Bagian tujuh

Kesialan yang hakiki.

Harus Difan akui kalau nasibnya hari ini benar-benar buruk. Ia sebelumnya tidak pernah tahu kalau putus cinta bisa berimbas pada nasib seseorang. Pun ia tak pernah membayangkan Adara akan menjadi seorang penyihir yang memberikan kutukan padanya. Difan memang mengakui kalau mantan kekasihnya itu sering berbicara tanpa berpikir. Difan yang notabenenya sangat percaya dengan ungkapan 'ucapan adalah doa' itu selalu antisipasi setiap kali gadis itu merapalkan kata-kata aneh yang lebih suka Difan artikan sebagai kutukan. Dulu ia akan membekap mulut gadis itu saat ucapannya mulai ngelantur ke mana-mana. Menyebutkan hal yang tidak-tidak akan terjadi. Tapi semalam, mungkin saat Adara mungutuknya ia tak bisa berbuat apa-apa. Hingga sekarang semuanya terjadi begitu saja.

"Aarrgh!" Difan mengacak rambutnya dengan prustasi. Ia merutuki pikirannya yang selalu berakhir pada Adara. Mengingat gadis itu lama-lama membuatnya gila. Sudah gila, dosa pun bertambah karena selalu su'udzon terhadap mantannya itu.

Kenangan yang bercokol di kepalanya seolah tak mau pergi dan tetap singgah hingga sekuat apapun Difan berusaha menepisnya, ujung-ujungnya akan kembali lagi. Entah ia harus menyebutnya sebagai kenangan indah yang ketika dikenang akan membuatnya tersenyum sendiri. Ataukah kenangan tragis, karena yang pernah terjadi hanyalah masa lalu yang bahkan untuk mengulanginya sudah tak ada waktu. Sekarang ia merasa lebih mirip seperti seorang jones yang tengah meratapi kesendiriannya. Padahal belum lebih 24 jam ia putus dengan Adara.

Bosan, ia merogoh ponselnya dan mencari nomer Abrian di kontaknya, kemudian menelpon sahabatnya itu.

"Halo," ujar suara berat Abrian dari seberang. "What's up, Bro?"

"Posisi lo di mana?" tanyanya tanpa basa basi.

Dari seberang sana, kekehan kecil terdengar dari mulut Abrian. Sepertinya pria itu tengah berada di tempat ramai. Dan tanpa Abrian menjawab pun, ia sudah bisa menebak kalau pria itu saat ini sedang berada di kantin.

"Jahat banget kalian gak ngasih tahu gue kalo hari ini kelas diundur," protes Difan tanpa menunggu jawaban dari pertanyaan sebelumnya.

"Hah, kenapa? Lo gak tahu emang?"

Difan mendesis, matanya memutar malas, "Kalo gue tahu, gue gak bakalan masuk kelas orang."

Abrian terkekeh. Di sana, Difan tidak hanya mendengar suara tawa Abrian, tapi juga beberapa temannya yang lain. Sepertinya pria sableng itu melost speaker panggilannya.

"Ketawa aja terus. Kalian! Tunggu tak bogem," ancam Difan gereget. Teman macam apa mereka. Ah, dasar!

"Lagian lo sih. Siapa suruh jarang buka chat grup," balas Abrian setelah tawa mereka reda, "keasikan pacaran, sampai lupa daratan. Giliran kudet, mulut lo nyerocos terus," lanjutnya.

"Ck, kalian kok gitu sih? Gue ada salah sama kalian, sampai kalian giniin gue?" Suara Difan berubah dramatis. Disambut decihan serempak dari teman-temannya di seberang telepon.

"Ya udah gue kasih tahu." Abrian terdengar berdeham, kemudian kembali bersuara lagi, "Fan, kelas hari ini ditunda jadi entar siang," sambungnya, yang seketika terpotong oleh seruan mengelegar Difan, "telat! Gue udah tahu."

"Ck. Gue salah mulu perasaan. Tadi gue gak kasih tahu lo marah. Sekarang gue kasih tahu lo gitu. Salah gue apa?" Abrian bersuara persis seperti Difan beberapa saat lalu.

