🌊 Ombak Pembawa Pesan

Genre:
ROMANCE

[Side Story from "Impossible Possibility"

Cerita ini juga pernah dipublikasikan di work "Yestoday]

***

Ada sebuah kisah tentang ombak dan lautan yang dulu sering Naura dengar dari neneknya. Sebenarnya nenek punya banyak sekali persediaan cerita untuk disampaikan padanya dan juga Naufalㅡmulai dari dongeng, mitologi, hingga cerita rakyatㅡtapi yang satu itu adalah yang paling berkesan. Naura ingat dia sampai meminta nenek mengulangi kisah yang sama berulang kali. Naufal sampai mengancam akan melempar Naura ke laut saking bosannya mendengar cerita itu terus-terusan.

"Pada zaman dahulu kala, ada sepasang kekasih yang hidup bahagia di sebuah daratan."

"Noo. Jangan bilang ada takdir kejam yang memisahkan mereka!"

Syila langsung berseru protes di kalimat pembuka cerita.

"No spoiler!" tukas Naura dengan tegas.

Saat ini mereka berdua tengah bersantai di rumah pinggir pantai milik keluarga Mavendra. Hari masih pagi dan cuacanya masih belum terlalu panas untuk sekedar duduk-duduk di beranda sambil memandangi laut. Dharma dan Balqis sudah menghilang sejak subuh, palingan pergi melihat sunrise lagi. Jay masih tertidur di kamarnya dan Naura menolak kepo mengenai apa yang Rafisqi lakukan saat ini. Kejadian penamparan tadi malam masih membekas di ingatan dan dia masih belum punya nyali untuk berhadapan langsung dengan pria itu.

Tadinya Naura dan Syila hanya mengobrol tak tentu arah. Mengenai teman-teman, hobi, dan juga pekerjaan. Topik pembicaraan berpindah ke tentang keluarga Naura. Dari sanalah Syila penasaran dengan salah satu cerita nenek yang paling disukai Naura dan akhirnya memaksa untuk diceritakan.

"Soalnya cerita-cerita seperti ini pasti ending-nya bakalan tragis." Syila menghela napas berat. "But it's okay. Please go on."

"Jadi, daratan yang mereka tinggali ini dikelilingi oleh laut. Asumsikan saja itu sebuah pulau kecil. Laut di masa itu begitu tenang dan tidak berombak. Sumber dayanya melimpah dan airnya sangat bersih juga jernih. Namun, itu semua tidak dinikmati secara gratis. Setiap tahun, mesti ada penumbalan demi membuat Dewa laut tetap tenang dan kalem."

"Tuh, kaaan!"

"Nah, sekalinya Dewa marah, dia akan mengirim gelombang tinggi ke pulau. Memporak-porandakan semuanya dan membuat penduduk kehilangan tempat tinggal. Tidak hanya itu, selama setahun tidak akan ada hewan laut yang diizinkannya mendekat, membuat orang-orang di sana kelaparan berkepanjangan."

"Dewa yang egois," Syila mendecakkan lidah. "Lalu lalu?"

"Dan seperti yang sudah kak Syila duga, sepasang kekasih tadi terpaksa berpisah karena si perempuan terpilih untuk menjadi tumbal."

Naura bertepuk tangan sekali.

"Sekarang kita akan memasuki bagian favoritku!" serunya bersemangat. "Lelaki yang ditinggalkan selalu datang ke pinggir laut setiap hari. Tidak ada yang tahu nasib orang yang telah menjadi tumbal, tapi dia selalu merasa kekasihnya masih hidup di dalam laut sana. Dia mulai mengirimkan bermacam-macam benda. Bunga-bunga yang cantik, makanan kesukaan sang gadis, buku favoritnya, dan benda kesukaannya.

