2 - Soulmate and Marriage

Zara Naulia

Akhir pekan. Aku memilih menikmatinya dengan bermalas-malasan di rumah. Hidup sendiri membuatku bebas melakukan apa saja sesuka hati. Bahkan membiarkan tumpukan peralatan makan yang kotor sisa sarapan di wastafel. Akan kucuci nanti. Aku sudah hidup berpisah dengan ibu sejak masuk kuliah. Terlalu banyak tekanan dari suaminya membuatku tidak tahan berlama-lama di sana. Kesehatan mentalku jauh lebih penting.

Aku berjalan menuju sofa yang dirancang menempel jendela dengan selimut di pelukan. Di ujung sofa terdapat meja kecil tempat aku meletakkan teh hangat dan buku yang akan kubaca. Aku suka sekali duduk di sana untuk bersantai atau menikmati hujan seperti saat ini. Memandangi daun-daun basah dari berbagai tanaman di halaman depan rumah adalah sesuatu yang menenangkan, yang akan kulakukan hanya jika tidak ada petir atau kilat. Aku membenci itu dan lebih memilih bersembunyi di balik selimut di kasurku.

Ponselku berdering saat aku membalik halaman kelima buku. Dari suara deringnya, si penelepon termasuk dalam deretan orang-orang penting dalam hidupku. Aku segera meraih ponselku dan ketika kubaca nama kontak si penelepon sekilas, aku tersenyum. Lalu cepat-cepar menggeser tombol hijau di layar.

"Bunda!"

Namun, yang terdengar bukanlah jawaban untuk panggilanku, melainkan suara seorang wanita yang sedang menegur anak kecil. "Tunggu ya, Sayang, Bunda ngomong sama Kakak dulu." Kemudian aku tertawa kecil.

"Bun?" panggilku sekali lagi.

"Halo, Zara sayang. Apa kabar, Nak?"

Akhirnya suara itu ditujukan padaku. "Baik, Bun. Kabar di sana gimana?"

"Bagus deh. Di sini juga baik-baik aja. Sayang, tunggu dulu."

Aku tertawa lagi. Rupanya adik kecilku itu masih berusaha merebut ponsel Bunda.

"Zia udah bisa apa, Bun?"

"Udah bisa berdiri, kemarin abis sakit jadi agak kurusan sekarang."

"Zia sakit apa, Bun? Jadi pengen ketemu. Sama Caca juga," ujarku setengah merengek. Memasang raut wajah sedih seolah-olah Bunda bisa melihatku di seberang sana.

"Diare gara-gara salah beli bubur. Makanya Zara kapan main ke sini? Ayahmu ngeluh terus Zara nggak dateng-dateng ke rumah."

Ayahmu. Ayah kandungku tepatnya, yang sekarang sudah menikah lagi sejak berpisah dengan Ibu. Istrinya sekarang, yang kupanggil dengan sebutan Bunda, adalah sosok wanita penyayang. Ia menyayangiku seperti aku adalah putrinya sendiri. Itu menjadi sesuatu yang bisa kusyukuri dari kelamnya perpisahan kedua orangtuaku.

"Zara nggak tau kapan bisa ke sana, Bun," ujarku agak menyesal. Rasa bersalah tiba-tiba menjalariku, sebab sudah lama sekali tidak berkunjung ke sana.

"Jumat depan, kan, tanggal merah, ada waktu tiga hari buat main ke sini."

Aku bisa pergi seandainya Rosetta tidak menikah di hari Sabtu. Wanita itu rupanya tahu bagaimana agar aku dan Vita bisa datang sehari sebelum acara. Dian juga diminta, tapi ia punya alasan bagus untuk datang di hari-H saja.

"Nggak bisa, Bun. Temen Zara nikah hari Sabtu. Terus Zara harus datang sehari sebelumnya sebagai bridesmaid. Maaf, ya, Bun." Aku mencicit. Selagi menunggu sahutan dari seberang telepon, aku menggigit bibir bawahku, mempersiapkan diri kalau-kalau Bunda akan memarahiku karena memilih menghadiri pernikahan orang lain daripada mengunjungi mereka.

Aku menggaruk batang hidung saat terdengar suara helaan napas darinya. Hanya tinggal menghitung detik saja sampai omelan Bunda terdengar. Walau kemungkinan itu tidak akan terjadi, tetapi 'mungkin' bukan berarti tidak akan terjadi, 'kan?

"Jadi tamunya terus. Kapan Zara yang ngasih undangan ke temen-temen? Kenalin ke Bunda sama Ayah kalau main ke sini."

