Bagian tiga belas
Kicau burung yang bertengger di ranting-ranting pohon yang ada di depan rumah minimalis itu menambah keceriaan di wajah Difan. Terik matahari sumber vitamin E itu sama sekali tak membuatnya terusik. Ia bersandar pada tembok besar yang merupakan sekat antara gang di depan rumahnya dengan rumah berloteng milik Pak Henis.
Pagi ini ia tengah menjalankan rencana pertamanya, yaitu mendekati Mentari secara langsung. Niatnya ia ingin menawarkan tumpangan pada gadis itu, sebabagai bentuk lain dari kata modus.
Mentari akhir-akhir ini sering sekali menjadi perbincangan antara ibu dan juga adiknya. Difan suka saat ibunya mulai bercerita tentang keseharian Mentari. Dan dari cerita ibunya inilah gadis dengan kerudung lebar itu mulai Difan jadikan sebagai target move on-nya. Saat ibunya mengatakan Mentari tidak pacaran, Difan justru merasa tertantang untuk merobohkan prinsip gadis itu. Terdengar jahat memang. Tapi ia tak peduli. Intinya, dalam jangka waktu dekat Mentari harus bisa jatuh hati padanya dan membuat Difan move on.
Dua puluh menit berdiri menunggu Mentari keluar dari kastilnya, kini terbayar sudah. Difan melihat gadis itu keluar dengan membawa setumpuk buku tebal di tangannya.
Pria itu menggeleng pelan. Ia sudah tak heran melihat tangan-tangan ramping gadis itu membawa bertumpuk-tumpuk benda. Sama seperti beberapa bulan lalu, Difan juga melihatnya membawa beberapa kardus berukuran sedang dengan tiga atau tidak empat paper bag besar. Waktu itu ia niatnya ingin membantu, tapi kehadiran Adara membuatnya mengurungkan maksud baiknya.
Difan tersenyum lebar saat gadis itu berdiri di depannya. Menutup gerbang yang terbuat dari besi yang panjangnya sebatas dada orang dewasa itu. "Selamat pagi, Mentari," sapa Difan. Mentari hanya menjawab dengan senyum singkat.
"Cari siapa, Mas?" tanya Mentari dengan kening berkerut.
Difan menggaruk tengkuknya saat Mentari kembali memanggilnya dengan panggilan itu. Huh. Padahal kemarin sudah kenalan, tetanggaan pula. "Mentari," ujarnya.
"Iya?" Mentari semakin mengerutkan keningnya. Menatap ke arah Difan sekilas, kemudian langsung mengalihkan pandangannya ke sembarang arah. Ghadul bashar.
Difan masih terdiam. Melihat Mentari, jantungnya tiba-tiba berdetak lucu. Mentari yang menunggu kelanjutan ucapan Difan, kini kembali menatap ke arah pria itu. Namun hanya beberapa saat, seperti sebelumnya ia langsung mengalihkan tatapannya ketika mendapati Difan tengah menatapnya dengan senyum aneh.
"Mas cari Abi, ya?" Mentari kembali bertanya. Sebenarnya ia sudah risih dan ingin segera pergi. Tapi rasanya tidak sopan. "Kalo iya, Mas telat. Abi baru saja berangkat mengajar," lanjutnya.
Difan menggeleng.
"Gue ke sini bukan mau nyari Abi kamu," sela Difan.
Mulut mentari ber'oh' ria dengan kepala mengagguk pelan.
"Mentari mau ke kampus 'kan?" imbuh pria di depan Mentari itu.
Mentari mengangguk membenarkan. "Iya."
"Barengan yuk?" ajak Difan, membuat Mentari mengerjap beberapa saat.
"Maaf?"
Difan mengusap tengkuknya, gugup. Aih, kenapa jadi begini? Perasaan sebelumnya ia tak pernah malu-malu kucing saat ingin berkenalan dengan cewek.
"Mau berangkat bareng gak? Mumpung sekampus," ujarnya. Ada sedikit keraguan di wajah pria itu sesaat setelah kalimat tawaran itu terlontar. Namun saat melihat segurat senyum menghiasi wajah Mentari, perlahan kepercayaan dirinya kembali timbul.
Gadis itu melihat sekilas motor besar yang terparkir di samping Difan. Melihatnya saja Mentari sudah ngeri, apalagi menungganginya. Ia kemudian menggeleng, senyum simpul masih menghiasi wajah tanpa polesan bedaknya. "Maaf, saya tidak berboncengan dengan orang yang bukan mahram saya, Mas," tolaknya halus. "Permisi."
