36 - Ungkapan Rasa

Zara Naulia

Aku menghela napas ketika membaca ulang kata demi kata yang tertulis di surat pengajuan cutiku. Pak Jared setuju meski aku baru bicara secara lisan padanya. Ia memintaku untuk langsung mengajukan surat kepada pihak HR. Aku tentu saja senang. Tidak sabar lagi rasanya ingin bertemu dengan adik-adikku. Dan kali ini, aku harus berhasil cuti.

Sambil menjinjing amplop cokelat berisi surat pengajuanku tadi, aku berjalan menuju elevator. Di saat yang bersamaan, Daria datang menyusulku dan ikut masuk ke elevator.

"Mau ke mana?" tanyaku.

"Ruangan HR untuk evaluasi mingguan," sahutnya dengan tenang. Kendati begitu, aku bisa melihat bibirnya bergetar.

Aku mengangguk saja. Baru kuingat kalau ia sudah satu minggu bekerja di sini. Kejeniusan yang dimilikinya memudahkan dalam mengajarinya berbagai hal. Ia belajar cepat dan aku merasa beruntung untuk itu.

Itu jadi mengingatkanku tentang masa-masa di mana aku masih menjadi karyawan baru. Waktu itu Pak Jared langsung yang menjadi pembimbingku. Aku selalu merasa newbie jika bertemu dengan karyawan yang lain. Dua tahun pertama bekerja, aku bahkan tidak berani mengambil cuti.

"Kalau kamu ke mana?" Daria balas bertanya sambil melirik amplop yang kubawa.

"Sama. Aku juga perlu menemui HR."

Setelah itu tidak ada obrolan lagi di antara kami. Keheningan menyelimuti sampai terdengar suara dentingan elevator yang berhenti di lantai dua, tujuan kami.

"Karena urusanku dengan HR agak lama, jadi kamu duluan aja," ujarnya.

"Terima kasih, Daria."

Aku melangkah memasuki ruangan HR, sedangkan Daria menunggu di sofa depan ruangan.

Daria. Daria. Daria. Sejak awal ia memperkenalkan dirinya di depan kami, aku merasa tidak asing dengan namanya. Bahkan selama mengajarkannya beberapa hal terkait tugasnya, aku tidak berhenti memikirkan kapan tepatnya aku mendengar namanya disebutkan. Namun, semakin lama aku mengingatnya, aku jadi kesal sendiri.

Sudahlah, memang ada banyak orang yang memiliki nama yang sama di dunia ini. Aku bisa saja tidak sengaja mendengar nama itu saat melewati sekelompok orang yang sedang mengobrol. Dan faktanya, itu justru bukan sesuatu yang harus kupikirkan.

***

Pulang kerja hari ini, aku akan pergi menemui Vita. Kami membuat janji dadakan mengingat El tidak mengatakan apa pun tentang ingin menjemputku. Sekali lagi, ia lenyap tanpa kabar sedikit pun. Kuharap, ia tidak berakhir sakit seperti kemarin lagi. Bukan tidak ingin merawatnya, tapi aku kesal jika ia selalu seperti ini. Menghilang tanpa kabar dan kembali dengan kabar yang mengejutkan.

Kukira aku bisa menganggap hal ini biasa saja; seperti dua orang kenalan biasa yang merasa tidak memiliki kewajiban untuk saling memberi kabar. Namun, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku sudah beberapa kali mengetikkan pesan untuknya, tapi berakhir bersih dengan satu tombol hapus, hanya karena aku merasa tidak benar-benar berhak untuk tahu semua tentangnya.

"Kalian benar-benar nggak kayak pasangan yang mau menikah," celetuk Vita tiba-tiba. Padahal aku belum menceritakan apa pun tentang hubunganku dengan El padanya.

"Kenapa ngomong gitu?" tanyaku. Sebisa mungkin bersikap bahwa aku sedang baik-baik saja.

"Aku udah baca grup kelas kita. El mengumumkan kalau kalian mau nikah. Tapi, lihat dirimu." Vita memandangku sambil menggeleng. "Nggak keliatan aura bahagianya."

Vita selalu sejeli itu terhadap sesuatu. Ia selalu jadi yang paling peka di antara kami, tak peduli sebesar apa usaha kami untuk menyembunyikannya. Semua tampak transparan di matanya.

