15 - Masalah
Zara Naulia
"Senang, Ra?"
Aku menoleh untuk melihat El yang fokus menatap jalan di hadapan kami. Seulas senyum terkembang di bibirku. Tentu saja, aku senang sekali bertemu dengan anak-anak. Rasanya seperti refreshing untuk melepas penat setelah lelah bekerja selama berbulan-bulan.
Setelah ini mungkin aku harus berterima kasih pada El nanti. Tanpanya, mungkin aku hanya akan diam di rumah tanpa melakukan sesuatu yang menyegarkan pikiran seperti tadi. Energiku seperti terisi ulang kembali.
"Iya. Udah lama banget nggak ketemu mereka," ujarku dengan senyum lebar yang tak kunjung luntur meski kamu sudah di perjalanan pulang. "Kita mau ke mana lagi, El?"
Aku menunggu jawaban El, tapi dia hanya tersenyum. Dari sini, aku bisa melihat lesung pipit pria itu lagi. Meski bukan yang pertama kali, aku masih saja tersipu melihatnya.
"Rahasia dong."
Setelah itu, aku tidak lagi bersuara. El mungkin punya rencana di kepalanya, dan aku tidak ingin merusak itu dengan memaksanya untuk membocorkan apa pun yang akan ia lakukan untukku. Akhirnya, seperti biasa, aku mengeluarkan earphone dan mendengarkan musik dari ponsel.
"Kayaknya aku harus segera membawa mobil ini ke bengkel."
Aku tidak biasa mendengar lagu dengan volume yang kencang. Jadi, suara El masih bisa kudengar tanpa aku harus melepas earphone.
"Buat apa?" Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan alasannya.
"Benerin MP3 player-ku," jawabnya dengan tatapan tertuju pada mesin kecil samping kemudi. "Aku penasaran sama apa yang kamu dengarkan."
"Oh, ini?" Aku melepas sebelah earphone-ku. "Kamu mau denger juga?" tawarku, menyodorkan sebelah earphone-ku padanya.
El tidak menjawab, ia hanya memiringkan badan ke arahku. Kepalanya ditelengkan, mengisyaratkan agar aku menyematkan earphone tadi ke telinganya.
"Kamu beneran nggak terduga, Ra," celetuk El.
Aku terkekeh mendengarnya. Musik EDM yang memenuhi playlist-ku pasti membuatnya terkejut. Ia bukan orang pertama yang menilaiku begitu. Mereka bilang aku terlalu kalem untuk mendengarkan lagu-lagu yang berisik.
"Penampilan itu nggak mempengaruhi selera, El." Setelah itu kami berdua tertawa.
Di sisa perjalanan, kami habiskan dengan membicarakan apa-apa yang kusukai. Sebagaimana kami saling ingin tahu tentang satu sama lain. Aku semakin merasa nyaman bersama El. Obrolan kami mengalir begitu saja setelah tahu ada banyak kesamaan di antara kami dalam hal kesukaan. Seperti ini saja, aku sudah merasa nyaman. Persis seperti yang kubayangkan dalam hal saling mengenal satu sama lain.
Satu jam kemudian, kami tiba di sebuah tempat wisata yang berupa danau. El rupanya sudah membeli dua tiket masuk untuk kami. Sebab saat melewati pintu masuk, El langsung menyerahkan dua tiket tersebut agar mobilnya bisa masuk ke area parkir.
Kami berjalan beriringan menuju dok yang tak jauh dari area parkir. Di ujung dok sudah ada perahu yang standby. Perahu itu nantinya akan mengantarkan kami ke pulau di tengah-tengah danau.
Aku memandang kagum pemandangan sekitar. Meskipun tempat wisata ini tidak terlalu jauh dari kota, aku bahkan tidak pernah pergi ke sini. Melihat dari fotonya saja sudah membuatku takjub. Tidak kusangka melihat langsung justru lebih indah lagi.
"Belum pernah ke sini, Ra?" El membuka suara.
Aku menunduk malu. "Baru ini, El. Dulu ada yang ngajak ke sini, tapi selalu kutolak."
El tersenyum miring. "Terus kenapa sekarang mau?"
"Kan kamu nggak ngasih tau kalau kita mau ke sini," jawabku dengan tenang meski aku yakin bukan itu jawaban sebenarnya yang ia inginkan.
"Kalau kukasih tau duluan, kamu mau?"
Aku mendongak untuk melihat wajah El. Pertanyaan simpel yang tidak bisa kujawab. "Entahlah, El." Aku membeo.
"Awas, Ra."
Setelah itu kurasakan tangan El melingkar di pinggangku disusul dengan tarikan hingga tubuh kami bertabrakan. Kemudian seorang pria berlari melewati kami di dok yang sempit ini tanpa melihat-lihat. Jika El tidak menarikku, mungkin pria itu sudah menabrakku.
