14 - Kencan di Sekolah PAUD?

Rafael Lazuardi

Kencan adalah sebuah tahap hubungan romantis pasangan dengan interaksi yang intim. Biasanya pada saat kencan berlangsung, keduanya akan saling memberi penilaian pada satu sama lain. Tentang apakah mereka akan melanjutkan hubungan mereka, atau mengakhirinya. Tak jarang suatu hubungan berakhir pada saat kencan berlangsung. Dari pengalamanku, biasanya akan ada kesalahpahaman kecil yang terjadi di antara kami. Bisa juga karena hal-hal kecil yang diperdebatkan karena kami tidak sepemikiran.

Lokasi yang dituju untuk berkencan pun biasanya tempat-tempat seperti kafe, taman bermain, bioskop, pantai, mal, atau apa pun yang memungkinkan untuk melakukan hal-hal romantis. Misalnya, bergandengan tangan, berpelukan, atau hal lainnya. Namun, untuk yang pertama kalinya, aku akan berkencan dengan wanita di sebuah sekolah PAUD. Demi apa pun aku tidak pernah membayangkan hal seperti ini.

Aku menyetir dengan Zara sebagai pemandu jalan. Sepanjang perjalanan menuju sekolah PAUD Kartika, Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang apa alasan Zara memilih tempat itu sebagai lokasi kencan. Mungkinkah Zara menitipkan adiknya di sana? Tidak, sebab yang aku tahu orang tuanya berada di luar kota. Atau Zara memiliki seorang anak angkat yang dititipkan di sana? Itu lebih tidak mungkin lagi.

Aku sudah beberapa kali menanyakan tujuan Zara memilih lokasi itu. Namun, wanita berdarah campuran Jawa Kalimantan itu hanya diam dan tersenyum lebar. Aku menyerah dan memutuskan untuk melihat sendiri nanti apa yang akan wanita itu lakukan. Toh dari awal memang aku yang memintanya untuk memilih. Mau tidak mau aku harus setuju dengan apa pun pilihannya.

"Nanti belok ke pagar biru yang terbuka itu, El," ujar Zara. Sebagai arahan terakhir perjalanan kami pagi ini.

Bangunan lantai dua berpagar rendah menyambut kami ketika melewati pagar yang dimaksud Zara. Terdapat tulisan 'PAUD Kartika' penuh warna ditempel di pagar kayu bercat pelangi. Benar-benar ciri khas sekolah untuk anak-anak.

Zara keluar lebih dulu dari mobil. Sedangkan aku menyusul beberapa detik kemudian. Di depan pagar setinggi dadanya itu, Zara memandangi beberapa anak balita yang bermain bersama dua orang wanita-mungkin pengasuh. Seulas senyum terkembang di bibirnya. Tampaknya Zara sangat menyukai anak kecil.

"Zara!" Teriakan seorang membuat kami sama-sama memutar badan. Seorang wanita dengan tubuh proporsional berjalan menghampiri kami.

"Tante Ranti," panggil Zara. Tentu saja ia mengenal wanita itu. Jika tidak, mana mungkin kami berada di sini.

Wanita itu merentangkan tangannya dan membawa Zara dalam pelukan erat. "Apa kabar, Sayang?" tanyanya.

Zara melepaskan diri dari pelukan Ranti setelah cukup lama. "Baik. Tante gimana kabarnya? Nggak capek ngurus anak-anak full seminggu?"

"Tante baik. Biasalah, capek sih iya, tapi liat mereka ketawa begitu rasanya seneng aja. Banyak orang tua yang ingin menitipkan mereka di hari Minggu. Lagi pula tante udah nggak bekerja di perusahaan. Fokus ngurus anak-anak aja."

Zara tersenyum senang mendengarnya. Keduanya mengobrol banyak sampai melupakan bahwa aku juga ada di sini. Aku jadi tahu bagaimana awal mula wanita bernama Ranti itu membangun sekolah PAUD.

"Pantesan Tante makin berseri-seri. Pasti bahagia banget ya ngurusin mereka."

Aku bisa melihat Zara ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wanita di hadapannya. Dan itu sangat melegakan. Ia bahagia, itu tujuan utama kencan hari ini.

"Dia siapa, Ra?" tanya Tante Ranti, baru menyadari kehadiranku. Entah perasaanku saja atau dia memang menatapku dengan was-was?

