29 - Earphone dan Koper

Rafael Lazuardi

Perjalanan kami akan ditempuh lima jam lamanya. Dengan waktu yang selama itu, kami habiskan dengan obrolan ringan. Tak jarang kami akan saling mengejek satu sama lain. Parahnya, aku menjadi korban mereka hari ini. Mereka mem-bully-ku habis-habisan tentang statusku yang melajang. Kemudian ditambah dengan bumbu-bumbu CLBK. Maksudku, ada Tari di sini dan mereka juga menyarankan agar aku kembali padanya.

"Tari jomlo, 'kan?" Suara Evan dapat kudengar jelas padahal ia duduk di sebelah bangku kemudi.

Di sebelahnya, Reno tertawa keras. "El bukan tipe yang suka menyimpan perasaan lama. Parah ni."

"Lho, mumpung orangnya ada. Gercep, El. Kalau nggak, Tari aku yang ambil," ujar Evan lagi.

Setidaknya itu secuil dari guyonan mereka yang melibatkan namaku di dalamnya. Mereka tidak mengerti kalau aku tidak nyaman dengan atmosfer yang ada di dalam van ini. Tepatnya, aku mengkhawatirkan perasaan Zara. Dari tadi bibirnya terkatup rapat dan pandangannya lurus ke depan. Sesekali tampak kosong. Aku bahkan tidak bisa berhenti memperhatikannya.

Sesuatu dalam diriku berontak ingin berteriak bahwa aku sudah memiliki Zara. Sayangnya, aku tidak mau ia semakin ingin menjauh dariku. Yang ada saja sudah agak canggung karena beberapa hari tidak bertemu dengannya.

"Udahlah, Guys," ujarku mencoba menenangkan. "Tari pasti nggak nyaman namanya dibawa-bawa terus dari tadi," sambungku. Meski sebenarnya aku tahu Tari senang-senang saja dipasang-pasangkan denganku. Sebenarnya itu hanya apa yang terlihat ketika aku mencuri-curi pandang padanya tadi.

"Kayak nggak ada bahan obrolan lain aja." Akhirnya Yohanes bicara. "Kalian nggak tau ya, El itu udah ada calonnya."

Aku tidak terkejut karena ucapan Yohanes setelahnya. Mungkin ia menyimpulkan sesuatu ketika aku meminta solusinya waktu itu walau tidak memberinya clue sedikit pun. Namun, Zara justru menegang di sampingku. Ia pasti berpikir aku menceritakannya pada Yohanes.

Aku menatapnya, dan ia balas menatapku kemudian. Kami berkomunikasi melalui tatapan mata. Keningnya berkerut-kerut dengan sorot penuh kecurigaan. Mungkin kalau diterjemahkan menjadi "apa kamu cerita?", dan aku hanya menggeleng ringan untuk memberitahunya bahwa aku tidak menceritakan apa pun pada siapa pun.

Sementara yang lainnya mulai ribut mempertanyakan 'siapa' yang Yohanes maksud. Tak sedikit pula yang menujukan pertanyaan itu padaku. Aku meringis dan menatap ke luar jendela. Entah sepenting apa aku sampai mereka sebegitu penasarannya tentang hidupku.

"Relax, Guys! Kita tunggu kabar baiknya aja. El pasti sedang ingin serius dengannya, makanya nggak diumbar-umbar kayak yang lainnya." Yohanes berhasil membungkam mulut mereka.

Aku tersenyum, benar kata Yohanes, aku ingin benar-benar serius pada Zara. Semuanya hanya tentang mendapatkan hatinya, sebagaimana aku menantang diriku sejak awal.

"Kamu tau siapa calonnya, Han?" Itu suara Yuda.

"Nggak. Makanya tunggu aja."

Setengah waktu perjalanan berlalu. Satu per satu penumpang van ini mulai terlelap. Sebenarnya aku tidak yakin mereka memang tidur. Namun, memdengar suara dengkuran mereka membuatku yakin. Bahkan tidak ada lagi yang bicara. Aku sudah mencoba memejamkan mata sejak tadi, tapi aku tidak bisa tidur. Bahkan menguap saja tidak.

Aku melirik Zara yang mulai bergerak-gerak gelisah. Van yang mulai sepi ini pasti membuat Zara mulai mengantuk. Tandanya adalah jika ia mulai mengeluarkan earphone-nya. Lalu mendengarkan lagu-lagu yang berisik untuk mengalihkannya dari rasa kantuk. Padahal sebenarnya kalau tertidur pun tidak masalah. Aku akan menjaganya.

Zara baru memasang sebelah earpiece saat aku menarik sebelahnya dan memasangnya ke telinga. Tanpa izin. "Ikut ya," ujarku dan tersenyum.

"Laguku berisik. Jangan ngeluh kalau nggak sesuai sama-"

"Aku tau, kok," tukasku. "Aku mulai hafal sama kebiasaanmu. Mau mengobrol?"

