❣IL 3❣

"Mbak Asoka maksa Leon makan sayur lagi, ya?" cecar Yasmine begitu melihat isi piring makan Leon. "Leon kan memang nggak suka sayur, Mbak, buat apa dipaksa-paksa, sih."

Asoka menarik nafas panjang sebelum meninggalkan meja makan. Kalau Yasmine sudah sampai di ruang makan, berarti tak lama lagi Naga juga akan masuk ke rumah.

Asoka bersiap untuk menyongsong Naga. Sudah menjadi adat kebiasaannya mencium punggung tangan Naga sepulang kerja, sebagai bentuk ketundukpatuhan pada suami.

"Kalau dipaksa kayak gini kan Leon jadi trauma, Mbak." Yasmine menyerahkan piring Leon ke Semanggi. "Buang aja, Nggi. Kasihan Leon dipaksa-paksa," sindir Yasmine sembari melirik Asoka.

Asoka mengode Semanggi agar diam, tidak usah menanggapi ocehan Yasmine. Dia pun tak menggubris kala Yasmine dengan sengaja menubruk bahunya. Dari pada ribut.

"Assalamualaikum." Terdengar salam dari pintu depan.

"Waalaikumsalam, Bang," jawab Asoka sembari mempercepat langkah ke pintu depan.

Asoka mencium punggung tangan Naga, lalu mengambil alih tas laptop milik suaminya. "Jalanan macet, ya, Bang?"

Biasanya tepat pukul lima sore, Naga sudah tiba. Namun kali ini hampir Magrib mereka baru menginjakkan kaki di rumah.

"Tadi ada kecelakaan di pintu keluar tol. Untungnya pas Abang lewat, mobilnya sudah diderek." Naga duduk di sofa ruang keluarga sembari melepas satu kancing teratas kemejanya.

"Parah?" Asoka membiarkan Naga duduk dengan nyaman, lalu ia pun bersimpuh guna melepaskan sepatu dan kaos kaki milik suaminya.

Lagi-lagi sudah menjadi kebiasaan Asoka sejak awal pernikahan untuk melayani Naga. Semua dilakukannya sebagai perwujudan bakti seorang istri kepada suami. Dan segala yang Asoka perbuat didapat dari contoh perilaku sehari-hari Dahlia—mertua sekaligus ibu angkatnya.

"Kalau dilihat dari sisa pecahan kaca, sepertinya lumayan. Kata penjaga tol tadi, sopirnya ngantuk terus nabrak pembatas jalan yang bikin mobilnya terbalik."

"Abang juga harus hati-hati kalau di jalan. Ini udah masuk musim hujan, pasti jalanan licin." Asoka ngeri membayangkan jika suaminya sampai mengalami kecelakaan. "Mending kalau capek atau ngantuk, Abang istirahat dulu."

"Siap laksanakan, Nyonya besar tersayang." Naga mencubit pipi Asoka gemas.

"Tuh kan, dibilangin kok malah godain." Asoka mengerucutkan bibirnya. "Ya udah, Abang bersih-bersih dulu sana, habis Magrib kita makan bareng."

"Memangnya Papa mau makan lagi?" tanya Yasmine yang baru saja bergabung di ruang keluarga. "Bukannya tadi kita udah makan di resto."

"Itu tadi kan cemilan, Ma. Mana cukup bikin perut Papa kenyang."

Yasmine duduk di sebelah Naga lalu dicubitnya perut lelaki tiga puluh empat tahun itu. "Nih, perutnya mulai buncit."

Naga tergelak, bukannya sakit tapi cubitan Yasmine lebih terasa seperti gelitikan. "Leon mana, Ma? Kok gak kelihatan."

Yasmine melirik Asoka yang berniat untuk beranjak dari ruang keluarga. "Ngambek. Dipaksa Mbak Asoka makan sayur."

Asoka tersenyum miring mendengar aduan Yasmine. Bukan sekali dua kali perempuan yang empat tahun lalu dinikahi Naga itu melaporkan hal-hal yang tak berdasar. Asoka sudah hafal di luar kepala sehingga ia memilih diam dan menjauh.

Tidak ada gunanya meladeni Yasmine. Sejak awal perkenalan mereka bertiga, Yasmine sudah menampakkan ketidaksukaannya pada Asoka secara terang-terangan.

Aneh. Memang di luar nalar ketika istri sah kalah suara ketimbang madunya. Namun, begitulah tabiat Yasmine yang notabene anak semata wayang. Manja, ingin menang sendiri serta selalu memandang rendah orang lain. Terlebih pada kekurangan Asoka.