Aku merasa lega dan tertohok di saat yang bersamaan. Lega karena Bunda tidak mengomel, dan tertohok karena lagi-lagi aku harus menerima pertanyaan mainstream.

"Belum ketemu yang pas, Bun." Selalu itu yang aku katakan.

Aku memang tidak pernah memperkenalkan pria mana pun kepada mereka. Sementara ibuku selalu mengira aku memang hanya fokus pada pendidikan dan pekerjaan. Tentang aku yang takut dengan pernikahan, tidak ada yang tahu. Teman-temanku pun mengira aku hanya hanya belum menemukan yang tepat. Itu benar, tetapi mereka tidak tahu selebihnya.

"Udah dua lima lho, Ra. Sepupumu yang masih kuliah aja ada pacarnya. Mau kami jodohin?"

Aku melotot dan refleks menegakkan badan. "Jangan dijodohin, dong, Bun. Kalau Zara nggak suka gimana?"

Memang apa masalahnya menikah di atas usia dua puluh lima tahun?

Aku hanya bisa tersenyum masam ketika Bunda tertawa lepas di seberang sana.

"Ayah tadi malam ketemu sama rekan kerjanya. Rekannya ngajak anak laki-laki yang seumuran sama Zara. Makanya Bunda nanya, kali aja Zara udah punya pasangan. Biar nggak dijodohin Ayah."

Aku meringis mendengarnya. Bukan satu dua kali ditanya tentang pasangan. Bahkan di setiap pertemuan kami, topik tersebut tidak pernah absen untuk dibicarakan. Sampai-sampai aku muak dan ketika aku mendengarnya lagi, aku akan memasang earphone dan beralasan tidak bisa mendengar suara mereka.

Namun, tentang perjodohan yang baru saja kami bicarakan di telepon adalah kali pertama. Mungkin Ayah khawatir aku akan semakin menua dan tidak ada lagi yang tertarik denganku. Sayangnya, aku tidak bisa menerima niat baik Ayah yang satu itu.

"Bun, itu nggak serius, 'kan?"

"Hmm gimana, ya? Ayah semalem cerita panjang sih tentang hebatnya cowok itu. Kata Ayah cocok sama Zara. Mungkin bakalan dijodohin kalau Zara nggak kunjung ngenalin satu ke kami."

Aku bergumam, seperti menahan dumelan dalam mulut. Dan itu kebiasaanku jika sedang kesal, menahannya karena aku tidak bisa mengatakan secara langsung. Ada banyak faktor yang membuatku begitu. Salah satunya karena Bunda lebih tua dariku.

"Kalau gitu, Zara ke sana pas udah punya pasangan aja, ya, Bun. Biar nggak dijodohin." Sebenarnya aku mengatakan itu dengan serius. Namun, tampaknya Bunda menganggap itu hanyalah lelucon. Karena yang kudengar setelahnya hanya gelak tawa.

"Kelamaan, Ra. Nggak ke sini-sini jadinya."

"Nggak papa, Bun. Biar Zara ke sananya bawa buah tangan."

Bunda masih tertawa dan aku berusaha keras mencari-cari di bagian mana yang lucu.

"Ya udah. Hari ini Zara nggak pergi jalan? Bunda mau ajak Zia sama Caca ke mal."

Aku melirik ke luar jendela. Tepatnya pada rintik hujan yang masih berjatuhan di atas genangan air di halaman rumahku. "Harinya hujan, Bun."

"Istirahat aja kalau gitu. Bunda tutup telponnya ya, adek-adekmu udah nggak sabar. Nanti telponan lagi."

"Iya, Bun."

Sambungan telepon terputus. Aku meletakkan ponsel di pangkuanku. Entah sejak kapan, aku sudah bersandar di bingkai jendela dengan kaki bersila di atas sofa. Kemudian menatap tak berminat pada buku yang kuletakkan terbalik di atas meja. Pikiranku jadi dipenuhi dengan pernikahan dan rencana perjodohan Ayah. Itu sangat mengganggu. Kuharap Ayah hanya bergurau, sekadar obrolan ringan dengan rekan kerjanya. Karena sepanjang yang kutahu, Ayah senang bergurau.

***

Hari yang dinantikan oleh Rosetta dan calon suaminya akan tiba. Hanya tinggal menghitung mundur jam. Aku di sini, di sebuah kamar yang Rosetta sediakan untukku dan Vita. Kami benar-benar menginap. Vita tiba lebih dulu daripada aku. Aku datang terlambat karena harus menunggu mobil travel menjemput penumpang lainnya terlebih dulu, hingga akhirnya aku baru tiba di sini sejak lima belas menit yang lalu.

