🏫 Student Exchange

Genre:
VAMPIRE - TEEN FICTION

[Cerita ini juga pernah dipublikasikan di akun NPC2301 dalam work berjudul "GenFest 2023: Vampire x Teen Fiction"]

***

Ritme kehidupan para vampir ternyata terlalu berat untuk diikuti manusia biasa sepertiku. Padahal baru sebulan di sini, tapi sepertinya jam biologis tubuhku sudah kacau sekacau-kacaunya.

Jam pelajaran dimulai setelah matahari terbenam. Di saat orang-orang tengah terlelap ditemani mimpi indah, aku masih harus berkutat dengan "Vampirologi" yang buku panduannya lebih cocok dijadikan bantal. Tepat pukul 2 dini hari, guru mata pelajaran itu meninggalkan kelas dan dengan senang hati segera kurebahkan kepala di atas meja.

Untuk yang kesekian kalinya, aku menyesali keputusanku mengikuti program pertukaran pelajar ini. Tadinya aku tidak termasuk dalam daftar kontingen, tapi salah satu temanku mengalami kecelakaan dan aku yang berada di posisi cadangan langsung maju untuk menggantikannya. Oleh karenanya aku harus menjalani kehidupan bersama para vampir di SMA St. Lazarus selama satu tahun ajaran.

Aku sudah nyaris terlelap saat seseorang menaruh sesuatu di atas meja. Sebuah kopi kalengan. Pelakunya ternyata cowok tinggi berambut kemerahan yang sedang berdiri di sebelahku.

"Aku tahu kamu butuh itu." Sedikit kekhawatiran tersirat di sepasang matanya yang beriris merah.

"Sudah kubilang, kamu nggak perlu repot-repot." Belakangan ini, Alaric memang sering melakukannya. Mungkin itu salah satu usahanya sebagai ketua OSIS--merangkap teman sekelas--untuk membuatku nyaman, tapi jujur saja, aku sedikit terbebani. Kupandangi lagi kopi tersebut. "Tapi terima kasih."

Bagaimana pun aku tidak berani menolaknya. Apalagi dia salah satu dari sedikit vampir yang memperlakukanku dengan baik. Saat ini aku bisa merasakan tatapan sinis siswa lain yang tertuju pada kami. Namun, tidak apa-apa. Masih ada cukup banyak waktu untuk menjalin hubungan baik dengan semuanya.

"Sama-sama."

Alaric melangkah keluar kelas. Sepertinya ke kantin. Ah… membayangkannya saja perutku mual. Sebelum pikiranku berkelana ke menu macam apa yang disantap Alaric di sana, aku meraih kopi tersebut dan menyimpannya di tas. Sambil berharap tidak ada lagi gangguan, kutelungkupkan kepala di meja. Jam istirahat yang cuma 30 menit ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Pelajaran dibubarkan saat subuh. Tepat setelah matahari terbit, sekolah berasrama berukuran ratusan hektar itu berubah senyap. Hampir semua penghuninya tertidur. Namun, tidak denganku. Otak dan mataku berteriak minta diistirahatkan, tapi tubuhku menolak diam saat matahari jelas-jelas menampakkan wajah.

Aku selalu mengawali pagi di perpustakaan--salah satu tempat di St. Lazarus yang buka 24 jam--lalu duduk di samping jendela yang mengarah ke timur. Petugas perpustakaan mengizinkanku membuka jendela dan dengan senang hati aku akan duduk di sana berjam-jam sambil bermandikan cahaya matahari.

Saat tengah memandang ke luar jendela, aku melihat Kevin--salah satu teman manusiaku--sedang mengobrol dengan seorang vampir. Mereka berada di bawah bayangan pepohonan. Aku terperanjat saat tiba-tiba saja Kevin melayangkan pukulan dan membuat vampir tersebut terhempas menghantam batang pohon.

Tanpa pikir panjang, aku keluar perpustakaan dan berlari ke tempat mereka. Sesampainya di sana, Kevin masih terus melayangkan serangan.

"Kevin!" Aku berteriak kalut. Vampir itu tampak mengenaskan. Wajahnya lebam dan gagang kacamatanya patah dengan satu lensa hilang entah ke mana. "Berhenti! Kita bisa kena masalah!"

Dewan sekolah tidak akan membiarkan ini. Kami datang dalam damai. Sejak awal, pertukaran pelajar ini dilakukan untuk mempererat hubungan antara manusia dan vampir. Setelah perang berkepanjangan, kedua bangsa ini akhirnya bisa hidup berdampingan. Pertikaian dan diskriminasi memang terus bermunculan, tetapi sejauh ini masih bisa ditekan agar tidak berujung ke perang selanjutnya.

