❣IL 2❣
"Assalamu'alaikum."
Asoka mengeryit saat mendorong pintu rumah yang ternyata tidak terkunci. Tumben, biasanya Kembang tak pernah lupa untuk mengunci pintu.
"Kembang?" panggil Asoka sembari meletakkan tas kerjanya di atas meja ruang keluarga.
"Ya, Bu!" jawab Kembang dengan suara lantang.
Asoka melangkah menuju asal suara Kembang di taman belakang. Wanita beralis tebal itu kembali mengeryit saat melihat ruang tengah yang berantakan. Diambilnya napas panjang demi meredam emosi. Di saat tubuhnya mulai penat karena seharian bekerja, bukan pemandangan rumah semrawut yang diharapkannya.
Namun, semua angan itu sangat jarang dirasakan. Karena hampir setiap pulang kerja, Asoka disuguhi pemandangan yang membuatnya semakin lelah. Baru saja Asoka menapak di teras belakang, sebuah bola berlumpur menyapa bahu kanannya.
"Duh, maaf, Bu." Kembang berlari ke arah Asoka, lalu sibuk membersihkan noda di kemeja putih tulang yang tengah Asoka kenakan dengan tangannya.
Asoka menjauhkan tangan Kembang. "Sudah tidak apa-apa. Kamu kejar Leon saja. Sudah sore, waktunya dia mandi."
"Iya, Bu." Kembang pun berbalik untuk mencari Leon di taman belakang.
Asoka melirik sekilas ke kemejanya yang kini sudah tak polos lagi, sebelum berbalik dan berjalan menuju kamar. Dia harus segera mengucek kemejanya sebelum berakhir dengan noda hitam.
Sekilas Asoka mendengar tangis Leon yang meronta tak ingin menyudahi permainan bola lumpurnya. Ia hafal bagaimana histerisnya Leon ketika keinginannya tak dipenuhi. Namun, Asoka tetap bergeming, tak menghiraukan ketika Leon kembali mengamuk, toh sudah ada Kembang—pengasuh Leon. Raganya butuh guyuran air untuk merontokkan lelah yang menempel.
Bukannya Asoka tak menyayangi Leon, bocah tiga tahun itu begitu menggemaskan—jika dalam kondisi normal—sehingga sangat mudah bagi siapa pun untuk jatuh hati pada sosoknya yang lucu. Akan tetapi, tembok tinggi dalam hati Asoka terlanjur terbangun sekokoh benteng. Sekuat apa pun ia mencoba menembusnya, selalu saja tak bisa sepenuhnya mencintai Leon.
Jam di atas meja rias, menunjukkan pukul empat. Masih ada sekitar satu jam sebelum Naga pulang kerja, cukup bagi Asoka untuk sekedar meluruskan otot punggung. Digelarnya secarik handuk kering di atas bantal agar tak basah oleh tetesan air dari rambutnya.
Belum sempat pantatnya menempel sempurna di ranjang, terdengar gedoran dan teriakan dari luar kamar. Diembuskannya napas panjang. Dengan terpaksa, Asoka menyeret tubuh untuk membuka pintu.
"Leon sudah selesai mandi?" tanyanya sembari berjongkok menyamakan tinggi dengan bocah yang kini tengah memamerkan deretan giginya.
"Dah, sama Mbak Kembang," jawabnya sambil mengulurkan kedua tangan. "Nda, gendong. Gendong, Nda."
Asoka kembali mengembuskan napas panjang. "Leon makan sama Mbak Kembang dulu, ya. Nanti Bunda gendong."
Leon menggeleng berulang sambil menghentak-hentak. "Gendong sekarang! Leon mau maem sama Bunda. Maem sambil gendong!"
Kembang menarik tangan Leon. "Mas, ayo, maem sama Mbak Kembang aja. Maem di taman depan, sambil lihat air mancur, yuk."
Amukan Leon semakin menjadi. Bahkan kini tubuhnya sudah bergulung-gulung di lantai sambil menangis histeris.
Asoka mengode agar Kembang melepaskan Leon. "Leon," panggil Asoka pelan tapi tegas. "Leon masih mau nangis? Oke, Bunda tunggu sampai hitungan ke sepuluh."
Asoka mulai menghitung sembari tetap berjongkok di dekat kaki Leon. Hingga hitungan ke empat, Leon masih tantrum.
"Leon mau maem sambil digendong Bunda!" teriaknya lagi.
"Selesaikan dulu marahnya, baru minta ke Bunda yang baik. Bunda nggak bisa dengar kalau Leon ngomong sambil marah dan nangis." Asoka kembali melanjutkan hitungannya.
Perlahan amukan Leon mereda. Dan tepat di hitungan ke delapan, tangisnya berhenti. "Leon mau maem sambil digendong Bunda," ucapnya di tengah isak yang tersisa.
"Nangisnya sudah?" Pertanyaan Asoka ditanggapi dengan anggukan. "Sekarang, Leon duduk dulu, yuk, biar Bunda bisa denger suaranya."
Leon menuruti perintah Asoka sembari mengelap sisa air mata di wajah.
"Nah, Leon tadi minta apa ke Bunda?"
"Leon minta maem sambil digendong sama Bunda," ulang Leon kali ini dengan lebih tenang.
"Gimana kalau Bunda temani Leon makan di meja makan, setelah itu kita bisa main puzzle?" tawar Asoka.
Leon tampak terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia mengangguk. Dalam hitungan detik, kaki mungil itu telah meninggalkan Asoka yang masih berjongkok.
