🏔️ Apa Kata Sandinya?
Genre:
ADVENTURE
[Cerita ini pernah diikutsertakan dalam babak penyisihan Turnamen NPC 2022 dengan tema "Lethologica" dan setting "Gunung Bersalju"]
***
Sebagai satu dari segelintir orang yang diberikan akses menjelajah waktu, aku selalu berhasil menyelesaikan misi dan kembali dalam keadaan hidup. Kupikir kunjungan ke masa lalu kali ini juga akan berjalan lancar. Aku dan rekanku hanya perlu mengambil beberapa sampel tumbuhan di puncak Everest, kemudian kembali ke masa depan. Namun sialnya, kali ini aku justru harus merasakan sensasi nasib di ujung tanduk gara-gara sebuah kata sandi penting yang tersangkut di ujung lidah.
Zac, rekanku yang bertanggung jawab atas masalah tersebut, masih mondar-mandir. Sebelah tangan dibenamkan ke saku jaket, sementara tangan yang satunya memegang komputer tablet. Sesekali dia mengetikkan sesuatu, tetapi layar tablet selalu menampilkan tulisan "KATA SANDI DITOLAK" yang terpampang besar-besar.
Zac menendang sebuah batu, menyebabkan tumpukan salju di bawah kakinya berhamburan ke sekitar. "Nama tumbuhan. Aku ingat tadi mengganti sandinya pakai nama tumbuhan." Pria berkacamata itu mengacak-acak topi rajutnya. "Semacam ... bunga atau tanaman herbal?"
Aku mengembuskan napas berat, menciptakan kepulan asap putih tebal di depan bibir. "Coba diingat pelan-pelan. Kita sudah menemukan semua tumbuhan yang dibutuhkan dan portal waktu tidak akan terbuka tanpa kata sandi. Kalau portal tidak terbuka, kita tidak bisa pulang. Dan kalau kita tidak bisa pulang—"
"Aku tahu, Jay. Jangan dilanjutkan." Zac membenarkan posisi kacamata dan kembali berkutat dengan tabletnya.
"Chamomile? Bukan itu. Seingatku ada huruf R."
Jauh di masa depan, Bumi mengalami kemajuan teknologi yang pesat. Sayangnya, hal itu sejalan dengan kerusakan ekosistem. Tumbuhan menjadi langka dan hanya butuh beberapa dekade lagi sampai Bumi krisis oksigen. Makanya dibentuk tim khusus yang pergi ke masa lalu demi mengambil beraneka tumbuhan untuk kemudian diteliti dan dikembangkan.
Aku memperhatikan sekeliling. Mencoba memberi Zac waktu. Tidak banyak yang bisa dilihat dari atas sini selain salju, bebatuan, beberapa tumbuhan, dan sampah yang bertebaran. Daratan di bawah tidak lagi tampak saking tingginya puncak tempat kami berada.
Posisiku dan Zac ada di balik sebuah batu besar. Cukup tersembunyi dari pandangan beberapa kelompok pendaki yang tengah berfoto sambil memegang bendera negaranya. Euforia tersebut tidak sampai kepadaku. Tidak seperti mereka yang sampai di puncak setelah perjalanan berat berminggu-minggu, aku hanya perlu melewati portal dan sampai dalam sekejap.
"Seandainya saja kau tidak mengganti kata sandinya." Aku memandangi awan gelap yang mulai berkumpul di atas kepala. "'Kukukakikokikakekkikikokokaku' itu sempurna!" Aku menyebutkan kata sandi yang sebelumnya. "Kenapa diganti?"
Padahal nyaris saja lidahku lumpuh hanya demi menghafalkannya.
"Demi keamanan, kata sandi harus diganti secara berkala."
Padahal 'kukukakikokikakekkikikokokaku' itu sudah sangat sulit untuk ditebak.
"Lalu kenapa tidak memberitahuku sandi yang baru?" Aku melipat lengan. "Kau tidak mempercayaiku?"
"Sumpah, Jay. Tadinya aku mau langsung memberitahumu, tapi perhatianku teralihkan oleh Waldheimia tridactylites. Aku ingin segera melihatnya dari dekat."
Ah, dasar maniak tumbuhan!
"Oke. Sandinya adalah nama tumbuhan. Lalu?" Aku mencoba sabar. Tidak ada gunanya berdebat.
"Warna bunganya ungu dan daunnya hijau kecil." Zac mengira-ngira ukurannya dengan jemari. "Lalu ... ada huruf R-nya."
Tidak seperti Zac yang seorang botanis, aku yang berlatar belakang militer—dan datang ke sini untuk mengawal dan melindungi Zac—tidak tahu banyak tentang tumbuhan.
