13 - Gagal Romantis
Rafael Lazuardi
Pagi ini aku berdiri di depan cermin. Bergeming memandangi pantulan rupaku sendiri. Aku sadar aku tidak perlu merias diri terlalu banyak, karena Zara sudah pasti tidak akan mempermasalahkannya. Seketika aku menertawakan diri sendiri. Kenapa harus serepot ini? Apa yang kuharapkan dari Zara jika ia melihat usahaku untuk tampil baik di hadapannya?
Jujur saja, ini membuatku merasa konyol. Sekuat apa pun aku berusaha untuk membuatnya terpesona, tak akan berhasil. Baginya aku, kami, para laki-laki, tidak lebih dari sosok menakutkan. Mengingat fakta itu lagi membuatku tercubit. Sakit sekali rasanya. Entah apa yang harus kulakukan untuk mengubah mindset seorang Zara.
Nyatanya, aku sedang dalam proses untuk itu.
Aku sudah berjanji akan menjemputnya jam sembilan. Sementara jam di dinding kamarku masih menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku memang tidak biasa membuat wanita menunggu. Aku lebih suka datang lebih awal dari yang sudah dijanjikan, lalu menunggu mereka selesai merias diri.
Biasanya, akan ada kejutan yang kuterima saat bertemu mereka yang belum memoles apa pun di wajahnya. Sayangnya, yang baik-baik hanya sedikit. Maksudku, ketika orang-orang pikir semua mantanku cantik, mereka hanya melihat dari apa yang menempel pada wajahnya. Sampai aku mengakui jika wanita dan riasan wajah itu satu paket.
Terlalu lama berdiam diri, akhirnya aku memilih untuk mengenakan kemeja biru malamku dengan celana jeans berwarna senada. Lengan kemejanya panjang dan aku menggulungnya sampai siku. Kacamata hitam yang diletakkan di rak khusus kacamata di atas meja menarik perhatianku. Perlukah kupakai?
Aku menggeleng ringan. Begini saja sudah tampan.
Menertawakan rasa percaya diriku sendiri, aku meraih kunci mobilku yang biasa kugantung di dinding. Memastikan diriku sudah siap sekali lagi, aku segera keluar kamar. Sarapan? Oh, aku akan mampir di jalan sebentar untuk sarapan. Aku terlalu bersemangat untuk kencan hari ini sampai lupa jika aku belum membuat sarapan untukku sendiri.
"Kencan itu sebuah tahap hubungan romantis pasangan buat menilai kesesuaian calon pasangannya. Dengan interaksi yang lebih intim. Misalnya kayak ... pegangan tangan, pelukan, atau cium pipi. Mengerti?"
Ucapanku pada Zara kemarin terngiang lagi. Aku penasaran bagaimana reaksinya jika aku benar-benar melakukan apa-apa yang kusebutkan itu padanya. Meski secara teknis, aku sudah pernah memeluknya dua kali. Namun, kurasa hari ini akan menarik. Karena kami melakukannya dengan sebutan kencan.
Aku tiba di depan rumah Zara setelah menempuh lima belas menit perjalanan. Jalanan masih sepi dan aku dengan senang hati menembus kecepatan 80 km/jam untuk segera bertemu dengannya. Sudah tidak sabar rasanya.
Sebelum mengetuk pintu, aku sempat memandangi halaman rumah Zara. Wanita itu sangat rajin menyirami tanaman-tanaman di sana. Terbukti dari halamannya yang basah dan selang yang melintang di tengah-tengah dengan tetesan air yang keluar dari ujungnya. Saat itu aku baru sadar jika Zara juga menanam bunga mawar merah.
Aku berjalan menghampiri mawar tersebut. Dipetik beberapa tangkai kupikir tidak masalah. Kulakukan itu untuk menambah romantisme kencan hari ini. Ini hari Minggu, toko bunga yang kulewati masih tutup dan aku berakhir tiba di sini tanpa membawa apa pun.