Persahabatan yang indah bukan? Serasi dan penuh canda tawa. Mereka ini tidak jauh berbeda. Tapi dibandingkan Difan, Abrian lebih tenang dan jarang bicara jika tidak dibutuhkan. Ia akan gila pada saat-saat tertentu. Seperti saat ini contohnya. Kadang ia sering terbawa suasana ketika berbicara dengan Difan. Kelakuan alay Difan bahkan tertular padanya.

"Tunggu gue di sana. Hari ini kalian harus teraktir gue!" titahnya yang langsung membuat teman-temannya bersorak tak terima.

***

Kelas hari itu berjalan dengan sangat membosankan. Sebagian mahasiswa yang duduk di bangku bagian belakang kini sudah menelungkupkan kepalanya di atas lipatan tangan mereka. Tak terkecuali Difan. Sejak menit pertama materi mekanika teknik berlangsung, matanya sudah terasa berat. Ditambah angin sepoi-sepoi yang masuk lewat jendela kelas yang terbuka siang itu, membuat mereka semakin terbuai. Beruntungnya dosen kali itu sedang baik hati dan terlalu menikmati materi yang ia sampaikan, hingga tak sadar kalau sebagian mahasiswanya sudah kabur ke alam mimpi.

Kelas usai tepat pukul dua siang. Setelah dosen keluar, tanpa menunggu waktu lama makhluk-makhluk yang terlihat seperti zombie itu keluar berhamburan. Difan mencolek bahu Abrian yang duduk di depannya. Pria itu sibuk memasukan alat tulis ke dalam ranselnya.

"Apa?" tanyanya dengan tampang malas. Ekspresi wajahnya tidak jauh beda dengan ekspresi Difan, kusut plus ngantuk.

"Catatan," ujar Difan seraya menodongkan tangannya.

Abrian memutar bola matanya. Ia mengurungkan niat yang hendak memasukan buku catatan ke dalam ransel, kemudian menyerahkannya pada Difan.

"Awas kalo sampe minggu depan lo belum nyatet juga," peringatnya.

"Iya," jawab Difan malas, "kalo sempet," lanjutnya yang membuat Abrian seketika mengetuk kepalanya.

Ringisan pelan terdengar, Difan mengusap bekas sentilan di keningnya sambil menatap memelas ke arah Abrian. "Sakit, Yan."

"Biar otak lo gak bego lagi," sahut Abrian lalu bangkit dari duduknya. "Ngopi bentar, yuk," ajaknya.

"Di kantin? Males, ah." Difan menolak.

"Kafe biasa aja. Pala gue pusing, butuh udara segar."

Difan mengagguk mengiakan. Ia meraih ransel di bawah kakinya. Setelah memasukan buku-bukunya, ia segera menyusul Abrian yang sudah berjalan terlebih dahulu.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di kafe yang memiliki desain minimalis itu. Saat mereka masuk, terlihat beberapa rombongan remaja bahkan anak kuliahan di sana. Kafe ini memang cocok untuk tongkrongan anak muda. Selain harga menu terjangkau, tempatnya yang instagramable juga menjadi salah satu alasan orang-orang menyukai tempat ini. Sayangnya tempat ini tidak menyediakan smooking area dan no smooking area. Sehingga saat ramai seperti ini, dua pria yang anti asap rokok itu merasa sedikit risih dengan asap yang menguar ke mana-mana.

Abrian menatap sekeliling, mencari tempat kosong yang bisa mereka tempati. Sementara Difan, tatapannya kini tertuju pada sofa di samping jendela tempat beberapa gadis tertawa riang. Rasanya tiba-tiba pengap. Namun bukan gadis-gadis itu penyebabnya. Melainkan spot tempat mereka duduk dan bercengkerama. Ah, tempat itu adalah spot favoritnya dan Adara saat mengunjungi kafe ini.

"Bocah banget," gumamnya, namun masih bisa didengar Abrian yang berdiri di sampingnya.

"Hah, kenapa?"

"Apa?" Difan balik bertanya.

"Tadi lo ngomong apa?"

Difan mengernyit, perasaan dari tadi ia hanya diam. Namun ia teringat kalau beberapa saat lalu ia menggumam, merutuki aksi konyolnya. Gila! Gue galau mulu, batinnya.

"Nggak. Gue gak ngomong apa-apa," kilahnya.