"Permisi."
Kedatangan sekelompok pendaki sontak mengejutkan kami.
"Sebentar lagi turun salju," tukas seseorang yang tampak seperti pemandu rombongan. "Sebaiknya segera turun ke Camp 3. Kalian," Dia memandangi kami dengan kening berkerut. "cuma berdua?"
"Kami peneliti," Aku buru-buru menunjukkan koper besi berisikan tumbuh-tumbuhan yang kami kumpulkan. "dan tim kami ada di sana." Aku berbohong seraya menunjuk sekelompok pendaki lain yang posisinya cukup jauh. "Sebentar lagi turun."
Untunglah mereka segera pergi setelah berpesan agar tidak berlama-lama.
Angin dingin bertiup dari arah selatan dan aku refleks merapatkan jaket.
"Bagaimana dengan rose? Mawar? Rosela?" Aku berusaha membantu dengan pengetahuanku yang terbatas. "Rosalinerosalinarosirosrosan?" Siapa tahu Zac memakai format yang sama dengan kata sandi sebelumnya.
"Aku lupa bilang kalau sandinya pakai nama ilmiah." Zac sempat-sempatnya cengengesan.
"Baik. Mari kita turun dan menemui pihak yang berwenang."
"Buat apa?"
"Mendaftar jadi warga. Cari gadis cantik. Membangun keluarga. Menetap di sini." Itu pun kalau kami tidak mati duluan karena hipoksia atau hipotermia.
Aku tidak mau mengakuinya, tapi sebenarnya aku mulai merasa sesak, pusing, dan mual. Bahkan jaket berteknologi tahan dingin dari masa depan ini tidak bisa melawan ekstremnya suhu Everest. Aku sangsi kami bisa turun ke Camp 3. Kami hanya membawa alat untuk menggali akar tanaman, kemudian ditambah beberapa senjata, alat darurat, dan sedikit makanan. Tidak ada peralatan mendaki lengkap, karena dari awal kami tidak berniat berlama-lama dan pulang begitu menyelesaikan misi.
Dengan kata lain, ini benar-benar akan menjadi akhir kalau Zac tidak segera mengingat kata sandi.
"Jangan menyerah dulu, Jay!" Zac membentakku. "Aku merasa akan mengingatnya sebentar lagi. Rhododendron ... tidak, sandinya dua kata." Sambil menggigil, dia terus berbicara sendiri. "Randia macrophylla. Rhynchelytrum roseum. Rudbeckia laciniata." Lambat laun, suaranya lebih mirip racauan orang mabuk.
Kondisi Zac tampak tidak bagus. Seakan semua belum cukup buruk, sesuatu yang dingin menyentuh pipiku. Aku menengadah dan melihat butiran salju melayang turun.
"Ayo!" Aku buru-buru mengemasi peralatan dan memasukkannya ke ransel. "Mungkin rombongan tadi belum jauh."
Sayangnya, kami adalah orang terakhir yang turun dari puncak dan tidak ada lagi pendaki yang tampak. Dengan peralatan seadanya, aku dan Zac berusaha menuruni gunung salju terjal ini.
"Jay, kalau kita mati di sini, tolong jangan tuntut aku di akhirat."
"Siapa yang tadi bilang jangan menyerah?"
"Tapi masa' iya mati karena lupa kata sandi." Zac tertawa. "Tidak keren."
"Tapi setidaknya kita tewas dalam misi." Aku mencoba membesarkan hatinya.
Jalur pendakian tidak lagi terlihat karena salju yang menumpuk nyaris menyentuh betis. Sepatu terasa makin berat dan diam-diam aku ragu kami berada di rute yang benar. Saat itulah aku melihat sesuatu yang nyaris terkubur salju. Begitu didekati, ternyata itu seorang perempuan yang tidak sadarkan diri. Sepertinya terpisah dari rombongan.
"Ayo kita—"
"Biarkan." Aku sudah tahu apa yang akan diucapkan Zac. Perempuan itu memang kasihan, tapi kami tidak seharusnya mencampuri kejadian di zaman ini. Lagi pula, kondisiku dan Zac tak kalah kasihan. Tidak ada waktu mengurusi orang lain.
Namun, Zac mengabaikanku. Dia berlutut di samping perempuan itu dan mencoba menggendongnya. Keduanya pasti akan jatuh menghantam salju kalau saja aku tidak menahan bahu Zac.
Aku ingin mengomel, tetapi pria berkacamata itu menunjuk sebuah titik di arah barat.
"Ada gua!"
Aku mengangguk dan mau tidak mau menggantikan Zac menggendong perempuan asing itu. Zac melihatku penuh rasa terima kasih, tapi aku melengos. Dengan satu beban tambahan, kami melangkahkan kaki ke gua yang dimaksud.
