27 - Man with His Mess

Rafael Lazuardi

Pagi-pagi sekali aku terbangun. Kondisiku sudah jauh lebih baik sekarang. Pusing di kepalaku juga sudah hilang. Jadi aku bisa berangkat bekerja hari ini. Sehari saja cukup untuk meninggalkan pekerjaanku yang menumpuk. Entah bagaimana Yohanes menangani semua berkas-berkas itu tanpa bisa menghubungiku kemarin.

Aku melirik wanita di sampingku. Zara, tertidur di sini semalaman dengan berbantalkan tanganku. Sebenarnya ini membuat tanganku agak kebas. Namun semua itu terbayarkan hanya dengan melihat wajah tidurnya yang damai. Kalau aku tahu sakit akan membawaku ke saat-saat seperti ini, aku siap sakit sampai seminggu.

Sebenarnya aku cukup sadar bahwa situasi ini tidak dibenarkan. Maksudku, berada di posisi yang seintim ini bersama seorang wanita yang belum sah menjadi istriku. Namun, hati ini balas menjerit bahwa ini adalah hal yang benar ketika akalku berteriak agar segera menjauhkan diri darinya. Aku enggan bergerak. Hingga tanpa disadari aku sudah memandanginya selama hampir setengah jam.

Ayo, El. Bangunkan Zara. Dia harus kerja hari ini, dan kamu juga.

Aku bergeming tentu saja. Siapa yang rela melepas tangkapan ikannya? Begitu pula aku yang tidak bisa melepaskan pandanganku dari Zara. Tak ada yang berubah, aku mulai bisa membayangkan kalau wajah bangun tidurnya tidak berbeda dari yang biasa kulihat. Bibirnya berwarna merah muda natural.

Dasar hormon laki-laki, aku tidak mungkin mencuri-curi saat dia tertidur, 'kan? Aku merutuk saat menelentangkan badan, menghindari menatap bibir Zara.

Sayangnya, gerakanku yang tiba-tiba itu membuat Zara terusik. Ia membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sampai tatapannya tertuju padaku. Aku tersenyum, tapi Zara hanya mengerutkan dahi. Baru aku akan mengucapkan selamat pagi, tapi pekikannya mengurungkanku.

Zara lekas-lekas bangun dan memundurkan badan sampai terjatuh dari sofa. Pantatnya yang mendarat di lantai menimbulkan bunyi debam yang kecil. Aku langsung bangun dan mengulurkan tangan padanya, berniat ingin menolong.

"Kamu nggak papa, Ra?" tanyaku sambil berusaha meraih tangannya.

Namun, ia menepis tanganku dan mengambil jarak sejauh mungkin sampai aku bingung sendiri melihatnya. Ia menempelkan punggung pada dinding di belakangnya.

"Aku baik-baik aja, El," sahut Zara takut-takut.

Dahiku bekerut, mempertanyakan apa yang salah denganku sampai ia setakut itu. Lalu sekelebat ceritanya dulu terngiang lagi di kepalaku. Zara akan refleks menjauh jika lawan jenis berusaha mendekatinya. Dan aku tidak menyangka itu juga melibatkan kontak fisik. Kupikir hanya ketika si pria ingin mengenalnya lebih dekat saja.

Sebenarnya bukan kali pertama dia bersikap defensif begini. Waktu itu ketika aku terjatuh, ia langsung mendorong kepalaku. Lalu, ketika insiden ikan gosong, ia juga menjaga jarak padaku. Oh, waktu pertemuan pertama kamu saat reuni juga, tubuhnya saja sampai bergetar.

Sebenarnya semalam ketika aku memeluknya, ia tampak gelisah. Namun, mengingat Zara tidak memberontak kemudian, kupikir ia mulai bisa menerimaku dengan baik.

"Aku ketiduran, kok, nggak dibangunin?" Zara bertanya sangsi. Yang mengejutkan lagi adalah ia melotot. Aku sampai merasa baru melakukan sesuatu yang hina.

"Sorry, Ra. Kamu nyenyak banget tidurnya sampai aku nggak enak bangunin. Tapi aku nggak ngelakuin yang aneh-aneh, Ra. Kalau itu yang bikin kamu nggak nyaman." Aku berkata panjang lebar, tentunya menyembunyikan bagian di mana aku terpesona pada wajah tidurnya.

Dahi Zara berkerut. Ia masih dengan posisinya duduk memeluk lutut dan bersandar pada dinding. Sebenarnya itu posisi yang aneh, tapi aku tidak bisa menjustifikasi sikapnya karena aku tahu ia begitu bukan tanpa sebab.

"Aku harus kerja hari ini," cicitnya.

