10 - Dare

Rafael Lazuardi

Aku memiliki janji bersama beberapa teman sekelas untuk bertemu malam ini. Mereka sudah tahu jika aku tidak lagi bekerja di luar kota. Kuberitahu mereka sejak Zara menegur dan mengataiku pria yang sombong beberapa hari lalu. Aku merasa tidak terima dan segera mengabari mereka bahwa aku sudah pindah kerja.

Kemudian, aku mendesah dan menggelengkan kepala. Lagi-lagi apa yang Zara katakan padaku, terlintas di benak.

Lima belas menit membelah jalan dengan motor sport, Aku tiba di rumah Yuda, lokasi yang sudah dijanjikan untuk berkumpul malam ini. Tak ada agenda khusus, hanya bertemu dan menonton film bersama. Mungkin cerita satu sama lain akan jadi penghibur kebersamaan kami nanti.

Aku masuk ke rumah Yuda. Tak banyak yang berubah, furniturnya masih tetap sama. Hanya cat dan foto-foto yang terpajang di dinding saja yang berbeda dari terakhir aku datang berkunjung. Yuda masih seperti biasa dalam urusan menyuguhi tamu-tamunya. Selalu ada banyak makanan dan minuman yang tersaji di tengah-tengah empat orang pria yang sudah duduk santai di ruang tengah. Tak ada sofa di sana. Hanya karpet tebal yang nyaman untuk kami duduki.

Kehadiranku lantas membuat heboh lima pria di sana. Sebab ini kali pertama aku ikut bergabung setelah bertahun-tahun. Sayangnya, tak banyak yang datang malam ini. Sebab yang lainnya disibukkan dengan tugas kerja dan lembur di kantor. Sadar bahwa personil yang datang malam ini sudah lengkap, Yuda segera menyetel film di TV lebarnya.

Film yang tadi sempat menjadi pusat perhatian, kini jadi berubah menjadi suara latar kisah-kisah kami. Aku jadi satu-satunya yang mereka interogasi karena jarang sekali menemui mereka. Ada banyak hal yang mereka tanyakan padaku. Sampai-sampai aku kelelahan menjawab dan sudah menghabiskan tiga botol air mineral karena kerongkongan yang kering.

"Ini makanannya." Suara kalem seorang wanita menginterupsi kami. Ia berjalan menghampiri Yuda dengan membawa nampan berisi dua piring gorengan.

"Makasih, Sayang," ujar Yuda sambil mengambil piring yang ada di atas nampan. Teman-temanku menatap isi piring di tangan Yuda dengan tatapan lapar. Seolah piring-piring kosong yang ada di tengah-tengah kami tidak pernah ada isinya. Sementara aku hanya tercengang melihat Yuda dan wanita tadi secara bergantian, hingga muncul satu pertanyaan di kepalaku.

"Dia siapa, Yud?" Pertanyaan itu langsung kulontarkan begitu si wanita kembali lagi ke dapur.

"Tunanganku," jawab Yuda sambil menunjukkan cengiran terbaiknya. "Dia abis masak bareng nyokap."

Aku mengangguk kalem. Meski dalam hati terkejut luar biasa, karena pria seperti Yuda, yang konyolnya minta ampun sampai-sampai banyak wanita ilfeel padanya, kini justru bertunangan dengan seorang wanita yang cantik dan kalem. Jodoh memang tidak bisa ditebak.

"Mas, aku pulang ya?" Suara tunangannya membuat Yuda segera beranjak dari duduk lesehannya. Lalu menghampiri wanita yang sudah berada di ambang pintu itu. Yuda mencium keningnya sebelum berpesan agar ia berhati-hati di jalan. Semua itu tak luput dari pandanganku.

Sebagai penonton, aku tidak bisa menampik bahwa aku iri saat melihatnya.