Asoka tak ambil pusing dengan kelakuan Yasmine. Bohong kalau Asoka menyukai Yasmine, tapi ia juga tidak terlalu membencinya. Hanya tidak suka saja.

Jika bukan karena Dahlia, Asoka tidak akan sudi dan rela untuk berbagi suami. Wanita mana yang dengan senang hati dimadu, sekalipun sang suami berjanji untuk selalu mencintainya.

Namun, bagaimana mungkin Asoka tega untuk tidak mengabulkan  permintaan orang yang telah memungutnya sedari bayi. Bagaimana mungkin Asoka membiarkan Dahlia jatuh sakit selama berbulan-bulan karena ingin menggendong cucu.

Hingga akhirnya di usia pernikahannya yang keenam, Asoka harus membuang ego dan mengikhlaskan Naga untuk menikah dengan Yasmine. Demi seorang anak yang tak mampu ia hadirkan.

Marah? Tentu. Benci? Jelas. Menyerah lalu mundur? Itu yang tidak bisa ia lakukan. Asoka sudah bersumpah—dipaksa untuk bersumpah—tidak akan meninggalkan Naga ... oleh Dahlia.

Terkadang Asoka ingin memberontak, menolak dan mengabaikan segala permintaan Dahlia. Namun, lagi-lagi ia merasa tidak berhak. Ia hidup karena Dahlia. Ia bisa mengenyam bangku kuliah dan sukses menjadi psikolog pun karena Dahlia. Dahlia-lah ibu baginya.

Segala aturan dan garis hidupnya, Dahlia yang menentukan dengan dalih 'semua demi kebahagiaan Asoka'. Memang tak bisa dipungkiri, kehidupan Asoka tidak seperti anak-anak panti lainnya. Terlihat jelas ketimpangan kasih sayang yang diberikan Dahlia kepada Asoka dan saudara pantinya.

Sedari kecil, Asoka sudah terlihat menonjol dibanding anak lain. Baik secara paras maupun otak. Nilai-nilai sekolah Asoka tidak pernah mengecewakan. Ia langganan juara umum. Bahkan masuk universitas pun tanpa melalui jalur tes.

Sikap, karakter, kepribadian dan tutur kata Asoka patut diacungi jempol. Ia tak pernah membantah. Apa pun yang diperintahkan bunda-bunda panti, selalu Asoka jalani dengan suka cita. Ia pun pandai menempatkan diri sesuai situasi dan kondisi.

Oleh karena itu, Dahlia begitu menyukai Asoka. Sebagai pemilik panti asuhan, Dahlia sudah menetapkan bahwa Asoka-lah yang kelak harus menjadi istri dari putra semata wayangnya.

Asoka bersyukur. Sangat bersyukur. Bagi anak yang tidak tahu siapa orang tuanya—bahkan seolah tak diharapkan oleh orang tuanya—Asoka bisa dipinang oleh keluarga terhormat.

Ia tidak dapat membayangkan, jika bukan Dahlia yang menemukannya tergeletak dalam kardus di bawah pohon asoka, maka akan seperti apa hidupnya kini. Oleh karena itu, Asoka menerima apa pun mandat Dahlia. Apa pun.

Menikah dengan Naga di usia sembilan belas tahun ia jalani dengan rela. Apakah ia bahagia? Ya, Asoka bahagia. Naga teramat menyayanginya, bahkan ia sudah mencintai Asoka sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Tak pernah sekalipun Naga marah, membentak apalagi sampai main tangan. Kalaupun Asoka berbuat salah, Naga hanya akan menasehati dengan halus. Sampai saat ini di usia pernikahan ke-10, cinta dan kasih sayang Naga tak pernah berubah.

Asoka bisa menjalani pernikahannya dengan ikhlas, hingga perlahan-lahan benih cinta untuk Naga pun tumbuh di hatinya. Tidak ada lagi yang namanya keterpaksaan.

Semua berjalan mulus. Namun, tak ada yang abadi. Pun dengan kebahagiaan. Hingga tahun kelima pernikahannya, Asoka belum juga mengandung. Padahal segala usaha telah ia dan Naga lakukan.

Asoka sengaja cuti dari pendidikan S2-nya demi mengurangi aktivitas fisik dan pikiran. Padahal tesisnya sudah masuk bab lima. Hanya tinggal sejengkal ia mendapat gelar psikolog.

Segala saran yang bisa mempercepat kehamilan, ia jalani. Meminum rebusan buah dzuriat, memakan kurma muda, pun terapi akupuntur dan akupresur telah ia coba. Namun, masih belum membuahkan hasil.

Sampai akhirnya mau tak mau Asoka dan Naga menerima saran Dahlia untuk mengikuti program hamil. Tidak mudah. Sungguh. Teramat sulit bagi Asoka untuk menyetujuinya.