Perlahan, ia beranjak dari posisinya dan melangkah mendekati sofa yang kududuki saat ini. Sambil menatapku tajam-seperti memperingati aku agar tidak menyentuhnya, ia mengambil tas jinjingnya.

"Aku pulang ya, untuk beberapa hari ini kita nggak usah ketemu dulu. Tapi kabarin kalau jadi liburan sama temen-temen. Aku mau ikut," ujarnya sambil melangkah mundur sampai tak terlihat di balik tembok pembatas antara ruang tengah dengan ruang tamu.

Sedetik kemudian, ia kembali menyembulkan kepalanya dari balik tembok. "Oh, iya, kamu udah mendingan, kan, sekarang? Aku ingat badanmu udah nggak anget lagi, sih. Kalau gitu, sampai jumpa. Jangan patah hati, nanti kamu sakit lagi."

Aku menegang, reaksi untuk kalimat terakhir yang diucapkan Zara. Rasanya seperti tersengat listrik, tapi kejutannya terasa aneh. Dari mana Zara tahu soal itu? Aku bahkan belum menceritakan apa pun padanya. Apa mungkin ia mencari tahu tentangku sendirian? Kalau benar, aku akan merasa sangat bersalah karena membiarikannya berusaha sendirian. Seharusnya memang aku yang lebih terbuka lagi padanya.

Tidak. Tidak mungkin Zara akan repot-repot mengorek informasi tentangku; bertanya pada teman-teman, misalnya. Sebab, jangankan ingin bertanya tentangku, mengobrol dengan teman kuliah lawan jenis saja ia enggan. Kecuali pada hal-hal yang penting. Dan aku tidak yakin kalau aku masuk dalam daftar pentingnya.

Jantungku berdegup kencang sekali sekarang. Rasa bersalah ini mengekangku hingga ingin sekali melepaskan diri dari semua kekacauan batin yang kubuat sendiri. Ya, dari awal memang aku yang memulai semuanya bersama Zara. Kendati rasa menyesal mulai menggerayangi, tetapi keputusan untuk berkomitmen dengannya adalah sesuatu yang kusyukuri. Selain karena keunikan wanita itu yang tidak membuatku bosan di setiap waktu yang kami habiskan berdua, Zara juga mengajarkanku-meski tidak langsung-untuk lebih menghargai wanita.

Muncullah niat untuk menjaganya dalam sebuah ikatan pernikahan, dan berjanji tidak akan pernah meninggalkannya.

Namun, pertanyaan Zara muncul kembali di benakku; Mungkinkah kami menikah tanpa ada perasaan untuk satu sama lain? Pertanyaan ini membekas di kepala dan selalu muncul pada saat-saat seperti ini.

Aku menghela napas. Berharap pada waktu yang akan mengubah segalanya memang tidak akan pernah ada habisnya. Semesta yang merestuilah yang kami perlukan sekarang. Namun, untuk mendapat restu, tidak semudah meminta uang saku pada ayah. Todongkan tangan, dan kudapatkan. Ada usaha yang harus kulakukan untuk membuktikan bahwa aku dan Zara memang pantas untuk semesta restui.

***

"Cara biar kamu bisa nyamperin perempuan yang menolak ketemu sama kamu?" Yohanes mengerutkan dahinya saat mengulangi pertanyaanku. Aku hanya berdecak karena ia sudah melakukannya tiga kali.

"Serius kamu nanya ke aku?"

Aku hanya bisa meringis. Malu, sih, sebenarnya. Namun aku tidak bisa memendamnya sendirian.

"Jangan bikin aku nanya lagi, Han," sahutku setengah kesal.

Seumur hidup, memang baru kali ini aku mempertanyakan sesuatu terkait hubungan pada Yohanes. Biasanya aku yang selalu berhasil mengatasi semua masalahku sendiri dan masalah mereka. Namun kali ini, aku tidak yakin penyelesainnya akan berhasil pada Zara. Wanita itu terlalu sulit untuk ditaklukkan.

"Aku boleh ketawa dulu nggak?"

Aku lekas-lekas memukul tengkuk Yohanes sebelum pria itu melakukan apa yang ia inginkan. "Yang serius dong."

"Heran aku. Kamu yang dikenal sebagai penakluk wanita masa konsultasi beginian sama aku yang nggak ada bakatnya sama sekali," ledek Yohanes sambil kembali melanjutkan pekerjaannya pada komputer. Ia memang sedang duduk di kursinya sedangkan aku berdiri di samping mejanya.

"Please, Han. Jarang-jarang, kan, aku kayak gini? Itu artinya situasi yang berat, Bruh."

"Tinggal samperin aja apa susahnya?" Yohanes berucap ogah-ogahan.

