🚀 Special Quest
Genre:
SPACE OPERA
[Cerita ini juga pernah dipublikasikan dalam work berjudul "Yestoday"]
***
Galaktica Academia merupakan salah satu pusat pelatihan yang dipercayai oleh hampir seluruh sektor planet dan galaksi. Kehandalannya dalam menghasilkan prajurit tangguh, pilot handal, mekanik brilian dan ilmuwan jenius sudah tersohor di seluruh penjuru alam semesta. Berbasis di sebuah kapal luar angkasa berukuran super yang mengambang di galaksi Andromeda, akademi ini menjadi tempat belajar paling dicari berkat prestise yang dimilikinya.
Hari ini pun Galaktica Academia tetap sesibuk biasanya. Berbagai sosok unik yang berasal dari berbagai tempat, hilir mudik di koridornya yang bernuansa perak keabu-abuan, terlihat fokus dengan urusan masing-masing. Semua bergerak dan bekerja serba cepat. Efiensi adalah hal yang paling diutamakan, tidak boleh ada waktu yang terbuang.
Bagi Jaxon Gunn, semua hal di kapal ini merupakan definisi sempurna dari kata 'menyesakkan'. Makhluk-makhluk di sana selalu belajar dan bekerja dalam ritme monoton yang sama. Betapa membosankannya. Membuat Jaxon lagi-lagi menyesali keputusannya menerima undangan Galaktica Academia sekitar tiga tahun yang lalu.
Untuknya, hari ini adalah hari membosankan lain yang mesti dihadapi, sampai tiba-tiba saja namanya diumumkan melalui sistem informasi kapal.
"... bagi yang namanya disebut, diharapkan segera menuju ruang kontrol utama."
"Kau berbuat kekacauan apa lagi?"
Jaxon angkat bahu dan bangkit dari kursinya. Diam-diam merasa lega karena punya alasan untuk bolos kelas Sejarah Lintas Galaksi. "Mungkin pada akhirnya aku akan dikeluarkan?" tebaknya penuh harap.
Temannya itu terbahak. Sepasang matanya yang berbentuk seperti mata kucing memandangi Jaxon dengan tatapan menyindir.
"Aku sudah membuang pemikiran itu sejak lama, Kawan. Kau selalu mengacau dan berbuat onar, tapi petinggi tidak pernah sampai mengeluarkanmu. Beri tahu aku. Bagaimana rasanya diperlalukan spesial?"
"Melelahkan," jawab Jaxon sambil menghela napas berat. "Aku hanya berharap mereka memulangkanku ke Bumi."
Tanpa menunggu balasan dari lawan bicaranya, Jaxon keluar dari ruangan dan menyusuri koridor menuju ruang kontrol. Seseorang muncul dari ujung koridor yang berlawanan, membuat Jaxon refleks menahan langkah. Orang itu ikut melakukan hal yang sama, tapi seolah tidak terjadi apa-apa, dia kembali melangkah dan berhenti di depan pintu ruang kontrol.
Jaxon menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan perjalanannya, lalu berhenti tepat di sebelah gadis yang sudah dia hindari selama seminggu terakhir.
Namanya Remi Meridian. Salah seorang kadet paling cemerlang di angkatan, serta petarung dan juga ilmuwan yang jenius. Berasal dari planet Nearon dan tipe perwira idaman pemerintah di sektor mana pun.
Sekaligus orang yang telah memperkuat tekad Jaxon untuk pulang ke Bumi.
Gadis berambut perak pendek itu tetap diam menghadap pintu ruang kontrol, sama sekali tidak melihat ke arah Jaxon. Suasana ini terasa sangat tidak mengenakkan. Seandainya dia juga tidak sedang ada keperluan di ruang kontrol, Jaxon lebih memilih untuk kabur dari sana.
Pintu yang ada di hadapan mereka bergeser membuka. Di dalam sana sudah ada lima orang petinggi akademiㅡdilihat dari seragam hitam penuh medali yang mereka kenakanㅡdan dua orang lainnya yang berseragam merah marun sepertinya dan Remi.