Ia takut. Perempuan mana yang tidak gentar jika menyangkut bisa tidaknya ia memberi keturunan. Berbagai pikiran negatif sudah berseliweran di kepalanya. Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu?

Ilalang sempat menggoda Asoka. "Katanya calon psikolog, eeeh kena anxiety juga."

Asoka tidak berusaha menutupi kegelisahannya di depan Naga. Ia mengakui belum siap akan hal terburuk. Namun, berkali-kali Naga meyakinkan bahwa ia tidak akan mempermasalahkan apa pun hasilnya nanti.

Kalaupun pada akhirnya memang ada masalah pada diri mereka berdua, Naga memberi solusi untuk mengadopsi dari panti asuhan. Ia pun berjanji tidak akan berubah, tetap menyayangi dan mencintai Asoka.

Demikian pula dengan Dahlia. Ia terus memberi semangat dan dukungan pada Asoka. "Supaya kita bisa cari solusinya, Mbak. Bunda yakin tidak ada masalah sama kalian berdua. Cuma tidak ada salahnya ikut program hamil, kan? Kalau sudah ditangani sama ahlinya, pasti lebih tepat sasaran."

Namun, kenyataan tak seindah harapan. Dunia Asoka jungkir balik setelah adanya vonis dari dokter yang menanganinya. Infertilitas.

Hanya satu kata, tapi cukup membuat hidup Asoka berubah seratus delapan puluh derajat. Amblas sudah semua angan untuk menimang darah dagingnya sendiri.

Berhari-hari Asoka mengurung diri di kamar. Sudah tak terhitung lamanya ia menangis dalam diam. Entah berapa banyak tisu yang menjadi saksi bisu hancurnya dunia Asoka.

Tak hanya sekali-dua kali Naga melihat mata sembab istrinya. Namun, Asoka selalu mencari berbagai alasan. Ya, ia belum sanggup mengatakan kebenaran pada Naga. Semua ia pendam sendiri.

Asoka takut jika keluarga, kebahagiaan serta kasih sayang yang selama ini ia terima akan terenggut. Namun, tak selamanya Asoka bisa diam dan menutupi keresahannya. Ia harus jujur pada Naga. Ia pun harus siap menerima segala konsekuensinya.

"Bagaimana pun kondisi Oka, Abang tetap cinta. Abang terima apa pun yang ada dalam diri Oka. Kalau soal anak, kita bisa adopsi sebanyak yang Oka mau. Anak bukan melulu soal dia lahir dari Oka langsung, tapi tentang bagaimana kita merawat, mendidik dan menyayangi mereka 'kan?" Ucapan serta pelukan Naga saat itu cukup membuat Asoka lega.

Tetapi tidak dengan Dahlia. Asoka masih ingat dengan jelas bagaimana tanggapan ibu mertuanya saat ia memberitahu hasil tes kesuburan. Memang tak ada kata yang terucap, bahkan Dahlia memeluk erat Asoka. Hanya saja Asoka terlanjur melihat kekecewaan yang terpancar pada netra bundanya.

Penghiburan Naga pun tidak lagi berguna, saat dua bulan kemudian Dahlia meminta ijin kepada Asoka agar Naga menikah lagi.

Mungkin ini yang sering diistilahkan dengan petir di siang bolong. Sejak vonis dokter, Asoka sudah mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu Naga meminta ijin menikah lagi. Namun, Asoka tidak mengira bahwa ternyata Dahlia yang buka suara terlebih dahulu.

Jika Asoka hanya mampu membisu, maka Naga-lah yang menolak dengan halus. Bagi seorang anak penurut, baru kali ini Asoka melihat Naga membantah usul ibundanya.

Berkali-kali Dahlia menyinggung perihal poligami. Tidak, Dahlia tidak pernah memaksa Asoka untuk memberi ijin. Ia hanya meminta pengertian dan keikhlasan Asoka.

Lalu apa bedanya? Bagi Asoka baik itu paksaan, bujukan atau apapun namanya, tetap saja mengharusnya ia untuk mau dimadu. Semua sama saja.

Naga masih tetap pada pendiriannya, menolak untuk menikah lagi. Dengan tegas ia menyatakan belum mampu berbuat adil. Naga tidak ingin menyakiti siapa pun yang kelak menjadi istri keduanya, karena hati dan pikiran Naga hanya untuk Asoka.

Awalnya Asoka menjadikan keputusan Naga sebagai pegangan. Hingga akhirnya ia menyerah. Asoka tidak sanggup melihat Dahlia mengemis bahkan bersimpuh dengan linangan tangis. Bahkan jatuh sakit.