Aku memaksakan seulas senyum sebagai bentuk ramah tamah. "Saya Rafael, Tante." Kemudian disusul mengulurkan tangan sebagai formalitas dalam berkenalan.

Tante Ranti tersenyum dan segera menjabat uluran tanganku. "Saya Ranti. Pemilik Sekolah PAUD Kartika," ucapnya lalu melepas jabatan tangan kami dan beralih menatap Zara. "Siapanya kamu, Ra?"

"Dia ... ." Zara menggantungkan kalimatnya dan melirikku yang sudah lebih dulu menatapnya. Ia tampak ragu untuk mengatakan status kami yang sebenarnya. Aku mengangguk sekali, meyakinkannya untuk mengatakan apa saja. "Temanku, Tante."

Aku kecewa. Zara masih enggan mengakui bahwa aku adalah calon suaminya. Meski belum resmi, tapi setidaknya itu komitmen yang kami berdua jalani sekarang. Padahal ingin sekali aku yang menjawab pertanyaan wanita tua itu, aku senang menyebutnya begitu karena kesan pertama yang kudapat tidak menyenangkan.

"Syukurlah, lega rasanya tante mendengar itu. Berarti Ronan masih punya kesempatan dong."

Ucapan Tante Ranti seperti menyalakan kompor yang ada dalam diriku. Panas sekali rasanya. Apa maksud wanita itu? Apa ia bermaksud ingin menjadikan Zara sebagai menantunya?

Aku tidak terima. Sebab, aku sudah membuat klaim pada Zara lebih dulu. Ada hak kepemilikanku atas Zara. Tak seorang pun boleh mengganggu gugat-kecuali jika memang Tuhan tidak merestui komitmen kami berdua. Aku jadi menyesal telah mengiyakan untuk datang ke tempat ini. Aku jadi ingin mengajak Zara pergi dari sini, ke tempat lain yang lebih pantas untuk berkencan.

"Ronan ... gimana kabarnya, Tante?" Aku menatap Zara saat ia menanyakan itu. Bukan sok tahu, tapi aku merasa ada sesuatu yang membuat Zara tidak nyaman saat menyebutkan nama 'Ronan'.

"Baik. Dia melanjutkan program dokter spesialis di Surabaya sekarang. Zara kok nggak tau?"

"Udah jarang komunikasi sama Ronan, Tante."

"Pasti Ronan yang jarang bales Zara ya? Ya udah nanti biar tante tegur."

Zara langsung menggeleng kuat. "Nggak perlu, Tante. Dia harus fokus sama kuliahnya, 'kan?"

Pembicaraan ini terasa canggung karena atmosfer yang tercipta terasa semakin tegang. Aku harus segera menghentikannya atau obrolan tentang sosok bernama Ronan ini terus berlanjut dan membuatku muak.

"Ekhem ekhem." Aku sengaja berdeham sambil mengusap leherku untuk menginterupsi mereka. Berhasil, keduanya kini mengalihkan pandangan padaku.

"Kenapa El?" Zara bertanya khawatir. Aku melirik Tante Ranti sekadar untuk melihatnya cemburu.

"Nggak apa-apa. Cuma serak, kerongkonganku kering," jawabku dengan tenang. Secara tidak langsung menegur Tante Ranti yang tidak menyediakan minum untuk tamunya, sekaligus mengalihkan pembicaraan dari topik yang tidak membuat Zara nyaman.

"Duh, Tante sampai lupa ngasih kalian minum," sahut wanita itu. "Ayo ke rumah, minum dulu."

Aku menatap Zara yang tengah memandangi anak-anak bermain di dalam pagar warna-warni tadi. Bisa kusimpulkan bahwa tujuan Zara ke sini sebenarnya bukan untuk menemui Tante Ranti, tapi untuk bermain bersama anak-anak. "Tante sama El duluan aja, aku mau main sama mereka. Nanti nyusul."

Benar dugaanku.

"Ayo, Nak Rafael," ajak Tante Ranti tanpa menatapku.

Aku tersenyum dan melambai pada Zara sebelum aku mengekor Tante Ranti menuju ke rumahnya yang bagai istana.

