21 - Bahagia yang Lain

Zara Naulia

Aku bangun tidur pukul lima pagi. Di detik berikutnya aku ingat tidak tertidur di sini semalam. Bukan di kamar, melainkan di sofa bersama El. Aku beranjak dari kasur. El tidak mungkin sampai menginap, kan? Rumahku pasti belum terkunci sekarang. Sebab El tidak mungkin bisa mengunci rumahku dari dalam sementara dirinya berada di luar rumah.

"Dasar aku. Tamu belum pulang, udah tidur duluan," omelku pada dirinya sendiri.

Baru keluar dari kamar, mataku langsung tertuju pada sebuah kunci dan selembar kertas di atas meja makan. Niat awalku ingin memeriksa pintu depan jadi kuurungkan karena sebuah kunci yang tidak berada pada tempatnya; lubang kunci pintu.

'Ra, kunci rumahmu kubawa pulang. Sementara ditukar sama kunci rumahku. Sebagai jaminan biar kalo aku berbuat jahat, kamu bisa langsung balas. Have a nice day.

❤El'

Aku tidak bisa menahan senyum saat melihat simbol hati yang dibubuhkan El di kertas pesannya. Bahkan tanpa El menukarkan kunci pun, sebenarnya aku percaya bahwa pria itu tidak akan berbuat jahat.

Ponselku berdering keras di kamar. Aku cukup tahu siapa yang biasanya menelepon sepagi ini. Karena itulah aku bergegas mengambilnya, tidak ingin membuat si penelepon menunggu lama.

"Halo, Ibu!" Aku memekik saking senangnya.

"Nggak usah nyaring-nyaring, Ra. Kayak bocah aja. Ibu masih bisa dengar," sahut ibu dari seberang telepon. Suara penggorengan ikut terdengar dari seberang sana.

Aku cekikikan. "Ada apa, Bu? Zara pulang kok Sabtu ini kalau Ibu nanya kapan."

"Nggak usah ke sini, Ra. Ibu, Daffa sama Fia mau main ke rumahmu hari Jumat. Mereka perlu liburan."

"Abah nggak ikut, kan?" Aku bertanya hati-hati. Sambil berharap ibu akan mengiyakan pertanyaanku. Entah kenapa, membayangkan beliau ke sini saja sudah membuatku mual.

Ibu mendesah di seberang telepon. "Sampai segitunya. Iya, beliau nggak ikut. Ada kerjaan di luar kota. Nginap jadinya," sahutnya.

Ibu jelas tahu jika aku tidak terlalu menyukai abah. Mungkin kedengarannya kurang ajar, tapi jika melihat bagaimana sikapnya terhadap seorang anak tiri, ia cukup keterlaluan. Terlebih ibu menyaksikan bagaimana suaminya memberiku tekanan.

Aku tersenyum lebar, menunjukkan sederet gigiku seperti ibu bisa nelihatku. Itu artinya akhir pekan ini akan jadi akhir pekan yang menyenangkan. Hanya aku, ibu, dan dua adikku. "Baik, Bu. Nanti telpon aja pas udah sampai di terminal. Biar Zara jemput."

Tanpa abah, mereka tidak pergi menggunakan mobil. Sebab ibu tidak bisa mengemudi. Jika melihat dari pengalaman sebelumnya, ibu akan pergi dengan angkutan umum khusus untuk bepergian ke luar kota.

"Nggak usah, Ra. Kami naik mobil travel. Biar bisa diantar sampai depan rumahmu. Nanti taruh aja kunci cadang di pot bunga kayak biasa kalau Zara belum pulang kerja."

"Kunci cadang ya?" gumamku. Seketika tersadar kuncinya justru dibawa Rafael. Aku mengangkat kunci rumahnya yang sedari tadi kupegang.

"Kenapa, Ra?" tanya ibu.

"E-enggak papa, Bu," sahutku, tidak ingin membuatnya khawatir.

"Zara, dengar Ibu ya, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat cerita. Zara tau gimana khawatirnya Ibu setiap hari mikirin apa yang Zara lakukan, makannya teratur apa nggak, kerjanya gimana? Semua itu Ibu rasakan sejak Zara pisah rumah sama Ibu. Jadi kalau ada apa-apa, jangan diam aja. Zara paham?"