Salah satunya, seorang lelaki jangkung berkulit biru, menyambut seraya tersenyum tipis. Jaxon mengenalinya sebagai Volt dari planet Nector, dua tingkat di atasnya dan Remi. Lelaki yang satunya lagi adalah Radian, seangkatan dengan Volt. Tanpa bisa dikendalikan, pandangan Jaxon tertuju pada sayap hitam yang terlipat di punggung Radian. Fisik Radian seperti manusia Bumi umumnya, hanya saja dia dilengkapi dengan atribut khusus yang hanya dimiliki orang planet Aerilon. Seandainya disuruh memilih satu sosok alien yang bentuknya paling dia inginkan, Jaxon pasti akan menunjuk bangsa Aerilon tanpa ragu. Bukannya dia tidak suka jadi manusia Bumiㅡterus terang saja, di matanya tetap bangsanyalah yang terlihat paling normalㅡtapi bayangkan kalau dia juga punya sayap seperti itu. Pasti praktis sekali.
Lima petinggi itu mulai menjelaskan alasan mereka berempat dikumpulkan dan saat itulah Jaxon merasakan ada yang aneh. Sudah jelas alasan pemanggilan kali ini bukan untuk memberinya hukuman.
"... karena itu, kami utus kalian ke planet Thorin."
Jaxon langsung mengangkat tangan begitu penjelasan selesai disampaikan.
"Pasti ada kesalahan," ujarnya yakin. "Saya masih tingkat 3. Belum selayaknya mendapatkan misi khusus."
Remi juga masih tingkat 3, tapi dia seorang jenius. Tidak akan ada yang heran dia bisa terpilih. Sementara itu, Volt dan Radian memang sudah menyelesaikan banyak misi sebelumnya.
"Kenapa?" Salah seorang petinggi menatap Jaxon tenang. "Kau ingin menolak?"
Pertanyaan barusan membuktikan bahwa sejak awal dia memang terpilih untuk misi ini.
"Tidak," jawab Jaxon seraya berdiri tegap, tangan kanan terkepal di depan dada kiri. "Siap! Saya bersedia!"
Ketiga rekannya yang lain melakukan hal yang sama.
Di dalam hati, Jaxon mulai panik sendiri. Dia tidak bisa menghindar. Menolak misi sama saja dengan mencoreng nama baik planet asalnya di hadapan seluruh Galaktica Academia. Dan juga, ego membuatnya tidak bisa bilang 'tidak'. Terlebih di hadapan Remi yang sedari tadi memperhatikan lekat-lekat dengan sepasang mata tajamnya yang beriris keemasan.
***
"Jadi kita hanya perlu mengevakuasi korban kecelakaan pesawat?"
"Ya, 'hanya'."
Voltㅡyang sejak tadi fokus mengendalikan kapal bintang ukuran kecil yang tengah mereka naikiㅡtertawa sarkastis menanggapi pertanyaan Jaxon barusan.
"Ukuran Thorin 'hanya' sebesar Jupiter kok."
Radian yang duduk di samping Volt sebagai co-pilot menambahkan dan mereka berdua kompak tertawa tidak lama kemudian.
Semangat Jaxon surut seketika. Kira-kira berapa tahun yang mereka butuhkan untuk menemukan para korban di planet seraksasa itu?
"Bersiap untuk melakukan warp," celetuk Remi tiba-tiba. Kedua tangannya mengotak-atik layar plasma transparan di hadapannya. "Tujuh kali lompatan. Mulai menghitung mundur. Sepuluh. Sembilan."
Jaxon buru-buru memperkuat sabuk pengamannya. Dia sudah sering menjalani simulasi warp di akademi dan sama sekali tidak pernah terbiasa. Pertama kalinya merasakan warp, dia muntah-muntah di tempat.
Warp tujuh kali lompatan itu berakhir dalam waktu singkat. Berusaha mengabaikan perutnya yang terasa diaduk-aduk, Jaxon memperhatikan pemandangan di luar jendela. Sebuah planet raksasa dengan warna biru cerah sudah terlihat di hadapan mereka. Planet tersebut tampak seperti mutiara biru yang mengambang di tengah kegelapan. Gordon IIㅡnama kapal bintang yang mereka naikiㅡperlahan memasuki atmosfir dan masalah pun muncul.
Tidak ada tempat mendarat.
Hampir seluruh bagian Thorin ditutupi oleh perairan. Daratan di sana hanya berupa petak-petak cokelat kecil di antara biru yang mendominasi.
"Kadar sulfur dalam udara sangat tinggi." Remi kembali memberikan informasi. "Dan itu perairan yang tercipta dari hujan asam."
