11 - Playboy dan Pacaran

Zara Naulia

"Ra, kamu udah pertimbangkan risikonya?"

Vita bersuara. Hari ini kami bertemu untuk makan siang bersama di luar. Vita sudah mengambil cuti kerja untuk persiapan kelahiran anak pertamanya. Dengan kebaikan hatinya, ia rela menghampiri rumah makan yang dekat dengan kantorku; yang mana itu berjarak lumayan jauh dari rumahnya, setengah jam perjalanan. Hanya untuk membicarakan apa yang menjadi topik hangat di grup media sosial kami berempat akhir-akhir ini; tentang aku dan El.

"El itu bukan pria yang baik."

Ucapannya membuatku merasa terhantam batu di dada.

"Dia juga playboy."

Baik, itu batu kedua. Aku tidak tahu bagaimana mendefinisikan perasaanku sekarang. Baru saja aku mencoba untuk terbiasa dengan kehadiran El, dan tidak ada masalah apa pun sejak kami memutuskan untuk berkomitmen pada satu sama lain; baik itu masalah internal maupun eksternal.

Namun, Vita sengaja menemuiku untuk memberi peringatan. Padahal kupikir itu sudah terlambat. Sebab, meski aku mempertimbangkan lagi tentang komitmen kami, aku sudah telanjur menerimanya. Yang bisa kulakukan hanya menerima semua masukan agar tahu bagaimana harus bersikap jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Aku berharap, hal buruk apa pun itu tidak akan pernah terjadi.

"Aku percaya padanya," tuturku pelan-pelan. "Dia baik sama aku, dan aku bisa melihat keseriusan di matanya."

"Kamu, kan, nggak tau cara menilai karakter orang, Ra. Bisa aja El cuma manfaatin kamu," sahut Vita dengan tenang, tapi aku masih bisa melihat sorot kekesalan di matanya. Seperti El sudah melakukan hal yang tidak termaafkan.

"Segitu buruknya ya?"

Vita menepuk pelan dahinya. "Ini nih akibatnya jarang temenan sama cowok. Jadi nggak tau, kan, orangnya kayak gimana?"

"Makanya aku sama El memutuskan untuk saling mengenal satu sama lain dulu," sahutku, berusaha setenang mungkin.

Aku tidak bisa menampik jika ucapan Vita membuatku gundah. Padahal dalam hati aku ingin berteriak bahwa apa pun yang kulakukan, bukan haknya untuk melarang. Sayangnya, aku tidak memiliki nyali sebesar itu untuk mengatakannya langsung.

"Manusia itu bisa berubah, 'kan? Kita nggak tau bagaimana seseorang berproses. Dari yang awalnya berkelakuan buruk, menjadi baik. Semua itu ada sebab dan akibatnya. Seburuk-buruknya manusia, mereka punya kesempatan untuk menjadi baik, kok."

Aku mengatakan itu sambil mengaduk pelan teh hangatku. Sekadar untuk mendinginkannya sebelum kuminum.

"Aku setuju, sih. Tapi ...." Vita menggantungkan ucapannya. Ia menatapku penuh simpati. Seolah aku adalah seseorang yang perlu dikasihani. "El bukan orang yang tepat untuk jadi yang pertama buat kamu, Ra."

Aku bergeming. Tidak tahu atas dasar apa Vita bicara begitu. Namun, sebelum aku sempat membalas, Vita sudah bicara lagi.

"Dia pacaran paling lama aja cuma tiga bulan. Apa kamu yakin dia bisa bertahan lebih lama dari itu sama kamu, Ra? Gampang banget buat dia berpaling ke perempuan lain. Siapa yang menduga kamu cuma dijadikan tempat mampirnya doang?"

"Aku nggak pacaran sama dia."

Aku mengatakan itu untuk mengubah caranya memandang hubungan kami. Namun, sepertinya itu adalah sebuah kesalahan karena Vita justru melotot padaku sekarang.

"See? Bahkan dia nggak serius sama kamu," geramnya.

"Menurutmu dengan pacaran bisa menjamin keseriusan seseorang?" tanyaku.

Vita tidak menjawab. Ia mendesah dan menyesap teh hangatnya. Jika sudah begini, artinya Vita tidak bisa membantah lagi.

"Nggak ada yang salah, kan, dengan keputusanku untuk berkomitmen sama El?" Aku memberi jeda untuk menghela napas. "Sudah saatnya aku melawan ketakutanku. Mungkin aku bisa lebih terbuka dengan El. Jika dia memang akan menyakitiku suatu saat nanti, aku tahu apa yang harus kulakukan," sambungku, sembari merapalkan doa di dalam hati..

"Entahlah, Ra. Ajakan El tuh mendadak banget. Padahal kalian kan baru ketemu lagi sekali pas nikahannya Rosetta," ujar Vita. Aku tahu dia peduli, tapi kalau dia masih ingin melarangku bersama El, kurasa itu terlalu berlebihan.

"Ralat, dua kali sama di reuni," sahutku.

