38 - Bertemu Mantan

Rafael Lazuardi

Aku memijat pelipisku yang berdenyut-denyut. Tumpukan kertas di atas meja sangat tidak membantu. Tadinya aku berencana ingin istirahat lebih cepat dan menjemput Zara untuk makan siang. Namun, Yohanes datang dan membawa berkas-berkas tersebut untuk kutandatangani di beberapa halaman. 

Yohanes menolak ketika kuminta untuk membantuku menemukan halaman mana saja yang harus kutandatangani. Sebab, sebelum berkas ini sampai padaku, Yohanes sudah memeriksa isinya lebih dulu. Jadi aku hanya perlu membaca beberapa bagian dan menemukan tempat untuk ditandatangani.

"Pekerjaanku yang lain masih banyak. Scheduling bikin capek. Cari aja sendiri."

Mungkin hanya Yohanes yang berani mengeluh tentang pekerjaannya pada atasan. Atau karena aku yang kurang tegas padanya. Saking pusingnya, aku sampai tidak berniat untuk menegur sikapnya. Toh, aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya.

Aku tenggelam bersama berkas-berkas ini selama beberapa jam kemudian. Beberapa kali kutelengkan kepalaku hanya untuk mendengar suara 'kretek' di persendian leherku. Lelah sekali rasanya karena terus-terusan menunduk. Yohanes benar-benar menghukumku dengan berkas-berkas ini.

"Han, berkas ini bisa disambung besok, 'kan?" tanyaku, menyembulkan kepalaku di samping monitor.

"Boleh, tapi siap-siap aja investor bakal pindah ke perusahaan lain," sahutnya, masih dengan jawaban yang sama dengan yang kutanyakan .

Sejauh ini, cabang perusahan di bawah pimpinanku memiliki perkembangan yang pesat, koordinat penjualan juga selalu mengalami kenaikan. Itu sebabnya, pusat memercayakan banyak investor kepada kami. Dalam artian, berkat potensi yang kami miliki, mereka melimpahkan sebagian proposal yang diterima oleh pusat kepada kami. Berada di industri otomotif tidak melulu harus memikirkan strategi pemasaran, tapi juga memikirkan permintaan pasar dan menciptakan berbagai inovasi baru untuk produk keluaran terbaru kami.

Aku bukan ingin menyombong bahwa semua keberhasilan itu berkat kemampuanku dalam memimpin. Pemimpin tidak berarti apa-apa tanpa anak buahnya. Dan aku benar-benar kagum dengan kekompakan mereka hingga berhasil membawa perusahaan cabang sampai ke titik ini. Memikirkan tentang itu membuatku ingin berterima kasih pada mereka. Mungkin aku akan menambahkan bonus ke gaji mereka, atau membuat acara makan-makan bersama perusahaan.

Opsi kedua kedengarannya lebih bagus. Selain kami akan menikmatinya bersama, mereka juga dapat mengundang keluarga atau pasangan masing-masing. Dan aku juga bisa mengundang Zara. Aku perlu memperkenalkannya sebagai calon istriku. Baru membayangkannya saja aku sudah tersenyum sendiri.

Aku menutup berkas terakhir dan menatap Yohanes yang tampak serius mengerjakan pekerjaannya. "Han," panggilku.

"Apaan lagi, El? Kalau nanya soal makan siang, bentar lagi sampai. Aku udah pesan dari setengah jam yang lalu," tebaknya dan aku hanya bisa memutar kedua bola mataku.

"Bukan itu."

"Terus apa? Kamu mending diem dan fokus sama berkas-berkasmu aja kalau nggak penting."

Tangannya tidak berhenti menekan tuts-tuts keyboard dan suara yang dihasilkan entah kenapa cukup menggelitik sampai membuatku terkekeh sekarang.

"Padahal aku nggak minta lho, Han. Baiknya asistenku ini," gurauku.

Sejak minggu lalu, Yohanes mengeluh memintaku untuk menyebutnya asisten saja, kendati jabatannya di kantor ini adalah sekretaris. Sejauh ini, kebanyakan posisi sekretaris memang ditempati oleh wanita, dan Yohanes merasa jijik sendiri menyebut dirinya sekretarisku.

