1 - Unexpected Encounter
Zara Naulia
Satu hal yang membuatku membenci Sabtu malam, ribuan pasangan akan memadati jalan demi melangsungkan rutinitas mereka yang menurutku tidak bermanfaat; berkencan. Parahnya, teman-teman sekelasku saat kuliah justru memilih malam itu untuk mengadakan reuni kecil-kecilan, dengan dalih melepas rindu setelah tiga tahun tidak bertemu. Seandainya tidak dipaksa, aku sudah dipastikan sedang duduk di kasur ditemani cokelat panas dan tayangan film di laptop.
Alasanku menghadiri reuni kali ini adalah untuk bertemu dengan tiga temanku. Itu jadi sesuatu yang membuatku ingin segera tiba di sana daripada terjebak dalam taksi di jalanan yang padat. Sampai-sampai aku memutuskan untuk meninggalkan taksi dan melanjutkan dengan jalan kaki. Aku tak berhenti berjalan, bahkan ponsel yang bergetar di saku mantel pun kuabaikan. Aku orang yang simpel, alih-alih membawa tas untuk menyimpan bawaanku, aku lebih suka menyimpannya dalam saku mantel yang besar. Toh hanya ponsel dan dompet saja yang biasa kubawa.
Aku berhenti sebentar di sebuah minimarket untuk membeli minum. Bohong kalau aku tidak merasa haus setelah belasan menit berlari. Apalagi untukku yang jarang berolahraga ini, baru beberapa meter saja sudah sakit kaki.
"Tiga ribu, Mbak."
Suara kasir minimarket menyadarkanku dari lamunan. Aku mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memberikan itu padanya. Sambil menunggu uang kembalian, aku membuka tutup botol dengan tidak sabaran. Saking hausnya, sebagian dari isi botol itu sudah habis kuminum.
"Terima kasih," ujarku sambil menerima uang kembalian. Aku berbalik ingin keluar, tetapi dikejutkan oleh keberadaan seorang pria bertopi rendah dengan jaket bertudung. Karena auranya yang tidak nyaman, aku segera pergi dari sana. Entah hanya perasaanku saja, atau dia memang menatapku tajam.
Aku berjalan keluar minimarket sambil sesekali menenggak minuman yang tersisa di botol. Setelah beberapa langkah, aku mulai mendengar suara langkah yang mengikutiku. Aku tidak ingin berpikiran negatif dengan mengira siapa pun itu adalah seorang penguntit. Sebab ada banyak pejalan kaki di trotoar ini. Siapa tahu dia hanya orang asing yang kebetulan berjalan searah denganku. Namun, ketika aku mempercepat langkah, orang itu juga melakukannya. Aku mulai berpikir bahwa keputusan untuk meninggalkan taksi dan melanjutkan dengan berjalan kaki bukanlah ide yang bagus.
Aku mulai takut. Ingin berhenti untuk memeriksa ponselku yang terus bergetar saja aku tidak berani. Hal-hal buruk mulai membayang. Bagaimana jika saat aku berhenti orang itu akan menculikku? Menutup mulutku dengan sapu tangan yang sudah diberi cairan kimia. Atau dia seorang jambret yang ingin mengambil ponsel dan dompetku? Atau sebenarnya dia seorang pembunuh? Pikiranku dipenuhi oleh dugaan-dugaan buruk, dan aku hanya mampu menggeleng untuk mengenyahkan semua itu.
Sebentar lagi sampai. Tinggal menyeberangi barisan penyeberangan, maka aku tiba di lokasi tempat kami bertemu. Namun, belum sampai di penyeberangan, aku merasa si orang tadi semakin dekat denganku. Ketika aku ingin berlari, sebuah tangan mendarat di bahu kananku dan mencengkeramnya dengan erat. Aku memutar kepala sekilas dan mendapati pria yang sama dengan yang kulihat di minimarket tadi. Mungkinkah ia sengaja mengikutiku dari tadi?
Aku ingin berlari, sekuat tenaga melepaskan diri dan berhasil maju beberapa langkah. Sayangnya, aku justru menabrak tubuh seseorang dengan keras.
"Jauhkan tangan kotormu dari istriku."
Aku tidak tahu siapa yang mengatakannya. Bersamaan dengan itu, lengan orang yang kutabrak tadi melingkar di punggungku, menarikku mendekat padanya. Jantungku berdegup kencang, lega bercampur cemas. Lega orang tadi sudah menarik tangannya dari pundakku, dan cemas karena aku tidak mengenal siapa pria yang ada di depanku sekarang. Terlebih lagi, ia mengatakan bahwa aku istrinya. Namun, usapannya di punggungku begitu menenangkan sampai membuatku yakin bahwa dia bukanlah orang jahat. Kepalaku mendadak pusing dan aku tidak lagi mendengarkan apa saja yang dibicarakan oleh dua orang itu sekarang.