Tante Ranti mempersilakanku untuk duduk di ruang tamu, sementara dirinya berjalan terus ke dalam. Ditinggal sendirian membuatku lebih leluasa memperhatikan seisi ruang tamu yang megah tersebut. Hampir semua furniturnya dirancang khusus dengan ukiran ala-ala kerajaan. Warna putih dan keemasan mendominasi. Sementara di dindingnya dipenuhi dengan foto-foto keluarga.

Ada satu hal yang menarik perhatianku. Yaitu seorang pria berjas putih yang selalu ada di hampir seluruh pigura di sana. Pria itu pasti yang disebut-sebut Ronan oleh wanita tadi. Aku berdiri untuk melihat wajah pria itu lebih jelas. Matanya sipit dan dibingkai dengan kacamata. Kulitnya putih, bahkan lebih putih dari Zara. Namun, tidak lebih tampan dariku.

Aku menertawakan diriku sendiri yang terlalu percaya diri.

"Dia anakku. Namanya Ronan." Tante Ranti berucap diiringi dengan suara kucuran air yang dituangkan ke dalam gelas.

"Saya tahu," sahutku, lalu berbalik dan berjalan kembali menuju sofa yang kududuki tadi. "Sebab fotonya lebih banyak daripada foto Anda bersama suami."

Ia tersenyum bangga. "Dia selalu membuat kami bangga dengan semua prestasinya."

Aku hanya mengangguk, menahan diri untuk tidak mencibir di hadapan orang yang lebih tua. Tanpa diberitahu pun, aku sudah sangat yakin bahwa Ronan merupakan kebanggaan kedua orangtuanya. Sebab orangtua mana yang memajang foto anaknya sampai sebanyak itu jika bukan karena mereka membanggakannya? Orangtuaku saja sering lupa melibatkanku dalam foto keluarga.

Kedengarannya menyedihkan, tapi aku tidak merasa sesedih itu.

"Rafael kenal Zara udah berapa lama?" Tante Ranti bertanya. Pertanyaan yang kutunggu dari tadi.

"Zara teman sekampus saya dulu, Tante," jawabku kalem. Atmosfer di antara kami berdua sudah tidak enak sejak tadi, dan aku tidak ingin membuatnya lebih buruk kalau aku tidak menahan diri untuk bersikap tidak sopan.

"Ronan udah temenan sama Zara dari lama. Sejak SD kalau nggak salah. Deket banget mereka." Tante Ranti tersenyum-senyum sendiri saat mengatakannya padaku.

Aku mengangguk saja. Namun, bukan aku namanya jika tidak bisa membuat orang lain bungkam. Sebuah ide terlintas di kepalaku, aku meletakkan kembali gelas yang tadi isinya kuminum sampai tersisa setengah. Lalu berkata, "Dekat dari lama, tapi cuma temenan kan percuma, Tante?"

"Kami memang punya rencana buat melamar Zara dari dulu. Hanya saja kami masih menunggu waktu yang tepat," ucapnya dengan nada yang tegas, seolah memperingatkan agar aku menjaga jarak dari Zara.

"Rencana yang bagus, Tante. Sayangnya agak terlambat. Sebab pria yang Tante ajak bicara saat ini adalah calon suaminya." Aku tersenyum lebar setelahnya. Ada kepuasan tersendiri yang kurasakan saat melihatnya mulai geram.

Matanya bergerak liar menatapku dari atas sampai bawah, menilai. Keningnya berkerut, sorot matanya jelas menunjukkan bahwa ia tidak memercayai apa yang kukatakan padanya.

Mengabaikan tatapannya, aku meraih gelas di atas meja dan berkata, "Pinjem gelasnya bentar ya, Tante, mau bawain minum buat Zara," ujarku dengan sopan sambil menuangkan es sirup ke dalam satu gelas yang kosong.

Tanpa menunggu responsnya, aku membawa gelas tadi keluar dari rumah Tante Ranti. Aku ingat selama di perjalanan tadi kami tidak mampir membeli minum. Zara pasti kehausan sekarang.

Di depan pagar, aku melihat Zara sangat asyik bermain dengan anak-anak sampai aku tidak enak ingin mengganggu. Wanita itu tertawa lepas tanpa menyadari bahwa aku sedang memandanginya. Aku tersenyum, suka melihatnya sebahagia itu.

Aku lantas berjanji. Kelak, akulah yang akan menjadi alasan Zara sebahagia itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top