Tanganku sibuk mengeluarkan perlengkapan dari dalam koper. Terlalu lama di perjalanan membuatku gerah dan ingin mandi. Sedangkan di pojok ruangan, Vita duduk di sofa single sambil melakukan panggilan video dengan suaminya. Jujur saja, daripada iri dengan keromantisan mereka, aku justru merasa risi dengan panggilan 'sayang' yang ditujukan pada satu sama lain. Rasanya aku ingin cepat-cepat mandi karena panggilan itu membuatku semakin gerah.

"Mau ke mana, Ra?" Vita bertanya saat mendengar suara kenop pintu yang kutarik.

"Mandi. Gerah seharian di mobil," sahutku sekenanya.

"Oh, jangan lama-lama. Jam tujuh kita makan malam bareng sama Rosetta."

Aku melirik jam di dinding. Masih ada waktu setengah jam untukku membersihkan diri dan bersiap. "Aku selalu lebih cepat dari kalian. Ingat?"

Vita terkekeh dan aku segera keluar dari sana.

Seperti yang kubilang bahwa aku selalu lebih cepat, sekitar pukul tujuh kurang lima menit, aku sudah siap dan sekarang menunggu Vita membenahi dandanannya. Entah apa yang ia lakukan saat aku sedang mandi tadi.

Ketika seseorang bilang bahwa perempuan itu ribet, aku akan dengan semangat mengelaknya. Self defense. Sebab aku tidak seribet itu. Bahkan merias wajah versiku adalah mengoleskan lip balm dan lip tint tipis, kemudian bedak yang tipis. Setelah memakai produk skincare tentunya.

"Pipimu belum merah, Ra. Apanya yang siap?"

Aku mengalihkan perhatian dari ponsel ke Vita yang sedang duduk di depan meja rias. "Kan, cuma makan malam? Ngapain dandan?"

"Kali aja di jalan kita ketemu-"

Brak!

Ucapan Vita terpotong oleh suara pintu yang didorong keras. Aku dan Vita menoleh ke sumber suara berbarengan. Di sana, ada Rosetta dengan ekspresi paniknya tengah kerepotan membawa dua bungkus plastik besar berwarna putih.

"Kita makan di sini aja, ya," ujar Rosetta setelah berhasil membawa masuk bawaannya.

Aku dan Vita saling pandang. Namun, tatapanku lebih seperti tatapan mengiba. Sebab Vita sudah serepot itu merias diri, tetapi berakhir dengan makan di kamar saja. Singkatnya, yang Vita lakukan itu percuma.

"Kok makan di sini?" tanya Vita. Beralih dari meja rias menjadi duduk bersila di atas karpet tebal tempat Rosetta duduk lebih dulu.

Aku meletakkan ponsel dan menyusul mereka, kemudian membantu Rosetta mengeluarkan kotak-kotak stirofoam dari dalam plastik.

"Aku udah dandan padahal," celetuk Vita lagi. Sebab yang sebelumnya tidak dijawab oleh Rosetta.

"Kamu mau makan aja dandan. Mau ngerayu siapa? Udah berbadan dua juga."

Ingin sekali aku tertawa karena ucapan Rosetta, tetapi itu akan melukai perasaan Vita. Dulu ia tidak seribet itu-berdandan untuk hal-hal kecil. Ia sama sepertiku, memakai riasan seperlunya saja. Namun, aku menyimpulkan sendiri bahwa itu bisa saja bawaan dari statusnya yang sudah menikah. Berawal dari merias diri untuk suami sampai akhirnya jadi kebiasaan. Kuharap, aku tidak akan serepot itu nanti.

"Nggak papa, dong, biar keliatan cantik."

Rosetta sudah membagikan porsi makanan kami masing-masing. Sambil membuka kotak miliknya, ia bersuara, "Dulu kamu nggak serajin ini, Vit. Biasanya kayak Zara aja kamu bilang udah siap."

Rosetta mengatakan apa yang tadi bersarang di kepalaku.

"Nggak tau juga. Sejak hamil aku jadi suka beli perlengkapan dandan. Kalau lagi senggang gitu, bahkan nggak ke mana-mana, aku dandan juga," keluh Vita.

"Bawaan bayi kali, ya? Bayimu perempuan?" Rosetta antusias sekali menanyakan itu pada Vita. Sedangkan aku, hanya menunggu sampai aku tahu apa yang harus kukatakan.

"Aku belum periksa USG lagi."

