❣IL 1❣

"Astaga, Ka! Ngapain lo di sana?"

Tanpa menunduk pun gadis yang tengah duduk di dalam rumah pohon mengetahui siapa yang berteriak dari bawah. Protes dari sahabatnya tak juga ia tanggapi. Gadis bersurai ekor kuda itu tetap melanjutkan aktivitasnya, mengisap sebatang rokok yang terselip di antara telunjuk dan jari tengah dengan pandangan lurus ke depan. Netranya tertumbuk pada pepohonan rindang yang bergoyang tertiup angin.

Rumah kayu yang bertengger di beringin belakang rumah Ilalang adalah tempat favorit Asoka di saat pikirannya sedang ruwet. Terlebih di sore hari seperti ini, pemandangan matahari terbenam membuat hatinya terasa lebih tenang.

"Ka, lo ngerokok?" Mata Ilalang seolah mau meloncat dari singgasananya ketika melihat Asoka mengembuskan asap rokok. "Lo gila! Gimana kalo Bang Naga tahu? Parah lo, Ka!"

Ilalang merebut batang rokok yang sudah separuh diisap Asoka, lalu membuangnya jauh-jauh. Asoka menghela napas panjang, tapi rasa sesak yang dirasakannya masih saja bercokol di dada. Asoka menekuk kedua lutut, memeluk tungkai, lalu membenamkan wajah di antara tempurungnya.

"Asoka Sunduz Raihanun, lo ini kenapa? Bukannya lo baru dipingit sama Bunda? Kenapa lo malah minggat macem ini? Lo memang gue kasih kunci rumah, tapi bukan buat ajang melarikan diri 'gini, Ka. Terus kelakuan lo ini udah kelewat batas. Sejak kapan lo ngerokok? Lo ngambil rokok gue?" cecar Ilalang sembari mencari posisi duduk yang enak.

"Baru juga nyoba sekali ini, La. Lagian aku cuma minta sebatang doang. Gitu aja ngamuk. Pusing banget, kepalaku kaya mau pecah," sahut Asoka lirih.

Terdengar helaan napas panjang dari Ilalang. "Gue nggak habis pikir. Asoka yang gue kenal, selalu berpikir pake logika. Bukannya malah lari ke rokok kayak 'gini. Kalau Ayah, Bunda atau Bang Naga tahu lo ngerokok di rumah gue, bisa mampus gue. Awas kalo lo berani nyentuh rokok lagi!" ancamnya serius. "Lo berantem sama Bang Naga?" tanyanya kemudian.

"Mana pernah Bang Naga marah sama aku. Kamu tahu sendiri, dia itu sabar banget." Asoka merebahkan tubuh di lantai rumah pohon, dijadikannya kedua telapak tangan sebagai bantal. Ditatapnya langit-langit kayu yang penuh dengan tempelan kertas dengan berbagai catatan kecilnya dan Ilalang.

Ilalang menyusul berbaring di sampingnya. "Lo udah kasih kabar ke Bunda?"

Asoka menggeleng. "Aku nggak bawa HP. Sengaja kutinggal di Panti."

"Ah, lo parah. Pasti Bunda bakal ngehubungi gue, terus gue kudu bilang—"

Terdengar alunan heavy metal dari kantong celana Ilalang. "Nah, lho. Ini pasti Bunda yang nelepon," dengkusnya. Dia mengeluarkan ponsel, lalu menyodorkannya pada Asoka tanpa melihat layarnya. "Lo yang angkat, gih!"

Asoka menggeleng.

"Yaelah, Ka." Dering telepon terhenti, tapi sedetik kemudian ponsel Ilalang kembali berteriak kencang. Ilalang menatap layar ponselnya. "Bang Naga yang nelepon. Gue musti jawab gimana?"

Lagi-lagi Asoka menghela napas panjang. "Terserah. Kamu 'kan jago bikin alasan."

Ilalang bangkit sambil melotot pada Asoka. "Assalamu'alaikum, Bang."

Asoka memejamkan mata sejenak. Baru sedetik, bahunya digoyang kasar oleh Ilalang. Mau tak mau dia membuka mata, bangkit dan kembali memfokuskan diri pada Ilalang.

"Maaf, Bang, tadi gue baru ke WC. Iya, nih, Asoka ada di sini." Ilalang menjauhkan ponsel dari telinganya, lalu berbisik pada Asoka, "Dia mau ngomong sama lo."

Asoka menggeleng.

"Duh, maaf, Bang. Asoka baru nggak bisa jawab telepon. Dia baru maskeran, ntar kalau dipake buat ngomong bisa pecah dah tuh masker." Ilalang tertawa sumbang sambil menendang kaki Asoka kasar.

