22 - Bertemu calon mertua
Rafael Lazuardi
Aku membuka pintu ruangan yang sejak dua minggu lalu jadi ruang kerjaku. Saat tiba di dalam, aku menghirup dalam-dalam aroma pengharum ruangan yang menguar di sana. Aroma yang tidak terlalu kuat dan membuat hidungku merasa nyaman. Langkahku tidak berhenti sampai tiba di meja yang berada di ujung ruangan. Ada dua sekat dan sebuah meja kerja lagi yang kulalui, yang mana akan jadi milik satu orang lagi.
"Selamat pagi, Bos."
Aku tidak perlu berbalik untuk melihat siapa yang memanggilku.
"Jangan panggil bos," sahutku agak kesal. Aku berhenti di depan mejaku dan menyandarkan pinggul di sana.
"Kepala cabang cocoknya dipanggil Bos," gurau Yohanes, teman baikku sejak SMA.
Aku tersenyum lebar padanya. Sudah seminggu sejak ia jadi sekretarisku. Tepatnya saat ia baru saja resign dari kantor sebelumnya. Meski dia teman baikku, aku tetap memintanya untuk mengikuti serangkaian tes, mulai dari menyerahkan berkas lamaran, tes tertulis, wawancara, sampai akhirnya HR kami memilihnya.
Aku sengaja memilih sekretaris laki-laki agar tidak lebih banyak berurusan dengan wanita. Maksudku, aku hanya ingin Zara menjadi prioritasku. Selain itu, Yohanes jelas akan lebih tangguh untuk menghadapi tekanan jika suatu saat pekerjaan membuatku stres.
"Ngomong-ngomong, semringah banget, El. Kayak suami yang baru dapat kabar kalau istrinya lagi hamil," celetuk Yohanes. Ia bersandar pada sekat tembok yang tingginya sebatas perut, berhadapan denganku.
"Entahlah, aku merasa ada hal baik yang akan terjadi," ujarku asal-asalan sambil menerawang ke luar jendela. Walau sebenarnya aku punya firasat bagus tentang hari ini.
"Serius nanya nih, El." Yohanes berjalan mendekatiku dan bersandar di dinding sebelah kiriku. "Kamu beneran jomlo sekarang?" Sebuah pertanyaan yang aku tidak ingin dengar justru meluncur dari pria berambut spike tersebut.
Senyumku luntur, menyisakan kerutan di dahi. Tidak menyangka ia-dan teman-temanku-sepeduli itu pada statusku. Sampai-sampai aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
"Kenapa kalau aku jomlo?"
Yohanes menggaruk tengkuknya, tapi agak aneh karena ekspresinya agak kusut. "Emm, nggak papa. Cuma nggak biasa aja. Lama-lama jomlo ntar nggak nikah-nikah kamu, El."
Aku mengubah posisiku dan berjalan menghampiri Yohanes hingga kami berhadapan sekarang. Aku menatap ke luar jendela di sebelah kiri Yohanes sambil memikirkan kata-kata yang pas untuk merespons Yohanes.
"Kita mau nikah itu nggak bergantung pada status, Bro. Lagian nggak melulu harus pacaran kalau mau nikah. Kalau kita udah yakin sama seseorang, kita bisa langsung lamar dia. Nggak perlu pake pendekatan dengan embel-embel status yang ujung-ujungnya bakalan putus."
Aku memikirkan sosok Zara saat mengatakannya. Wanita itu sedikit banyaknya menyadarku tentang beberapa hal. Rasanya agak menyesal juga karena aku terlambat mengenalnya dengan baik. Seandainya kami menikah, mungkin ia akan jadi istri yang luar biasa. Aku sampai tersenyun sendiri membayangkannya.
"Siapa yang ngomong kayak gitu ke kamu, El? Zara?"
"Betul," sahutku, enggan mengelak.
"Serius Zara?"
Aku meliriknya dan mengangguk ringan.
"Zara anak kelas kita, 'kan?"
Sekarang aku mulai tidak suka dengan pertanyaannya. "Kenapa? Iya. Zara yang itu."
Yohanes memandangku takjub. Sebenarnya aku tidak terkejut juga. Sebab Zara memang dikenal agak susah didekati sejak dulu.
"Tumben kamu deket sama cewek tapi nggak diajak pacaran." Yohanes berujar dengan nada sarkastik.
Aku menepuk pelan pundak Yohanes. "Kan udah kubilang, apa-apa itu nggak harus pacaran dulu. Santai aja lah."