Pertukaran pelajar ini adalah agenda rutin yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Setiap tahunnya, 10 siswa dikirimkan untuk melaksanakan studi di teritorial bangsa lain. Di sana diharapkan mereka dapat saling mempelajari budaya, menjalin persahabatan dan komunikasi, serta hidup berdampingan dalam harmoni.

Dan perbuatan Kevin ini berpotensi mengawali perang dunia yang baru.

"Ellen." Kevin tersenyum tipis padaku. Tangannya masih mencengkeram kerah seragam si vampir. "Kamu di pihakku, kan?"

"Apa?"

"Tolong tutup mulut. Aku tahu kamu juga benci mereka."

Kevin kembali melanjutkan aksinya. Selama sepersekian detik, tatapanku berserobok dengan mata vampir malang itu. Keputusasaan terpampang gamblang di sana. Sementara itu, Kevin terus memukul sambil sesekali memaki tentang betapa kotor dan menjijikkannya para penghisap darah. Terakhir, Kevin menyeret vampir tersebut ke bawah cahaya matahari. Aku semakin histeris menyuruhnya berhenti.

Manusia memang cenderung waspada terhadap sesuatu yang menurutnya asing dan mengancam. Bagi kami, vampir adalah entitas yang berbahaya. Sejarah berulang kali mencatatkan hal-hal mengerikan yang mereka lakukan. Mereka memang tidak pernah melakukan hal aneh selama beberapa puluh tahun terakhir, bahkan konon katanya mereka tidak lagi menghisap darah manusia. Namun, tidak ada yang tahu sampai kapan masa-masa damai ini akan bertahan.

Aku mengerti perasaan Kevin, tapi ini tetap tidak bisa dibenarkan.

"HENTIKAN!"

Beberapa vampir tergopoh-gopoh ke arah kami. Sebagian menghampiri si vampir yang terluka, lainnya memegangi Kevin. Aku menelan ludah berat dan mulai berkeringat dingin. Rasanya perang sudah tepat di depan mata. Dengan panik, aku melirik Kevin. Cowok itu entah kenapa tampak tenang.

"Apa-apaan ini?" Teriak salah satu guru. Dia mengamati kondisi vampir yang dipukuli Kevin. "Silas!"

Silas ternyata pingsan.

"Kevin. Ellen. Apa yang terjadi?"

Alaric juga ada di sana. Dia melihatku dan Kevin bergantian. Hatiku agak sakit saat salah satu vampir yang baik padaku justru memberiku tatapan curiga.

"Itu salahnya!" Kevin berteriak lantang. "Dia melecehkan Ellen. Aku hanya memberinya pelajaran!"

Apa?

Dia bilang apa?

Belum sempat aku bereaksi, perhatian semua orang tertuju padaku. Sontak wajahku memanas dan jantungku berpacu. Marah dan malu bercampur menjadi satu.

Kevin melihat ke arahku. Kamu di pihakku, kan? Dia seperti sedang mengatakan itu. Kevin tampak yakin aku akan berbohong untuknya hanya karena kami sama-sama manusia.

Dasar bodoh.

Dengan tangan terkepal, aku membantah. "Bohong. Kevin sudah memukuli Silas saat aku datang."

Kevin menatapku seolah aku baru saja mengkhianati umat manusia.

Aku memang tidak begitu suka dengan vampir, tapi aku harus menunjukkan bahwa masih ada manusia yang beradab.

***

Setelah kejadian itu, aku sempat dimintai keterangan oleh pihak sekolah. Tanpa tahu apa yang akan mereka lakukan pada Kevin, aku dipersilakan keluar. Kejadian barusan benar-benar membuyarkan keinginanku untuk tidur. Dengan langkah gontai, aku kembali ke perpustakaan dan melamun.

Setelah ini apa yang akan terjadi padaku dan 8 siswa pertukaran lainnya? Seandainya kami beruntung tidak dipulangkan ke sekolah masing-masing, vampir-vampir itu pastinya tidak akan tinggal diam. Tidak menutup kemungkinan salah satu dari kamilah yang selanjutnya bernasib nahas.

"Boleh duduk di sini?"

Suara itu menyadarkanku dari lamunan. Terdengar bunyi kursi ditarik dan di seberangku Alaric duduk setelah menaruh tas beserta buku-bukunya di atas meja.

"Ya? Si-silakan. Akan kututup jendelanya." Pikiranku otomatis meliar. Apa dia akan balas dendam sekarang?

"Nggak usah." Alaric menarik tirai tebal di sampingnya hingga pertengahan meja. Secukupnya saja agar cahaya tidak mengenainya langsung. "Begini cukup."

