37 - Sosok Ren

Zara Naulia

Selama di mobil, aku tidak banyak bicara. Paling hanya menjawab beberapa pertanyaan yang ditujukan padaku. Sedangkan ayah tampak sangat akrab mengobrol dengan Ren. Aku jadi penasaran, jika suatu saat ayah bertemu dengan El, akankah ia juga seramah itu?

El lagi. El lagi. Aku tidak bisa membuangnya dari kepalaku. Terlebih semenjak pesanku tak kunjung dibalasnya. Ponselku tak pernah lepas dari tanganku. Barangkali benda itu akan bergetar dan aku menemukan balasan dari El. Namun, sudah dua puluh menit di perjalanan, aku masih tidak menerima apa pun.

"Zara?"

Panggilan ayah membuatku mengalihkan pandangan dari jendela ke depan. Aku memang duduk sendirian di belakang. Sementara di depan ayah mengemudi bersama Ren di sebelahnya.

"Iya, Yah?" balasku.

"Kenapa melamun? Zara mikirin apa?"

Ayah menatapku melalui kaca spion di atasnya dan aku membalas tatapannya di sana. "Nggak ada, Yah. Cuma ngeliatin jalan."

"Tapi Zara nggak sadar, kan, kami omongin dari tadi?"

"Hah?" Pertanyaan ayah membuatku terkejut. Apa pun itu yang mereka bicarakan tentangku, kuharap bukan sesuatu yang buruk.

"Om bilang kamu kerja di perusahaan telekomunikasi dan berhasil menjadi sub manajer. Itu keren, Ra." Ren bicara. Ia juga menatapku melalui kaca spion dan aku segera mengalihkan pandangan.

"Cuma sub manajer divisi," sahutku sekenanya. Berada dengan seorang pria asing masih membuatku tidak nyaman sebenarnya. Dan aku sudah lupa seperti apa rasanya sejak aku lebih sering menghabiskan waktuku bersama El.

"Itu pencapaian yang bagus. Padahal waktu itu baru dua tahun kerja, 'kan?"

"Iya." Hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Aku benar-benar tidak berminat untuk mengobrol dengan siapa pun saat ini.

Namun, tampaknya dua pria di depanku ini enggan untuk peduli. Mereka terus mengajakku mengobrol meski aku hanya menjawab dengan satu atau dua kata.

Aku kembali memperhatikan jalan. Dan melihat bahwa kami baru saja melewati komplek rumah ayah. Aku mulai panik dan berbagai pemikiran bermunculan di kepalaku. Tak ada satu pun yang bagus sebenarnya. Salah satunya adalah ayah berencana membawaku menemui orang tua Ren.

Teringat akan rencana ayah yang ingin memperkenalkanku pada anak temannya membuatku langsung terpikir ke sana. Bukan tidak mungkin jika anak teman yang ayah maksud itu adalah Ren.

Aku memutar kepalaku dan menemukan mereka masih sangat asyik mengobrol. Karena panik–konyol memang, padahal aku bersama ayahku sendiri–aku memotong pembicaraan mereka.

"Ayah, kita barusan melewati komplek rumah Ayah."

Ayah menoleh menatapku sebentar dan berkata, "Ayah lupa bilang kalau kita langsung ke hotel ya?"

"Ke hotel? Ngapain?"

"Calon besan Om Edi pemilik hotel. Pernikahan Nanda akan diadakan di sana dan kita sekeluarga diberi akses untuk menginap di sana selama seminggu penuh."

Aku menganga. Tidak kusangka hal seperti ini akan kutemukan di dunia nyata. Maksudku, aku sering membaca kisah percintaan CEO perusahaan dengan wanita biasa dengan segala hidup mewah yang mereka nikmati. Dan Nanda, sepupuku sendiri, akan hidup bagai kisah fiktif hasil imajinasi para penulis. Itu sangat luar biasa kalau aku boleh bilang.

Akan tetapi, yang namanya tinggal di tempat orang lain, sebagus apa pun tempatnya, tidak akan membuatku nyaman.

"Gimana kalau aku tidur di rumah Ayah aja? Aku nggak bawa baju banyak kalau harus bermalam seminggu di hotel, Yah."

Dari kaca spion, aku bisa melihat kening ayah berkerut. Siapa pun mungkin akan tergiur dengan fasilitas yang ditawarkan, tapi itu tidak berlaku denganku.

"Kenapa? Ayah, Bunda, sama adek juga nginap di sana, Nak."

"Nggak enak, Yah. Apalagi aku belum pernah ketemu sama mereka."

Ayah menatapku melalui kaca spion dan aku memberinya ekspresi memohon terbaikku padanya. Akhirnya Ayah menghela napas, dan aku selalu tahu itu berarti ia mengalah. Ayah memang tidak bisa menolak permintaanku.