"Hoo ... jadi barusan kamu mengaku jatuh cinta sama Zara?" Yohanes mengerling jenaka.
Untuk beberapa saat aku hanya diam. Berpikir keras lebih teparnya. Aku berusaha mencari jawaban dari pertanyaan Yohanes. Jantungku bahkan masih belum berdegup kencang saat bersama Zara. Namun, ada rasa nyaman saat bersamanya. Lantas, wajarkah jika aku yang tidak jatuh cinta ini berkeinginan untuk mencium seorang wanita seperti yang kulakukan tadi malam?
Sebenarnya, mudah saja bagi orang-orang untuk jatuh cinta pada Zara. Termasuk aku. Sayangnya saat ini hatiku masih belum benar-benar kosong. Masih ada seseorang yang belum bisa kulupakan sepenuhnya. Cinta pertama sekaligus kekasih terakhirku. Meski aku tidak bisa memungkiri jika kehadiran Zara perlahan mengikis keberadaan wanita itu di sana.
"Nggak, Han. Aku nggak jatuh cinta sama dia," jawabku akhirnya.
"Ah, kamu sadarnya lama, El," keluh Yohanes sembari beranjak kembali menuju mejanya.
Tanganku bergerak merogoh kantong celana, mengeluarkan kunci rumah dari dalam sana. Yang mana terdapat kunci rumah Zara juga di sana. Aku tersenyum lagi, lalu muncul keinginan untuk bertemu dengan Zara malam ini. Anggap saja untuk mengembalikan kuncinya.
***
Pukul tujuh lewat beberapa menit aku sudah tiba di depan rumah Zara. Pintu bercat putih itu kuketuk tiga kali. Sambil menunggu sang empu rumah membukanya, aku merapikan rambutku sedikit sambil bercermin pada kaca rumah jendela. Memastikan tatanan rambutku tidak rusak karena helm.
Aku kembali menegakkan badan saat kudengar suara kunci yang diputar dari dalam sana.
"Selamat ma-lam, Tante," ujarku terbata.
Alih-alih menemukan Zara, yang kulihat justru seorang wanita yang lebih tua darinya. Beruntungnya, meski terkejut, aku tetap mempertahankan senyumku. Dan refleks membungkukkan badan sebagai bentuk sopan santun.
Kalau kuperhatikan lebih intens, wanita ini agak mirip dengan Zara. Tepatnya dari bentuk bibir dan alisnya. Rupanya kecantikan Zara didapat dari ibunya.
"Malam, Nak. Cari Zara ya?" balas beliau dengan ramah. Senyumnya persis sekali dengan Zara hingga membuatku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebih lebar.
"Iya, Tante. Ada?"
"Ada. Ayo masuk." Ibu Zara membuka pintu lebih lebar dan menepikan tubuhnya untuk membiarkanku masuk. "Langsung ke ruang tengah aja, Nak," sambungnya.
"El?"
Aku tersenyum saat melihat Zara berada di sofa dengan dua anak kecil. Entah sudah berapa kali aku tersenyum hari ini.
"Hai, Ra," balasku. Kedua adik Zara menatapku dengan intens hingga membuatku merasa terpojok.
"Hai, temennya Kak Zara," sapa seorang gadis kecil di sana. Ia tersenyum lebar hingga menunjukkan giginya yang tanggal satu di bawah. Tangan mungilnya terangkat untuk melambai pada El.
"Panggilnya Abang dong, Fi. Kan temennya Kak Zara laki-laki," sahut anak kecil laki-laki di sebelahnya.
"Terserah aku dong, bweee." Si gadis kecil menjulurkan lidah. Interaksi mereka membuatku gemas sendiri.
Sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan anak-anak, tapi sadar bahwa aku akan menikah dengan Zara, mau tidak mau aku harus dekat dengan mereka pula. Aku melihat ada space kosong di antara mereka dan segera mendudukinya.
"Adik cantik, namanya siapa?" Aku bertanya pada si gadis kecil lebih dulu.
"Fia, Bang. Abang namanya siapa?"
"Rafael. Tapi biasanya dipanggil El," jawabku dengan lembut.
"Oke, Abang El."
Aku mengangkat sebelah tanganku, bermaksud untuk mengajaknya high five. Fia mengerti dan menepuk tanganku dengan penuh semangat.
"Kalau cowok ganteng ini namanya siapa?" Aku beralih pada anak laki-laki yang fokus memainkan game di ponselnya.