Sebelum Difan sempat mengucapkan sepatah kata, gadis itu sudah berjalan melewatinya. Gadis dengan setelan gamis berenda putih itu menyetop sebuah taksi yang lewat di depan kompleks.
Difan menghela napas berat. Kemudian setelahnya kembali menyemangati dirinya. "Mutiara terbaik, tidak akan mudah didapatkan begitu saja," gumamnya.
Dengan berat hati, ia menaiki kuda besinya. Sepertinya untuk kali ini ia akan biarkan si jago merahnya ini menjomblo seperti tuannya untuk beberapa waktu.
****
"Kenapa, lo?" Abrian menatap heran ke arah Difan yang kini tersenyum menatap sepeda motornya. "Sarap nih anak," lanjutnya dengan kepala menggeleng pelan.
"Yan?" panggil Difan.
Abrian yang hendak bangkit menuju stan soto menoleh. Alisnya terangkat saat Difan tak kunjung bersuara. "Lama-lama gue tampol juga lo, Fan," geregetnya.
Difan terkekeh kemudian menatap Abrian dengan wajah sumringah.
Rasanya Abrian ingin menelan hidup-hidup pria yang duduk pada bangku kayu di depannya itu. Ia lapar dan di depan stan soto sudah penuh dengan manusia kelaparan. Difan membuatnya menahan lapar sekaligus penasaran. Masalahnya, tumben-tumbenan pria jambul kuda itu terlihat lebih bercahaya dengan senyum yang tak pernah luntur di wajahnya. Seperti ada yang beres.
"Yan?" panggilnya lagi.
Abrian memutar bola matanya. Tangannya mengepal kuat di samping badannya, menahan gereget. "Dalam lima detik lo gak ngomong-ngomong juga, gua gigit kuping lo," ancamnya yang kembali mendapat kekehan dari Difan.
Lucu saja melihat Abrian seperti ini. Mata belonya akan terlihat melebar, dengan alis yang di naikkan. Apalagi giginya tuh. Terdengar bergemeletuk bersamaan dengan tangannya yang mengepal. Bahagia saja melihatnya tersiksa. Ingin marah, tapi tak bisa. Ingin memukul, tapi takut dosa. Ia bahkan sudah tak tahan ingin mengeluarkan makian-makian yang akan membuat Difan mandi liur. Tapi, itu semua bukan Abrian banget. Abrian kan berjiwa kalem dan juga sabar. Tapi kalau di hadapan Difan, kalemnya langsung kabur. Apalagi jiwa penyabarnya, yang seketika menghilang karena tingkah Difan yang kadang sering membuatnya mengelus dada.
"Gini ...," mulai Difan.
Abrian berdeham dengan tangan bersidekap di depan dada.
"Kayanya gue emang harus move on deh," lanjutnya.
"Hem." Respon Abrian masih sama. Belum terlalu tertarik dengan cerita Difan.
"Dan gue udah nemuin orang yang pas untuk mengisi kekosongan di hati." Senyum Difan terus terbit. Matanya bahkan berbinar indah saat mengucapkan kalimat itu. Bagaimana tidak, setelahnya bahkan wajah Mentari langsung terbayang di ingatannya.
"Siapa?" tanya Abrian.
Difan terdiam. Namun matanya mengisyaratkan bahwa seseorang yang ia maksud itu sudah berhasil masuk ke hati dan pikirannya.
"Namanya Mentari." Difan menatap ke arah Abrian, melihat respon pria itu.
Awalnya Abrian biasa saja dengan pernyataan Difan. Ia bahkan berfikir kalau pria di depannya itu sedang frustasi karena tuntutannya yang tempo hari menyuruh Difan untuk segera move on, sehingga hari ini ia jadi berhalu.
Tapi saat menyebut nama seorang gadis, kini mata Abrian ikut berbinar. Meski dalam prinsipnya mencintai sebelum halal itu adalah sebuah sekat takdir yang tidak boleh dilanggar, ia tetap bahagia. Sebab ia tidak akan melihat dan mendengar keluhan-keluhan Difan tentang mantan pacarnya yang sering sekali memposting foto bulan madunya di media sosial.
"Akhirnya!" seru Abrian seraya menengadahkan tangannya di udara. "Akhrinya daku melihat masa depan yang cerah dalam diri Radifan Mahesa," ujarnya dramatis, yang langsung mengundang perhatian orang-orang di sekitar mereka.
"Jangan tereak, Dugong!" Difan memukul pundak Abrian dengan pelan. "Malu gue," imbuhnya seraya menutup mukanya dengan telapak tangan.
Abrian tergelak. Ia bahkan tidak bisa menahan tawanya saat melihat wajah malu-malu kucing Difan.
"Ya Allah, perut gue."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top