Naluri seorang ibu memang kuat sekali. Aku sampai terhenyak. Aku sadar betul sudah membuat ibu khawatir selama ini. Betapa egoisnya dulu aku bersikeras untuk kuliah di luar kota dan tinggal sendirian. Tanpa memikirkan perasaannya ketika kutinggalkan.

Namun, aku berhasil membuktikan bahwa meski berpisah, aku bisa membuat orang tuaku bangga dengan karir yang kumiliki, hingga berhasil mengumpulkan uang muka untuk membeli rumah yang kutinggali sekarang.

"Meskipun Zara sudah dewasa, sebelum menikah, Zara tetap tanggung jawab kami," tambah ibu, menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, Bu," balasku. Tidak tahu apa lagi yang harus aku katakan.

"Ya udah, Ibu matikan ya? Zara harus siap-siap ke kantor, 'kan?"

"Iya, Bu. Sampai jumpa, Zara sayang Ibu."

"Ibu juga menyayangimu."

Setelah itu sambungan telepon terputus. Aku meletakkan kembali ponselku ke atas meja nakas. Lalu memandang kunci di tanganku. Aku tidak pernah membayangkan akan terjadi hal semacam ini. Maksudku, bertukar kunci rumah dengan seorang pria padahal bukan pasangan suami istri.

Suami istri? Membayangkannya membuatku begidik, tapi juga kurasakan pipiku memanas.

***

Hari yang kunantikan tiba. Ibu dan adik-adikku datang ke rumah. Aku membaca pesan yang kuterima dari ibu tadi siang sekali lagi, isinya menyampaikan bahwa mereka sudah di perjalanan menuju rumahku. Jika perhitunganku tidak salah, mereka pasti sudah tiba di rumah saat aku pulang dari kantor nanti.

Aku bertopang dagu di atas mejanya, mulai berpikir keras tentang camilan apa yang perlu dibeli untuk kedua adikku hari ini. Selera keduanya berbeda. Itu yang membuatku kadang kebingungan untuk membeli camilan apa agar bisa dinikmati bersama.

Tak peduli meski mereka bukan adik kandungku, aku tetap menyayangi mereka seperti adikku sendiri. Bahkan melebihi dua adik kandung yang tinggal bersama ayah. Bukan maksud pilih kasih, tapi karena mereka, Daffa dan Fia, memang lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku.

Terkadang, aku merasa memiliki adik yang banyak agak merepotkan. Sebab agar menjadi kakak yang adil, aku harus membeli empat hadiah sekaligus. Benar-benar risiko menjadi anak pertama dari keluarga broken home.

Namun, aku tidak menyesali itu. Tak masalah meski harus mengeluarkan uang banyak, yang terpenting adalah kebahagiaan mereka. Sebab itu akan jadi kebahagiaanku juga.

Lelah berpikir dan tak menemukan jawaban, akhirnya aku memutuskan untuk mengajak mereka saja saat belanja nanti. Biar mereka yang memilih sendiri ingin camilan apa.

Tepat jam lima sore aku bersiap pulang. Ini jelas bukan hal yang biasa dan menimbulkan pertanyaan bagi semua orang di ruanganku. Sebenarnya, ini memang sudah jam pulang. Mungkin karena ucapankulah yang membuat mereka kebingungan.

"Guys, laporannya kirim besok pagi aja ya," ujarku pada mereka sebelum melesat keluar ruangan lebih dulu.

Aku mengambil langkah lebar, sudah tidak sabar ingin segera bertemu ibu dan kedua adikku. Terlebih lagi, sudah dua bulan tidak bertemu. Aku memang agak malas bepergian ke luar kota beberapa bulan terakhir ini.

Tak sampai dua puluh menit aku tiba di rumah. Beruntung sekali rasanya karena jalanan tidak sepadat biasa. Hingga aku dapat melajukan mobil dengan kecepatan lebih. Aku segera masuk ke dalam rumah setelah memarkirkan mobil. Melepas sepatu dan melemparnya ke belakang pintu; aku akan mengurus itu nanti. Tanpa aba-aba aku menghambur memeluk dua adikku yang duduk di sofa ruang tengah dari belakang.