"Tenang aja, Bang. Asoka aman di rumah gue. Ya, kan, wajar ... namanya juga orang mau kawin, Bang. Pasti pengin kelihatan kinclong. Harusnya Abang seneng dong."

Asoka memutar bola mata, jengah dengan alasan Ilalang yang terlalu mengada-ada.

"Iye, Bang, iye. Ntar Asoka gue anter balik, orang masih sore gini. Tenang ajalah, Bang, sebelum tengah malem gue janji mulangin dia. Pokoknya serahin calon manten ke gue, bakal gue kasih tips membahagiakan suami."

Asoka mencubit paha kanan Ilalang kuat-kuat, hingga gadis berambut lurus sebahu itu menjerit kesakitan. Kurang ajar si Ilalang, membuat Asoka malu.

"Udah, Abang tenang aja, nyantai di rumah. Asoka nggak kenapa-kenapa, Bang. Bilang deh ke Bunda, biar beliau nggak cemas," ucapnya sesaat sebelum memutus sambungan telepon.

"Bang Naga bilang apa, La?" tanya Asoka.

"Biasa, nyuruh lo hati-hati." Ilalang menyandarkan punggung ke dinding rumah pohon. "Sebenernya ada masalah apa, Ka? Lo belum siap kawin?"

Asoka mengembuskan napas panjang. "Kurang lebih."

Menikah di usia sembilan belas tahun tidak masuk dalam rencana hidup Asoka. Terlebih dengan Naga, orang yang dianggap seperti kakak lelakinya sendiri.

"Njir! Dua hari lagi lo kawin, masih bisa bilang belum siap? Apa, sih, yang kurang dari Bang Naga 'mpe lo kagak yakin 'gini?"

"Dia nggak ada kurangnya. Sempurna. Akunya aja yang kurang ajar. Udah dikasih jodoh sesempurna Bang Naga, tapi masih belum bisa nerima dengan ikhlas."

"Jangan-jangan lo nggak cinta sama dia? Ngaku, deh, Ka!" Ilalang menatap Asoka miring, "Jangan bilang kalo hati lo itu ikut terbang ke Melbourne." Ilalang memajukan tubuhnya ke arah Asoka sembari melotot dengan wajah tak percaya.

Asoka terdiam. Tidak membantah pun tidak mengiyakan pernyataannya.

"Astaga! Gila lo! Terus kenapa lo mau dikawinin sama Bang Naga?" Suara Ilalang naik satu oktaf.

Asoka mengerutkan dahi, setengah memicing pada Ilalang. "Apa kamu pikir, aku bisa nolak? Aku nggak punya hak untuk nolak permintaan Ayah dan Bunda, La. Siapa, sih, aku ini? Cuma anak yang dibuang sama orang tuanya, yang kebetulan dipungut sama Bunda, trus dirawat di pantinya. Kalau aku nggak diasuh Bunda, bukan nggak mungkin saat ini aku udah mati di jalanan. Kalau kayak gitu, aku punya hak apa untuk nolak?" Emosi Asoka sedikit tersulut dengan pertanyaan Ilalang yang seolah menyalahkannya.

"Sori, Ka. Maksud gue bukan kayak 'gitu. Gue cuma nggak ingin lo terjebak dalam pernikahan tanpa cinta. Lo tahu sendiri, bokap nyokap gue cerai gara-gara nikah nggak pake cinta. Mereka korban perjodohan dan akhirnya setelah ada gue, mereka baru nemuin cinta masing-masing. Gue nggak mau anak-anak lo ngalamin nasib kek gue."

Asoka memicing sejenak, menghalau bayangan buruk akan masa depan pernikahannya dengan Naga. Memikirkan akan sebuah perceraian membuat bulu kuduknya meremang. Asoka mengusap tengkuk lalu memijat perlahan pelipis guna mengendorkan syaraf yang mulai tegang dan berdenyut.

"Aku juga nggak mau anak-anakku nanti nggak bisa merasakan kasih sayang orang tua secara lengkap, La. Sama sekali nggak mau. Makanya, bagaimana pun caranya aku harus bisa mempertahankan pernikahanku kelak. Sedari awal menyetujui permintaan Ayah, aku yakin bakal bisa mencintai Bang Naga." Asoka termenung sejenak.

"Semua yang ada dalam diri Bang Naga sangat mudah untuk dicintai. Bang Naga itu sosok suami impian, La. Kamu tahu sendiri 'kan, gimana cewek-cewek ngejar-ngejar Bang Naga. Dia itu tipe lelaki penyayang, dewasa bertanggung jawab, sabar, walau sedikit over protectif, tapi dia jelas bisa jadi imam yang baik. Tapi—"

"Tapi masalahnya, hati lo terlanjur berkiblat ke orang lain." Ilalang memutus ucapan Asoka sembari memutar kedua bola matanya.

"Aku tahu, aku salah. Aku udah mengkhianati kepercayaan Bunda."

