⏳ A Fool for Love
Genre:
FANTASY - MYSTERY
[Cerita ini pernah diikutsertakan dalam babak final Turnamen NPC 2022]
***
Kebodohan Altair yang pertama adalah jatuh cinta pada Lilian. Layaknya sahabat yang baik, aku sudah menasihatinya agar jangan jatuh cinta kalau tidak siap merasakan sensasi dunia jungkir balik. Namun, seperti orang kasmaran pada umumnya—bebal, buta, dan tuli—Altair sama sekali tidak mengindahkan.
Kebodohannya yang kedua adalah memilih taman akademi sebagai tempat menyatakan cinta. Walau sudah tahu di sana ada banyak mata yang menyaksikan, dia tidak peduli. Sepertinya si bodoh itu sangat percaya diri bakalan diterima.
Nah, inilah kebodohannya yang ketiga. Lilian menolaknya dan saking malunya, Altair nekat menggunakan sihir yang baru seminggu dia pelajari. Dia berteleportasi, tetapi bukannya berpindah dari taman, dia malah tercebur ke kolam yang jaraknya hanya beberapa meter dari Lilian. Penonton yang tadinya menaruh simpati langsung tak kuasa menahan tawa. Peristiwa itu pun menjadi topik panas di Akademi Sihir Duxelon.
Setelahnya Altair menghilang selama lima hari. Dia tidak ikut pelajaran dan bahkan tidak pulang ke asrama. Dicari ke mana-mana dia tetap tak kutemukan.
Pada hari keenam, dia menyapaku di gerbang akademi seolah tidak terjadi apa-apa.
“Dari mana saja?” Kuamati pemuda yang beberapa senti lebih tinggi itu. Rambut ikal pirang acak-acakan, kemeja putih kusut, cengiran yang menyebalkannya … hmm, tidak ada yang aneh.
“Studi lapangan,” jawab Altair seraya meluruskan dasinya yang miring. “Ikut penelitian tanaman sihir di hutan Asteria.”
Fakta bahwa kami sudah berteman lama membuatku cukup takjub dengan usahanya dalam berbohong. Apa dia tidak terpikirkan alasan lain? Altair tidak pernah tertarik pada tumbuhan dan dia benci hutan.
Di koridor menuju kelas, beberapa siswa melirik kami—melirik Altair, tepatnya—sambil berbisik dan tertawa geli. Aku khawatir Altair kembali berteleportasi, tapi dia justru tampak santai. Kemudian, tanpa sengaja kami bertemu Lilian. Dari jauh gadis itu tampak tergagap dan seperti hendak memutar arah. Ketika kami berselisih jalan, Lilian mengangguk canggung. Aku membalasnya, sedangkan Altair tidak memberikan reaksi apa pun.
Itu membuatku terkekeh-kekeh. “Kejadian dengan Lilian waktu itu memang memalukan,” Aku menepuk-nepuk bahunya bangga. “tapi sepertinya kau berhasil melaluinya.”
Entah apa yang terjadi selama lima hari terakhir, tetapi tampaknya Altair mulai berdamai dengan rasa malu akibat aksi penembakan yang gagal.
Altair mengernyitkan kening dan melihatku seolah aku baru saja melindur
“Lilian siapa?”
***
Awalnya kupikir Altair berpura-pura lupa untuk mengobati hatinya. Namun, lama-kelamaan dia melupakan banyak hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Lilian. Mulai dari tugas, letak barang, cara menggunakan beberapa sihir, hingga salah memasukkan akar Hemlock beracun ke dalam ramuan obat. Aku bahkan pernah melihatnya mondar-mandir di asrama karena lupa letak kamar yang sudah dia huni dua tahun. Memangnya itu masuk akal?
Namun, bukan itu bagian terburuknya.
Kelas baru selesai dan aku memutuskan untuk menginterogasinya. “Al,” Aku berdiri di samping meja Altair. “kau sedang ada masalah?”
Dia mengalihkan perhatian dari buku dan sesaat matanya tampak tidak fokus ketika melihatku.
“Sebentar ….” Dia menggeleng-geleng dan menegang satu sisi kepalanya. “Ah! Zayden! Kenapa, Zay? Aku baik-baik saja, kok.”
Aku diam, terlalu kaget untuk menyusun kata-kata. Barusan Altair sepertinya berusaha keras untuk mengingat namaku. Jangan bilang kalau kali ini adalah giliranku untuk dilupakan.
Aku mengibaskan tangan dan buku tebal di hadapan Altair menutup dengan bunyi buk! pelan. Sekarang perhatiannya tertuju sepenuhnya padaku.
“Bagaimana kabar ayahmu?”