Vita melirikku sebentar sebelum memutar kedua bola matanya. "Kuharap keputusannya itu bukan semata-mata buat menjaga nama baik, tapi emang niat untuk jadi temen hidup kamu, Ra." Vita mendoakan sebelum kami menyantap makanan yang dingin karena sudah diantarkan pelayan sejak tadi.

Dalam hati, aku menyemogakan doa Vita.

***

Hari ini El sudah berjanji untuk menjemputku pulang dan pergi ke toko furnitur bersama. El bercerita di telepon tadi, bahwa ia ingin mengisi rumahnya dengan furnitur baru dan memintaku untuk membantunya memilih. Aku yang memang menyukai desain interior tentu dengan senang hati akan membantunya.

Sejak setengah jam yang lalu hari sudah gerimis. Aku dengan mengenakan mantel tebal yang selalu kubawa, menunggu sambil berteduh di pos satpam dekat pagar. Agar ketika El tiba, ia tidak perlu memasukkan mobilnya ke halaman kantor yang penuh oleh mobil-mobil milik karyawan lain; salah satu alasan kenapa aku enggan membawa mobilku ke kantor.

Beberapa tahun lalu, aku mengalami kecelakaan motor dan mengakibatkan aku tidak bisa berjalan hampir sebulan. Yang mana membuat Ayah khawatir dan melarangku untuk membawa motor setelahnya. Akhirnya, Ayah bela-belaan menukarkan mobil yang baru beberapa bulan ia beli dengan sepeda motor lamaku.

Jika biasanya aku akan pergi dan pulang kerja dengan bus kota, akhir-akhir ini ada El yang akan menjemputku pulang. Aku bukan menjadikannya tumpangan gratis, sebab aku harus membayarnya dengan menerima ajakannya untuk pergi. Seperti hari ini.

Sepanjang El membuat janji denganku, ia tidak pernah membuatku menunggu lebih dari sepuluh menit. Sesuatu yang membuatku kagum padanya, selalu berusaha untuk datang tepat waktu. Seperti sekarang, padahal aku baru beberapa menit duduk di pos satpam, dan mobil yang kukenali sudah tiba di depan gerbang. El segera keluar dari sana dengan tangan kanan memegang payung berwarna hitam, senada dengan mobilnya.

"Nunggu lama?" tanyanya saat tiba di hadapanku.

"Enggak. Paling baru berapa menit," sahutku sembari menatap arloji.

"Ayo berangkat."

El melingkarkan lengannya di punggungku. Menarikku agar lebih dekat dengannya. Mungkin El tidak sadar sudah sering sekali melakukan itu. Aku yakin ia bukan sembarangan menyentuhku, ia hanya berusaha berbagi payungnya yang tidak besar agar kami berdua tidak kebasahan.

Aku menunduk dalam, malu karena tatapan orang-orang. Jantungku berdegup kencang sekali. Sebenarnya, aku masih merasa takut berdekatan seperti ini dengan seorang pria. Bahkan pada El sekalipun. Berulang kali aku merapalkan dalam hati bahwa El berbeda dari pria yang lainnya. Hanya saja, fakta bahwa El belum sedekat itu denganku membuatku tak bisa berhenti ketakutan.

Sebenarnya, aku tidak akan tahu apa pun jika aku hanya menunggu El bercerita. Sementara sebaik-baiknya komunikasi adalah sebuah interaksi yang terjalin dua arah. Aku tidak akan mendapat informasi apa pun jika aku tidak bertanya lebih dulu. Lalu untuk apa kami berkomitmen untuk saling mengenal jika yang kulakukan hanya menunggu El mengambil tindakan?

Aku mengerti sekarang. Sesuatu tidak akan pernah kudapatkan jika tidak ada usaha di dalamnya. Meski itu informasi kecil sekalipun. Maka, jika aku ingin tahu, aku harus menanyakan itu langsung pada El. Namun, bagaimana aku memulainya?

"Jadi, kita mulai dari mana dulu?" Itu yang kulontarkan pertama kali. Bukan maksud berbasa-basi. Namun, memang itu yang perlu kutanyakan, sebab sejak tiba di sini, kami hanya berjalan mengitari seisi gedung berulang kali.

El bergumam, sebentar melihat ke sekeliling sampai pandangannya berhenti pada sekumpulan sofa yang dipamerkan di sisi kanan kani. "Aku perlu sofa buat ngisi ruang tamu dulu."

Aku mengangguk mengiyakan. Kami lalu berjalan menghampiri bagian sofa dengan langkah lebar-lebar. Seperti tidak sabar ingin mencoba menduduki salah satu sofa di sana; untuk sekadar mengistirahatkan kaki yang terasa penat setelah berkeliling cukup lama.

Bruk.

Kami menjatuhkan badan di salah satu sofa panjang dan tertawa geli; menertawakan tingkah kami yang kekanakan. Beberapa saat begitu sampai kami terdiam dan saling memandang satu sama lain.

Sampai akhirnya aku terpikirkan akan sesuatu yang membuatku penasaran sejak obrolanku dengan Vita kemarin. "El, aku mau nanya dong."

