26 - Stay Overnight

Zara Naulia

Merawat orang yang sedang sakit memang selalu melelahkan. Tak ada bedanya antara anak kecil atau yang sudah dewasa. Keduanya sama-sama merepotkan. Dan karena itulah aku masih berada di sini, bersama El tentu saja.

Begitu makanan yang kupesan tadi tiba, aku segera membawanya ke dapur. Supnya agak dingin saat di perjalanan, jadi kupanaskan terlebih dulu.

Aku bermaksud membawa semangkuk sup yang hangat ini ke kamar El ketika kudapati ia duduk di sofa lipatnya di ruang tengah. Bagian bawah sofa sudah dibuka lipatannya hingga ia dapat menyelonjorkan kaki di sana. Selimut membungkusnya sampai leher. Aku ingat dia bilang sangat lemas saat ini, tapi hebatnya ia bahkan masih mampu menuruni tangga dan membawa serta selimut tebalnya. Ingin menuduhnya berbohong, tapi tubuhnya memang sangat panas.

Aku meletakkan nampan yang kubawa tadi ke atas meja di depan kaki El. Lalu mengangkat mangkuk sup dan memberikan itu padanya.

"Kenapa cuma satu?" tanyanya dengan lemah.

"Kan, yang makan cuma kamu."

"Kamu nggak?"

"Nggak, aku udah kenyang," sahutku sambil duduk bersila di samping El. Ia mengangguk paham sebelum beralih menatap sup yang sudah kuberi nasi di pangkuannya itu.

El mengangkat sendoknya dengan tangan yang bergetar. Sampai-sampai aku terheran melihatnya. Jadi El benar-benar selemas itu? Karena gemas, aku mengambil alih sendok dan supnya.

"Kamu sebenernya nggak makan dari kapan?" tanyaku sambil menyendok nasi sup dan mendekatkannya ke mulut El. "Sampai gemetaran gitu."

"Dari kemarin," jawab El cengengesan. Ia lalu membuka mulut untuk menerima suapan sendok dariku.

"Pantesan. Angkat sendok nggak kuat, tapi aneh ya bisa nahan aku."

El tersenyum di sela-sela kunyahannya. "Itu energi yang muncul saat darurat."

Aku mendengus sebal. Masih sempat saja El bergurau di saat aku sangat mengkhawatirkannya. Pria aneh ini, bisa-bisanya membuatku merasakan sensasi seperti menaiki rollercoaster. Sebentar-sebentar dibuatnya berdebar bukan main.

Sudah setengah isi mangkuk yang masuk ke perutnya. Namun El mulai menunjukkan bahwa ia tidak bernafsu lagi untuk memakannya.

"Ra, udah ya?" tolaknya saat aku ingin menyuapinya lagi. "Udah kenyang."

"Ini baru abis setengahnya lho, El. Nggak cukup buat ganti energi kamu yang terkuras dari kemarin," omelku. Meski ditolak, aku tetap menyodorkan sendok ke mulutnya.

"Udah nggak nafsu, Ra." El mendorong mangkuk nasi supnya menjauh.

"Dikit lagi ya?" bujukku dengan nada yang lebih halus. "Biar abis itu kamu minum obat."

Aku menunjukkan senyum terbaikku padanya. Berharap dengan begitu ia akan luluh. Aku benar-benar mengkhawatirkan kondisinya saat ini. Ia harus minum obat agar aku bisa pulang dengan tenang. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Sungguh.

El membuka mulutnya lagi, siap menerima suapan dariku meski wajahnya tampak cemberut. Kendati begitu, aku bisa melihat rona merah di wajahnya. Untuk ukuran orang sakit, pria setampan El bisa jadi sangat menggemaskan juga.

Semangkuk nasi sup habis. Aku membawa mangkuk kosong itu ke dapur dan kembali dengan membawa obat.

Setelah memastikan El meminum obatnya, aku berencana untuk pulang. Tidak mungkin, kan, aku di rumah El sampai larut malam. Apa yang akan orang-orang bilang tentang itu nanti. Terlebih, aku juga tidak memiliki urusan apa pun lagi untuk tetap tinggal.

"Aku pulang ya, El," ujarku sambil mengelap tanganku yang basah bekas mencuci peralatan makan. Lalu tisu bekasnya kulemparkan ke bak sampah terdekat. Aku baru sadar, El memiliki bak sampah di tiap sudut rumahnya. Benar-benar pria yang bersih.

Aku melirik El karena ia tak kunjung menyahutiku. Raut wajahnya berubah lesu entah sejak kapan.

"El," panggilku sekali lagi.

Suara petir yang terdengar samar-samar membuatku ingin lekas-lekas pulang ke rumah. Setidaknya sebelum aku terjebak di sini lebih lama lagi. Toh hujannya juga belum deras.