Zara menatapku selama beberapa saat, seperti mencari-cari sesuatu di wajahku sebelum memainkan lagu di ponselnya. Musik EDM terdengar kemudian. Kali ini bukan Alan Walker, melainkam Martin Garrix. Selera Zara memang tidak terduga.

"Ngobrol apa?"

"Apa aja." Lalu aku mendekat untuk berbisik padanya. "Mungkin bisa dimulai dengan betapa kamu merindukanku selama beberapa hari ini?"

"Menggelikan," gumamnya sambil mendorong wajahku menjauh. Kendati merespons begitu, aku masih bisa melihat wajahnya merona. Uh, gemasnya.

Aku lekas-lekas menangkap tangannya yang menempel di wajahku, memberi kecupan ringan pada jari-jarinya berkali-kali. Zara mendelik dan segera menarik tangannya. Ia tampak kesal tapi aku justru tersenyum geli melihatnya.

Zara selalu bersikap defensif pada setiap interaksi fisik dengan lawan jenis. Dan aku berusaha untuk mengatasi semua itu, minimal agar ia tidak menghindariku. Salah satunya adalah dengan sering-sering menyentuhnya. Kupikir itu akan membuatnya terbiasa dan entah itu trauma atau apa pun namanya, akan lenyap.

"Gimana kalau ada yang lihat?" desisnya.

Kutatap teman-teman kami yang lain, dari depan, samping, sampai belakang. Mereka tertidur. Kecuali Reno yang tentu saja harus fokus menyetir.

"Mereka semua tidur," bisikku kemudian.

"Bukan berarti kamu bisa melakukan sesuatu yang nggak-nggak," sahutnya sembari memalingkan muka.

"Emangnya aku mau ngelakuin apa?"

Kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Selagi tidak ada yang melihat, pikirku saat ini.

"El, please."

Aku terpaksa mengangkat kepalaku lagi karena ia tak berhenti menggerakkan bahu untuk menjauhkanku darinya.

Zara mendelik padaku sebentar sebelum menyamankan posisi duduknya. Kedua tangannya dilipat di depan dada dan aku mengartikan itu bahwa ia tidak menerima gangguan apa pun dariku. Dan aku menurut. Aku tidak ingin menerima risiko ia kesal, lalu mengabaikanku lagi. Tidak bisa.

Aku menikmati musik dari playlist-nya sambil memainkan ponsel. Sampai akhirnya aku dikejutkan dengan kepala Zara yang jatuh di bahuku. Rupanya ia tertidur. Sebenarnya aku sudah menduga ini akan terjadi. Beberapa bulan bersamanya membuatku hafal bahwa Zara tidak pernah tahan untuk tidak mengantuk ketika berada di mobil selama berjam-jam.

Kugeser badanku agar lebih dekat dengan Zara. Pelan-pelan, aku membenarkan posisi kepalanya agar bersandar di bahuku. Agar saat ia terbangun dari tidurnya, lehernya tidak akan terasa sakit.

***

Sore sekitar pukul empat sore, kami tiba di kawasan pantai, destinasi liburan kami. Harusnya kami tiba sekitar jam satu siang tadi. Namun, ketika melewati beberapa tempat-tempat yang bagus, mereka minta berhenti agar bisa mampir. Para wanitalah yang paling antusias untuk berfoto. Sampai aku kesulitan mengajak Zara berfoto karena terus-terusan ditarik Rosetta.

Akhirnya aku hanya bisa mengabadikan setiap gerak-gerik wanita itu secara sembunyi-sembunyi. Candid istilahnya. Dan hasilnya, selalu membuat El tersenyum puas. Ekspresi Zara benar-benar sangat bagus. Aku tidak mengerti bagaimana ada wanita senatural dia.

Van yang membawa kami berhenti di area parkir pengunjung. Aku membantu Reno mengeluarkan semua koper dan tas di bagasi belakang. Sedangkan yang lainnya sibuk mengambil foto bersama. Aku hanya bisa menggeleng dengan tingkah mereka, tapi tidak bisa menyalahkan karena aku yakin, menjadi seorang pegawai menyulitkan kami untuk berpergian. Dan ini momen yang tepat untuk mereka bersenang-senang.

Setelah semua bawaan di bagasi dikeluarkan, aku mulai mencari koperku sendiri. Sayangnya, ada satu koper lainnya yang serupa dengan milikku. Aku tidak tahu yang mana milikku, karena ukuran dan warnanya sama. Tidak ada pembeda sedikit pun. Andai aku yang mengeluarkannya, aku jelas tahu yang mana milikku karena aku ingat posisinya. Aku bisa saja membuka kedua koper tersebut untuk memeriksa apa isinya, tapi kuurungkan karena khawatir isinya akan berantakan dan kotor terkena pasir. Atau yang lebih buruknya lagi, koper itu milik wanita.

Dengan bermodalkan insting, aku menarik koper yang di sebelah kanan. Sambil berjalan menuju penginapan untuk pria, aku berdoa agar koper ini memang milikku. Kalau tertukar pun, kuharap bukan milik wanita.