Anak mana yang tega melihat ibunya berlutut. Anak mana yang hatinya tidak hancur mendengar ibunya memohon. Pertahanan Asoka lebur. Cintanya pada Dahlia mengikis rasa kepemilikan atas Naga.

Sungguh ironis. Dahlia yang menyerahkan Naga, tapi Dahlia pula yang dengan paksa mengambilnya kembali.

"Kira-kira apa yang baru dipikirin kepala cantik ini, sampai suaminya dianggurin?" tanya Naga sembari memeluk Asoka dari belakang, lalu mengecup puncak kepala Asoka yang sedang termenung di balkon kamarnya. Tempat favorit Asoka untuk melepas penat,  karena terletak di lantai dua dan menghadap langsung ke taman belakang rumah.

Asoka tersenyum dan menoleh menghadap Naga. "Mikirin Abang-lah, memangnya siapa lagi?" Asoka tidak bohong.

Naga mengecup pipi kanan Asoka. "Memang Abang ini ngangenin banget," pujinya pada diri sendiri.

Asoka mengerutkan kening. "Kok Abang di sini?"

"Lho, memangnya nggak boleh kalau Abang masuk kamar istrinya sendiri?" Naga balas bertanya. Kedua tangannya masih setia melingkari perut Asoka, sambil sesekali bibirnya menyapu lembut tengkuk putih di depannya.

"Bukannya gitu, Bang, tapi ini Rabu, Oka nggak mau cari ribut, lhoh." Asoka memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan Naga.

"Jadi, Sayangnya Abang ngusir nih ceritanya?" Tangan laki-laki berkulit putih itu menyusup ke dalam kaos yang dikenakan Asoka, perlahan merambat naik, menggoda hingga membuat Asoka meloloskan desahan lirih.

"Abang dulu janjinya mau berbuat adil, lho," ucap Asoka di tengah kesadaran yang menipis.

Naga menggigit lembut ceruk leher Asoka. "Kadang Abang heran, Sayangnya Abang ini beneran cinta nggak sama Abang? Tiap dikasih lebih, pasti protes."

Pisah dulu sama Yasmine. Biar seluruh waktu, hati dan tubuh Abang cuma milikku. Alih-alih menjawab sesuai pikirannya, Asoka memilih tersenyum sebelum berucap, "Oka cuma nggak mau ribut. Udah malem, Bang. Malu kalau anak-anak denger." Jarum jam masih menunjukkan pukul delapan malam, Semanggi dan Kembang pasti masih beres-beres di bawah.

"Sudah sana, Abang ke kamar Yasmine." Asoka menarik tangan Naga dengan lembut hingga sentuhan yang penuh godaan terhenti. Jangan sampai mereka kebablasan.

Naga menarik napas panjang. Ia kembali memeluk Asoka erat, dadanya melekat erat dengan punggung Asoka. "Abang masih ingin di sini. Anginnya sejuk. Sayangnya Abang memang pinter milih tempat favorit."

"Apa ada masalah di Resto, Bang?" Asoka menengadah, menatap ke dalam manik mata Naga sembari membelai lengan suaminya. Ia baru menyadari ada perubahan pada raut wajah suaminya.

Setahu Asoka, rumah makan sunda warisan Sastragala—ayah Naga—yang berdiri sejak duapuluh lima tahun lalu itu, masih unggul jika dibanding restoran-restoran baru di ibukota. Jadi, saat melihat Naga tak juga menjawab, Asoka paham bahwa akar pikiran Naga bukan pada usahanya. Melainkan Yasmine.

"Malam ini Abang tidur di sini lagi, ya, Yang." Kalimat yang Naga lontarkan bukanlah sebuah pertanyaan, tapi penegasan yang tak bisa dibantah.

"Dengan senang hati." Asoka menangkup kedua tangan Naga lalu menyandarkan kepala di dada pria tigapuluh lima tahun itu.

Kalau memang yang dibutuhkan suaminya adalah ketenangan, sebisa mungkin akan ia kabulkan. Biarlah urusan Yasmine dipikir belakangan. Kalaupun malam ini Naga balik ke kamar Yasmine, besok wanita itu juga bakal cari-cari alasan untuk ribut dengan Asoka. Bertambah satu keributan bukan hal besar.

*****

Ups, gagal deh adegan skidipapap hula hula syalala-nya .... Ada yang kecewa nggak?

Mau gimana lagi, othor gak berani nulis begituan. Yah, semoga tanpa adanya yang iya-iya tetep berasa syahdu ....

Yuk, aku tunggu vote dan komentnya, ya ....

Solo, 23 November 2020

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top