"Jangan pulang, Ra. Harinya hujan, denger petirnya tadi, 'kan?" Akhirnya El bicara.

"Nggak masalah, aku bawa mobil, kok," sahutku sambil menyimpan ponsel ke dalam tas jinjingku.

"Jangan, Ra. Udah hujan ini. Gimana kalau ada badai pas di jalan? Bahaya." El masih berusaha membujukku. Bahkan meraih tanganku agar tidak pergi, menggenggamnya dengan erat.

"Aku bakalan sampai rumah sebelum badai. Tenang aja," ujarku sambil melepaskan tanganku dari genggamannya yang hangat. Tangannya sudah tidak sepanas tadi.

El mendesah. Ia membungkus tubuhnya kembali dengan selimut, dan memusatkan perhatiannya pada TV yang menyala sejak tadi.

"Baiklah, hati-hati. Makasih ya, Ra," ujarnya tanpa sedikit pun menatapku. Nada suaranya pun datar.

El tampaknya enggan kutinggalkan. Tingkahnya persis seperti seorang bocah yang sedang merajuk. Untuk ukuran seorang pria berusia dua puluh tujuh tahun, ia terlalu manja. Entah memang dari sananya El begitu, atau hanya karena ia sedang sakit.

Mungkin opsi kedua lebih tepat.

"Kalau ada apa-apa telpon aja aku," pesanku, sudah siap ingin pergi dari sana.

"HP-nya di kamar."

"Kan, nanti kamu tidurnya di kamar, El?"

"Nggak. Aku tidur di sini. Nggak kuat ke kamar."

Aku menghela napas. Perlu kucatat ini baik-baik untuk masa yang akan datang, kalau kami berdua memang menikah. El yang sakit ternyata lebih merepotkan dari kedua adikku yang sakit berbarengan.

Dengan langkah berat, aku berjalan menuju kamar El untuk mengambil ponselnya, lalu meletakkannya ke atas meja.

"Udah kuambilkan. Aku pulang ya," ujarku sekali lagi. Namun, hanya direspons dengan gumaman oleh pria yang sedang sakit itu.

Aku tidak ingin lebih pusing lagi memikirkan El yang sedang kesal. Sebagai gantinya, aku berencana mampir besok pagi-pagi sekali untuk memastikan kondisi El sekali lagi. Lagi pula, harusnya aku masih kesal dengannya karena tidak cukup terbuka padaku. Namun, aku tidak bisa menginterogasi orang sakit. Itu terkesan kejam sekali.

Baru saja aku membuka pintu depan rumah El. Suara petir yang keras mengagetkanku. Terlebih, suara rintik hujan yang kudengar tadi ternyata hujan yang sudah sangat lebat. Aku lupa jika rumah El bertingkat dua. Hingga suara guyuran air hujan tidak terdengar nyaring dari lantai satu.

Aku tidak ingin nekat membelah hujan untuk menghampiri mobilku yang terparkir di belakang milik El. Karena sudah bisa dipastikan aku akan basah kuyup meski hanya berjalan beberapa meter. Mengemudi dengan baju basah dan membuatku kedinginan lebih berbahaya daripada tetap tinggal lebih lama lagi di rumah El. Kondisiku yang lemah terhadap dingin jelas akan mengancam hidupku.

Dengan terpaksa aku kembali menghampiri El lagi. Malu, sih, sebenarnya. Sudah memaksa ingin pulang, sekarang justru kembali lagi.

"Nggak bisa pulang, 'kan?" celetuk El, agak meledek.

Aku menjatuhkan tubuhku di samping El seperti tadi. "Iya." Aku menyahut lesu. "Aku nunggu hujan berhenti aja."

"Nginap juga nggak papa, Ra," tawar El seraya tersenyum aneh. Aku sampai bergidik melihatnya.

"Nggak mungkin. Apa kata tetanggamu kalau tau ada wanita di rumah seorang bujangan?"

Pria itu hanya mendengkus sebal. "Tetangga nggak akan ada yang peduli."

Aku lupa, bahwa saat ini sedang berada di kawasan komplek dengan rumah-rumah yang besar dan berpagar tinggi. Mereka tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada tetangga seandainya seseorang tidak membuat pengumuman. Atau mengunjungi langsung rumah si tetangga. El salah tinggal sendirian di tempat seperti ini.

Namun mengasihani bukan berarti aku harus berada di sini lebih lama lagi.

"Tetap aja nggak bisa. Apalagi besok aku kerja," sahutku, masih berusaha mencari alasan lain.

El mengangkat bahunya sambil membenarkan posisi selimut. Setelah itu kami sama-sama terdiam menikmati film action yang sedang tayang di TV.

"Ra, aku baru sadar. Kamu datang jengukin aku nggak bawa buah tangan," gurau El saat TV menayangkan iklan.

