Bagian sembilan

Suasana di koridor fakultas informatika siang itu terlihat cukup ramai. Wajah-wajah kusut dengan rambut gondrong para senior terlihat mendominasi. Menjelang sidang skripsi, mereka terlihat cukup sibuk sampai lupa merawat diri. Persiapan skripsi yang menguras banyak waktu dan energi masih menghantui mereka. Kantung mata hitam yang terlihat sayu. Tampak jelas kalau mereka kurang tidur, dan melek semalaman di depan komputer.

Penggarapan skripsi memang menyeramkan. Tapi meski begitu, tidak pernah ada berita yang sampai memuat aksi nekat mahasiswa yang frustasi, kemudian gantung diri karena tidak tahan dengan komentar pedas dosen pembimbingnya. Kebanyakan dari mereka berusaha untuk tegar dan berlapang dada jika ingin wisuda dengan cepat.

Bukan hanya mahasiswa jurusan IT yang hidupnya kian suram pasca sidang skripsi, saat gadis berkerudung itu menginjakkan kakinya di lobi fakultas teknik sipil, ekspresi wajah yang sama kembali ia temukan. Bahkan lebih suram dari wajah-wajah mahasiswa IT. Ia paham betul dengan posisi senior-seniornya saat ini. Ibarat hidup, posisi mereka saat ini sedang berada dalam tahap hidup dan mati, sekarat. Susah tidur, pikiran berkelana entah ke mana dan pada akhirnya berakhir pada wajah para dosen penguji yang entah mengapa seketika terlihat seram dan menakutkan.

Gadis itu kembali menelusuri koridor fakultas teknik, mencari kelas sahabatnya. Di sepanjang langkahnya, siulan-siulan menjengkelkan terdengar dari segerombolan pria yang duduk pada bangku panjang di koridor. Tapi gadis itu sekan menulikan telingannya. Dia terus berjalan dengan kepala tertunduk dan sesekali mengecek ponselnya, berharap ada pesan balasan dari sahabatnya. Tepat saat ia hampir sampai di depan kelas sahabatnya, sebuah pesan balasan yang ditunggu-tunggu pun masuk.

Segaris lengkungan indah dengan hembusan napas lega terdengar dari mulutnya. Dengan segera, ia membalas pesan yang menyuruhnya untuk langsung masuk ke kelas yang ingin ditujunya. Yaitu kelas A jurusan teknik sipil tempat sahabatnya saat ini.

Kini tatapannya fokus pada layar benda pipih di tangannya. Tanpa melihat jalan, ia menaiki satu persatu anak tangga yang menghubungkan koridor menuju lobi dengan kelas sahabatnya.
Gadis berkerudung itu terlalu fokus dengan jalannya, hingga ia tak melihat seorang pria dengan tubuh tegap berjalan di depannya. Sama halnya dengan si gadis berkerudung, pria itu juga tengah berjalan dengan mata fokus pada kamera di tangannya. Hingga ketika menuruni tangga, gadis berkerudung itu menyenggol lengannya, membuat kamera DSLR di tangannya terjatuh dengan lenssa menyembul di balik tas kecil berwarna hitam.

Pria itu melongo, menatap kameranya yang tergeletak tak berdaya di atas lantai tangga dingin dengan tatapan horor. Ia ingin memaki, jika saja tak ada orang di sekitarnya. Kamera kesayangannya, cinta pertamanya.

Belum sempat ia berjongkok untuk mengambil kameranya yang terjatuh, gadis di depannya telah mendahuluinya.

"Maaf, Mas maaf," ujar gadis itu seraya menyerahkan kamera di tangannya pada sang empunya.

Dengan cepat, pria yang kala itu masih mengenakan almamater kebanggaanya meraih kamera kesayangannya. Memeriksa setiap sudut benda mati itu, khawatir akan ada goresan di sana.

"Kalo jalan tuh lihat-lihat dong, Mbak," protes pria itu. "Kamera kesayangan gue," ujarnya dengan mengusap-usap lensa kameranya.

Kini pria itu sibuk dengan kamera di tangannya. Sementara gadis itu menatap penuh sesal ke arahnya. Antara heran dan kasihan melihat pria di depannya yang sepertinya sangat menyayangi kamera DSLR itu. Sampai mengelus-elusnya dan sesekali mengucapkan kata-kata yang terdengar samar di telinga gadis itu.