Tidak mudah menghadapi Leon. Asoka yang notabene seorang psikolog pun masih tetap kewalahan. Sedari bayi, Asoka sudah melihat ada yang berbeda dalam diri Leon. Dan semakin menguat saat usia Leon menginjak satu tahun.
Attension deficit hyperactivity disorder adalah diagnosis yang ditegakkan pada Leon. Butuh kesabaran dan penanganan yang tepat agar gangguan perilaku Leon membaik. Namun, terkadang terapi perilaku yang diberikan Asoka disalahpahami oleh orang lain. Asoka dinilai terlalu sadis dan tidak menyayangi Leon. Bahkan Asoka dianggap membenci Leon.
Tidak. Tentu saja Asoka menyayangi Leon. Asoka selalu berusaha memberi yang terbaik untuk Leon, semampu yang bisa ia berikan. Walau Asoka pun tak memungkiri bahwa perhatian dan kasih sayangnya hanya seperti seorang terapis kepada kliennya.
Hanya Naga yang paling bisa mengendalikan bocah itu. Semarah apa pun Leon, jika sudah bertemu Naga, pasti emosinya akan mereda. Asoka terkadang menggoda suaminya untuk menggantikan dirinya di klinik.
"Wortelnya dimakan, yuk, tubuh Leon butuh vitamin dari wortel." Asoka berusaha menyuapkan sayuran. Namun, bukannya dibuka, malah semakin ditutup rapat.
"Wortel nggak enak, Nda. Leon maunya ayam."
"Ayam sama wortel, ya." Asoka menyendok secuil ayam dan wortel.
Leon menggeleng kencang.
"Dari tadi pagi Mas Leon cuma mau makan sama ayam, Bu. Sayurnya dilepeh semua. Sudah saya bujuk, tetep nggak mau," jelas Kembang yang berdiri di belakang kursi makan Leon.
Leon memang susah makan sayur, mungkin karena sedari MPASI sudah dibiasakan makan-makanan berasa gurih, sehingga kini rasa makanan hambar sulit diterima lidahnya.
"Tadinya ayam sama sayurnya mau saya masak jadi nugget, seperti kata Bu Asoka, tapi Bu Yasmine minta ayamnya disemur biar Mas Leon makannya lahap. Ya, sudah, sayurnya saya tumis biasa," imbuh Semanggi—asisten rumah tangga Asoka—yang tengah menata lauk pauk di meja makan.
Asoka kembali menghela nafas panjang. Ia berusaha menyabarkan diri, rasa-rasanya sudah malas untuk meladeni keegoisan Yasmine. Bukan sekali dua kali ia dan Yasmine berbeda pendapat. Dari pada memancing keributan, Asoka lebih memilih untuk diam.
"Ayo, Leon, makannya dilanjutin." Asoka memotong kecil-kecil sayur hingga seperti lumatan sayur, lalu menyelipkan di tengah-tengah sendok dan ditumpuk dengan potongan ayam.
"Aaak .... enak, Nda. Ayamnya enak," ucap Leon dengan mulut penuh nasi.
"Mbak Anggi, tolong ambilkan piring untuk saya."
"Bu Asoka, mau makan sekarang?" tanya Semanggi sembari menyerahkan piring.
"Enggak. Cuma mau makan sayurnya saja." Asoka menyendok tumis sayur ke piringnya.
Leon melihat Asoka memakan sesendok penuh sayuran. "Enak, Nda?"
"Enak, dong. Wortelnya manis. Brokolinya sedaaap. Apalagi jamurnya ... hmmm, Bunda suka sekali. Masakan Mbak Anggi selalu enak." Asoka tidak berusaha untuk membujuk Leon secara frontal. Namun, lebih memberi contoh dan bukti bahwa sayur itu enak.
"Selain enak, sayur juga bergizi, lho. Leon, mau tahu nggak kenapa badan kita butuh sayur?" Asoka menyuapkan sesendok sayuran lagi ke Leon.
Tanpa sadar Leon membuka mulutnya, mengangguk sambil mengunyah sayur.
Asoka tersenyum. "Sayuran itu ada seratnya yang bagus banget untuk perut Leon. Kalau kita nggak makan serat, nanti kalau pup pasti sakit. Terus, kalau kita nggak makan sayur, kulit kita jadi kerut-kerut."
"Kayak Eyang, ya, Nda?" potong Leon. "Eyang nggak suka makan sayur, ya, Nda?"
Asoka tertawa sembari mengelus rambut Leon. "Eyang suka makan sayur kok. Kulit Eyang keriput, karena Eyang sudah tua, Sayang."
"Leon nggak mau tua kayak Eyang." Leon menepuk-nepuk pipinya. "Leon nggak mau pipinya merosot kayak Eyang."
Asoka kembali tertawa. Tanpa bujuk rayu yang malah membuat Leon memberontak, tanpa disadari sepiring sayur pun hampir tandas.
"Leon, Mama pulang!"
"Mama! Mama pulang, Nda!" Leon berlari meninggalkan Asoka di meja makan demi memeluk Yasmine.
Asoka mengembuskan napas panjang. Perlahan tawa di bibirnya pun memudar. Diletakkannya piring makan Leon, karena ia tahu betul kalau bocah itu tak akan mau lagi disuapi olehnya.
***
Hai, gais, aku publish part 2-nya Asoka ....
Ayo dooong, vote dan komentnya ....
Semoga banyak yang suka sama ceritaku kali ini. Secara 2 cerita yang lalu kan lebih berbau psikologi gitu. Yah, walau sebenernya di IL pun tetep gak lepas dari tema psikologi ya.
Pokoknya, aku tunggu kritik dan sarannya, ya ....
Solo, 21 November 2020
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top