Aku mengerjap beberapa kali. Benar juga, harusnya aku membawa buah atau kue yang kira-kira bisa dimakannya. Bukannya memesan sup online seperti tadi. Tidak kusangka aku sekhawatir itu sampai tidak sempat memikirkan apa pun selain kondisi El.

"Nggak kepikiran," cicitku.

"Terus apa yang kamu pikirkan? Aku seneng aja kalau kamu pikirin, Ra," goda El yang spontan membuat wajahku merona.

"Apaan, sih, El. Harusnya tadi kamu nggak usah kukasih makan ya, udah nggak lemes ternyata nyebelin," kesalku. Pura-pura marah karena malu mengakui bahwa benar aku sangat mengkhawatirkan pria itu.

El tertawa keras. "Kamu khawatir ya, Ra?" Ia bertanya dengan suara yang lembut.

Aku tidak langsung menjawab. Wajahnya kutatap lamat-lamat lalu menyahut, "Iya." Kemudian membuang muka dan menenggelamkan telapak tangan ke dalam lengan mantel yang belum kulepaskan sejak tiba di rumah El.

Harinya semakin dingin dan bibirku mulai bergetar. Aku mudah sekali kedinginan, itu sebabnya aku selalu membawa jaket berlebih jika bepergian.

"Ra, mendekat sini deh," panggil El sambil membuka sebagian selimutnya.

"Ngapain?"

El memejamkan matanya sebentar. Aku tidak tahu ia memikirkan apa ketika dahinya berkerut dan rahangnya mengeras.

"Kamu kedinginan, 'kan?"

"Nggak papa, aku udah pakai mantel."

El berdecak pelan. Tanpa aba-aba, ia menarik lenganku dengan kuat hingga aku dekat sekali dengannya. Bersamaan itu pula sandaran dari sofa lipatnya terjatuh ke belakang hingga kini sofa itu menyerupai sebuah kasur dengan bagian kepalanya lebih tinggi.

Aku sampai memekik karena terkejut karena perbuatannya. Aku berusaha untuk duduk lagi, tapi El bergerak lebih cepat membungkusku dengan selimut dan memelukku sangat erat.

"El, lepasin," pintaku karena posisi ini terlalu intim dan aku merasa tidak enak. Apalagi aku takut dia akan merasakan jantungku yang berdebar kencang di dalam sana.

"Diam aja, Ra. Kamu kedinginan, pas sama aku yang lagi demam."

Aku tidak menampik bahwa tubuh El yang hangat membuatku merasa nyaman. Kedinginan adalah sesuatu yang sangat kubenci. Karena itu akan membuatku lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Tahu bahwa berusaha lebih keras untuk melepaskan diri akan berakhir sia-sia, akhirnya aku menyerah dan menyamankan posisiku. Cukup lama kami terdiam di posisi seperti ini. Irama detak jantungnya terasa seperti alunan lagu pengantar tidur. Menenangkan.

"Ra?" panggilnya kemudian.

"Iya?"

"Aku mau minta maaf."

"Buat apa?"

El menghela napas. "Karena bikin kamu nangis tadi."

"Aku nggak nangis," sahutku.

El memundurkan kepalanya sedikit dan aku mendongak untuk melihatnya. "Aku sempat liat mata yang indah ini berkaca-kaca." El mengusap kelopak mataku dengan jempolnya yang hangat.

Aku malu dan menyembunyikan wajahku di dadanya yang bidang. "Cuma kelilipan." Aku bersikeras tidak ingin mengakui bahwa aku memang menangis.

Entah apa yang akan El pikirkan jika tahu bahwa aku menangis hanya karena mengharapkan sesuatu yang belum bisa kumiliki sepenuhnya. Hak untuk tahu lebih banyak tentangnya.

El tidak merespons lagi. Ia memelukku lebih erat dan menempelkan dagunya di atas kepalaku. Usapan tangannya di punggungku membuat kelopak mataku terasa semakin berat. Sampai aku khawatir akan tertidur di sini, di pelukannya. Namun, aku tidak bisa pulang. Petir masih menyambar dan aku yakin hujannya juga belum berhenti. Sampai akhirnya mataku terpejam.

Aku tidak tahu apa yang El katakan saat ini. Suaranya terdengar olehku yang setengah tertidur, tapi tidak jelas apa yang ia ucapkan. Sedangkan aku semakin mengantuk. Mungkin besok, kalau aku ingat, aku akan menanyakan itu padanya.

Walau tidurku baru sebentar, tapi aku sudah didatangi oleh mimpi yang indah. Yaitu ketika El mencium keningku dengan lembut. Rasanya seperti nyata. Dan dengan mimpi yang singkat itu, aku tertidur lebih nyenyak lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top