32 - Pengakuan

Rafael Lazuardi

"Woy, El! Bangun! Udah siang ini."

Aku sudah bangun sebenarnya, sejak Yohanes membangunkanku pagi-pagi sekali. Aku masih mengantuk dan sekarang rasanya malas sekali untuk beranjak dari kasur. Aku perlu tidur lebih banyak karena baru kembali ke penginapan pukul empat pagi. Namun, pria yang menjabat sebagai sekretaris sekaligus asistenku itu tidak mengerti. Ya ... salahku juga yang tidak memberitahunya.

"Duluan aja sana! Berisik!" sahutku kesal.

Tanganku terayun-ayun ke atas sampai tidak sengaja menampar wajahnya dengan keras. Mungkin meninggalkan jejak kemerahan di sana. Sekali lagi, aku terlalu mengantuk untuk peduli.

"Asem, El. Pedes banget," protes Yohanes. Tak lama kemudian sebuah guling-atau bantal?-mendarat di wajahku dengan keras.

Aku menggeram rendah dan melemparkan benda apa pun itu dari wajahku. Mataku bahkan masih terpejam sekarang.

Sayangnya, aku gagal untuk mencoba tidur lagi. Yohanes berhasil membuat rasa kantukku hilang. Akhirnya, aku bangkit dan duduk di ranjang dengan kaki menapak lantai. Dari jendela, aku bisa melihat matahari memang sedang terik-teriknya. Tak ada jam di kamar ini. Jadi aku meraih ponselku untuk melihat jam. Sudah hampir jam satu ternyata. Ternyata aku tidur sangat lama dan sekarang perutku lapar.

Aku mengeluarkan baju ganti dari dalam koperku dan membawanya ke kamar mandi. Daripada penat terus-terusan berbaring, lebih baik aku keluar dan bertemu Zara.

Kedua sudut bibirku naik ke atas begitu saja saat mengingat momen kebersamaanku dengan Zara semalam. Meski bukan sesuatu yang romantis, tapi pengakuannya membuatku tidak bisa berhenti memikirkannya. Terlebih pada apa yang ia katakan semalam.

Lima belas menit kemudian, aku selesai mandi. Dengan handuk menggantung di leher-agar tetesan air dari rambutku tidak membasahi bajuku, aku berjalan keluar penginapan.

"Tuh tersangkanya!"

Aku baru akan menyapa teman-temanku saat Yohanes melayangkan telunjuknya ke arahku. Dan aku hanya bisa mengernyit kebingungan.

"Nggak jadi tidur lagi, El?" Sam bertanya diiringi kekehan. Aku tidak tahu apa yang lucu, tapi aku yakin ini ada kaitannya dengan tuduhan Yohanes tadi.

"Udah nggak ngantuk," sahutku agak kesal. Aku turun dari teras dan duduk di samping Sam. "Yohanes kenapa nyebut aku tersangka?"

Sam tertawa keras mendengar pertanyaanku. "Dia kesel mukanya ditampar."

"Lho, kan, nggak sengaja?" Aku membela diri. Kenyataannya memang begitu, aku berusaha untuk mengusirnya, tapi tanganku justru mendarat di wajahnya. Namun, jika tidak begitu, ia tidak akan berhenti membangunkanku.

"Nggak sengaja aja sampai merah gini. Gimana yang pakai niat?" sahut Yohanes dengan nada kesal.

"Itulah tangan seorang pekerja keras," gurauku.

Yohanes menggerutu dan aku tidak bisa mendengar apa pun yang ia katakan dengan jelas.

Aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Zara di antara para wanita yang sedang sibuk berswafoto di dekat sebuah pohon besar. Namun, tidak ada Zara di sana. Apa mungkin Zara masih tertidur di kamarnya? Bisa jadi. Kami terlalu asyik berjalan-jalan sampai lupa waktu semalam.

Ada kemajuan pada Zara. Aku memeluknya beberapa kali dan ia tidak menghindar. Walau pengakuanku waktu itu membuatnya sempat menjaga jarak dariku. Menyesakkan sebenarnya, tapi aku akan membuatnya terbiasa. Selebihnya, menyenangkan menghabiskan waktu dengannya.

Aku tidak perlu bersikap romantis padanya, atau memaksakan diri menjadi seseorang yang diharapkannya. Untuk yang pertama kali, aku menjadi diriku sendiri dan itu menyenangkan.

"El? Woi, kenapa senyum-senyum sendiri?"