"Aku hafal kebiasaanmu yang suka ngeluh kalau kelaparan, El. Sejak dulu, dan kamu sama sekali nggak berubah." Yohanes bergumam. "Yah ... pengecualian buat jiwa player-mu, sih. Yang itu udah hilang."

Senyumku luntur begitu saja. Terkadang Yohanes akan mengatakan hal-hal yang membuatku menjadi sentimental. Dari dulu ia memang selalu jadi teman baikku. Itu sebabnya aku selalu memercayakan kisahku padanya.

"Rafael? Tadi mau ngomong apa?"

Aku kaget Yohanes langsung memanggil nama lengkapku. Jika sampai begitu, pasti ia sudah beberapa kali memanggilku.

"Malam Minggu ada rencana nggak?" Malam Minggu memang waktu yang kupilih untuk mengadakan acara makan-makan perusahaan.

"Nggak. Kenapa?" sahut Yohanes.

Aku menunjukkan senyum terbaikku pada Yohanes. "Rencanakan makan malam perusahaan ya. Ke resto yang bisa menampung seluruh karyawan. Segera booking, untuk menunya kuserahkan padamu."

"Serius? Dalam rangka apa?"

"Untuk pencapaian kita," balasku sambil membentuk gestur pistol dengan dua jariku. "Aku berpikir mungkin perlu sesekali menyenangkan hati anak buahku. Yah ... walau bukan pakai uangku. Tapi kita boleh mengajukan dana untuk kesejahteraan karyawan."

"Makan malam bersama, di mana sejahteranya?"

Aku menggeleng ringan. "Ini baru permulaan, Han. Kita nggak boleh membuang-buang uang dulu."

Yohanes ingin bicara lagi ketika seseorang mengetuk pintu ruangan kami. Salah satu wanita yang berada di posisi resepsionis masuk setelah kupersilakan dan meletakkan makan siang kami di atas meja Yohanes.

"Terima kasih, Dinah."

Si resepsionis tersenyum pada Yohanes dan segera keluar dari ruangan kami.

"Han, ayo bicarakan teknis makan malam sebentar," ujarku sambil mengerling ke arah sofa di sebelah kanan pintu.

***

Gagal makan siang bersama Zara, aku memutuskan untuk langsung menjemputnya saja. Aku masih berutang maaf dan penjelasan padanya. Pesannya sengaja tidak kubalas karena aku lebih suka berbicara langsung tanpa perantara. Mungkin terkesan jahat, tapi untuk kebiasaan yang satu itu, masih belum bisa kuubah. Aku terbiasa menyimpan masalahku sendiri tanpa bergantung pada siapa pun. Dan menemukan Daria di kantor Zara minggu lalu adalah masalah terberat dalam hidupku.

Mobilku sudah terparkir di tempat biasa aku menunggu Zara. Sambil bersandar pada pintu mobil, aku memperhatikan satu persatu wanita yang keluar dari gerbang. Sudah cukup lama aku berdiri di sini, tapi Zara tak kunjung tiba. Ini tidak biasa, jadi kucoba untuk menghubunginya.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif‐

Aku bahkan tidak bisa menghubunginya. Tiga kali mencoba, masih dijawab oleh operator. Karena penasaran, aku memutuskan untuk masuk langsung menemui Zara. Paling tidak aku bisa menghubunginya lewat lewat resepsionis.

Sayangnya, langkahku terhenti ketika di hadapanku berdiri sosok wanita yang selama ini selalu kurindukan kehadirannya. Daria, sama terkejutnya denganku. Walau aku sudah tahu lebih dulu bahwa dia bekerja di kantor Zara, tapi tidak kusangka akan berhadapan dengannya secepat ini. Jujur saja, aku belum siap. Perasaanku pada Zara masih belum kuat untuk menghadapi cinta pertamaku sendiri.

Sekarang, apa yang harus kukatakan?

"Hai, El." Daria yang lebih dulu menyapaku. Senyumnya masih sama, tapi tak bisa menyembunyikan bahwa ia rapuh. Tatapannya menyiratkan luka.

"Daria. Apa kabar?" Canggung sekali. Aku tidak pernah menyukai situasi seperti ini. Terlebih lagi, aku khawatir perasaan yang mulai terkubur ini akan bangkit kembali. Jantungku saja seperti sedang maraton di dalam sana.