Rosetta berdecak kesal kemudian, kebiasaan jika rasa penasarannya tidak terobati. "Padahal kalau perempuan, kan, bisa dijodohin sama Rasyif, anaknya Dian."

Aku langsung tersedak makananku sendiri begitu mendengar Rosetta mengucapkan kata 'dijodohin'. Aku segera meraih gelas minumanku dan menenggaknya habis. Obrolan dengan Bunda minggu lalu terngiang kembali di kepalaku. Mungkin aku harus menambahkan perjodohan dalam daftar 'sesuatu yang akan menimbulkan trauma'.

"Kenapa, Ra?" Rosetta bertanya sambil mengusap punggungku selagi aku masih terbatuk ringan.

"Nggak papa. Mungkin ada yang lagi ngomongin aku," sahutku bergurau.

"Mitos. Apa hubungannya diomongin sama tersedak?" Vita menyahut. Aku hanya mengangkat bahu sebelum beralih pada Rosetta.

"Ngomong-ngomong, kenapa jadi makan di sini, Ros?" tanyaku. Aku tidak tahu apa yang salah dengan pertanyaanku, sebab Rosetta langsung menjatuhkan sendoknya dan berubah murung.

"Aku gugup," rengeknya.

"Gugup kenapa?"

"Besok nikah. Aku takut nggak bisa jadi istri yang baik buat suami." Rosetta berujar lirih.

Ini kali pertama aku menghadapi seorang wanita tengah mengkhawatirkan akan seperti apa kehidupan pernikahannya nanti. Aku, sebagai seorang yang tidak pernah memikirkannya, tidak tahu harus mengatakan apa, yang kulakukan hanya melirik Vita, berharap ia akan berperan penuh untuk menenangkan Rosetta. Ia sudah menikah, jelas tahu bagaimana cara mengatasi itu karena pernah melewatinya.

Seperti paham akan isyaratku, Vita menggeser badannya mendekati Rosetta, kemudian meletakkan tangan di atas bahu wanita itu.

"Wajar, kok, kalau kamu gugup, tapi jangan sesekali berpikiran kalau kamu nggak akan bisa jadi istri yang baik. Kamu pasti bisa," ujar Vita dengan kalem meski caranya saat mengucapkan itu sangat kaku. Vita pernah mengaku tidak bisa menenangkan orang lain.

"Aku takut dia kecewa, Vit."

"Nggak bakalan. Dia udah milih kamu, itu artinya dia menerima segala kekurangan dan kelebihan kamu. Kalau udah memutuskan buat menikah, berarti dia secinta itu sama kamu. Ya, kan, Ra?"

Vita bertanya padaku. Keduanya kini menatapku seolah aku memiliki kunci jawaban dari soal ujian tersulit yang pernah ada. Akhirnya aku hanya mengangguk tanpa mengerti apa yang harus kuiyakan.

"Dia pernah protes tentang sikap kamu nggak?"

Rosetta menggeleng. "Biasanya aku yang protes sih, kalau dia begini-begini."

"Terus reaksi Sam gimana?"

"Dia minta maaf, terus udah nggak ngulangin hal itu lagi."

Suara tepuk tangan Vita membuatku dan Rosetta berjengit kaget, lalu disusul dengan senyumnya yang sangat lebar. Melihat ekspresi Vita sekarang mengingatkanku pada saat ia dinyatakan lulus skripsi tanpa revisi; sebahagia itu.

"Kamu nggak perlu khawatir lagi tentang Sam yang bakal kecewa sama kamu. Dia sudah yakin kamu yang terbaik buat dia. Kalau nggak, kenapa dia mau sama kamu coba? Padahal kamu tuh lemot, masak juga nggak terlalu bisa. Karena ... dia siap membimbing kamu, membersamai kamu dalam membangun rumah tangga yang harmonis." Vita mengatakan itu dengan sangat bijak. Namun, kemudian mengernyitkan dahi dengan raut wajah bingung. Jika ia tidak menyangka akan berkata demikian, mungkin ekspresiku sekarang juga begitu. Vita tidak sebijak itu.

"Vita jangan ngejek aku, dong!"

Vita tertawa keras mendengar Rosetta merengek. Sedangkan aku hanya terbengong-bengong memperhatikan interaksi keduanya. Mendengarkan tiap-tiap ucapan Vita bukannya membuatku berubah pikiran tentang sebuah pernikahan, yang ada justru semakin membuatku takut.

Daripada mengalami perceraian, lebih baik tidak menikah saja sekalian. Kupikir itu lebih baik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top