"Ka, gue nggak bilang kalau lo berkhianat atau apalah itu namanya. Lagian harusnya lo ngerasa berkhianat ke Bang Naga, bukan ke Bunda. Ah, sudahlah. Apapun itu, yang gue tekankan di sini, lo bakal memulai sebuah rumah tangga dengan cara memaksakan diri. Dan itu nggak oke banget. Mumpung masih ada waktu, pikirin lagi. Lo nggak bisa bahagia kalo kayak 'gini caranya. Ini masa depanmu, lho, Ka."

Asoka memandang sinar jingga di ufuk barat. "Aku nggak bakal nunda atau membatalkan pernikahanku, La. Aku nggak bisa lihat Ayah Bunda kecewa. Kebahagiaanku nggak ada artinya jika dibandingkan dengan senyum Ayah dan Bunda. Jangankan masa depan, nyawaku pun akan kuberikan demi mereka."

"Astaga, Ka! Lo udah gila. Jadi lo tetep mau nikah tanpa dasar cinta?" Ilalang menggeleng berulang kali.

"Aku yakin bisa mencintai Bang Naga!" ucap Asoka tegas. Ia tahu, lelaki yang terpaut lima tahun dengannya itu mencintainya. "Lagian katamu lebih enak dicintai daripada mencintai, La."

Mereka terdiam cukup lama, hingga dengkusan Ilalang memecah kesunyian yang tercipta.

"Asoka ... Asoka, gue nggak habis pikir. Kok bisa, sih, lo suka sama cowok berandalan itu? Kalo gue, jelas milih Bang Naga yang bening dan dewasa."

Asoka tersenyum miring. "Iya, sih, kalau dipikir-pikir, jelas dia nggak ada apa-apanya kalo dibandingin Bang Naga. Dia, kan, item. Sudah gitu, orangnya selengekan. Dia juga iseng, sering banget ngejahilin kita berdua. Dia juga jarang bisa serius, kalau diajak ngobrol sering bercanda. Kalau ngobrol sama dia, bawaannya ketawa mulu."

"Tapi lo nyaman sama dia," tambah Ilalang cepat dan tepat sasaran.

"Aku juga nyaman sama Bang Naga, La. Sejak aku tinggal di Mentari Jingga, Bang Naga yang selalu melindungiku. Saat aku sakit, Ayah dan Bunda yang memperhatikanku, menyuapi dan merawat sampai aku sembuh. Merekalah rumahku."

"Mereka memang rumah lo ... sekarang, tapi bukan yang lo harapkan jadi rumah di masa depan."

Asoka melirik Ilalang sambil memonyongkan bibir. "Ngobrol sama kamu itu bikin tambah ruwet! Kasih solusi, kek."

"Lhah, gue bisa apa coba? Masalah hati, gue nggak bisa ikut campur. Nggak ada yang bisa ngerubah perasaan lo, selain diri lo sendiri. Usaha, Ka! Tendang cowok selengekan itu dari hati lo."

"Aku juga udah berusaha, La. Sejak dia mutusin untuk kuliah di Australia, aku udah berusaha ngubur perasaanku."

"Ya, berarti lobang yang lo gali kurang dalem. Gitu aja kok repot."

Asoka menoyor kepala Ilalang dengan gemas. Walau sebenarnya apa yang dia katakan ada benarnya. Asoka kurang bersungguh-sungguh untuk menghapus sesosok lelaki berkulit coklat itu dari hatinya. Asoka masih terlalu sering menggali kuburan cintanya, lalu menimang dan memeluknya kembali.

"Sejak kapan, sih, lo suka sama dia? Aneh aja gitu, kok gue baru sadar sekarang," tanya Ilalang penuh keheranan.

"Kapan?" Asoka membeo pertanyaan Ilalang dan terdiam cukup lama. "Nggak tahu, La. Aku bahkan nggak pernah nyangka, dia bisa mengambil alih kepemilikan atas hatiku sedemikian parah. Aku juga nggak tahu kenapa bisa menjatuhkan hati ke dia. Padahal jelas-jelas aku bakal patah hati. Padahal aku sadar, perbedaan kami terlalu jauh. Dan yang jelas, dia nggak pernah menganggapku lebih dari seorang teman. Aku bego banget, ya, La." Air mata Asoka telah menggenang tanpa bisa dicegah.

Ilalang memajukan tubuhnya, lalu memeluk bahu Asoka sembari mengusap punggungnya berulang kali. "Ssst .... Jangan ngomong 'gitu, Ka. Kalo lo bego terus gue apaan? Otak tiarap?"