Pria di depanku menarik tangannya dan memundurkan badan. Saat itu aku sadar bahwa sosok bertopi tadi sudah tidak ada di sana. Aku melangkah mundur sebelum mendongak untuk melihat wajah pria di depanku. Niatku ingin berterima kasih, tetapi berujung terkejut setelah tahu siapa pria yang baru saja membantuku tadi.
"Rafael?"
Keningku berkerut saat memastikan identitas pria itu sekali lagi. Aku yakin aku mengenalnya, hanya saja terdapat beberapa perubahan di wajahnya jika dibandingkan dengan yang terakhir kulihat saat wisuda. Ia tidak bercukur dan kumis tipis itu tumbuh di bawah hidung lancipnya.
"Ra, kamu nggak papa?" sapanya. Suaranya terdengar lebih berat dari yang pernah kudengar. Aku tak banyak bicara dengannya memang, tetapi aku beruntung punya ingatan yang kuat.
"Aku-" Ucapanku terputus karena ponsel di saku mantelku bergetar lagi. Aku menatap Rafael sebentar, sekadar memberi isyarat bahwa aku harus memeriksa panggilan masuk di ponselku. Tidak sopan jika aku langsung beralih berbicara di telepon padahal ia baru saja bicara.
Rosetta. Salah satu teman yang ingin kutemui malam ini. Tak ingin membuatnya menunggu, aku segera menggeser tombol hijau di ponselku, menjawab panggilannya. "Halo, Ros? Iya, iya. Maaf, aku telat. Ini udah deket, tinggal nyebrang."
"Aku naik taksi. Gara-gara macet, aku lanjutin jalan kaki. Daripada nunggu lama, 'kan?" ujarku sambil sesekali melirik Rafael ketika sekelebat kejadian tadi tiba-tiba teringat lagi. "Kumatiin, ya, mau nyebrang." Kuputuskan sambungan telepon tanpa memberikan kesempatan bagi Rosetta untuk merespon.
"El," panggilku. "Terima kasih udah nolongin aku."
"Bukan hal yang besar. Kamu nggak papa?" Ia bertanya sekali lagi.
Aku mengangguk dengan senyum di wajah. "Iya. Kamu mau nyebrang juga?"
El, begitu dia dipanggil semasa kuliah, menatap bangunan hotel di seberang jalan dengan kening berkerut, tampak sedang mempertimbangkan apakah ia harus ke sana atau tidak. "Duluan aja."
Aku ingin tahu kenapa ia tidak menyeberang sekalian bersamaku. Padahal kami sama-sama sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. Namun, aku tidak cukup dekat untuk menanyakan itu padanya. Apalagi kami hanya dua orang yang pernah sekelas masa kuliah bertahun-tahun yang lalu dan jarang bicara di luar masalah tugas.
"Oke. Aku duluan ya," kataku kemudian. Merasa tidak ada obrolan lebih jauh lagi di antara kami, aku pun memutar badan menghadap baris putih penyeberangan.
"Perlu kuantar sampai seberang?" tanyanya dengan nada bergurau.
"Nggak perlu, refleksku masih bagus."
Kudengar ia terkekeh saat aku akan menyeberang jalan. Lampu lalu lintas sudah menyala merah. Itu artinya aku bisa dengan tenang menyeberang. Sesampainya di seberang, aku berbalik untuk melihat apakah Rafael masih ada di sana atau tidak.
Ia masih di sana. Melambaikan tangan sebentar sebelum memutar badan dan melangkah pergi. Aku tidak tahu apa yang ingin dia lakukan. Kukira dengan pakaian seperti itu-jas berwarna abu-abu, ia ingin datang ke reuni sesuai dress code yang diminta oleh si pelopor acara. Ya sudahlah, terserah ia ingin datang atau tidak. Aku tidak memiliki tanggung jawab untuk memikirkannya.
"Sorry telat," ujarku pada salah satu teman yang berjaga dekat pintu.
"Zara!"
Tiga wanita dari dalam sana meneriakkan namaku. Mereka menghambur untuk memelukku sangat erat. Aku hanya tertawa dan menyambut mereka dalam sebuah pelukan besar. Aku memindai seisi ruangan. Sudah banyak orang yang datang di sana dan membuatku sadar bahwa aku benar-benar terlambat.