Abrian menyipitkan mata, "Serius?"

Sebelum Difan menyahut, pria itu buru-buru menyela, "Bentar. Kita duduk di sana. Gue tahu ada yang gak beres sama lo," lanjutnya kemudian mengajak Difan duduk pada bangku di tengah-tengah kafe. "Pesen dulu, baru lo cerita," titahnya.

"Kaya gue mau cerita aja," sahut Difan kemudian meraih buku menu di depan mereka. "Pesenin gue milk shake."

Abrian memandang horor ke arah Difan. Tangannya bersedekap, meniru gaya Difan beberapa saat lalu. "Kaya gue mau pesenin lo aja."

"Sialan lo," maki Difan seraya melempari Abrian dengan tisu di depannya.

Abrian terkekeh namun setelahnya menuruti permintaan Difan, memesan segelas milk shake, secangkir copuchino untuknya dan dua porsi Beef Burger With Spaghetti Bun andalan mereka.

"Ayo cerita," desak Abrian sesaat setelah pesanan mereka datang.

"Cerita apa?" tanya Difan, sesekali menyeruput milk shake pesanannya.

"Gue tahu lo lagi galau, Fan."

"Sok tahu lo!" Pria di depan Abrian itu terkekeh pelan, lalu kembali melempari Abrian dengan gumpalan tisu di depannya.

"Lo lupa, kalo engkong gue cenayang?" seloroh pria keturunan Arab Jawa itu.

Difan kembali terkekeh.

"Pantesan gue rada merinding," balasnya, berpura-pura mengusap tengkuknya.

"Apa hubungannya?" Abrian mengernyitkan kening.

"Gue ngerasa ada aura mistis yang ngikutin kita," ujar Difan. Kini giliran Abrian melemparinya dengan gumpalan tisu yang beberapa saat lalu ia lempar.

"Dikira kakek gue dukun apa," sahut Abrian. "Udah, jangan ngalihin pembicaraan. Lo gak cocok galau tahu gak."

Selanjutnya Difan menghela udara dengan pelan namun terdengar berat. Gak cocok galau? Iya sih. Rasanya aneh saat ia bersikap seolah-olah pikirannya sedang kacau. Bergalau gulana bukan dia banget. Mungkin ini efek dari otaknya yang selama ini tidak pernah berpikir terlalu berat. Hari-harinya kan selama ini selalu datar tanpa guncangan, aman dan tentram. Di saat teman-temannya sedang dilanda galau berat karena tugas, ia justru kalem saja. Menurutnya, untuk apa kocar-kacir, pusing-pusingan kalau akhirnya selesai juga. Yaah, walaupun lewat dari deadline pengumpulan.

"Mau gimana lagi, Yan. Bagian dari mimpi gue udah hilang," ujarnya dramatis.

Abrian mengangkat sebelah alis di sela-sela menyeruput capuchinonya, "Kamera lo rusak?" tebaknya.

Difan berdecak, menatap datar ke arah pria yang duduk di depannya itu. "Ya kali gue galau cuma gara-gara benda mati. Kalau rusak 'kan bisa diperbaiki," ujarnya.

"Terus ... Adara?"

Tepat sasaran. Difan langsung mengangguk lesu. Abrian spontan saja tergelak seraya memukul meja di depannya dengan pelan. Memicu pelototan tajam Difan ke arahnya.

"Oke, sorry," ujarnya saat delikan pria di depannya menghujam. "Lo tadi bilang benda mati rusak bisa diperbaiki?" Abrian mengulang ucapan Difan beberapa saat lalu.

Difan mengagguk. Sebuah kerutan di kening samar terlihat.

"Terus, kenapa lo gak lakuin hal yang sama ke Adara. Hilang, ganti lagi," imbuhnya.

Difan kembali menatapnya nyalang. Mata tak setajam elang miliknya sebalas duabelas seperti mata Valak, setan dari masa kegelapan yang sukses bikin Abrian jantungan setiap kali menontonnya.

Bukannya takut, Abrian justru terlihat santai saja. Malahan, pria itu kini tersenyum mengejek ke arahnya.

"Sadis lo. Dikira Adara barang yang hilang bisa beli baru, kalo rusak bisa perbaiki lagi?" Intonasinya merendah, namun tatapan tetap lurus ke arah sahabatnya.