"Tapi kita ke hotel dulu. Nanda udah nggak sabar mau ketemu Zara soalnya."

Aku tersenyum puas. Sejak bertemu mereka, baru ini aku merasa lega. Memikirkan akan bertemu dengan sepupu terdekatku membuatku melupakan kecemasanku tentang El.

Kami tiba di parkiran hotel. Begitu keluar dari mobil, ayah menyerahkan kunci mobilnya padaku.

"Simpan ini, nanti Zara pulang, 'kan?"

"Ayah gimana?" tanyaku saat menerima kunci mobilnya.

"Gampang." Ayah tersenyum padaku sebelum beralih menepuk pundak Ren. "Ren, tolong antarkan Zara ke tempat Nanda ya. Om udah ditunggu sama papamu," ujarnya pada Ren.

"Baik, Om."

Setelah itu ayah memasuki gedung hotel, membiarkan kami tertinggal berdua di parkiran. Rupanya bukan aku yang merasakan atmosfer kecanggungan di sekitar kami. Aku memperhatikan Ren, dan dia tampak seperti orang yang kebingungan. Imejnya berubah setelah tidak ada ayah di sekitar kami. Dari pria keren, menjadi pria yang lugu. Namun, itu hanya berlangsung sebentar. Sebab, ia berdeham dan tampak rileks kembali.

"Ekhem. Sini, biar aku yang bawakan." Ren mengambil alih koper dari tanganku. "Ayo, ikut aku, Ra."

Aku mengangguk dan menggumamkan kata terima kasih. Kemudian kami berjalan beriringan memasuki gedung hotel.

Desain interior hotel ini benar-benar membuatku takjub. Lantai dasarnya dibingkai oleh kolam kecil dengan banyak air mancur kecil. Suara pancuran airnya menciptakan ketenangan tersendiri untukku. Aku bisa tahan duduk di sini selama berjam-jam hanya untuk mendengar suaranya.

"Aku sudah menduga kamu akan menyukainya." Ren bersuara ketika kami tiba di depan elevator.

"Oh? Benarkah?"

Ren tertawa ringan. "Suara air memang sangat menenangkan. Tujuannya tidak hanya untuk dekorasi, tapi juga untuk memberi meditasi ringan bagi orang-orang yang sedang menunggu di sana. Aku yang memikirkan ide itu untuk hotel ini," sahutnya setelah kami berada di dalam elevator. Ia menekan tombol 10, dan itu berarti kami punya banyak waktu untuk mengobrol.

Sebenarnya, aku dibuat takjub dengan pengakuannya saat mengatakan bahwa kolam di sekeliling lobi hotel adalah idenya. Dulu, aku sering mengagumi orang-orang yang berjiwa seni tinggi. Tidak hanya mampu menciptakan sesuatu yang indah, tapi tahu makna dari apa yang ia ciptakan. Dan sekarang Ren adalah satu dari sekian banyak orang yang masuk dalam daftar itu. Hanya sebagai orang yang tahu akan seni, tidak lebih dari itu.

"Itu hebat," pujiku dan tersenyum padanya sebentar.

Kami sama-sama diam kemudian. Jarak kamu berdiri cukup jauh. Sebenarnya, aku yang menjaga jarak darinya. Namun, tampaknya ia mengerti dan tidak berusaha untuk menghapus jarak di antara kami sedikit pun.

"Zara," panggilnya. Mau tak mau, aku menoleh. "Aku bisa tau kalau kamu tipe orang yang tidak banyak bicara. Jadi, pujianmu yang singkat itu memberiku efek yang luar biasa karena aku yakin kamu nggak sering melakukannya. Kamu tau bagaimana menyenangkan seorang pria dengan caramu sendiri."

Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Sebab hal-hal seperti itu tidak pernah kudengar sebelumnya. Soal pujian, aku memang jarang melakukannya kecuali aku benar-benar menyukai hal tersebut. Ren berhasil mengenali sebagian tentangku meski baru sekali bertemu.

"Terima kasih. Itu hal baik yang pernah diucapkan padaku," balasku kemudian.

"Ayahmu nggak bohong waktu cerita tentang kamu."

Oh, tidak. Pembicaraan yang seperti itu selalu membuatku merasa ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi. Kedengarannya seperti ayah menceritakan banyak hal tentangku dan sudah pasti melewatkan bagian jeleknya. Kalau tidak, mana mungkin Ren akan menatapku seintens sekarang.

"Sudah cukup obrolan tentangku. Bagaimana denganmu?"

"Bagaimana ... apanya?" Ren menaikkan sebelah alisnya padaku.

Aku mengulum bibir. Jujur, aku bukan bermaksud untuk tahu sesuatu tentangnya. Itu hanya pertanyaan yang terlintas di kepala agar aku tidak perlu tahu tentang apa saja yang ayah katakan padanya.