"Keterlaluan. Udah tau doknya sempit malah lari-lari begitu. Untung nggak nabrak." El mendumel ketika pria tadi sudah jauh di belakang mereka.
Aku meliriknya dan melihat kilatan kesal di matanya. Tangannya masih bertengger manis di pinggangku, semakin menarikku mendekat sampai lengan kami menempel.
Sampai di antrian pun ia tidak membiarkanku menjauh. Perbuatannya yang posesif ini membuatku menggigit bibir bawah. Sebab, di samping membuatku nyaman, perbuatannya ini juga menarik perhatian pengunjung lainnya.
Lagi, aku teringat akan komitmen yang mengikat kami berdua. Tidak pernah terpikir aku akan menerima ajakan El waktu itu. Namun, sekarang aku hanya bisa berdoa jika komitmen kami akan seterusnya seperti ini. Sampai jenjang pernikahan. Sebab aku sudah mulai terbiasa dengan kehadiran El.
***
Puas bersenang-senang di danau, kami memutuskan untuk pulang. Namun, mampir sebentar ke sebuah rumah makan. Hari sudah hampir sore sementara kami belum sempat makan siang. Makanan yang mereka pesan sudah tersaji di meja. El melahapnya dengan rakus sampai-sampai saus lada hitam dari makanannya meluber ke sudut bibir.
Aku yang tidak sengaja melihat itu secara impulsif menarik selembar tisu di tengah-tengah meja dan mengusapkannya di sudut bibir El. Kebiasaanku mengelap bibir adikku saat makan dulu terbawa sampai sekarang.
El menangkap tanganku, saat itu barulah aku sadar akan apa yang sudah kuperbuat. Setelahnya aku merasa malu sendiri karena lancang menyentuh wajahnya. Padahal El lebih tua dariku.
"Ma-maaf, El," cicitku saat ia menatapku dengan intens. Aku sendiri bahkan tidak menyangka sudah melakukan itu.
"Kebalik, Ra. Harusnya aku yang kayak gitu ke kamu, kan?" El membuang tisu di tanganku dan menempelkan telapak tanganku ke pipinya.
"I-iya. Tadi nggak sengaja. Lepasin tanganku ya? Malu diliatin orang."
El bukannya menurut, ia justru menggerakkan kepalanya dengan pola naik turun hingga pipinya bergesekan dengan permukaan telapak tanganku. Pipinya benar-benar mulus. Ia bercukur dengan baik meski aku lebih menyukai jika ada kumis tipis di wajahnya.
"Hai, El."
Suara seorang wanita membuat El terpaksa harus menghentikan perbuatannya. Sementara aku memanfaatkan itu untuk menarik tanganku.
"Hai, Jen. Sendirian aja?" balas El.
"Enggak, sama pacar gue, tapi dia udah duluan di sana," jawabnya dengan menekankan kata 'pacar'. Atensinya lalu beralih padaku. Meski sekilas, aku tahu ia memberiku tatapan menilai. "Dia siapa, El? Mainan baru?" tanya wanita itu setengah meremehkan.
Aku menghentikan kunyahan. Dikatai sebagai mainan baru membuatku terpaksa menatap wanita itu. Aku memindai cepat wanita yang berdiri dengan penuh percaya diri itu. Porsi tubuhnya yang bagus dibalut dengan mini dress ketat berwarna merah. Wanita itu menghias diri dengan sangat baik sampai aku merasa ia tidak pantas menempatkan standar penilaiannya padaku.
Namun, untuk apa membandingkan diri sendiri dengan orang lain?
"Dia calon istriku," sahut El dengan cepat sebelum aku sempat menjawab wanita itu.
Air muka wajah wanita itu langsung berubah. Senyum yang sedari tadi terpatri di wajahnya kini pudar. Entah apa yang wanita itu rasakan saat tahu bahwa El akan menikah denganku. Sebab sebagai mantan kekasih El, aku masih bisa melihat wanita itu tampak terluka.
"Oh, baguslah. Selamat ya, El. Gue pergi dulu, cowok gue nungguin." Setelah mengatakannya, wanita itu berlalu begitu saja. Tanpa menunggu El yang sudah membuka mulut ingin mengatakan sesuatu kepadanya.
"Kenapa kamu bilang kayak gitu ke dia?" tanyaku.
"Bilang apa?"
"Kalau aku calon istri kamu."
El berkedip beberapa kali. "Kan, benar?"
"Kalau akhirnya nggak jadi nikah gimana?"