Altair tersenyum. “Beliau sehat.”
Dugaanku tepat. Memang ada yang salah dengan otaknya.
“Al, ayahmu meninggal tahun lalu.”
Altair terpana, tetapi kemudian dia berteriak histeris dengan kedua tangan mencengkeram kepala. Semua orang di kelas menoleh. Aku buru-buru meraih tangannya dan membawanya berteleportasi ke kamar asrama. Kami sampai dengan selamat tanpa harus nyasar ke kolam.
“Ke mana kau pergi waktu itu?” Aku mencengkram kedua bahunya. Dipikir-pikir, semua keanehan ini terjadi setelah Altair menghilang.
Altair menghenyakkan tubuh di kasur dan terpekur menatap lantai. Lama dia terdiam dan begitu berbicara, yang keluar dari mulutnya justru, “Aku lupa.”
Kuembuskan napas berat. “Tolong diingat. Pasti ada yang membuatmu mendadak pikun begini.”
“… aku pergi ke Sibilia—”
“Mau apa ke sana?” tukasku tajam. Pasar gelap Sibilia, tempat jual-beli barang ilegal yang mengandung sihir hitam. Altair bisa diskors jika pihak akademi tahu.
“Aku,” Dia terbata-bata, tampak kesulitan mengingat. “cuma ingin lupa. Tapi aku lupa apa yang ingin kulupakan.”
Pasti Lilian. Ternyata kejadian itu lebih mempengaruhinya dibanding yang kukira.
“Al, bukan begitu caranya melarikan diri dari cinta yang tidak bisa kau miliki.”
Altair tidak mengatakan apa-apa.
“Lalu?”
“Sepertinya dari sana aku membawa sesuatu.”
Aku segera menggeledah kamarnya dan berharap menemukan benda asing yang dibawanya dari pasar gelap. Di lemari pakaian, aku menemukan sebuah kotak kayu yang tidak pernah kulihat. Ukurannya tidak terlalu besar dan permukaannya penuh ukiran. Begitu kubuka, di dalamnya ada sebuah jam pasir. Pasir hitamnya jatuh perlahan dan gelas bagian atasnya tinggal seperempat penuh. Aku merasakan aura tidak mengenakkan dari benda tersebut dan ada sensasi tersetrum saat ujung jariku tanpa sengaja menyentuhnya. Buru-buru kututup kembali kotak tersebut dan mendelik tajam pada Altair yang sedang melongo, seolah tidak percaya ada benda seperti itu di kamarnya.
Kupikir kebodohan cinta Altair akan berhenti sampai dia menghilang selama lima hari. Namun, aku salah. Kali ini si bodoh itu justru bermain-main dengan sihir hitam hanya gara-gara patah hati.
***
“Benda ini memang menyimpan sihir hitam.” Pria paruh baya itu terus mengamati jam pasir yang berada di atas meja. Dia menggeleng-geleng dan memberiku tatapan menyesal. “Akademi tidak akan tinggal diam, Zay. Altair bisa dikeluarkan karena terlibat sihir hitam.”
“Karena itu, Ayah, tolong rahasiakan.” Aku memohon. “Ada cara untuk mematahkan sihirnya?”
Aku tidak punya pilihan selain memanfaatkan ayahku, seorang profesor di Akademi Sihir Duxelon. Lagi pula siapa lagi yang bisa kupercaya? Ayah pastinya juga dilema. Antara melaksanakan kewajibannya sebagai pengajar dengan melapor ke pihak akademi atau menyelamatkan anak mendiang sahabatnya yang mengalami kepikunan dini gara-gara sihir hitam.
Aku sudah mengenal Altair sejak kami berusia tujuh tahun. Rumah yang bersebelahan dan orang tua yang bersahabat, membuat kami terus terjebak dengan satu sama lain. Banyak hal yang kami lalui bersama, sehingga rasanya sangat menyebalkan kalau dia tiba-tiba lupa begitu saja.
“Jam pasir ini bisa mengabulkan permohonan,” Ayah menjentikkan jari dan jam pasir tersebut mengambang di udara. “tapi ada bayarannya. Dalam kasus Altair, makin banyak pasir yang jatuh, makin banyak hal yang dia lupakan. Begitu pasirnya habis, penggunanya hanyalah cangkang kosong tanpa ingatan maupun kenangan.”
Itu sama sekali tidak setimpal. Jika ditempatkan di posisi yang sama, aku lebih memilih hidup dengan ingatan yang menyakitkan dibanding harus melupakan semua kenangan yang berharga.