"Lalu? Aku harus semringah setiap saat?" sahutku sambil memainkan sedotan minuman.

Vita memutar kedua bola matanya. Mendengarnya menggeram membuatku meringis. Sekarang aku ingin mendengar bagaimana situasiku dari sudut pandangnya.

"Aura, Zara. A-u-ra." Vita menegaskan kata-katanya. "Aku bisa melihat awan stratocumulus di atas kepalamu. Mendung, bentar lagi mau hujan. Kamu senyum, tapi kerutannya nggak sampai di matamu. Dan kamu mungkin nggak sadar, tapi dahimu yang sempit itu berkerut-kerut sampai aku kesel ngeliatnya. Sekarang ngerti, kan, maksudku apa?"

Ia sampai terengah-engah setelah menggebu-gebu mengatakannya. Sebelah tangannya yang bersih berpindah untuk mengusap perutnya yang kian membesar.

"Perutmu makin besar aja," celetukku. Tidak bisa menyembunyikan bahwa aku takjub melihatnya.

Aku sudah beberapa kali melihat wanita hamil, tapi ketika melihat wanita itu adalah temanku sendiri, aku selalu membayangkan bagaimana menjadi mereka di usiaku sekarang.

"Ra, aku tau kamu mengalihkan pembicaraan. Abaikan perutku," ujar Vita agak sebal.

Aku meringis lagi karena dia berhasil membaca gelagatku. "Kalau kamu sudah menebaknya dengan benar, apa aku masih perlu mengafirmasi?"

Vita menggeleng. "Cerita dong, Ra. Berhenti menyimpan bebanmu sendirian. Aku selalu nggak tenang kalau tau kamu lagi nggak baik-baik aja, tapi nggak mau cerita."

Vita benar-benar perhatian. Aku merasa beruntung memiliki  teman sepertinya. Sungguh.

"Aku nggak tau gimana menyebut hubungan kami, Vit."

"Tuh, kan, sudah kuduga kalau El tuh bermasalah."

Aku tersentak saat Vita menancapkan garpu dengan keras di atas puding cokelatnya yang tersisa setengah. Padahal ia belum mendengarkan ceritaku, tapi sudah menyimpulkan seperti itu. Aku hanya bisa menggeleng dibuatnya.

"Selama ini nggak ada masalah di antara kami, Vit. Kecuali dia yang suka menghilang tanpa kabar," ungkapku. Sebisa mungkin tidak berkata lebih spesifik.

"Kalau yang itu emang kebiasaan dia, Ra. Tapi, masa iya ke kamu gitu juga? Kayak bukan orang penting aja."

"Aku, kan, emang bukan orang penting," sahutku sambil menatap ke luar jendela. Kalimat itu meluncur begitu saja, tapi dalam hati aku tercubit.

Benar. Aku memang tidak sepenting itu bagi El.

"Bullshit, Ra. Kalau dia udah bilang bakal nikahin kamu, harusnya kamu jadi lebih diprioritaskan dari apa pun. Bukan karena status, tapi ini tentang apa yang dia janjikan ke kamu. Harusnya kamu bisa lebih tegas ke dia, Ra." Vita meletakkan garpunya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tatapannya lurus padaku.

"Kamu suka sama El, Ra?"

Pertanyaan itu membuat jantungku berdetak lebih keras dari biasanya. Tubuhku terasa lemas begitu saja. Dan aku hanya bisa membalas tatapan Vita tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku pernah mengaku bahwa El membuatku nyaman. Namun, aku belum yakin kalau itu berarti aku menyukainya.

"Kamu terus-terusan mengelak kalau kamu punya hak atas El tentang hubungan kalian, tapi kamu tampak kecewa. Sedih. Kesal. Marah. Dan kamu menelan semua emosi itu dengan embel-embel bukan siapa-siapanya. Bisa-bisanya kamu jadi begini, Ra?"

Ucapan Vita membuat air mataku membentung di pelupuk mata. Aku memaksa mataku tetap terbuka agar air mata ini tidak membasahi di pipiku.

Semua tekanan yang kurasakan saat bersama El, sebenarnya membuatku lelah. Vita berhasil membacaku sepenuhnya. Aku terus-terusan mengatakan bahwa aku bukan siapa-siapa untuk membuat diriku sendiri merasa tenang. Namun, aku tidak bisa berbohong kalau sebenarnya itu selalu melukaiku.