"Aku baik. Kamu nungguin siapa, El?" tanyanya. Daria wanita yang ramah. Salah satu alasan aku sampai terpesona padanya.

"Nunggu Zara." Lidahku terasa kelu sekali saat mengatakan dua kata tersebut. Seperti tidak ingin ia tahu bahwa aku sedang dekat dengan orang lain.

Sial, El. Kamu bermaksud ingin kembali padanya?

Yohanes akan marah besar jika itu sampai terjadi. Entah sumpah apa yang akan dilontarkannya padaku jika aku melukai Zara. Tentu saja hal itu tidak boleh terjadi.

"Kamu dekat ya sama Zara?"

Itu pertanyaan yang biasa. Namun, cara Daria menanyakannya, seperti tersirat harapan agar aku menjawab tidak. Daria memang tipe wanita yang mudah sekali terbaca. Terlebih olehku yang sempat bersamanya selama bertahun-tahun.

"Iya. Aku selalu menjemputnya pulang."

Daria hanya menggumam dalam anggukannya. "Tapi Zara cuti, El. Dari kemarin sampai Sabtu. Kamu nggak dikasih tau?"

Aku tidak bisa lebih terkejut lagi. Bukan di bagian cutinya, tapi di bagian di mana Zara tidak memberitahuku rencana apa pun terkait cuitnya. Apa Zara marah karena pesannya kemarin tidak kubalas?

"Aku agak sibuk akhir-akhir ini. Mungkin dia ngasih tau aku, tapi belum sempat ngecek ponselku." Aku beralibi. Tidak mungkin jika kukatakan Zara tidak mengabariku apa pun. Daria pasti akan berpikiran jika hubungan kami sedang tidak baik.

"Jadi pimpinan cabang, pasti bikin repot ya," ujar Daria. Yang mana membuatku menaikkan sebelah alisku. Sebab, ia jarang sekali mengatakan sesuatu yang hanya omong-kosong.

"Iya." Aku tidak heran kalau dia tahu tentang posisiku karena aku sempat dibicarakan oleh orang-orang di kantorku sebelumnya karena berani mengajukan diri untuk memimpin.

Kami sama-sama diam. Pikiranku mulai kacau, sementara Daria tampaknya merasa tidak nyaman dengan atmosfer di sekitar kami. Di satu sisi aku mulai merindukan Zara, sisi lainnya justru terluka karena menemukan Daria di sini. Dua-duanya sama-sama tidak menyenangkan. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini.

Di samping semua itu, aku ingin tahu apa yang membuat Daria pindah bekerja ke sini. Dunia memang sempit, dan takdir seperti mempermainkanku dengan mempertemukan Zara dan Daria. Aku seperti dihadapkan pada dua kesempatan. Pertama, kembali pada Daria. Kedua, mempertahankan hubunganku dengan Zara. Karena aku tidak bisa berbohong kalau perasaanku pada Daria masih lebih kuat daripada Zara.

Sayangnya, aku jelas tahu bahwa opsi pertama tidak bisa kulakukan. Daria sudah bertunangan; itu kabar terakhir yang kudengar tentangnya. Namun, melihatnya di sini sendirian dengan kondisi yang tidak sebaik dari yang terakhir kulihat, membuatku mulai mengkhawatirkannya. Sesuatu pasti telah terjadi padanya.

"Ya sudah, El. Aku pulang duluan ya. Senang ketemu kamu lagi."

Daria mengakhiri ucapannya dengan senyuman termanis yang pernah menjadi canduku. Pun yang pernah menjadi alasanku untuk terus ada di sampingnya. Bahkan sampai sekarang aku masih tidak rela jika ia berhenti tersenyum untukku. Maka, ketika ia berbalik, aku memanggilnya lagi.

"Mau kuantar pulang?"

Jantungku semakin menggila di dalam sana. Sampai-sampai aku khawatir suaranya akan sampai terdengar oleh Daria.

"Kita bisa mampir minum kopi sebentar sambil mengobrol," sambungku.

Sial. Apa yang kupikirkan ketika menawarkan itu padanya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top