"Warna rambutmu berbeda."
Pelukan kami sudah terlepas saat Vita berkata begitu. Aku mengagumi penampilannya, rambut panjang yang dulu selalu diurai itu kini diikat rapi ke samping. Busana yang dikenakannya cukup lebar untuk menutupi perutnya yang membuncit. Ia pernah bilang sedang mengandung anak pertamanya.
Aku menyentuh rambutku yang berwarna kecokelatan. "Mencoba sesuatu yang baru dan akhirnya aku menyesal," sahutku diiringi cengiran.
"Warna rambut itu cocok buat kamu." Pujian Vita membuatku tersipu.
Kemudian aku bersama teman-temanku berjalan menuju sebuah meja yang sebelumnya sudah mereka duduki. Aku tahu itu dari tas yang ada di atas meja.
"Kapan nyusul? Umur 25 tuh udah saatnya mikirin pendamping hidup," celetuk Dian sambil mengibaskan rambut ke belakang.
"Santai, Rosetta yang udah 26 aja nggak terlalu mikirin tuh," sahutku, sebisa mungkin terdengar santai. Sebab topik pernikahan adalah topik yang paling aku hindari.
"Siapa bilang?" elak Rosetta. "Malam ini aku mau ngasih undangan sama kain buat kalian, lho. Selamat ya, jadi bridesmaid."
Bingo.
Aku bergeming. Yang harusnya jadi kabar membahagiakan, justru membuatku tertekan. Sebab itu berarti aku akan jadi satu-satunya yang masih melajang di antara kami berempat. Akan ada banyak orang yang menanyakan kapan aku menyusul, atau membanding-bandingkanku dengan orang-orang seusiaku yang sudah menikah nanti.
Pertama, Dian menikah tiga tahun lalu dan sekarang sudah memiliki seorang anak laki-laki yang manis. Kemudian disusul oleh Vita yang saat ini sedang hamil lima bulan. Kemudian Rosetta akan melangsungkan pernikahan. Jangan tanya kapan aku menyusul, aku bahkan tidak dekat dengan pria mana pun. Walau sebenarnya tidak sedikit yang mencoba untuk mendekatiku. Trauma dari ketidakberhasilan pernikahan orangtua membuatku takut memberi peluang pada pria lain untuk berkomitmen denganku.
"Jadi, siapa pria beruntung itu? Apa aku kenal dia?" Sebuah topik pengalihan yang bagus agar mereka tidak membanjiriku dengan berbagai pertanyaan tentang 'kapan menyusul?'.
"Nanti juga kamu tahu sendiri," sahut Vita. Ingin bermain tebak-tebakan denganku, tetapi matanya justru bergerak memberi petunjuk.
Aku mengikuti arah matanya. Seorang pria dengan porsi tubuh yang bagus, tetapi agak pendek, jadi sasaranku sekarang. Ia sedang repot membagi undangan ke teman-teman kami yang lain dan aku langsung berdecak kagum. "Wow. Perasaan Rosetta berbalas."
Rosetta berdeham, agak menunduk untuk menyembunyikan semburat merah yang muncul di pipi tembamnya dengan percuma. "Jangan gitu dong, aku malu."
Aku terkekeh melihat sikapnya. Rosetta lebih tua dariku, tetapi terkadang sikapnya bisa jadi lebih kekanakan dariku.
"Ra, kamu nggak mau nikah?"
Aku menaikkan sebelah alis saat Dian bertanya begitu. "Bukan nggak mau. Cuma belum ketemu yang pas aja." Aku menjawab tak pasti. Ditanya begitu membuat kerongkonganku mendadak terasa kering. Aku menarik gelas yang masih terisi penuh di tengah-tengah meja, meminumnya beberapa tegukan kemudian.
"Yakin? Bukan karena nolak dideketin sama cowok-cowok?"
Aku langsung tersedak minuman yang baru saja kuteguk. Airnya bisa saja tersembur keluar jika aku tidak segera menutup mulut. "Nggak segitunya juga," elakku setelah berhenti batuk.
Vita tersenyum menggoda. "Satu-satunya yang berhasil menarik perhatian Zara itu cuma Kak Alvian. Sayangnya udah nikah."
Alvian, senior yang kukagumi dulu. Mengingatnya lagi membuatku tersenyum masam, tetapi bukan karena patah hati. Tak masalah jika memang ia sudah beristri. Lagi pula rasa sukaku padanya tidak sampai terobsesi untuk memiliki. Pun tidak sampai ada dorongan untuk menjadi kekasihnya karena hanya dengan mengagumi saja sudah membuatku bahagia.
