.

Namun, yang terucap oleh bibirku justru, "Kamu, kok, bisa ada di sini?" Dengan suara yang pelan tentunya.

"Bukannya kamu yang ngasih tau aku alamatnya, Ra. Lupa ya?"

Aku mengernyit kebingungan. Apa aku lupa ia sudah membalas pesanku dan aku membalasnya lagi? Aku jelas tidak mungkin lupa secepat ini. Jikapun itu terjadi, pasti aku mengetiknya sambil mengigau. Namun, itu jelas mustahil akan terjadi.

Aku celingukan mencari tas tempat aku menyimpan ponselku, bermaksud ingin memeriksa sendiri apakah benar aku mengirimkan pesan itu padanya. Namun, aku kesulitan bergerak karena masih memangku Zia yang lumayan berisi. Sementara tas itu ada di sebelah Caca.

"Aku lupa," sahutku seadanya. Kemudian pandanganku turun pada apa yang dikenakannya. Seperti setelan baju koko berwarna putih, tetapi dengan atasan panjang. Ada ukiran berkilau di bagian sebelah kiri bajunya. Bahkan ia tahu harus memakai baju berwarna putih.

"Maaf sudah membuatmu khawatir."

Aku bisa melihat bahwa ia tulus mengatakannya.

"Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi," sambungnya sambil meraih tanganku dan menciumi jari-jariku. Aku tidak mengerti kenapa ia suka sekali melakukan itu padaku.

Aku menarik tanganku sebelum orang-orang memperhatikan kami. "Apa jaminannya?"

El menatapku mataku lamat-lamat, seperti mencoba untuk masuk ke dalamnya kendati aku tahu itu hanya usahanya untuk meyakinkanku.

"Kamu bisa lakukan apa pun asal jangan tinggalkan aku. Aku nggak sanggup."

"Tapi kamu bersikap seolah-olah pergi dariku, bagaimana mungkin aku nggak akan kabur karena itu?" Aku mengerjap berkali-kali, berusaha menahan agar air mataku tidak mengalir. Riasanku akan rusak hanya karena El.

"Itu tidak akan terjadi lagi. Maaf, aku tau aku pria yang bodoh."

Hal tak terduga yang terjadi selanjutnya, Zia mengulurkan tangan dan memukuli tangan El yang terulur di atas paha. "Bodo!" ujarnya, dan aku melotot.

"El, kamu ngajarin adekku kata-kata yang tidak pantas," tegurku. Lalu merunduk untuk menciumi pipi Zia sambil berkata, "Zia nggak boleh ngomong gitu ya."

Aku menegakkan badanku kembali. Dan Zia justru tidak kunjung mengalihkan pandangannya dari El. Tangannya terulur lagi, dan kali ini bukan untuk memukul, tapi diam saja.

"Adikmu sama cantiknya denganmu." El berujar sambil memainkan tangan Zia. "Boleh aku memangkunya?"

"Bagaimana aku tau kalau kamu bersih?" Aku memicing.

"Dari penginapan, aku langsung ke sini. Tanpa mampir ke mana pun."

Aku menatap Zia lagi. Balita ini tampaknya menyukai El. Sebab tangannya tak beralih sedikit pun sejak tadi, masih berada di atas paha El. "Baiklah," ujarku akhirnya.

El meletakkan sebelah tangannya di punggung Zia dan sebelahnya lagi berada di lipatan lutut. Dan dengan mudah mengangkat Zia ke pangkuannya sendiri padahal adikku yang satu itu cukup berat untuk seusianya.

Aku memandang Zia lamat-lamat, berjaga-jaga kalau ia akan menangis karena dipangku oleh orang asing. Namun, ia sama tenangnya saat bersamaku. Zia benar-benar menyukai El. Mungkin akan seperti itu pemandangan ketika El mengasuh anak kami kelak.

Tunggu, anak kami? Aku pasti sedang melucu sekarang.

Karena Zia baik-baik saja bersama El, aku kembali memperhatikan acara. Namun, aku sangat terlambat karena ketika aku menatap ke depan, si penghulu bertanya, "Sah?"

"Sah!" sahut semua orang, termasuk aku.

Selanjutnya adalah acara penutup. Aku tidak memperhatikan kelanjutan acara lagi karena terlalu asyik memperhatikan El yang membuat Zia tertawa. Aku sampai ikut tertawa karenanya. Kehadiran El di sini membuatku merasa lengkap. Kendati aku masih tidak tahu bagaimana El bisa menyusulku ke sini, melihatnya sudah membuatku senang. Rinduku terobati.

Lima belas menit kemudian acara berakhir. Keluargaku beranjak dari posisi mereka dan beralih ke sisi ruangan yang lain dan menempati meja-meja yang disediakan untuk makan malam bersama. Ayah dan bunda menghampiriku. Aku tidak tahu apa yang mereka katakan, sebab mereka bungkam lagi setelah menemukan El di sampingku–menggendong Zia.

"Lho? Zara nggak bilang kalau temennya ikut," ujar bunda. "Namanya siapa?"

"Selamat malam, Om, Tante, perkenalkan saya Rafael, biasa dipanggil El." El mengulurkan tangannya dan menyalami ayah dan bunda bergantian. Ini yang aku takutkan sebenarnya, aku akan memperkenalkan El sebagai apa?

"Ini acara keluarga, kalau Zara sampai ngajak kamu, berarti kamu orang penting baginya," ujar ayah.

Aku membulatkan mata karena terkejut ayah akan bicara sefrontal itu.

"Kami–" El menggantungkan kalimatnya dan menatapku. Kami bertatapan beberapa saat, berkomunikasi. Sambil berharap ia akan mengerti dan tidak menyebut hubungan kami sebagai pasangan kekasih.

"–memang cukup dekat akhir-akhir ini, Om."

"Zara nggak mau cerita, sih. Hampir aja kami jodohkan." Ayah berceletuk.

"Ayah!" rengekku sambil mencubit lengannya.

"Maaf ya, Nak Rafael. Zara memang wanita yang mandiri, tapi kalau sudah sama ayahnya–" Bunda menghela napas. "–bisa manja juga."

El tertawa ringan dan menatapku dengan tatapan yang aku tidak mengerti apa maksudnya. Dan itu membuatku berdebar lagi.

"Zara berutang banyak cerita ke kami. Ayo kita makan bersama," ujar ayah, menggandeng Caca lalu merangkul El dan berjalan mendahului kami.

"Bun, Zara malu," ujarku sambil menyembunyikan wajah di bahu kirinya, setengah memeluk.

Bunda tertawa dan menepuk pelan punggungku. "Melihat reaksi Ayahmu, kayaknya dia suka sama cowokmu lho, Ra."

Mereka menganggap El pasanganku. Repot urusannya kalau aku mengelak. Aku hanya bisa berharap di sisa acara malam ini, aku tidak harus menanggung malu kalau ayah menceritakan hal-hal konyol tentangku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top