Aku mengulurkan tangan ke arah jam pasir terkutuk itu dan membuatnya melayang mendekatiku. Dengan kekuatan pikiran, kuputarbalikkan jam tersebut, berharap pasir yang tadinya jatuh akan kembali ke tempat semula. Sialnya, bulir-bulir pasir hitam itu tidak terpengaruh gravitasi.
Masih belum menyerah, kali ini aku memusatkan kekuatan sihirku di telapak tangan, bersiap mengeluarkan api.
“Hentikan!” Ayah menahan tanganku. “Benda ini memang bisa dihancurkan, tapi kau harus mengorbankan seluruh sihirmu. Belum lagi ada kutukan bagi yang menghancurkannya.”
Astaga, Altair! Barang mengerikan macam apa yang sudah kau bawa?
“Sihir hitam itu misterius dan berbahaya.” Jam pasir tersebut melayang masuk ke kotak. Ayah menutupnya dan menyerahkannya padaku. “Untuk sementara, sebaiknya benda ini ada di dekat orang yang mengaktifkannya. Aku akan mencari jalan keluar. Jangan lakukan apa pun. Mengerti?”
Aku mengangguk dan kembali berpindah ke kamar Altair, tapi yang kudapati adalah ruangan kosong. Padahal dia sudah kusuruh menunggu.
Altair kutemukan sedang berkeliaran di halaman belakang asrama. Dari jauh dia sudah menyadari keberadaanku, tapi bukannya menyapa, dia malah melengos. Buru-buru aku mengejarnya.
“Kau masih ingat siapa yg memberimu ini?”
Bukannya menjawab, Altair justru mengamatiku seksama dan berkedip beberapa kali. Tidak lama kemudian, dia memiringkan kepala dan tersenyum tipis.
“Siapa, ya?”
“Al!” Tidak. Tidak mungkin dia sudah melupakanku. “Jangan bercanda!”
Hati kecilku menolak ini semua. Kami sudah lama kenal dan ada banyak kenangan yang kami bagi bersama. Hari pertama dia menjadi tetanggaku. Saat kami belajar sihir bersama. Ketika dia tidak sengaja membakar rambutku saat praktik memunculkan api. Dia mengetahui rahasiaku sebagaimana aku menyimpan semua rahasianya. Aku bahkan bersedia pasang telinga tiap kali dia curhat tentang Lilian. Sekarang bisa-bisanya semua ingatan itu lenyap.
“Sepertinya kau salah orang.” Altair mundur selangkah. “Permisi.” Dia berbalik dan berlari menjauhiku.
Rasanya menyakitkan.
“Dasar bodoh!” Saking kesalnya, aku meneriakinya. Altair hanya menoleh sekali dan kembali melangkah.
Setelah ini apa lagi yang akan dilupakannya? Hatiku berdenyut sakit begitu teringat ibunya Altair. Setelah kehilangan suami, sekarang anak satu-satunya tidak akan memiliki ingatan apa pun tentangnya.
Aku menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Rasa panik hanya akan membuat pikiran berkabut dan menghambatku dalam berpikir.
Kupandangi kotak kayu yang masih ada di genggaman. Barang sialan itu entah kenapa terasa makin berat. Seraya mengatupkan bibir rapat-rapat, aku berteleportasi ke hutan, tidak jauh dari akademi.
Tidak ada waktu lagi. Ini baru seminggu sejak Altair kembali, tapi efek sihirnya sudah separah ini. Ayah memang melarangku melakukan apa-apa, tapi bisa-bisa Altair sudah jadi mayat hidup—bernyawa, tapi kosong—ketika jalan keluarnya berhasil ditemukan.
Aku menaruh kotak tersebut di atas rumput, membuka penutupnya, dan mundur cukup jauh. Kupandangi jam pasir yang berada di dalamnya dan memfokuskan pikiran ke sana. Api merah berkobar keluar dari telapak tangan dan mulai mengurung benda itu. Namun, mulai muncul sensasi seolah apiku justru diserap tanpa bisa kukendalikan. Buru-buru kutarik tanganku kembali.
Jam pasir itu ternyata mengisap sihirku.
Kali ini kucoba menggerakkan bongkahan batu besar yang ada di sana dan menjatuhkannya di atas jam pasir. Batu tersebut malah hancur berkeping-keping. Kucoba berbagai metode lain. Mulai dari menyetrumnya dengan listrik, menembaknya dengan air, hingga menjatuhkannya dari ketinggian. Jam itu tetap tidak lecet sedikit pun.
Lalu aku mendapat ide untuk menyerangnya dengan kekuatan penuh, sehingga benda itu tidak memiliki waktu untuk menyerap sihirku. Aku kembali mengeluarkan api—elemen yang paling kukuasai—dalam jumlah besar dan menahannya cukup lama. Aku tersenyum sumringah saat melihat retakan kecil di bagian kacanya.