"Bukan apa-apa," pungkasku.

Elevator berdenting dan aku bisa melihat layar kecil di atas tombolnya menunjukkan angka sepuluh. Aku mengambil alih koperku bersamaan dengan ia memberitahuku nomor kamar Nanda. Sebelum keluar dari elevator, aku mengucapkan terima kasih padanya. Aku bisa merasakan Ren tampak enggan berpisah denganku, tapi aku berhasil menunjukkan ketidaktertarikanku untuk bersamanya lebih lama lagi.

Bel pintu nomor '1006' kutekan sampai tiga kali sampai kemudian pintu tersebut terbuka. Nanda memekik girang dan menghambur untuk memelukku.

"Ya ampun, Kak Zara. Lama banget kita nggak ketemu," ujarnya di sela-sela pelukan kami.

"I'm trying my best to get here, you know?" Aku bergurau dengan aksen ala-ala wanita karir sebisaku. Sikapku sekarang benar-benar berkebalikan dengan ketika aku bersama Ren tadi.

Nanda memutar bola matanya dan membalas, "Said by the gorgeous woman. Serius, Kak Zara makin cantik aja. Aku sampai iri."

"Jangan lagi-lagi memujiku, Nda. Kita mau sampai kapan berdiri di depan pintu?"

Wanita yang akan menikah ini lalu tertawa geli. "Ayo masuk, Kak."

Aku masuk lebih dulu dan isi di dalamnya membuatku takjub. Entah bagaimana menyebut tipe kamar yang ditempatinya saat ini–aku tidak tahu banyak tentang perhotelan. Ada balkon dan dapur kecil juga di sini. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa di kamar miliknya ini.

"Om bilang Kak Zara bakalan datang, makanya aku beresin dulu kamarnya." Nanda mengatakannya sambil berjalan menghampiriku setelah mengunci pintu.

Sudah kuduga. Itulah bagian yang tidak biasa dari kamar ini. Terlalu rapi. Nanda yang kukenal suka sekali membiarkan barang-barang berserakan di sekitarnya; seperti selimut yang acak-acakan di kasur. Hebatnya, dengan kebiasaan yang sulit hilang itu, Nanda akan menikah. Pria yang akan menjadi suaminya pasti sangat mencintainya sampai mau menerima kebiasaan buruknya.

Ah, aku jadi iri. Bukan karena pernikahannya, tapi karena Nanda sangat dicintai oleh pasangannya sendiri. Aku mulai berpikiran apakah suatu saat El juga akan merasakan hal seperti itu padaku?

"Kak, kok, bengong?" Nanda menyenggol lenganku. "Hayoo mikirin apa?"

Aku meletakkan koperku di bawah jendela kemudian duduk di tepian kasur. "Heran aja, kamarnya rapi. Ternyata karena udah dikasih tau duluan."

"Alasanmu nggak bagus, Kak. Orang yang heran sama yang tenggelam dalam pikirannya sendiri tuh beda tauk. Aku mungkin nggak peka, tapi nampak banget di mukanya Kak Zara."

Aku menahan tawa saat Nanda mulai menempeliku. Jika sudah seperti ini, biasanya ia akan memaksaku untuk bercerita, tentang apa pun itu.

"Kamu ngarepin apa?" tanyaku.

"Aku ngarep Kak Zara bawa cowok lho ke nikahanku. Tapi kayaknya masih sendiri ya?"

Nanda memang tidak tahu apa-apa tentang kedekatanku dengan El. Padahal tak jarang kami saling berkirim pesan. Entah kenapa, aku tidak ingin menceritakannya pada keluargaku sebelum aku benar-benar yakin dengan perasaanku sendiri.

"Sengaja, biar kamu duluan yang nikah," sahutku.

"Ish, Kak Zara selalu gitu. Emang mau nikah umur berapa? Udah tua juga."

Sepupuku yang satu ini memang tidak bisa menyaring kata-katanya. Aku tidak bisa lebih tersinggung lagi karena ejekannya.

"Berapa ya? Tiga puluh, tiga lima? Empat puluh juga nggak papa, sih." Aku menyahut asal.

"Kuamini baru tau rasa lho, Kak," ancamnya. Ekspresinya lucu sekali sampai aku tidak bisa menahan tawa.

"Oh, iya. Anterin ke tempatnya Bunda, dong. Aku belum ketemu sama dua kurcaciku."

"Emang paling jago, deh, kalau urusan mengalihkan pembicaraan," ujarnya kesal. "Yuk, Kak. Kuanterin."

Di belakangnya, aku hanya bisa tersenyum. Kendati dalam hati masih meringis karena aku benar-benar rindu padanya. Sebenarnya ini permintaan yang aneh, tapi aku berharap ia akan muncul di hadapanku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top