Aku hanya diam saat dia mulai mengeluarkan laptop dan alat tulis.

"Aku nggak ganggu, kan?" tanyanya tiba-tiba. "Aku sedang kepingin begadang, tapi bosan juga kalau sendirian."

Mendengarnya, aku refleks menahan senyum. Konsep begadang di pagi hari entah kenapa agak sulit diterima logika manusiaku.

"Nggak, kok. Aku cuma lagi berjemur."

"Berjemur." Dia menelengkan kepala. "Aku lupa gimana rasanya." Setelahnya Alaric tertawa kecil, kemungkinan merasa geli dengan pemikiran itu. "Nggak tidur?"

"Nggak bisa tidur."

"Hmm, kejadian tadi memang heboh, sih."

Alaric tidak sadar bahwa aku langsung mematung saat dia menyinggung peristiwa barusan. Seolah baru teringat sesuatu, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebungkus roti isi. Sebelum aku sempat bertanya untuk apa vampir menyimpan makanan manusia, dia mengangsurkannya ke arahku.

Kupandangi roti isi tersebut ragu-ragu.

"Tenang saja. Isinya nggak aneh-aneh." Alaric membuka laptopnya tanpa melihatku. "Aku tahu selama ini kamu nggak minum kopi pemberianku. Yah, bisa dimengerti, sih. Tapi serius, aku nggak mungkin kasih kamu darah, daging mentah, atau semacamnya. Aku cukup tahu apa-apa saja yang bisa dimakan manusia."

Alaric mengucapkannya dengan santai, tapi bagiku kata-katanya sangat menohok. Kupandangi roti isi yang bergeming di tengah-tengah meja. Perlahan ada rasa bersalah yang menyeruak.

Tidak ada pembelaan diri, karena semua yang dikatakannya benar. Aku tidak pernah memakan pemberian Alaric, karena jujur saja, aku merasa tidak bisa sepenuhnya mempercayai vampir.

Mungkin itu jugalah yang dirasakan Kevin. Hanya saja dia memilih menunjukkan ketidakpercayaannya dengan cara ekstrem.

Perlahan kuambil roti isi tersebut. "Bagaimana Silas?" tanyaku ragu-ragu.

"Lukanya cukup parah, tapi dia akan baik-baik saja."

"Maafkan aku."

"Bukan salahmu." Alaric tertawa kecil. "Kamilah yang harus berterima kasih karena kamu sudah jujur."

Aku masih tidak berani mengangkat kepala saat memutuskan untuk menyantap roti isi. Lalu rasanya … seperti rasa roti isi pada umumnya. Tidak ada yang aneh.

"Yang salah akan tetap salah. Walaupun pelakunya sebangsa denganku, bukan berarti yang salah bisa berubah menjadi benar." Suaraku semakin lirih. "Tapi bagaimana nasib kami setelah ini?"

Dasar Kevin sialan. Untuk ikut pertukaran pelajar, kami harus melewati seleksi yang sangat ketat. Salah satunya adalah tes psikologi dan wawancara. Aku tidak mengerti bagaimana Kevin dan temperamennya yang buruk itu bisa lolos tes.

Sepertinya Alaric langsung paham dengan "kami" yang kumaksud. "Kesalahan satu orang tidak seharusnya ditanggung seluruh umat manusia. Jadi, jangan khawatir."

Kata-katanya cukup membuatku tenang.

"Ngomong-ngomong," Alaric mengetikkan sesuatu di laptopnya, kemudian memperlihatkan layarnya padaku. Di sana terpampang foto salah satu bangunan bersejarah ciptaan manusia. "Dari dulu aku penasaran soal ini."

Aku menyambut niatnya untuk mengubah topik pembicaraan. Akhirnya aku punya kesempatan untuk mengembalikan progran pertukaran pelajar ini ke jalan yang seharusnya, yaitu pertukaran budaya demi mempererat hubungan. Ditambah lagi, dengan sikap Alaric yang menunjukkan ketertarikan pada sesuatu yang ada di dunia manusia, entah kenapa aku merasa kami akan baik-baik saja. Selama masih ada vampir-vampir sepertinya, kurasa perang tidak akan terjadi untuk sementara waktu.

***
***
***

#behindthescene

Demi apa aku malah dapat vampir lagi??
Roda kayaknya pengin aku banting setir nulis pervampiran(?) kali ya 🫥
Tapi seenggaknya kali ini disandingkan sama genre Teen Fiction.
Masih doable lah, yaa.

Selesai ditulis: 15 Agustus 2023
Publish di Wattpad: 3 September 2023
©mutiateja

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top