Sam menyenggol lenganku dan membuatku tersadar dari lamunan. Aku tidak tahu kalau saat mengingat momen dini hari tadi membuatku tersenyum sendiri.

Aku meletakkan tanganku di bahu Sam. "Temanmu ini sedang bahagia, Man."

Sam mengerutkan dahinya bersamaan dengan terdengarnya suara batuk Yohanes yang dibuat-buat. Aku sadar ia sedang menyindirku. Mungkin dikiranya aku akan menceritakan tentang Zara pada Sam.

"El!"

Suara Tari mengalihkan atensi kami bertiga. Ia berdiri tak jauh di depan tempatku dan Sam duduk. Dengan senyum lebar, wanita itu menghampiriku.

"Kita foto bareng yuk," ajaknya.

"Aku nggak diajak?" tanya Yohanes sambil membuang kulit kelapa yang sedang dikupasnya. Aku bahkan tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Sebab lokasi penginapan kami berada jauh dari kedai-kedai orang berjualan.

"Aku nggak mau ambil risiko berfoto sama suami orang," sahut Tari dan menjulurkan lidah di akhir. "Ayo, El."

Sebelum aku sempat menolak, Tari sudah menarik tanganku lebih dulu. Kami melewati penginapan wanita dan di sana ada Zara yang baru saja keluar dari sana. Tatapan matanya tertuju pada tanganku yang digenggam Tari sebelum wajahku. Dan aku, hanya bisa memandangnya dengan mata membulat.

Kuharap ia tidak berpikiran buruk tentang situasi ini.

***

"Ayo kita main truth or dare kayak yang kita lakukan pas liburan dulu," usul Reno.

Setelah makan malam kami berakhir, Evan mengusulkan agar kami berkumpul lagi di depan penginapan. Khusus kami saja, sedangkan istri teman-temanku yang ikut berlibur, sudah berada di penginapan sejak setengah jam yang lalu. Mereka paham bahwa momen ini dikhususkan untuk kami saja. Dan jika kami memainkan permainan itu, maka ini benar-benar akan jadi momen yang berulang. Bedanya, hanya jumlah kami yang tidak lengkap.

"Sip. Momen yang pas nih buat kalian yang mau jujur sama satu sama lain," ujar Evan, mendukung usulan Reno.

"Setuju. Kali aja ada yang masih mendam perasaan, 'kan?" Indira menambahkan.

Entah sengaja atau tidak, aku merasa yang ia maksud adalah tentang aku dan Tari.

"Oke, deal." Yuda lalu berdiri dari duduknya. "Dimulai dari aku, terus lanjut searah jarum jam."

"Truth or dare?" tanyaku.

"Truth!"

"Ganti, Yud. Nggak ada yang kami nggak tau tentang kamu," protes Yohanes.

Aku terkekeh mendengarnya. Itu benar. Meski seorang laki-laki, tapi ia tidak akan ragu untuk menceritakan apa pun pada kami-para laki-laki tentunya. Bahkan yang perempuan saja tampak tidak tertarik untuk bertanya padanya.

"Ok, fine. Dare!"

"Kutantang kamu berendam di pantai selama lima menit. Cukup sampai lutut aja," ujar Kevin.

Ini menarik, aku dan yang lainnya bertepuk tangan dan bersorak agar Yuda melakukannya. Sedangkan Yuda hanya melotot tidak percaya. Ia memandang lautan sebentar, sebelum kemudian menatap Kevin nyalang.

"Dingin, Vin. Kalau aku menggigil, kamu mau meluk?"

"Sama Dodit aja, lemaknya banyak, pasti anget."

Itu penghinaan sebenarnya, tapi aku tidak tahu apa yang lucu sampai Indira tertawa sekeras itu setelah mengatakannya. Untungnya, Dodit bukan perempuan yang mudah baper.

"Come to Papa, honey." Dodit mengedipkan sebelah matanya pada Yuda dan aku bergidik dibuatnya.

"Jijik." Yuda bergidik.

"Ya udah buruan woi!" Aku memekik keras. "Ntar yang lain nggak dapat giliran kalau kelamaan nunggu kamu."

Berdecak keras sekali, Yuda mengeluarkan ponsel dari saku celana jogernya. Kemudian menggulungnya sampai sebatas lutut. Ia melepas sandalnya sebelum berlari menuju ombak yang berdesir. Dari sini, kami hanya bertepuk tangan dan meneriakkan semangat untuknya.