"El, kamu nggak ajak Zara ke sini juga?" Mendengar nama Zara disebut-sebut membuatku segera mengalihkan pandang dari ponsel di tangan. Di pojok ruangan, Reno menatapku dengan alis terangkat. Ia menunggu jawaban atas pertanyaannya.

"Buat apa aku ngajak dia malem-malem begini?"

Tentang komitmen kami berdua, aku masih tidak berniat untuk menceritakannya pada siapa pun. Kurasa bukan hanya aku yang berpikiran seperti itu. Zara juga. Aku masih ingat ketika dia kesal padaku karena foto yang kuposting di media sosialku waktu kami pergi menonton. Sebab, setelah itu ia jadi diteror oleh teman-temannya dengan mempertanyakan hubungan kami berdua.

Sebaiknya, memang tidak perlu ada yang tahu.

"Ya sekalian kencan lah, apa lagi?" sahut pria berkacamata yang sedari tadi tidak beralih dari game di ponselnya. Evan namanya.

Keningku lantas berkerut. "Aku nggak pacaran sama dia."

Aku melirik Yuda yang baru saja menyemburkan air dari mulutnya. Matanya melotot sampai dikhawatirkan akan keluar dari tempatnya. Semengejutkan itukah apa yang kuucapkan tadi?

"Serius nggak pacaran? Kamu jomlo?"

"Gilak! Nyembur kena mukaku," protes Yohanes. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengambil tisu sedangkanbsebelah tangannya yang lain ia gunakan untuk menyeruput wajah Yuda, menekannya dengan kuat karena kesal. Aku ingin tertawa melihatnya.

"Apa masalahnya kalau aku jomlo?" Aku bertanya dengan alis yang terangkat sebelah.

"Ya heran aja. Biasanya kamu jomlo cuma sehari dua hari, abis itu dapat yang baru lagi. Saking lakunya jadi cowok," sahut Yuda sambil mengelap kakinya yang basah terkena semburannya sendiri menggunakan tisu.

"Playboy cap gajah ya Rafael ini," celetuk Evan.

Aku hanya tertawa mendengarnya. Sudah tidak protes lagi jika orang-orang menyebutku playboy. Sebab memang seperti itulah aku terlihat di mata orang-orang. Putus dengan A, beberapa hari kemudian berpacaran dengan B. Semudah itu aku mendapat kekasih karena parasku yang-orang-orang bilang-rupawan. Terlebih aku pernah menjabat sebagai ketua umum UKM kesenian, yang di kampusku merupakan UKM paling populer. Pamorku langsung naik saat itu juga.

Aku tertawa dalam hati. Sombong sekali aku saat menjabarkan itu semua.

"Kenapa nggak ajak Zara pacaran, El? Keren juga kamu bisa deket sama dia." Reno bicara lagi sembari menyetel film lain di TV.

"Keren?" Aku mendenguskan tawa. "Sesulit itu ya?"

"Kamu berhasil ngajak dia nonton tuh udah layak dapat piala Oscar."

"Lebay, Van," komentar Yohanes sambil menepuk tengkuk Evan dengan ringan.

Aku menggeleng dan tertawa. Tidak pernah tahu jika sesulit itu untuk dekat dengan Zara. Yang pasti, aku hanya berhasil membuat wanita itu lebih terbuka padaku dengan mudah. Tentang ajakanku untuk berkomitmen bersama Zara waktu itu, sebenarnya hanya semata-mata ingin membantunya agar tidak lagi sekhawatir itu terhadap laki-laki. Pun agar Zara tidak lagi berpikiran sempit tentang laki-laki yang mencoba mendekatinya.

Entah kenapa, sejak aku mendengar ceritanya, rasa ingin mengubah mindset-nya muncul ke permukaan. Mungkin karena aku seorang pria, jadi aku merasa tidak terima jika Zara berpikir semua pria itu hanya akan melukai wanita.