Asoka mendorong bahu Ilalang sambil tersenyum. "Ini nih yang bikin aku susah ngelupain dia. Kamu sama dia itu sama persis, selalu bisa bikin aku ketawa. Dia juga gitu, kan, La. Dia selalu tahu kalau aku sedih dan dalam sedetik dia bisa bikin aku senyum. Kamu inget waktu aku dihukum Bunda gara-gara pulang kemaleman 'kan? Waktu itu aku sedih banget, kecewa pada diriku sendiri karena udah ngecewain Bunda. Kamu inget 'kan, yang bikin aku semangat lagi cuma dia? Kamu aja gagal, La, cuma dia." Lagi-lagi bendungan air mata Asoka jebol.

"Lo jangan kayak 'gini, Ka." Ilalang kembali memeluk sahabatnya erat. "Lo harus kuat. Lupain dia. Inget! Dua hari lagi lo kawin. Gimana ceritanya lo kawin sama Bang Naga, tapi hati lo masih nyangkut di negeri antah berantah."

"Iya, La, aku tahu," ucap Asoka di tengah isak tangis, "tapi ... biarin kali ini aja aku nangis. Aku janji ini terakhir kalinya aku nginget-nginget dia. Kemarin-kemarin aku masih bisa sok tegar, tapi begitu mendekati hari pernikahan, aku jadi sadar kalau udah nggak bisa mengharapkan perhatian darinya lagi. Aku harus menjauh dari dia. Sudah nggak boleh ada lagi ada sosok cowok lain di hatiku, dan satu-satunya lelaki yang ada di hidupku cuma Bang Naga, calon suamiku. Nggak akan ada lagi laki-laki lain. Itu yang bikin aku hancur."

Asoka menghela napas panjang. Berat rasanya mengatakan hal yang bertolak belakang dengan isi hatinya. Namun, dia tetap harus melakukannya. Rasanya memang tidak semudah membalik telapak tangan, karena enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencintai seseorang. Nama, sosok dan kepribadian cinta pertamanya telah terpatri di lubuk hati Asoka begitu dalam. Bahkan jika dicabut pun, rasa-rasanya tetap akan berbekas. Namun, Asoka sadar, dia tidak bisa membiarkan lelaki itu mendiami hatinya lebih lama lagi.

"Bantuin aku melupakan dia, La," pinta Asoka lirih. "Aku nggak yakin bisa kalau sendirian."

Ilalang memberi jarak di antara mereka, memegang kedua bahu Asoka sembari menatapnya. "Gue bantuin lo. Apa pun caranya."

"Bantu aku mengusir dia, ya. Jangan biarkan aku teringat padanya. Larang aku untuk menghubungi, memberi kabar atau pun membalas telepon dan SMS-nya. Bantuin aku untuk memutus komunikasi kami, La."

"Segitunya, Ka? Dia sahabat kita, lho." Ilalang melepas pegangannya di bahu Asoka.

Asoka memutar bola mata. "La, aku bingung sama kamu. Tadi nyuruh ngelupain dia. Giliran aku mau berusaha lebih keras, eh, malah dibantah."

"Sori, Ka," Ilalang meringis, "kalo menurut lo cara itu yang terbaik, gue ngikut aja. Gue bakal membatasi komunikasi gue sama dia juga."

"Lhah, kenapa kamu jadi ikut-ikutan aku, La?"

"Lo tahu sendiri, mulut gue ini kadang nggak ada remnya. Gue khawatir keceplosan ngasih informasi nggak penting tentang dia. Pokoknya gue mau lo lupain tuh kunyuk, atau lo batalin kawinan lo itu." Ilalang mendorong dahi Asoka dengan ujung telunjuknya perlahan. "Satu lagi. Gak ada ceritanya gue denger lo selingkuh, ya, Ka. Gue bakal ngebenci lo sampe ke akar-akarnya kalo lo sampe selingkuh."

"Sebrengsek-brengseknya aku nanti, aku nggak bakal mengkhianati Bang Naga. Seperti apa pun kehidupan rumah tanggaku nanti, aku janji akan terus memegang teguh komitmen yang kuucapkan. Aku akan berusaha jadi istri yang terbaik baginya, karena Bang Naga adalah masa depanku. Demi Ayah, Bunda, dan semua orang yang aku sayang."

Ilalang meremas telapak tangan Asoka sembari tersenyum. Asoka memalingkan wajah menatap langit malam yang terhampar di hadapannya. Dipicingkan matanya dan menghela napas panjang.

Terima kasih atas persahabatan yang kamu berikan padaku. Terima kasih akan hari-hari penuh tawa. Terima kasih atas segala perhatian yang kamu beri selama ini. Terima kasih, maaf, dan selamat tinggal.

***

Halloooow ....
Anyeonghaseyo ....

Cerita baru, Gais ....
Akhirnya pecah telor juga ....

Pliiis, vote n koment yaaa, biar tambah semangat nulisnya ....

Solo, 20 November 2020

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top