"Usahanya itu membuat sang Dewa luluh. Suatu hari, ombak kembali muncul dan warga mulai panik. Namun, mereka heran karena ombak yang datang ternyata jauh lebih kecil. Ombak tersebut datang susul-menyusul, menghantam pinggiran pantai bergantian. Sebuah kerang emas terdampar tepat di dekat lelaki itu. Dia mengambil dan membukanya, dan betapa kagetnya dia mendapati surat yang ternyata dari kekasihnya. Isinya: 'Aku baik-baik saja di sini. Terima kasih banyak atas semua pemberianmu. Mulai saat ini, tolong hiduplah dengan baik, untuk bagianku juga. Aku akan tetap mencintaimu dari sini. Selalu'."

Dulu mata Naura selalu berkaca-kaca tiap kali nenek sampai ke bagian itu. Baginya itu romantis dan menyakitkan di saat yang bersamaan. Mereka saling mencintai, tapi tidak bisa bersatu.

"Lelaki itu akhirnya menyadari bahwa ombak kecil adalah perwujudan dari utusan Dewa yang bertugas mengantarkan pesan. Dia buru-buru bertanya, 'Bolehkah aku menitipkan satu pesan untuk Dewa?'. Para ombak menyanggupinya, 'Tuliskan pesanmu di atas pasir dan akan kami sampaikan kepada Dewa.' Dengan jarinya pria itu mengukir sebuah pesan di atas pasir pantai. 'Kumohon jagalah belahan jiwaku'. Ombak menyapu pesan tersebut hingga lenyap dan kemudian meneruskannya ke Dewa. Tamat."

"Apa? Jadi Dewa enggak mengembalikan gadis itu ke sisinya?" Syila bertanya protes.

Naura menggeleng. "Apa yang sudah diambil nggak bisa dikembalikan. Tapi Dewa menugaskan ombak-ombak tersebut secara permanen. Mereka menjadi penyampai pesan dan penghantar do'a. Sayangnya mereka pemilih, hanya menghantarkan do'a terpilih yang sudah pasti akan dikabulkan."

"Berarti ombaknya cuma akan menyapu pesan atau do'a yang pasti dikabulkan?" Syila menghela napas dramatis. "Ternyata Naura tipe yang hopeless romantic."

Naura tidak tahan untuk tertawa. "Ceritanya tetap manis, meskipun tragis. Setidaknya mereka tahu kalau mereka akan tetap saling mencintai sebesar apa pun jarak dan perubahan yang ada."

"Tidak ada yang seperti itu di dunia ini."

Suara itu membuat Naura menoleh dan betapa kagetnya dia melihat Rafisqi berdiri bersandar di samping pintu. Sudah sejak kapan pria itu ada di sana?

"Orang yang berdekatan dan bertemu tiap hari saja bisa kehilangan rasa cinta." Satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum mencemooh. "Berani taruhan. Lelaki itu pasti akan menemukan pengganti dalam waktu singkat, sementara si perempuan akan berkenalan dengan putra duyung yang jauh lebih tampan. That's how it works."

Ingin rasanya Naura melempari Rafisqi dengan pot bunga di sampingnya.

Pria itu baru saja mengacaukan kisah favoritnya!

***

Tolong batalkan pertunanganku dengan Rafisqi.

Naura memandangi sederet kalimat yang baru saja dia tulis dengan ranting di tangannya. Setelah yakin tidak ada yang salah, dia mundur menjauh, bersiap menyambut ombak yang akanㅡ

"Ih, kenapa ombaknya enggak sampai ke sini?"

Betapa kecewanya Naura melihat ombak tersebut tidak menghapus kalimatㅡpermohonanㅡyang barusan ditulisnya. Bukannya Naura percaya dengan kisah ombak itu. Setelah menceritakan ulang cerita barusan, entah kenapa dia jadi penasaran. Sama seperti orang menghitung kancing atau pun mencabuti kuntum bunga, Naura hanya ingin memperoleh sebuah pembenaran. Mungkin hatinya akan tersugesti menjadi lebih ringan kalau melihat tulisan tersebut tersapu oleh ombak.

Belum menyerah, Naura maju semakin mendekati laut dan menuliskan kalimat yang sama. Kali ini, ombak yang datang malah jauh lebih kecil dari yang sebelumnya dan lagi-lagi tidak menyapu pasir yang ditulisinya.