Ukurannya tidak terlalu besar, tapi setidaknya cukup untuk menampung kami bertiga. Di luar sana, hujan salju berubah menjadi badai. Dengan sebuah lampu dan pemanas portable yang ditaruh di tengah, setidaknya kami punya waktu sekitar dua jam sebelum mati membeku.
"Gimana?"
Zac menggeleng. "Maafkan aku." Dia mengetikkan sesuatu di tabletnya. "Dari tadi aku berusaha mengirimkan sinyal S.O.S ke markas, tapi gagal."
Ternyata beginilah akhirnya.
Aku menarik napas dalam dan bersandar ke dinding gua. Di seberangku, Zac kembali menggumamkan maaf.
Terdengar suara erangan. Perempuan tadi tersadar dan bibir pucatnya membuka-menutup tanpa ada suara yang keluar. Zac memberinya minum.
"Makasih," Suaranya kecil dan serak, nyaris teredam ributnya badai. "sudah menolongku."
"Sudah sewajarnya," jawab Zac tulus.
Aku diam. Pendirianku masih sama. Tidak seharusnya kami menolongnya Bagaimana kalau ini justru menyebabkan efek domino dan mengacaukan masa depan?
Mereka berdua mengobrol. Hingga akhirnya terkuak bahwa perempuan itu adalah mahasiswa biologi. Zac—dengan mata berbinar—segera menanyakan nama ilmiah tumbuhan yang mengandung huruf R.
"Huruf R-nya di bagian genus atau spesies?" Perempuan itu bertanya.
Zac berpikir sesaat. "Spesies!" Dia menoleh ke arahku. "Astaga! Dari tadi aku terus memikirkan genus yang berawalan R."
"Sudah ingat?" tanyaku antusias.
"Namanya di ujung lidah, tapi lagi-lagi aku tak bisa mengingatnya."
Harapanku kembali terhempas ke dasar jurang.
Zac dan perempuan itu sibuk menyebutkan berbagai nama tanaman. Namun, Zac selalu menggeleng tiap satu nama baru disebutkan.
"Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu." Zac menepuk jidat. "Kenalkan. Aku Zac. Dia Jay."
"Namaku Merry."
Zac mendadak berdiri dan mengaduh saat kepalanya terantuk langit-langit gua. Dia kemudian mengeluarkan tabletnya dari ransel. "Aku ingat." Jarinya bergerak cepat menyentuh-nyentuh layar dan senyum sumringahnya tertuju kepadaku. "Rosemary! Salvia rosmarinus! Itu kata sandinya! Kita bisa pulang!"
"Tu-tunggu ... Zac!"
Terlambat. Secercah cahaya keluar dari bagian belakang tablet dan menyorot dinding gua. Sebuah portal berbentuk oval muncul di sana. Di baliknya tampak ruangan serba putih dan membuat gua sempit ini terang benderang.
"ZAC!"
Seolah baru sadar akan kebodohannya, Zac segera memencet sesuatu dan portal tersebut lenyap. Suasana berubah hening.
"Kalian ... sebenarnya siapa?" Merry memecah kesunyian. Perempuan itu memandangi kami bergantian dan ekspresinya berubah ketakutan. "Barusan itu apa?"
Peraturan pertama dalam penjelajahan waktu: jangan mencampuri kejadian di zaman yang bersangkutan. Peraturan yang sukses kami langgar.
Peraturan kedua: jangan membocorkan perihal perjalanan waktu kepada siapa pun yang tidak berkepentingan.
Aku memasukkan tangan ke saku jaket dan ujung jariku merasakan dinginnya gagang senjata api yang tersimpan di sana. Dalam temaram cahaya lampu darurat, aku dan Zac saling berpandangan. Rekanku itu menggigit bibir bawahnya cemas. Namun, kulihat dia diam-diam merogoh ransel di sampingnya dan mengeluarkan cangkul kecil yang kami gunakan untuk menggali tanaman. Kali ini aku yakin kami memikirkan hal yang sama.
Serentak kami menoleh ke arah Merry yang sedang beringsut mundur.
"Mau apa?" Punggungnya menyentuh dinding gua.
Untuk pertama kalinya, aku berbicara pada perempuan itu. "Maaf."
Lagi pula, Merry memang sudah seharusnya mati di luar sana.
***
#behindthescene
Cerita ini berhasil menang di babak penyisihan yeaayyy~
Cerpen yg kutulis untuk babak final akan ku-publish dalam waktu dekat 🤗
Selesai ditulis: 8 Oktober 2022
Publish di Wattpad: 26 Oktober 2022
©mutiateja
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top