Kuketuk pintu rumahnya. Sambil menunggu sang empu membukanya. Aku berjingkat-jingkat tidak jelas dan membuang napas lewat mulut berkali-kali. Gugup? Hahaha jangan konyol. Aku hanya tidak ingin kencan ini berlangsung tidak sempurna. Terlebih ini adalah yang pertama kali untuk Zara. Aku harus membuatnya nyaman atau dia akan jera jika kuajak berkencan lagi.
"Selamat pagi," sapaku begitu pintu terbuka.
Zara mengerjap. "Ini belum jam sembilan, El." Ia sudah siap rupanya.
"Aku udah nggak sabar mau ketemu kamu," sahutku dan tersenyum keren. Membuat Zara terpesona menjadi tantangan tersendiri untukku.
Sayangnya, bukan penampilanku yang menarik perhatiannya. Melainkan pada mawar segar yang ada di tanganku. Kupikir ia tertarik dengan itu dan aku mengangkatnya, menunggunya meraih mawar tersebut.
Namun Zara berjingkat, kemudian memiringkan kepalanya agar dapat melihat melalui bahu kananku. Aku tidak tahu apa yang ia lihat, jadi aku menggeser badan dan berbalik mengikuti arah pandangnya.
Oh, tanaman mawarnya.
"Kenapa bungaku dipetik?" protes Zara, hampir melotot.
"Kok ketahuan?" tanyaku dengan kerutan di dahi. Apa Zara menghitung tiap-tiap bunga yang tumbuh di halamannya? Tidak. Itu terlalu konyol.
"Bunganya masih basah gitu. Nggak mungkin kamu beralasan kehujanan di jalan, 'kan?" Tunjuk Zara pada kelopak mawar yang masih basah.
Aku mendesah. Tidak kusangka hal sekecil ini kuabaikan. "Jadi gimana, apa perlu dibuang? Kamu nggak suka, 'kan?" Aku berbalik, ingin menghampiri tong sampah di dekat pagar. Namun sebelum aku sempat melangkah, Zara menarik lenganku.
"Tumbuhnya susah, masa mau dibuang," ujarnya sembari merebut mawar itu dari tanganku. "Biar ditaruh di vas."
"Au!"
Zara mungkin tampak feminin, tapi saat marah, itu hanya apa yang terlihat di luarnya saja. Sebab ia menarik mawar itu saat aku masih memegang erat tangkainya. Alhasil, dua jariku berdarah karena tergores durinya.
"Kenapa, El?"
Mengabaikan rasa sakit yang tidak seberapa, aku ingin menggodanya. "Mawar itu sama kayak kamu, indah, tapi kalau mau disentuh harus ekstra hati-hati." Dalam artian, aku tidak boleh salah sikap menghadapinya, atau Zara akan menjauhiku selamanya.
Aku berharap ucapanku tadi akan mendapat reaksi bagus dari Zara. Seperti tersipu, tersenyum malu, wajah merona, atau sesuatu yang membuatku gemas dan secara impulsif menarik kedua pipinya.
Sekali lagi aku mendapat reaksi tak terduga dari Zara. Pandangannya turun pada jariku. "Maaf, El, ayo masuk dulu. Biar kuobati," ujar Zara dengan nada khawatir.
Kemudian disusul ia menarik tanganku agar masuk ke rumahnya. Zara memintaku untuk duduk di sofa ruang tamu, sementara dirinya berjalan terus ke dalam.
Aku hanya bisa menghela napas. Maksud hati ingin bersikap romantis, malah terluka. Dua kali aku melakukannya, dua kali itu pula gagal. Padahal aku ingin sesekali memperlakukannya seperti wanita di luar sana. Namun, Zara memang sangat berbeda. Bukannya ingin menyerah, aku justru semakin penasaran dengan Zara.
"Mana jarinya yang luka?" tanya Zara. Aku mungkin sempat melamun tadi karena tidak sadar bahwa ia sudah kembali. Di tangannya ada kapas yang basah oleh cairan antiseptik.