Aku dengan sifat pesimisku. Komitmen kami untuk bersama bisa saja berakhir sebelum yang mereka inginkan tercapai. Sebagai bentuk antisipasi, seharusnya El jangan dulu terang-terangan mengatakan itu pada orang lain.
"Justru dengan begitu kita akan bertanggung jawab untuk mempertahankan komitmen kita, Ra," sahut El. Atmosfer di antara kami berubah.
"Tapi-"
"Tapi apa?" tanya El. Ia mendesah kasar "Kamu nggak perlu khawatir buat mengakui semuanya, Ra. Mungkin karena komitmen kita ini berawal dari aku sendiri, kamu pasti merasa ini tidak sepenting itu. Oke, aku ngerti. Biar aku yang berusaha lebih keras di sini."
Aku speechless pada ucapannya. Tidak pernah kulihat dia sekecewa ini. Bahkan ia sudah mengatakan itu dengan intonasi yang tinggi sampai membuatku takut. Namun ia salah sudah menganggapku tidak peduli pada komitmen kami berdua. Ya, untuk apa aku repot-repot memikirkan komitmen ini jika aku tidak terlibat di dalamnya?
Sayangnya, aku adalah salah satu peran utama dari rencana akan menikah ini. Mana mungkin aku mengabaikannya begitu saja. Itu sebabnya aku masih tidak bisa menyebarluaskan komitmen ini begitu saja.
"Bukan gitu maksudku, El. Aku cuma merasa nggak nyaman." Aku menunduk dalam-dalam, menghindari tatapan tajam El yang terasa membakarku.
"Apa yang bikin kamu nggak nyaman, Ra?" tanya El dengan lebih tenang.
"Nggak tau. Mungkin karena ini sesuatu yang baru buat aku?"
El memundurkan badan hingga punggungnya bertemu dengan sandaran kursi. "Kalau gitu, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri dengan embel-embel 'calon istri Rafael', Ra. Sebab berkat pengakuanku, wanita yang tadi pagi kita kunjungi itu akan mengubah pikirannya buat ngelamar kamu untuk anaknya."
Wanita yang tadi pagi? Pikiranku langsung tertuju pada Tante Ranti. "Tunggu, apa maksudmu?"
"Kamu sadar, kan, Tante Ranti itu mau kamu jadi menantunya?"
"I-iya ... tapi, kamu ngomong apa ke dia?"
"Cuma bilang kalau aku calon suami kamu." El menjawab dengan enteng tanpa rasa bersalah.
"Duh, El. Kamu kenapa bilang kayak gitu ke Tante Ranti?" protesku.
Perasaanku berkecamuk sekarang. Aku sangat sadar jika Tante Ranti menginginkanku sebagai menantu. Itulah yang membuatku ingin selalu menjaga perasaan wanita itu. Padahal aku sendiri sadar bahwa yang kulakukan hanya memberikan harapan palsu kepadanya. Namun, aku bisa apa? Aku tidak bisa mengecewakannya.
"Lho, kenapa? Salah?"
"Salah dong. Kamu ngerti nggak gimana perasaan Tante Ranti kalau kamu ngomong gitu ke dia? Pantesan mood-nya nggak bagus pas aku bilang mau pulang tadi." Bahuku jatuh. Benar-benar tidak habis pikir bahwa El bisa senekat itu.
"Sekarang aku tanya deh, Ra," ujar El sembari mencondongkan badan dengan menumpukan siku di atas meja. "Apa kamu bisa ngerti kenapa aku bilang kayak gitu ke orang-orang? Karena aku akan jadi suami kamu suatu saat nanti. Aku nggak mau ada orang lain yang menjadi penghambat hubungan kita."
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Hanya Tante Ranti yang memenuhi pikiranku sekarang.
"Aku sadar ini terkesan egois. Tapi apa salah kalau aku bersikap defensif?"
"Tapi kamu harusnya nggak gitu ke Tante Ranti."
"Sepenting apa sih dia buat kamu, Ra?"
"Dia orang baik yang nggak pantas buat dilukai, El," lirihku.
El menghela napas. Ia menatapku dengan intens sementara aku melempar pandangan ke arah lain. Tak berani membalas tatapannya. Aku memikirkan perasaan orang lain dan mengabaikan El yang saat ini kecewa dengan sikapku. Itu membuatku bingung sampai aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Lidahku terasa kelu. Sampai akhirnya El mengajakku pulang.
Perjalanan pulang kami diisi dengan kesunyian. Ada sedikit ketegangan di antara kami. Aku tidak suka ini, sungguh. Namun, aku tidak tahu harus berkata apa. Diamnya El juga berarti aku harus diam. Sayangnya aku juga tidak ingin hal ini berakhir secepat ini.
El sudah mendapat posisi penting dalam hidupku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top