Aku jadi orang pertama yang masuk ke penginapan pria. Sedangkan yang lainnya sudah melesat menuju pantai meninggalkan koper mereka di sekitar van. Aku tidak bisa begitu. Rasanya menyebalkan meninggalkan barang-barangku tidak pada tempat seharusnya, sementara aku justru asyik bermain.

Aku tiba di kamar dan segera membuka koper. Niatku ingin mengeluarkan beberapa yang kira-kira akan sering kupakai selama liburan ini. Namun, ketika dibuka, aku justru menemukan sesuatu yang aku tidak ingat kalau memilikinya.

Itu sebuah jaket tebal dengan motif kotak-kotak berwarna hijau yang berpadu dengan merah. Aku jelas tahu milik siapa jaket ini. Euforia kurasakan begitu saja saat kusimpan kembali mantel itu ke dalam koper, menutupnya lagi, lalu meraih ponselku dari dalam kantong celana.

"Halo?"

"Halo? Kamu di mana, Ra?"

"Aku baru masuk ke penginapan. Kenapa, El?"

"Koper kita tertukar," ujarku tanpa basa-basi.

"Serius? Aku belum cek, sih."

"Iya. Aku-udah buka kopermu soalnya," ujarku memelan. Dari sini aku bisa mendengar suara napasnya yang tercekat.

"Ka-kamu pasti bercanda."

Setelah itu aku mendengar suara risleting koper yang dibuka. Aku bisa membayangkan ekspresinya saat ini. Gara-gara itu aku jadi tertawa geli.

"Ternyata memang bukan punyaku," keluhnya.

"Sudah kubilang, 'kan?"

"Kamu di mana? Tukar kopernya, biar aku ke sana."

Aku menggeleng cepat, lupa kalau ia tidak sedang melihatku saat ini. "Aku yang ke sana, Ra. Tunggu ya."

Aku mematikan ponsel tanpa menunggu responsnya, dan dengan cepat melesat dengan membawa koper Zara keluar penginapan.

Penginapan kami bersebelahan. Hanya dengan lima langkah lebar, aku sudah tiba di teras penginapan milik wanita. Di sana aku bertemu Tari. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan mini dress dengan motif corak bunga. Aku ingat model-model busana seperti itu cocok untuk di pantai.

"El?" panggilnya dengan wajah semringah. "Ngapain ke sini?"

"Mau tukar koper," sahutku tanpa melihat wajahnya.

"Tertukar sama siapa? Biar aku ambilkan," tawarnya.

"Nggak perlu. Tuh orangnya." Aku menunjuk Zara yang berada di belakangnya sambil menarik sebuah koper.

Tari melirik Zara lalu berkata, "Ra, tawaranku tadi masih berlaku. Kalau mau ikutan, nyusul aja ya."

"Iya."

"Bye, El." Tari melambai padaku dan aku membalasnya sebentar.

"Kamu mau ke mana?" tanyaku pada Zara.

"Nggak ke mana-mana. Tadi Tari ngajak main di pantai," jawabnya sambil meraih koper miliknya yang ada di sampingku. "Tapi aku malas."

"Kenapa?" Aku bertanya lagi. Padahal aku yakin siapa pun tidak akan tahan jika tidak bermain-main di pantai terbaik di kota ini. Apa lagi aku yang suka menikmati pemandangan matahari terbenam di sana.

"Nggak tau," ujarnya sambil mengedikkan bahu. "Koper kita samaan."

"Kan, kita jodoh, makanya sama," gurauku.

"Yakin banget?"

"Yakin, dong," sahutku dengan pasti. Aku tersenyum meyakinkan sampai Zara ikut tersenyum.

Ya Tuhan, andai aku tahu Zara memang semanis ini dari dulu, batinku. Sungguh, aku merasa Zara semakin memesona dari hari ke hari. Mungkin ini yang orang-orang namakan perasaan yang mulai tumbuh. Karena ketika seseorang jatuh cinta, semua yang dilihatnya akan jadi sangat indah.

"El?"

Panggilan Zara menyadarkanku. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri dan tidak sadar jika sebelah tanganku berada di pipinya, mengusapnya lembut.

"Sampai jumpa nanti malam, Ra."

Aku berbalik. Menarik koperku kembali ke penginapan dengan jantung yang berdebar bukan main. Sudah lama aku tidak merasakan sensasi yang meletup-letup ini. Aku bahkan lupa jika rasanya sangat menyenangkan sampai tak bisa berhenti tersenyum.

Namun, ketika aku berpikir bahwa Zara mulai menggantikan posisinya, sosoknya justru kembali membayang di kepalaku, membuat senyumku luntur begitu saja. Dia Daria, satu-satunya mantan kekasih yang pernah kucintai dengan sepenuh hati, dan mematahkannya sekaligus.

Ya Tuhan, tolong enyahkan dia dari kepalaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top