Ia tampak sangat kesal, dan aku tidak peduli soal itu. Padahal ia sedang mengerjakan bahan presentasi yang kuminta sejak ia baru tiba di ruangan. Tadi aku minta ia agar segera diselesaikan, tapi sekarang aku justru memperlambat kinerjanya.

"Kamu minta aku ngerjain ini cepat-cepat, tapi lihat apa yang kamu lakukan sekarang." Tuh, kan. Baru kubilang, Yohanes sudah mengomel.

"Sayangnya nggak semudah itu nyamperin dia, Han. Dia minta aku nggak ketemu dia dulu." Aku berujar lemah, persis seperti seorang yang frustrasi.

"Oh, itu sih biasa aja. Mungkin dia mau istirahat dulu."

Dahiku berkerut, aku paham betul maksudnya. "Istirahat? Kamu kira kami pacaran terus dia minta break dulu gitu?"

Yohanes berdecak keras. Dari embusan napas yang terdengar nyaring kemudian, aku tahu bahwa ia sudah merasa sangat terganggu sekarang. Ia menjauhkan tangan dari keyboard dan memandangku dengan ekspresi kecutnya.

"Otakmu sempit juga ya, El. Istirahat ini maksudnya kasih jeda dulu berduaannya. Bisa aja dia takut cepet bosan sama kamu. Jadi kasih aja waktu selama yang dia mau."

"Kamu yakin itu bukan cuma akal-akalannya buat ngetes kepekaan kita sebagai laki-laki?" Aku menanyakannya padahal tahu betul Zara tidak mungkin bersikap begitu.

"Kepekaan? Kamu kenapa, El, abis sakit kayak orang aneh gini?"

"Perempuan biasanya suka ngambek, 'kan? Terus ngomong nggak mau ketemu, padahal berharap dibujuk sama pasangannya. Minta disamperin, terus dikasih hadiah."

Yohanes terkekeh dengan ekspresi yang datar. "Tuh kamu udah jawab sendiri. Kenapa masih nanya aku?"

"Dia ini beda dari perempuan biasa, Han." Tanganku terangkat untuk mengacak-acak rambut. Keputusan Zara untuk tidak bertemu dulu benar-benar sangat mengganggu. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

"Ya sudah kamu turuti aja kehendaknya dia. Aku sebenernya nggak ngerti masalah kamu sama si perempuan itu. Sekarang aku nanya, dia ngomongnya kayak gimana pas nyuruh kamu biar nggak ketemu sama dia dulu?"

Sebagai teman baikku, ini adalah level kesabarannya yang tertinggi. Pun adalah momen yang kunantikan, ia jadi sangat serius. Aku memang sengaja mengganggunya sejak tadi agar sisi seorang Yohanes yang ini muncul.

Sekarang aku berusaha mengingat apa yang Zara katakan tadi pagi sambil menjatuhkan badan di kursi yang ada di depan meja Yohanes.

"Dia bilang gini, untuk beberapa hari ini kita nggak usah ketemu dulu. Tapi kabarin kalau jadi-"

Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat setelah sadar hampir keceplosan membawa-bawa tentang liburan di kelas. Kalau tidak, Yohanes bisa menebak siapa si perempuan yang kumaksud dari tadi. Sebenarnya tidak masalah mengakui bahwa Zara adalah calon istriku.

Namun, tidak pada teman-teman kuliah kami. Mereka mengenal kami berdua, dan akan berujung menggoda kami terus-menerus seperti yang terjadi di pernikahannya Sam dan Rosetta dulu. Hal itu akan membuat Zara merasa tidak nyaman.

"Jadi apa, El? Ngomong tuh jangan setengah-setengah."

Dalam dunia kerja, mungkin Yohanes adalah karyawan yang kurang ajar karena berani memutar kedua bola matanya padaku, atasannya. Kendati sejak awal aku bicara padanya, ia memang sudah tidak sopan.

"Kita jadi liburan, kan, Jumat ini?" tanyaku, tak menghiraukan pertanyaan Yohanes sebelumnya.

"Jadi dong. Kan, aku yang booking penginapan buat kita. Dua rumah. Satu buat laki-laki, satunya lagi perempuan."

"Bagus. Thanks ya, Han."

Setelahnya aku beranjak menuju mejaku sendiri. Kali ini dengan perasaan yang lebih lega. Aku mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana. Zara memintaku mengabarinya kalau liburan sekaligus reuni kami yang lain jadi dilaksanakan. Yang mana berarti tiga hari lagi aku akan bertemu dengannya. Tidak masalah tidak bertemu dengannya dulu, karena semuanya akan terbayarkan dengan tiga hari yang menyenangkan.

Sekarang satu yang perlu kupikirkan. Bagaimana caranya agar aku bisa menikmati momen berdua dengan Zara tanpa diketahui oleh teman-teman kami yang lain?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top