🔍 Finding San

Genre:
MYSTERY – ADVENTURE

Song:
"Farewell" by 3R2

[Cerita ini juga pernah dipublikasikan di akun NPC2301 dalam work berjudul "GenFest 2020: Mystery x Adventure"]

[ I love you for eternity. Just you. Always you. ]

Sekilas saja sudah ketahuan sebesar apa rasa cintaㅡdan kebucinanㅡyang terkandung dalam kalimat di atas. Sebagian orang akan mengartikannya sebagai sesuatu yang romantis, beberapa bakalan bergidik jijik, dan sisanya mungkin beranggapan kalau pernyataan tersebut too good to be true di dunia penuh tipu muslihat ini. Normalnya aku termasuk golongan ketiga, tetapi berhubung oknum yang menulisnya adalah papaku, kuputuskan untuk murtad menjadi golongan kedua. Lalu begitu mengetahui bahwa kalimat penuh sakarin itu bukan ditujukan untuk Mama, yang muncul di pikiranku cuma satu.

Temukan pelakor itu.

"Katemu?"

Aku menggeleng. Database alumni di hadapanku nyaris tidak membantu. Sudah sejak tadi aku berkutat meneliti halaman per halaman, tapi titik terang tidak kunjung kutemukan.

"Bapak benar-benar tidak tahu mantan pacarnya Papa?" tanyaku putus asa.

"Saya tidak mungkin mengurusi percintaan tiap siswa." Pria tua di sampingku tertawa. "Apalagi sudah 20 tahun lebih papamu lulus dari sini."

Tidak banyak petunjuk mengenai sosok misteriusㅡyang dicintai selamanya oleh Papaㅡini. Aku hanya tahu dia dipanggil "San". Kukira bisa menemukannya dengan mengecek data alumni di sekolah lamanya Papa, tetapi ternyata tidak juga.

Santi. Sandra. Sanni. Sandjani. Krisan. Hasannah.

Siswi yang bisa dipanggil "San" ternyata bejibun. Angkatan Papa bahkan punya dua Sandra dan tiga Santi.

Akhirnya aku mengumpulkan semua nama yang mengandung unsur "San" untuk nanti kucek satu per satu. Untuk berjaga-jaga, aku juga mengantongi nama-nama seperti: Sandy, Ihsan, dan Hasan. Aku tidak bermaksud menambah prasangka buruk, but just in case.

"Semoga titipan papamu segera tersampaikan." Si bapak pengurus tata usaha menambahkan. "Sekali lagi, saya turut berduka cita."

Pergerakan tangankuㅡyang tengah menyalin nama-nama tersebutㅡterhenti sesaat. Seraya berusaha menahan kegetiran yang lagi-lagi menyeruak perlahan, kupaksakan sebuah anggukan dan senyuman sebagai balasan.

***

Papa meninggal seminggu yang lalu. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan terjun bebas ke jurang. Jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan bersama sebuah kado berpita merah. Anehnya, benda itu tetap utuh di pelukannya. Benda macam apa yang dilindungi Papa sampai sebegitunya?

Jawabannya tertera pada kartu yang terselip di antara pita.

[ Happy birthday, San.
Kuhadiahkan seluruh perasaanku.
I love you for eternity. Just you.
Always you. ]

Hanya beberapa kalimat, tapi dampaknya luar biasa. Mama mengurung diri berhari-hari. Dukanya sudah bercampur dengan patah hati. Perintahnya untukku cukup jelas. Lenyapkan kado itu. Bakar kalau perlu. Namun, aku bukan tipe pasrah yang mudah memaafkan setelah dikhianati selama 19 tahun. Malam itu juga kucek isinya dan kutemukan sebuah catatan harian beserta puluhan surat.


Akhirnya aku tahu bahwa Papa tidak pernah menyayangiku dan Mama. Sejak SMA, hatinya cuma untuk San. Mereka dipaksa berpisah setelah 10 tahun bersama. Papa dijodohkan dengan Mama, aku lahir ke dunia, dan kami pun pindah ke Australia. Mereka sempat berkirim surat selama beberapa tahun sebelum akhirnya putus komunikasi seutuhnya.

Singkat cerita, kami kembali ke kota ini dan Papa menganggapnya sebagai kesempatan untuk menyambung silaturahmi.

Aku benci Papa. Aku juga benci San. Aku ingin menemuinya langsung, kemudian menyelamatinya karena berhasil menjadi orang yang dicintai papaku sampai "eternity".

Telah kucoba menelusuri San berdasarkan alamat yang tertera di surat, tapi wilayah perumahannya sudah menjadi mall. Terpaksa aku membohongi bapak TU dengan mengatakan aku butuh informasinya San demi menyerahkan titipannya Papa.