Sejauh ini permainan berjalan dengan sangat menyenangkan. Bagi yang memilih truth, benar-benar kami korek habis-habisan sampai tidak ada sesuatu yang kami tidak tahu. Maksudku, bukan dalam hal yang sangat privasi, tapi hal yang berkaitan dengan kami, dan masa-masa kuliah dulu. Sampai terkuak ada beberapa temanku yang pernah naksir Zara. Yuda adalah salah satunya.

Mengetahui itu bukannya membuatku marah. Itu masa lalu. Menyadari bahwa mereka tidak berhasil dekat dengan Zara membuatku merasa bangga pada diriku sendiri karena menjadi satu-satunya yang memiliki hubungan khusus dengannya.

Aku menang, 'kan?

Sekarang tiba giliran Zara. Ia dengan kalem memilih truth. Melihat bagaimana beratnya tantangan dari kami pada giliran sebelumnya, mungkin membuat Zara enggan untuk memilih dare.

"Aku punya pertanyaan buat Zara."

Itu suara Aryan. Raut wajahnya sangat serius sampai aku menduga hal ini tidak akan berakhir baik. Setidaknya untukku.

"Tanyakan saja," sahut Zara.

"Kamu punya pacar, Ra?"

Aku menegang di saat yang lainnya justru bersorak. Aryan benar-benar memanfaatkan kesempatan yang ada ya. Aku jadi ingin berteriak di depan wajahnya bahwa Zara adalah milikku.

Yohanes menyenggolku. Melalui tatapannya, ia seolah-olah menanyakan 'bagaimana ini?'. Dan aku hanya menjawabnya dengan kedikkan bahu. Aku tidak bisa langsung menebak apa motifnya kalau aku tidak melihat bagaimana reaksinya setelah Zara menjawab pertanyaannya.

"Aku-" Zara menggantungkan ucapannya ketika aku menatapnya dengan intens. Dalam hati aku berdoa Zara akan menjawab sesuatu yang mengartikan bahwa ia tidak lagi available untuk siapa pun. Kuharap ia mengerti maksud tatapanku saat ini.

"-nggak pacaran sama siapa pun."

"Terus sekarang lagi dekat sama seseorang nggak?"

Pertanyaan Aryan berlanjut. Hanya dengan itu saja, aku tahu ia juga ingin mendekati Zara. Aku tentu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Kalau itu-"

"Zara udah mau nikah," tukasku.

Semua mata tertuju padaku. Mungkin bertanya-tanya bagaimana aku bisa mengetahui hal itu. Padahal yang mereka tahu, aku dengan Zara tidak tampak sedekat itu untuk saling bercerita tentang rencana kami masing-masing.

"Tau dari mana?" Reno bertanya.

"Aku tau karena-"

"Masih lama? Giliranku kapan?"

Aku mendelik pada Yohanes yang baru saja memotong ucapanku. Gara-gara itu aku jadi gagal mengakui yang sebenarnya.

"Ayo lanjut," ujar Yuda.

"Kenapa?" Aku berbisik pada Yohanes. Tak memedulikan siapa lagi yang mendapat giliran permainan.

"Kamu nggak liat Zara tegang gara-gara kamu tadi?" Yohanes balas berbisik.

Aku lantas menatap Zara yang tengah menunduk menatap minuman di tangannya. Mungkin benar kata Yohanes, aku sudah membuatnya ketakutan. Sayangnya, aku tidak bisa membiarkan Aryan mendekatinya. Tidak bisa. Sejak detik pertama Zara menyetujui untuk berkomitmen denganku, saat itu pula ia milikku. Dan aku tidak main-main dengan itu.

"El, giliranmu," tegur Yohanes.

Aku berdiri. Tekadku sudah bulat. Aku tidak bisa menahan diriku lagi sekarang. Maka, dengan itu aku menatap Zara. Ia menggeleng pelan padaku. Aku tidak tahu apa yang membuatnya ragu untuk mengakui kedekatan kami.

Kami berpandangan beberapa saat dan aku mengangguk meyakinkannya bahwa ini semua akan baik-baik saja. Ia hanya perlu percaya padaku.

"Nggak perlu nanya apa-apa, Guys. Aku mau mengakui sesuatu."

Teman-temanku diam. Dan atmosfer ini justru membuatku gugup. Aku berdeham sebentar sebelum akhirnya berkata, "Aku dan Zara akan menikah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top