Obrolan terus berlanjut. Kami tenggelam dalam kisah satu sama lain diiringi dengan tawa yang keras beberapa kali. Seisi ruangan pun tampaknya tidak terganggu lagi dengan suara gaduh yang kami ciptakan. Mungkin yang membuat mereka heran adalah, meski sudah bertahun-tahun, hubungan kami berempat tetap terjalin dengan baik. Bekerja di tempat terpisah membuat kami memiliki banyak hal untuk diceritakan.
Waktu berlalu begitu cepat sampai seorang pria duduk di salah satu kursi kosong di meja kami. Tepatnya karena hanya kursi di situ saja yang tersisa. "Cewek kalo ngegosip suka lupa waktu, ya?"
"Rafael!" pekik Dian sampai aku terperanjat. Ia mencondongkan badan untuk memberi pelukan ringan pada pemuda di sampingnya itu, mengingat bahwa Rafael adalah teman seperjuangannya di masa-masa tugas akhir.
El ternyata datang ke reuni. Aku meliriknya sekilas, tidak berniat untuk menyapa atau ikut mengobrol bersama mereka. Lagi pula, tidak ada topik yang relate di antara kami berdua. Kecuali insiden kecil di jalan tadi. Namun, itu bukan topik yang bagus untuk dikisahkan pada teman-temanku.
"Kami bukan penggosip," elak Rosetta.
Rafael tertawa renyah. Suaranya entah kenapa enak didengar. Sensasinya seperti mendengar cicitan burung di pagi hari. "Ngomongin aku yang makin tampan ini, misalnya," ujarnya sambil menyugar rambut penuh rasa percaya diri.
"Kepedean banget kamu, El." Vita mencibir. "By the way, jasmu nyentrik banget. Beda sendiri. Yang lain jas hitam, kamu malah pakai abu-abu."
"Ini membuktikan bahwa aku spesial, berbeda dari yang lain," sahutnya, menarik kerah jas dengan gaya yang dibuat-buat keren sebelum pandangannya tertuju padaku. "Zara?" panggilnya.
"Hm?"
"Diem aja. Nggak mau nyapa?"
Aku menaikkan alis. Pembawaannya tenang, tetapi tatapan matanya memiliki arti lain. Seperti mengatakan, mari lupakan insiden tadi. Sepertinya kami sama-sama sepakat untuk tidak mengungkit kejadian tadi.
"Hai?" Aku menyapa canggung.
El menyeringai lebar. "Kamu nggak berubah."
Aku terlalu mencintai diriku sendiri sampai-sampai menjadi orang lain membuatku merasa buruk. Jadi, untuk apa berubah?
"Hoi!" Seorang pria berisi menepuk pundak El dengan keras. "Udah kayak bos aja kamu, yang istrinya banyak." Kemudian disusul ia mengaduh sambil tertawa setelah El meninju pelan perut buncitnya.
"Apa kabar, Bro?"
"Baik. Kamu ngapain duduk di sini? Ikut ngegosip?"
"Biasa, mau melepas kangen sama cewek-cewek kita yang makin cantik ini," goda El sambil mengerling pada kami berempat. Entah perasaanku saja atau apa, tetapi tatapannya berhenti padaku.
Aku yang diperhatikan begitu hanya membuang muka. Masih jelas di ingatan bahwa El memang suka bercanda. Namun, aku paling tidak suka mendengar candaan yang menjurus pada rayuan begitu. Belum lagi tiga di antara kami sudah memiliki pasangan. Rasanya tidak sopan saja bagiku.
Entah apa yang membuat hal seperti itu jadi hiburan bagi para pria; merayu dengan gombalan. Sayangnya, kebanyakan wanita senang sekali menerima pujian berbalut rayuan begitu. Apa para pria tidak sadar bahwa rayuannya itu bisa memberi dampak buruk bagi mereka? Misal, si wanita yang terlalu sering dipuji dan dirayu, tanpa sadar akan merasa memiliki nilai lebih dibandingkan wanita lainnya. Lalu berpotensi jadi wanita yang angkuh dan suka berbuat semena-mena.
Aku sering menemui itu. Hingga akhirnya aku membatasi diri sendiri untuk tidak berinteraksi terlalu jauh dengan lawan jenis. Segala macam hal yang berbau rayuan tidak pernah kugubris. Setelah dihitung-hitung, ternyata ada banyak hal yang membuatku menahan diri agar tidak tertarik pada laki-laki dengan mudah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top