"Tanya aja, Ra," sahutnya sambil menegakkan badan. Ia menatapku lamat-lamat, menungguku bicara.

Setelah mengumpulkan nyali, akhirnya aku bertanya, "Pacaran itu rasanya kayak gimana?"

El speechless. Matanya berkedip beberapa kali, tapi bibirnya masih tertutup rapat. Namun dari gerakan kecil di sudut bibirnya, aku tahu ia sedang, menahan diri untuk tidak tertawa. Aku sadar betul itu adalah pertanyaan yang konyol, tapi aku perlu tahu beberapa hal darinya.

"Gimana ya?" El menggaruk tengkuknya. "Nano-nano sih, Ra. Kalo dijelasin nanti keinget mantan lagi." Setelahnya El tersenyum masam dan menunduk malu. Ia tampak seperti telah melakukan sesuatu yang tidak benar di masa lalu.

Kali ini justru aku yang tidak bisa menahan diri agar tidak tertawa. Bukan karena mengejek El yang belum bisa berpaling dari mantannya, aku hanya merasa tergelitik ketika melihat ekspresi El. Hingga aku tidak sadar telah mengacak rambutnya; kebiasaanku ketika merasa gemas terhadap sesuatu. Sampai lupa bahwa El lebih tua dariku.

"Mukanya bisa dibikin lebih santai, nggak?" kukatakan itu dengan gemasnya.

El bergeming. Ia hanya menatapku yang dengan lancang merusak tatanan rambutnya. Semakin lama, aku jadi merasa tidak enak dan gerakan tanganku di kepalanya perlahan-lahan berhenti. Aku ingin menarik tanganku ketika El menangkapnya lebih dulu. Tatapannya lurus ke mataku sampai membuatku menciut.

"Aku lebih tua dari kamu lho, Ra." Meski pelan, jari-jari El mengusap pelan punggung tanganku. Hal ini membuatku merasa seperti terkena sengatan listrik.

"I-iya maaf, itu tadi refleks," ujarku sambil berusaha menarik tanganku, tapi El tidak melepaskannya. Jujur saja aku merasa tidak nyaman. Sampai-sampai menatapnya dengan tatapan memohon.

"Kenapa nanya soal pacaran? Kamu mau pacaran sama aku?" goda El setelah melepaskan tanganku.

"E-enggak lah. Ngapain pacaran kalau ujung-ujungnya bakalan putus?" elakku sambil membuang muka. Tidak tahan dengan tatapan tajam El; yang mana selalu membuat orang-orang terpesona karena matanya yang indah.

"Kamu pacaran udah berapa kali, El?" tanyaku lagi.

"Aku nggak pernah ngitung, Ra," sahut El diiringi kekehan.

"Mantanmu banyak dong?"

"Denger kamu nanya begitu rasanya kayak bejat banget ya aku," ujar El lirih. Terdengar berat seperti beban penyesalan itu juga ikut keluar bersama suaranya.

Kemudian aku terpikir sebuah pertanyaan yang akan membuktikan kebenaran tentang apakah El memang seorang playboy atau bukan. Meski begitu, aku sadar apa pun jawaban El nanti tidak bisa langsung kupercaya begitu saja.

"Sebenarnya apa tujuanmu pacaran?"

"Gini deh, Ra." El bangkit dari sofa dan berdiri berhadapan denganku yang masih enggan beranjak dari sofa. "Aku ingat ini dari film yang pernah kutonton. Waktu kamu beli kursi, apa yang kamu lakukan sebelum membayar?"

"Melihat-lihat modelnya dan menduduki kursinya?"

"Betul. Tujuannya agar kursi yang kita beli nyaman buat kita duduk, kan?"

Aku hanya mengangguk. Tidak ada jawaban lain untuk itu.

"Persis kayak yang kita lakukan sekarang. Itu perumpamaan dari pacaran. Kamu nggak akan tau orang itu tepat buat kamu kalau belum menjalani hari-hari bersama dengannya. Orang-orang beranggapan pacaran adalah masa di mana mereka mengenali pasangan sebelum yakin bahwa dialah yang tepat buat jadi pasangan hidup." El bertutur dengan tenang. Di akhir kalimat, ia tersenyum. Senyum yang akhir-akhir ini mampu membuat perasaanku menghangat.

"Kalau emang itu tujuan semua orang, seseorang nggak mungkin dapat cap playboy dong?"

El terdiam beberapa saat sebelum kemudian membalas, "Kayak artinya, Ra. Mungkin itu buat mereka yang cuma main-main. Makanya abis putus langsung dapat yang baru."

"Sama kayak kamu dulu, 'kan?" Aku bukan ingin menyindir, hanya menggodanya untuk mendapatkan jawaban akhir dari segala pertanyaan yang bersarang di kepalaku.

"Asal kamu tau, Ra. Terkadang seseorang menjadi playboy juga punya alasan." El berkata lirih. Yang mana membuatku ingin mengenal sosoknya lebih jauh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top