"Aku tidak bisa mendaratkan Gordon II." Volt memberikan kabar buruk lainnya. "Tempat pendaratan terlalu sempit."
"Kalau begitu kita bertiga yang turun." Radian melepaskan sabuk pengaman dan berdiri. "Volt akan tetap di sini untuk berjaga."
"Seandainya terjadi keadaan darurat, aku akan menteleportasikan kalian kembali ke kapal," lanjut Volt mantap.
Sebagai satu-satunya orang yang tidak punya pengalaman lapangan, Jaxon hanya bisa diam. Sekali lagi, dia mempertanyakan nasib sialnya karena didelegasikan dalam misi ini.
"Baik-baik saja, Pemula?" Volt menepuk bahunya cukup keras, membuat Jaxon tersentak. "Kudengar kau salah satu dari segelintir kadet yang mendapat undangan langsung dari akademi." Senyum makhluk berkulit biru itu berubah semakin lebar. "Kau pasti bukan orang sembarangan."
Jaxon sudah terlalu sering mendapat penilaian seperti itu. Padahal sejujurnya dia sama sekali tidak merasa memiliki sesuatu yang spesial dan menjadi perwira antariksa bukanlah mimpinya. Seandainya Ibunya tidak memaksa, Jaxon pastinya masih di Bumi saat ini, mengejar impiannya sebagai seniman.
***
Jaxon dan Remi sudah ada di atas perahu kecil yang baru saja diturunkan dari Gordon II. Setelah memastikan baju pelindung dan masker oksigen terpasang sempurna, mereka mulai menyusuri perairan Thorin. Sementara itu, Radian dengan sayap hitam lebar miliknya bertugas menyelidiki dari atas.
Betapa Jaxon iri dengan kemudahan hidup bangsa Aerilon.
"Menemukan sesuatu?"
Remi mengajaknya bicara tiba-tiba, membuat Jaxon buru-buru mengamati jam tangannya yang sudah dilengkapi pemancar. Dia menggeleng. Sejauh ini tidak ada satu pun yang tertangkap layar.
Setelah itu keadaan kembali hening. Kalau dipikir-pikir, inilih pertama kalinya mereka ditinggal berdua. Terpaksa terlibat dengan mantan kekasih memang tidak pernah mudah, bukan? Terlebih alasannya adalah karena si gadis ingin fokus pada studi. Dan bodohnya Jaxon karena mengira alasan seperti itu hanya terkenal di kalangan anak muda Bumi.
"Sejauh ini tidak ada apa pun." Suara Radian terdengar di alat komunikasi yang terhubung dengan masker oksigen. "Aku akan terbang lebih jauh ke utara."
"Di sini juga tidak ada apa pun." Remi ikut melaporkan. "Kami akan ke selatan."
Selanjutnya gadis itu melakukan hal di luar dugaan. Dia mematikan saluran komunikasinya, membuat Volt dan Radian tidak bisa ikut mendengarkan apa pun yang mereka bicarakan.
"Misi ini bohong. Tidak ada kecelakaan pesawat di sini."
Tentu saja Jaxon kaget mendengarnya.
"Petinggi memang sengaja mengirimmu ke sini. Aku tidak tahu untuk apa, tapi sepertinya mereka mengharapkan sesuatuㅡ"
"Whoa, Rem! Perlahan. Oke?"
Remi memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
"Dengar, Jax." Sepasang mata keemasan itu menatapnya tajam. "Aku tidak sengaja curi dengar. Petinggi mengharapkan sesuatu darimu dan sesuatu itu ada di planet ini."
Jaxon berusaha mengabaikan fakta bahwa mereka baru saja keceplosan memanggil menggunakan nama pendek masing-masing.
"Tapi ini pertama kalinya aku ke Thorin." Jaxon keheranan. "Mungkin kau salah dengar?"
Remi menggeleng. "Aku yakin. Karena itu aku sengaja minta dilibatkan dalam misi ini danㅡ"
Gadis itu terdiam dan membuang pandangannya ke arah lain. Sebaliknya, Jaxon berusaha keras untuk menahan senyum. Jadi Remi ada di misi ini untuk memperingatkannya? Sepertinya di sini bukan cuma Jaxon yang masih punya sisa perasaan.
"Begitulah. Jadi, tolong waspada."
Setelah mengatakannya, Remi kembali menghidupkan alat komunikasi mereka.