Diam-diam Naura merasa bodoh karena bisa-bisanya kecewa hanya karena ombak menolak untuk menghapus permohonannya.

Namun, dia memutuskan untuk mencoba lagi, demi ketenangan batin. Kalau ombak memang tidak sampai menghapus pesannya, dia akan mencoba cara lain.

Semoga pertunanganku dan Rafisqi langgeng sampai ke pelaminan.

Betapa gelinya Naura membaca kalimat yang dia tulis sendiri. Tidak ingin melihat sederet tulisan nista itu lebih lama, dia berniat langsung melenyapkannya. Sayangnya Naura kalah cepat. Sebuah ombak datang dan menghapuskan tulisan tersebut untuknya.

"Eh, aku kan cuma bercandaaa!" Dia refleks berteriak sambil menghadap laut.

"Naura, ada apa?"

Balqis yang kebetulan ada di dekat teras berteriak ke arahnya.

"Nggak ada apa-apa kok, Mbak!" Naura balas berteriak.

Balqis hanya mengangguk, setelah itu dia tampak berkutat dengan ponsel. Beberapa saat kemudian, dia kembali berteriak memanggil Naura.

"Ra, beres-beres sekarang, ya! Kayaknya kita harus balik lebih cepat!"

Naura mengangkat tangan kanan memberi simbol 'OK'. Sebelum berlari masuk, dia menyempatkan untuk melihat ke arah laut, masih tidak terima ombak itu menghapus pesan yang salah. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk angkat bahu.

Toh, itu cuma sebuah cerita fiksi.

***

6 bulan kemudian

Waktu terus berjalan. Laut dan ombak masih tetap sama seperti biasanya.

Naura-lah yang berubah.

"Ra, no galau, please?" Della tiba-tiba saja muncul dan mengalungkan lengan ke lehernya. "Kita ke sini untuk senang-senang, loh."

"Ini caraku bersenang-senang menikmati laut, tahu!" Naura melanjutkan acara memandangi lautan luas di hadapannya.

"Jangan khawatir. Tunggu saja. Dia pasti kembali ketika dia siap."

Sudah puluhan kali Naura mendengar sahabat-sahabatnya mengatakan itu untuk membesarkan hatinya.

Tapi akan butuh berapa lama kalau dia hanya menunggu? Naura sudah lelah melakukan itu selama tiga bulan terakhir.

"Iya," tukasnya seraya tersenyum dan memutuskan untuk mengusir Della secara halus. "Katanya mau beli camilan. Sana pergi."

Sepeninggal Della, Naura mulai berjongkok di atas pasir. Sebuah batu kecil menarik perhatiannya dan dia memutuskan untuk meraih benda itu.

"Kalian pasti akan menyapu pesan yang salah lagi," sindirnya sambil menatap ke arah ombak-ombak kecil yang menghempas pantai. "Oh iya, kalian kan tidak relevan sama sekali."

Naura terkekeh pelan dan tangannya mulai bergerak menulisi pasir dengan batu di tangannya.

Aku ingin bertemu Rafisqi lagi

Belum sempat Naura membubuhkan tanda titik, sebuah ombak besar menghantamnya tiba-tiba. Sialnya lagi, Naura masih dalam posisi jongkok, membuatnya basah kuyup dari dada ke bawah.

Tapi tulisan di depannya lenyap.

Terlepas dari kondisinya yang memprihatinkan, senyuman lebar malah terukir di bibirnya.

Entah kenapa, tiba-tiba saja Naura berharap ombak itu memiliki kekuatan seperti di dalam cerita. Dia jadi ingin mempercayainya, sekali saja.

Bolehkah?

***
***
***

#behindthescene

Semacam side story cerita "Impossible Possibility". Biar nggak bingung, kejadian bagian awal cerita ini terjadi keesokan paginya setelah chapter ((15. I Hate You)). Nah, yang scene paling akhir, terjadi 2 bulan setelah ((Epilog)).

Selesai ditulis: 24 November 2019

Republish di Wattpad: 29 Maret 2024

©mutiateja

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top