Lantas kenapa sampai pada jenjang pernikahan? Aku hanya merasa bahwa itu bisa jadi bonus dari niat baikku. Mungkin terkesan jahat karena secara tidak langsung memberi harap pada Zara, tapi aku memang tidak memiliki perasaan khusus padanya. Atau mungkin belum?

Aku tentu tidak hanya asal bicara saat kukatakan pada Zara bahwa seiring berjalannya waktu, akan ada banyak kemungkinan yang terjadi. Itu sudah hukum alam. Walau sebenarnya aku juga berharap agar tidak melukai wanita itu di kemudian hari. Aku sadar tipe orang seperti Zara akan sulit sekali melupakan rasa kecewa. Lalu jika aku berakhir dengan meninggalkannya, rasa ketakutan itu pasti semakin besar dan Zara semakin menutup dirinya. Rasanya sayang sekali jika wanita secantik Zara memilih untuk melajang seumur hidup.

Kurasa, ada simbiosis mutualisme yang terjalin di antara kami berdua. Aku tidak perlu mencari wanita lain, dan ketakutan Zara akan terobati.

"Mending kalau udah deket sama Zara langsung lamar deh, El. Daripada kamu memburu-buru wanita lain lagi. Buang-buang waktu." Yohanes berucap dengan nada sok bijaknya.

"Kami nggak ada perasaan buat satu sama lain," sahutku.

Ucapan Zara tiba-tiba teringat olehku. Tentang pasangan yang menikah tanpa ada perasaan untuk satu sama lain. Rasanya seperti kalian menikah dengan orang asing. Aku juga tidak mungkin menikahi wanita yang tidak kucintai. Maka dari itu, aku akan menunggu sampai rasa itu muncul untuk Zara. Atau ... aku bisa saja menantang diriku sendiri untuk membuatnya jatuh cinta padaku.

Ya. Itu merupakan sebuah tantangan yang menarik. Mengingat ia adalah satu-satunya wanita yang sulit untuk ditaklukkan.

"Terus kenapa kalian bisa jalan berdua?" Yohanes bertanya.

Aku yakin, ia pasti melihat postinganku yang menandai Zara.

"Ah! Kayak nggak tau El aja, Han. Dia kedipin cewek sekali aja udah klepek-klepek mereka."

Mendengar itu membuatku memukul tengkuk Yuda. "Parah," desisku.

"Ini serius, El. Kamu tinggal sendirian, kan?" Yohanes bertanya dan kujawab dengan anggukan. "Tinggal sama istri bakal menyenangkan. Saat capek, akan ada istri yang mijetin. Kalau kesulitan buat tidur, ada istri yang bisa dipeluk-peluk tiap malem. Mau ngapa-ngapain juga udah halal," sambung Yohanes dengan wajah berseri-seri. Sampai teman-temanku yang lain hanya memandangnya dengan wajah iri. Di antara kami berlima, memang hanya Yohanes yang sudah menikah.

"Sial, jadi pengen cepet-cepet nikah sama tunanganku," respon Yuda.

"Emang lebih cepat lebih baik, Bro," sahut Reno.

Setelahnya, sisa pembicaraan kami diisi dengan rencana-rencana masa depan. Namun kali ini, aku lebih banyak diam karena aku bahkan belum memiliki rencana pasti tentang apa yang ingin kulakukan beberapa tahun ke depan. Yang pernah kubayangkan adalah suatu saat aku akan memiliki seorang istri dengan dua orang anak. Hanya saja sosok istri yang ada dalam pikiranku hanya bayangan semu. Untuk saat ini, aku hanya bisa merasakan sisa-sisa penyesalan karena sudah terlambat melamar mantan kekasihku.

Apa mau dikata? Nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya bisa memetik pelajaran dari itu semua. Yang mana kali ini, jika aku menemukan seseorang yang pantas, aku tidak akan membuang-buang waktu lagi. Atau, bolehkah aku benar-benar menantang diri sendiri untuk mengambil hati Zara?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top