Kemudian, tanpa sengaja Jaxon menangkap suatu kilatan di bawah air, tepat di bawah perahu. Dia spontan menekan tombol untuk menghentikan laju perahu.
"Itu apa?" Dia mencoba melihat ke dasar air. Kilauan biru itu masih di sana, terlihat mengambang di antara cairan asam.
Remi melakukan hal yang sama, tapi dia terlihat kebingungan. "Tidak ada apa-apa."
Penasaran, Jaxon mencoba mengulurkan tangan ke dalam air. Pakaian khusus yang dia kenakan berhasil menahan asam untuk tidak langsung mengenai kulit. Tangannya berhasil menyentuh sebuah benda padat.
"Sungguh, tidak ada apaㅡ apa itu?"
Di tangan Jaxon sudah ada sebuah lempengan besi pipih berwarna keperakan. Benda tersebut memendarkan cahaya biru redup dan terasa hangat di tangannya. Di permukaannya terukir sebuah simbol bergerigi aneh, mirip gelombang laut.
"Aneh, padahal aku yakin tadi tidak ada apa-apa."
Bagaimana mungkin Remi tidak melihatnya di bawah air, padahal tadi cahayanya berpendar sangat terang.
Permukaan air di sekeliling mereka tiba-tiba bergejolak. Satu per satu, muncullah makhluk-makhluk aneh. Bentuknya menyerupai manusia, tapi sekujur tubuh mereka bersisik hijau dan ada selaput lendir di antara jari-jari.
Mereka Darya, bangsa penghuni planet Thorin.
Mereka mengeluarkan suara mendesis bersamaan, memamerkan gigi mereka yang tajam.
"Mereka bilang, kembalikan lencananya." Remi menerjemahkan. Dia memandangi Jaxon horor. "Bagaimana?"
"Apa yang terjadi?" Suara Volt terdengar di interkom.
"Kami dikepung." Jaxon bicara sepelan mungkin. "Bersiap untuk menteleportasi kami ke kapal."
"Jax!" Remi protes.
"Tidak akan kukembalikan." Jaxon kembali menatap lempengan di tangannya. Akhirnya dia ingat. Ayahnya yang menghilang 10 tahun lalu memiliki kalung dengan logo yang sama.
Seolah menyadari penolakannya untuk bekerja sama, puluhan bangsa Darya menyerbu mereka serentak. Jaxon dan Remi refleks mengeluarkan pistol laser dan menembaki mereka satu per satu. Namun, mereka seperti tidak ada habisnya.
"Volt, cepat!"
"Masih persiapan!"
Salah seorang Darya berhasil menarik lepas masker oksigen yang dikenakan Remi dan melemparnya ke lautan asam. Gadis itu terlihat berusaha keras menahan napas, pergerakannya menurun drastis. Seorang Darya berhasil melukai lengan kanannya yang memegang senjata. Tanpa pikir panjang, Jaxon melepas masker oksigen miliknya dan memakaikannya ke Remi.
Mereka masih terkepung dan daya senjata mulai habis. Makhluk setengah katak itu mulai berusaha menjatuhkan mereka dari perahu.
"Siapa duluan?" Suara Volt.
"Angkut Remi duluan."
Gadis itu memberinya tatapan protes, tapi belum sempat mengatakan apa-apa, dia sudah diteleportasi. Sekarang tinggal Jaxon sendirian di antara kerumuman bangsa Darya. Kapal tersebut akhirnya terguling, membuatnya jatuh. Dia masih berusaha menahan napas, sementara asam mulai terasa membakar wajahnya yang tidak terlindungi masker. Lempengan masih dia genggam erat-erat di tangan kiri.
Dari kejauhan, muncul sosok bersayap hitam, membuat Jaxon tersenyum lega.
***
Sementara itu, di sebuah galaksi paling ujung di alam semesta, seorang makhluk tinggi besar memandangi layar besar di hadapannya.
"Akhirnya ketemu," serunya sambil tersenyum puas. Matanya terpaku pada sebuah titik biru yang berkedip-kedip di layar. Dia segera membuat pengumuman. "Awak kapal sekalian! Tujuan kita selanjutnya! Galaktica Academia!"
***
***
***
#behindthescene
Special thanks to:
Doraemon, Power Ranger dan Marvel.
Selesai ditulis: 6 November 2019
Publish di Wattpad: 30 Maret 2024
©mutiateja
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top