"Selamat datang!" pekikku. Kemudian mencium pipi keduanya

"Ew!" Daffa memekik keras. "Menjijikkan, Kak!" Ia mengeluh sambil mengusap pipi dengan sebelah tangannya. Ia tidak sedikit pun melihatku karena terlalu fokus dengan game yang sedang ia mainkan di ponselnya.

Aku hanya terkekeh geli melihat reaksi Daffa dan aku memaklumi itu. Sebab Daffa adalah laki-laki dan sudah kelas dua SMP. Wajar jika ia menolak apa yang kulakukan padanya.

"Santai aja dong, Daf," sahutku sambil mengacak rambut cepak Daffa.

Ia lantas menggeser tubuhnya menjauh agar aku tidak bisa menjangkaunya. Hingga sekarang ada jarak antara Daffa dan Fia, adik bungsuku yang berusia tujuh tahun. Aku memanfaatkan itu dan cepat-cepat mengisi bagian yang kosong dan memulai ritualku; mengganggu Fia yang sedang makan.

"Fia makan apa?" tanyaku. Sekadar basa-basi karena aku bisa melihat sendiri piring Fia yang berisi mi goreng dengan campuran beberapa jenis sayur.

"Mi goreng, Kak," sahut Fia dengan logat Jawa khas anak kecil. Logat bicara ibu menurun padanya.

"Boleh minta nggak?"

"Boleh, ini," sahut Fia sambil menyodorkan piringnya padaku.

"Suapin dong. Aaa ... ," ujarku sebelum membuka mulut.

Fia menyuapkan mi menggunakan garpunya ke mulutku. Pipi gadis kecil itu membulat saat ia menaikkan kedua sudut bibirnya. Sampai membuatku tidak tahan untuk mencubitnya karena gemas.

"Zara," panggil ibu dari dapur. Beliau datang dengan membawa sepiring mi yang aku yakin akan diberikan pada Daffa. "Jangan ganggu adek lagi makan," tegurnya, tangan yang bebas ia gunakan untuk memukul pelan lenganku.

"Biasa, Bu. Melepas kangen," sahutku sambil menunjukkan cengiran terbaik.

Ibu hanya menggeleng. Mungkin sudah tidak tahu lagi cara mengatasi keusilanku pada mereka.

"Mandi dulu sana, masih kotor dari luar malah nempelin adek," suruhnya sambil mendorong-dorong pelan punggungku agar segera beranjak dari sana. "Mi goreng masih ada di wajan kalau mau makan," sambungnya.

"Makasih ya, Fia," ujarku sebelum beranjak dari kursi.

"Sama-sama, Kak," sahut Fia dan tersenyum lebar. Manis sekali sampai aku ingin kembali duduk di sana dan mencubit pipinya sampai puas, andai ibu tidak segera menduduki tempatku tadi.

Dari dulu, aku memang membiasakan adik-adikku untuk mengucapkan terima kasih, maaf, dan tolong meski itu dalam keluarga kami. Tujuannya agar mereka terbiasa dan memiliki sopan santun kepada orang lain. Bahkan ketika mereka meminta sesuatu, mereka tidak akan mendapatkannya semudah itu, harus ada feedback yang diberikan kepadaku. Misalnya saat Daffa minta padaku untuk dibelikan sepeda, ia harus memiliki pencapaian terlebih dahulu. Waktu itu ia memenangkan lomba story telling tingkat SD, dan aku langsung mewujudkan permintaannya tanpa tapi.

Aku benar-benar melakukan yang terbaik untuk mendidik mereka agar tidak menjadi anak yang manja.

Sayangnya, hal itu berkebalikan dengan abah. Beruntung mereka berdua mau mengikutiku. Jadi, mereka tidak hanya berprestasi dalam hal akademik saja, tapi juga non akademik.

"Ra, tadi di sofa ada jaket laki-laki. Punya siapa?"

Ibu bertanya saat melihatku datang kembali ke ruang tengah dengan rambut yang basah dan sepiring mi di tanganku. Sweater dan celana training panjang berwarna abu-abu membungkus tubuhku.

"Jaket?" Aku balas bertanya dengan alis tertaut. Sampai kemudian aku teringat pada satu-satunya pria yang datang ke rumahku akhir-akhir ini. "Oh, itu-"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top