"Arianto Dewangga? Tidak ingat. Maaf, ingatan saya memang buruk."

"Tidak apa-apa. Makasih, Bu Santi."

Santi ketiga memiliki jawaban yang sama dengan Santi pertama dan Sandra kedua. Sudah tujuh rumah yang kukunjungi dan bukan mereka orangnya. Beberapa "San" yang ada di luar kota kutanyai lewat telepon, tapi jawabannya kurang lebih sama. Ada yang mengaku tidak ingat Papa, ada juga yang bilang kalau dulu mereka tidak dekat.

Aku mulai tergoda untuk menghubungi Sandy, Ihsan, dan Hasan.

Dengan langkah gontai, aku kembali ke mobil dan membuka surat-suratnya Papa. Mungkin ada detail yang kulewatkan.

Tawanya indah. Favoritnya jeruk. Hobinya menenun. Bla bla bla. Aku tidak butuh informasi ini! Dan bisa-bisanya papa tidak punya foto pacarnya. Sahabatnya saja tidak tahu beliau pernah punya pacar. Backstreet yang mereka jalani terlalu ekstrim!

[ Rinai masih menempelimu? Kehilangan orang tua bukan hal yang mudah. Dia pasti menganggapmu ibunya. Sama seperti Bima, Tito, dan yang lain. Sifatmu yang seperti itu, I adore it! ]

Sepertinya ada yang tersirat di sana. Asumsikan Rinai, Bima, dan Tito adalah sekumpulan anak yang kehilangan orang tua. Lalu mereka sangat dekat dengan San.

Apa San sempat tinggal di panti asuhan?

A wild guess, tapi layak dicoba.

Kuraih ponsel yang ada di dasbor dan membuka aplikasi peta. Ada 11 panti asuhan yang tersebar di penjuru kota. Kembali kucek catatan harian, mencoba menemukan petunjuk lain. Warna pagar bisa berbeda. Lantai bangunan juga bisa bertambah. Aku membutuhkan sesuatu yang tidak berubah walau sudah puluhan tahun.

[ ... pohon rambutan di tempatmu.
Kutunggu di sana. ]

Itu dia!

Panti asuhannya punya pohon rambutan.

Demi menghemat waktu, kubuka Google Street View dan mulai menjelajahi daerah sekitar. Hanya 6 panti yang bisa kutelusuri lewat layar ponsel—lainnya berada di luar jangkauan—dan semuanya tidak memiliki pohon rambutan. Buru-buru kunyalakan mesin mobil. Setidaknya ruang lingkup pencarian berhasil kupersempit.

Perjuangan terbalaskan ketika penjaga panti asuhan ke-10 memberiku tatapan bingung, tepat setelah aku menyebutkan nama papa.

"Arianto baru saja ke sini minggu lalu."

Apa yang papa lakukan di sini pada hari kematiannya?

***

Setelah menelusuri kota dan berkat informasi dari panti asuhan, akhirnya kutemukan.

Sintya Adinda Nuraini.

Itulah nama yang tertera pada batu nisan.

Tidak terpikirkan olehku bahwa "San" adalah sebuah akronim. Mungkin panggilan sayang. Dia meninggal 13 tahun lalu, bertepatan dengan berhentinya kegiatan surat-menyurat.

Dugaanku, Papa juga baru mengetahuinya seminggu yang lalu. Entah beliau kecelakaan karena tidak fokus menyetir atau karena memang sengaja menabrakkan diri ke pembatas jalan.

Hanya Tuhan yang tahu.

"Belasan tahun aku berharap dia menyayangiku," Aku tersenyum pada gundukan tanah itu. "and here you are. Menerimanya secara cuma-cuma."

Seseorang berdeham, membuatku langsung berbalik dan menemukan seorang gadis berseragam SMA di belakangku.

Sejurus kemudian, aku terpaku.

"Makasih sudah ziarah." Gadis itu tersenyum. "Anu, kamu ... siapanya ibuku?"

Aku masih bungkam di hadapan sosok itu.

Matanya. Hidungnya. Senyumnya. Semua familier.

Seolah Papa bangkit dari kematian dan muncul di hadapanku dalam wujud perempuan.

Papa menyembunyikan terlalu banyak rahasia.

Kupikir aku tidak bisa membencinya lebih dari ini, tapi ternyata aku salah.

#behindthescene

Aku ketika menulis ini:

"Gimana caranya bikin adegan si tokoh utama menjelajah berbagai tempat, tapi nggak butuh banyak jumlah kata?"

....

....

"Aha! Kasih dia ponsel, terus manfaatkan aplikasi Maps sama Google Street View."

Apa ini masih bisa disebut petualang?

Ahaha mbuhlah

Selesai ditulis: 22 Mei 2020
Publish di Wattpad: 17 November 2020
©mutiateja

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top