Aku tidak menjawab dan hanya mengulurkan tanganku dengan lemah. Zara meraihnya dan dengan telaten mengusapkan kapas tadi ke bagian yang terluka. Sebenarnya luka goresan ith tidak terlalu parah, berdarah, tapi tidak sampai menetes. Namun, Zara mungkin merasa tidak enak padaku.
Kuperhatikan Zara lamat-lamat. Ada yang berbeda dari wanita itu. Jika sehari-hari yang kulihat wanita itu hanya memoleskan bedak dan lipstik tipis-atau mungkin lip balm? Hari ini Zara juga memoleskan blush on ke pipinya dan maskara di bulu matanya yang memang sudah panjang. Aku hafal betul macam-macam make up wanita mengingat dulu sering membeli benda-benda tersebut untuk mantan kekasihku.
Namun, kuakui Zara berkali-kali lipat lebih cantik hari ini. Meskipun polesan di wajahnya tidak terlalu tebal. Tanganku saja sampai gatal sekali ingin menyentuh wajahnya. Mengusapnya untuk sekadar merasakan kulit wajahnya yang tampak halus itu.
"Selesai."
Terlalu asik mengagumi wajah Zara sampai membuatku tidak sadar dua jariku sudah berbalut dengan plester luka. Aku mengangkat sebelah tanganku yang lain untuk mengusap puncak kepala Zara dengan pelan. "Makasih ya," ujarku dengan lembut. Tulus.
Zara mematung. Disusul dengan pipinya yang merona. Sungguh sebuah reaksi yang kunantikan sejak tadi. Aku sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum geli. Ia berdiri, ingin pergi. Namun aku bergerak lebih cepat untuk mencekal tangannya. Hingga kini Zara berdiri membelakangiku.
Aku bangkit dari kursi, memperpendek jarak tanpa melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Zara. Lalu dengan langkah memutar sampai aku berada di hadapan Zara. Zara membuang muka saat aku menatapnya. Karena gerakannya yang spontan itu, rambut sebahunya bergerak hingga menutupi separuh wajahnya.
"Mukamu kenapa, Ra?" Aku menelengkan kepala mengikuti arah wajah Zara agar dapat melihat wajahnya lebih jelas.
"Nggak kenapa-napa," cicit Zara.
Aku mengangkat dagu Zara dengan telunjuknya hingga wajahnya yang merona itu terlihat jelas. "Blush on-nya bisa nyala ya? Kok, tambah terang begini?" godaku, sok bingung. Kemudian kuberanikan diri untuk mengusap pipi Zara. Menjawab rasa penasaranku tentang betapa halusnya kulit Zara.
"Lepasin, El," pinta Zara.
Zara segera meninggalkanku tepat setelah aku menarik tanganku, melepaskannya. Di ruang tamu, aku hanya tersenyum puas. Senang sekali rasanya.
Mulai sekarang aku akan mengingatnya dengan baik. Zara tidak akan mudah tersipu oleh hal-hal romantis, baik itu hadiah atau gombalan. Justru sikapku yang natural yang membuat Zara tersipu seperti itu. Hari ke hari, Zara semakin menarik saja bagiku.
"Udah jam sembilan, El. Kita mau ke mana?"
Aku menoleh untuk melihat Zara sudah berdiri di samping sofa yang kududuki sambil menunduk menatap arlojinya. Ia lalu membungkuk untuk memasang sepatunya. Sebisa mungkin menghindari tatapanku.
Aku sadar sikap Zara yang canggung padaku dan aku hanya tersenyum geli. "Ke mana pun kamu mau, Ra," ujarnya kemudian.
"Serius?"
"Iya. Spesial."
Zara tampak berpikir sebentar. Ada keraguan di matanya. Hal itu semakin membuatku penasaran. Sampai kemudian ia bersuara, "Kita ke PAUD Kartika yuk?"
"Hah?"
Bagaimana mungkin kami bisa berkencan di sana sementara tempat itu dipenuhi oleh anak-anak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top