Saat itulah sekelebat asap hitam keluar dari jam pasir dan melayang di depanku.
“Manusia.” Suara serak itu bagaikan menusuk telingaku. “Aku punya penawaran.”
Aku mengabaikannya dan tetap fokus memusatkan serangan pada jam pasir.
“Aku bisa melihat isi hatimu, Manusia. Hal yang paling kau inginkan, aku tahu itu, dan aku bisa mengabulkannya.”
Sosok Altair mendadak muncul di depanku. Dia tampak seperti Altair yang biasa. Tidak lagi linglung atau pun menatapku dengan pandangan bertanya-tanya. Melihatnya, aku refleks menghentikan serangan.
“Al?”
“Hati pemuda ini.” Aku dapat mendengar kepuasan dalam suara itu. “Kau menginginkannya.”
Kedua mataku terbelalak dan jantungku bertalu-talu di balik rongga dada. Tidak. Tidak ada yang boleh mengetahui itu. Mengabaikan Altair palsu yang diciptakan si asap hitam, aku kembali fokus membakar jam pasir. Retakan lain muncul di bingkainya.
Sosok itu salah mengira bisa membujukku dengan cara tersebut.
“Aku bisa mengabulkannya, Zayden. Tidak hanya membuatnya balas menyukaimu, aku juga akan membuat dunia menerima hubungan kalian.” Suara itu terkekeh ketika serangan apiku melemah. “Penawaran yang menarik, bukan? Sebagai bayarannya, berikan aku separuh sisa umurmu.”
Dunia … bisa menerima hubungan yang seperti itu?
Lekas-lekas kugelengkan kepala. Suara itu berhasil mengacaukan pikiranku. Dan aku sungguh menjijikkan karena sempat-sempatnya mempertimbangkan penawarannya barusan.
Dari awal aku tidak pernah berharap banyak. Masa-masaku memberontak menyalahkan takdir sudah lewat dan saat ini aku hanya ingin hidup lurus sesuai kodrat. Aku sudah lama melewati fase ketika dunia serasa jungkir balik karena cinta. Lagipula aku tidak sebodoh Altair yang bersedia melakukan hal nekat karena perasaan yang tak berbalas.
Aku mengerahkan kekuatan sihirku hingga mendekati batas. Pepohonan di sekelilingku sudah berubah menjadi lautan api, tapi aku tidak lagi peduli. Tidak akan kubiarkan Altair hidup bagai cangkang kosong. Tidak apa-apa sihirku menghilang. Ingatan dan kenangan yang kami miliki bersama jauh lebih penting.
Jam pasir itu meledak menjadi serpihan dan terdengar lolongan melengking dari si asap hitam.
“Kurang ajar kau, Manusia! Kukutuk kau! Kau akan kehilangan hal paling berharga dalam hidupmu! KUKUTUK KAU!”
Tubuhku menghantam tanah, tidak peduli pada sumpah serapah yang dilontarkan padaku. Sebelum hilang kesadaran, aku tersenyum tipis melihat kobaran api hasil perbuatanku dan saat itulah aku berpikir.
Ternyata aku sama bodohnya dengan Altair.
***
Ketika sadar, aku dihadapkan dengan kemurkaan ayah. Kepalaku masih pusing dan aku bahkan tidak benar-benar ingat apa yang terjadi, tapi dia terus berceloteh tentang bagaimana aku bodoh karena tidak mendengarkannya.
Di balik punggung Ayah, aku melihat sesosok pemuda berambut ikal pirang. Matanya terus menatapku sendu. Setelah beberapa saat, dia melangkah mendekat dan berdiri di samping tempat tidurku.
“Zay, sungguh maafkan aku.”
“Kenapa minta maaf?” Aku keheranan. “Ngomong-ngomong, kau siapa?”
***
#behindthescene
Pas ending, saking fokusnya jelasin tentang Zay yang lupa sama Al, aku malah lupa ngejelasin kalo Zay juga kehilangan sihir 🤦🏻♀️ sadarnya malah pas udah submit haha
Lalu ada beberapa hal yang ingin kudeskripsiin dengan lebih jelas, tapi nggak bisa karena terkendala batasan jumlah kata. Tadinya aku harus ngebuang 400an kata biar pas 2000 kata sesuai ketentuan 🤣
Tapi alhamdulillaah, meskipun masih banyak kekurangan di sana-sini, cerpen ini berhasil jadi juara 1 🥹
Selesai ditulis: 25 Oktober 2022
Publish di Wattpad: 4 November 2022
©mutiateja
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top