"Daffa, Bang," sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.
"Wah, Daffa main game itu juga? Bisa mabar dong kita," ujarku penuh antusias.
Daffa memamdangku takjub. "Beneran, Bang?"
"Iya bener, tunggu nih, Abang login dulu," jawab El sambil mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. "Kita mabar kalau Daffa udah selesai."
Aku terlalu asyik dengan Daffa sampai melupakan kehadiran Zara. Entah apa yang dilakukannya sekarang, tapi ia tidak sedikit pun beralih dari sofa single yang didudukinya sejak tadi.
"Ekhem." Aku mengangkat kepala untuk melihat ibu Zara mengerling pada Zara. Entah perasaanku saja atau aku memang melihat wajah Zara merona. Menggemaskan sekali.
"Zara nggak punya camilan ya? Di lemari habis tuh," tegur ibunya sambil meletakkan nampan teko minuman dan beberapa gelas.
"Oh iya, Zara lupa beli, Bu," ujar Zara lalu bangkit dari duduknya. "Fia sama Daffa mau ikut Kakak beli camilan nggak?" tawarnya kemudian.
Keduanya langsung bersorak ingin ikut. Daffa meminta maaf padaku karena harus menghentikan permainannya sebentar, dan aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Zara dan kedua adiknya sudah berangkat ke minimarket yang katanya tidak jauh dari rumah. Tersisalah aku dan ibunya. Karena tak memiliki persiapan apa pun, aku jadi gugup sekarang. Aku tahu suatu saat nanti akan bertemu dengan orang tua Zara, tapi tidak kusangka akan secepat ini. Aku bahkan belum tahu banyak tentang Zara. Apa yang harus kujawab kalau ibunya menanyakan hal-hal yang tidak kuketahui?
Aku menertawakan diriku sendiri dalam hati, merasa konyol karena mentalku yang lemah padahal aku bukan sedang melamar Zara.
"Rafael, rekan kerjanya Zara?" tanya ibunya Zara setelah menanyakan namaku sebelumnya.
"Bukan, Tante. Saya teman kuliahnya Zara." Aku berusaba menjawab dengan tenang, mengabaikan degup jantung yang menggila di dalam sana. Seperti ini ternyata rasanya bertemu dengan calon mertua.
"Wah udah kenal lama dong?"
Aku tertawa canggung. "Ya begitulah, Tante. Cuma kenalan biasa."
"Nak Rafael sering mampir ke sini ya?"
Pertanyaan wanita itu membuatku menciut. Rasanya seperti tertangkap basah telah berbuat yang tidak-tidak.
"Maaf, Tante. Baru beberapa kali, kok. Cuma makan dan nonton bersama," tuturku pelan-pelan sambil berusaha mengingat-ingat apa saja yang kulakukan selama berkunjung ke rumah Zara, sambil menyaring hal-hal yang tidak perlu disampaikan. Insiden ikan gosong beberapa hari lalu, misalnya.
"Oh, berarti jaket yang ketinggalan itu punya Nak Rafael ya?"
Aku mengernyit, tidak tahu jaket seperti apa yang dimaksud ibunya Zara. "Jaket apa ya, Tante?"
"Bentar," ujarnya sebelum meninggalkanku sendirian. Tak lama kemudian, beliau kembali dengan jaket yang sudah terlipat rapi di tangannya. "Jaket ini."
"Oh iya, ini punya saya tante."
Aku menerima jaket tersebut dan tertawa garing. Sebenarnya aku lupa kapan meninggalkan jaket di rumah Zara. Terlebih aku kolektor jaket, jadi kehilangan satu jaket tidak akan membuatku sadar.
Namun, yang kupikirkan adalah, apa yang kira-kira dipikirkan ibunya Zara kalau tahu anaknya dikunjungi seorang pria yang dengan lancang melepaskan jaket di rumahnya.
"Santai aja. Nggak usah grogi begitu. Tante percaya Zara nggak akan mengecewakan tante. Ketika dia sudah mau mengundang seseorang untuk datang ke rumahnya, itu berarti Zara percaya sama Nak Rafael. Terima kasih sudah menjaganya selama ini." Wanita dengan tiga anak ini tersenyum tulus padaku sampai membuat perasaanku menghangat.
"Oh iya, lain kali kalau kita ketemu lagi, nggak usah panggil Tante ya, panggil Ibu aja."
Aku langsung tersedak ludahku sendiri saat mendengar ibunya Zara mengatakan itu. Apa maksudnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top