"Fan, lo tahu kan kalo rejeki, jodoh dan maut itu udah ada yang atur?" tanya Abrian tiba-tiba.

"Yan, lo gak mau tanya kenapa gue putus sama Adara?" Difan balik bertanya. "Pertanyaan lo yang itu serem tahu gak," lanjutnya.

Abrian terkekeh. Difan jadi horor melihat hal itu. Dari tadi respon pria ini sadis mulu. Kalau gak tertawa jahat, ya pasti memojokan. Ia jadi curiga kalau Abrian yang ini bukan sahabatnya. Kejam. Macam titisan Valak.

"Gue gak bakalan nanya gitu," sahut Abrian. Capuchinonya sudah tandas, kini ia meraih beef burger di depannya. Menggigit ujungnya, kemudian mengunyahnya dengan pelan. "Yang jelas kalian putus karena gak jodoh. Yang artinya, selama ini lo cuma jagain jodoh orang. Jadi, ngapain galau coba?" lanjutnya sesaat setelah menelan kunyahan beef burger di mulutnya.

"Ya galau lah. Bayangin coba, gue sama dia udah dua tahun dan endingnya harus se-tragis ini, Yan," jelas Difan, tangannya ia gerakan di udara sesuai ritme suaranya.

Abrian mengagguk paham. Kasus seperti ini memang lumrah terjadi. Jadi Abrian tak heran kalau sahabatnya pun kena juga. Yang namanya jodoh kan gak ada yang tahu. "Salah lo sih. Ngapain macarin anak orang lama banget, tapi gak nikah-nikah?"

Difan menggaruk kepalanya. Ujung sepatu yang ia kenakan ia ketuk pelan pada lantai dingin di bawahnya, kebiasaannya jika sedang kehabisan kata-kata. "Ya kan gak jodoh," belanya.

"Nah!" Abrian menjentikan jarinya. "Denger nih, Fan, rejeki itu udah pasti, sehat itu rejeki. Jodoh sama maut itu yang beda. Jodoh gak pasti maut itu pasti. Kalo lo tahu sebelumnya kalian gak bakalan berjodoh, lo bakalan tetep macarin dia apa nggak?" Ia melanjutkan ucapannya.

"Teteplah. Yaa ... namanya cinta, mau gimana lagi? Jodoh gak jodoh mah urusan belakangan," sahut pria yang wajahnya masih terlihat kusut itu.

Abrian berdecak. "Nah ini, nih. Memang benar kata lirik lagu Almarhum Gombloh, kalo cinta sudah melekat, tai kucing rasa cokelat," ujarnya. "Rasa semu gak bakalan bikin lo selamat. Ujung-ujungnya bakalan bikin patah semangat. Kalo udah gini, kan ngeri."

"Horor lo, Yan. Gaya bahasa lo udah kaya Pak Haji aja," sahutnya. Sesekali ia menggelengkan kepala saat mendengar ucapan Abrian.

"Gini deh. Stop galau-galauan lagi. Perih mata gue lihat lo kek mayit berjalan. Mending kenangan itu lo jadiin pelajaran biar besok-besok gak terulang buat yang kedua kalinya." Tanpa memedulikan tanggapan Difan, pria dengan tubuh tegap itu kembali bersuara.

Difan diam. Kening berkerut dengan ekspresi yang terlihat berpikir keras. Kalau sudah begini, ia juga bingung sendiri. Niat dari awal kan memang mau melupakan Adara. Tapi kenangan mereka terus berputar bak kaset rusak setiap kali ia berusaha melakukannya.

"Jangan mikir-mikir lo. Wajah lo sepet kalo lagi serius gitu," selorohnya. Ia melempari Difan dengan pipet milk shake yang isinya tinggal setengah.

"Sialan," maki Difan kemudian berjalan mendekat ke arah Abrian dan memiting leher pria itu dengan gemas.

Abrian terbahak, mengundang perhatian orang-orang disekitarnya. Beberapa dari mereka hanya menggelengkan kepala menyaksikan tingkah absurd dua orang itu. Beberapa lagi berdecak tak suka, karena ketenangan yang sebelumnya tercipta jadi pecah.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top