"Nggak usah ditahan, Ra," ujar Vita sambil mendorong tisu di tengah meja agar lebih dekat denganku.

Aku menunduk dan membiarkan air mata yang sudah terbendung itu mengalir. Kuraih selembar tisu dan kutempelkan di mataku. Aku tidak ingin menangis di sini–di tempat umum, hanya karena seorang pria.

"Belum terlambat kalau kamu mau mengakhiri semuanya, Ra."

Aku mendongak. Sudah tidak ada lagi air mata yang mengalir dari mataku. Dan aku hanya bisa menggeleng sambil tersenyum miris.

"Nggak bisa, Vit. Aku udah suka sama dia."

Kalau hanya suka saja sudah seperti ini, maka aku harus siap terluka lebih dari ini jika suatu saat jatuh cinta padanya.

***

ZaraNaulia - Hai, El. Sudah beberapa hari ini aku nggak dengar kabar dari kamu. Kuharap semuanya baik-baik aja. Apalagi melihatmu waktu itu tampak nggak baik-baik aja.

ZaraNaulia - Aku mau bilang kalau aku khawatir. Lain kali, kalau ada masalah, tolong bagi ke aku.

ZaraNaulia - Aku nggak akan memaksa. Kabari aku segera kalau kamu udah mendingan. Untuk sekarang, aku nggak akan gangguin kamu dulu. Jadi, segeralah membaik.

Aku memandang ponselku lamat-lamat setelah mengirimkan tiga pesan itu pada El. Sebelum akhirnya ponsel itu kumatikan dan kusimpan ke dalam tas. Aku tahu tidak akan menerima balasan darinya dalam beberapa jam ke depan. Jadi, aku mencoba menenangkan diriku dengan menatap langit di luar jendela bandara.

Surat yang kuajukan Senin lalu mendapat persetujuan dari HR sehari kemudian. Aku akan berada di kota tempat tinggal ayah seminggu ke depan. Sengaja tidak kuberitahu El tentang kepergianku. Sebab aku tidak mungkin membawanya pergi padahal kondisinya sedang tidak baik. Kupikir dengan ini juga akan memberinya waktu untuk menenangkan diri dari entah apa pun itu masalahnya.

Aku ingin perjalanan ke luar kota tidak menghabiskan banyak waktu, jadi aku memilih untuk pergi dengan pesawat. Lima jam perjalanan akan ditempuh setengah jam saja. Lumayan menghemat waktu dan tenaga.

Perjalanan yang cukup singkat. Aku tiba di bandara kota tujuanku dan begitu berada di ruang tunggu, aku langsung disambut oleh ayah. Di sampingnya ada seorang pria, dan aku tidak peduli ia siapa.

"Ayah," ujarku seraya menghambur ke dalam pelukannya.

Ayah memelukku erat sekali, seperti aku akan terjatuh jika ia lepaskan. Nyaman, sih, tapi lama-lama jadi sangat sesak.

"Ayah, sesak," keluhku.

Ia melepaskan pelukan kami dan mencubit pipiku dengan kuat. "Anak bandel ini, lama banget nggak nyamperin bapaknya."

"Ampun, Yah. Sakit," rengekku. Sampai kemudian ia lepaskan. Aku cemberut sambil mengusap pipiku yang memerah. Di depannya, aku tidak bisa menahan diri untuk bersikap sebagaimana aku adalah putrinya. Bermanja-manja lebih tepatnya.

"Zara, kenalin, ini anak teman Ayah. Namanya Ren."

Aku mendelik pada ayah karena ia tersenyum penuh arti padaku. Ternyata tawaran yang itu tidak main-main. Kalau tahu akan bertemu dengan pria asing secepat ini, aku tidak akan memberitahu ayah bahwa aku pergi sendiri.

"Zara Naulia. Dipanggil Zara." Aku mengulurkan tanganku sebagai bentuk formalitas dalam berkenalan.

"Ren. Renaldi," sahutnya seraya menjabat tanganku.

Telapak tangannya besar dan hangat saat menggenggam tanganku. Ia juga tersenyum ramah padaku dan aku tidak bisa untuk tidak membalas senyumnya. Aku tidak tahu apakah ayah menyukai calon menantu sepertinya, tapi aku sungguh tidak memiliki ketertarikan untuk mengenalnya lebih jauh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top