"Saya minta maaf, Mas. Kalau ada yang rusak, nanti saya ganti rugi," ujar gadis itu membuat pria di depannya refleks mengangkat kepala.

"Iya, mudah banget bilang ganti rugi. Ini kamera hidup dan mati gu-" Pria itu menghentikan ucapannya sesaat setelah menyadari wajah gadis di depannya terlihat tidak asing. Sepertinya ia pernah melihatnya.

Pria itu memperhatikan penampilan gadis di depannya dari atas sampai ujung kakinya, membuat gadis dengan gamis berwarna cream yang terlihat menyapu lantai itu risih dan sedikit memundurkan tubuhnya.

"Difan!" Seseorang dari arah belakang memanggil pria itu. Difan yang dipanggil menoleh, menemukan wajah Abrian yang tengah menunggunya di ujung tangga. "Buruan!" titah pria itu.

Difan menatap ke arah gadis berkerudung yang tengah menatapnya dengan tatapan waspada itu, sekilas. Kemudian kembali menoleh ke arah Abrian.

"Lo duluan aja. Gue masih ada urusan," ujar Difan pada akhirnya.

Abrian kemudian mengangguk dan melangkah meninggalkan Difan bersama seorang gadis yang kini menatap dengan sedikit takut ke arah Difan.

Sekali lagi Difan memperhatikan wajah gadis di depannya dengan seksama. Dan.. barvo! Ia ingat sekarang. Gadis ini ternyata anak tetangga depan rumahnya yang sering datang meminjam golok. Namanya... ah, Difan lupa siapa nama gadis ini. Yang jelas Difan mengenal ayahnya, Bapak dengan perut buncit berkopiah haji. Difan mengagguk-anggukan kepalanya beberapa kali. Niatnya ingin meminta ganti rugi ke gadis ini. Tapi mengingat ayah gadis berkerudung ini adalah tetangganya, jadi Difan mengurungkan niatnya.

Sementara Difan memperhatikannya, gadis yang merasa risih itu menatap waspada ke arah Difan. Ponsel di tangannya ia pegang erat-erat. Berjaga-jaga jika Difan melakukan hal-hal yang diluar batas. Melihat dari penampilan Difan, sepertinya dia bukan pria baikbaik, pikir gadis itu.

"Lo ...," Difan mencoba mengingat nama gadis di depannya. Tapi nihil. Otaknya saat ini sedang blank. Setiap kali ia berpikir keras, yang muncul malah wajah mantannya. Ah, sialan, makinya.
"Sudah, lupakan saja. Lain kali kalo jalan itu lihat-lihat. Untung kamera gue gak kenapa-napa," ujar Difan, kemudian berlalu dari hadapan gadis itu.

Di tempatnya, gadis itu mengerutkan keningnya. Ia menatap punggung Difan yang kini telah jauh dari hadapannya. Sebenarnya ia merasa tak enak hati pada pria itu. Tapi mau bagaimana lagi? Tadi ia berniat mengganti rugi jika kamera pria itu rusak. Tapi untunglah tidak kenapa-napa, karena kebetulan kamera itu jatuh bersamaan dengan tas kecil hitam yang terlihat lumayan tebal. Dan sepertinya juga tidak lecet.

Getaran dari ponsel di tangannya menyadarkan gadis itu dari lamunannya tentang kamera Difan. Satu pesan masuk dari sahabatnya.

Mentari, lo di mana?

***

Difan menghempaskan bokongnya pada bangku kosong di samping Abrian. Wajahnya ditekuk dengan tangan yang terus mengelus kameranya. Abrian yang menyaksikan hal itu menatap penasaran ke arahnya.

"Kenapa?" tanyanya singkat.

Difan menggeleng, kemudian meletakkan kameranya di atas meja. "Lihatin pake kaca mata pembesar tuh, kamera gue lecet apa kagak," ujarnya yang membuat Abrian semakin bingung.

"Kenapa sih? Wajah lo sepet banget." Abrian meraih kamera DSLR pemberiannya itu, membolak baliknya beberapa kali. "Ini goresan bekas apa?" tanyanya seraya memperlihatkan goresan kecil di kamera tersebut ke arah Difan.

Difan segera mendekat, kemudian meraih kamera di tangan Abrian.  "Tuh 'kan, lecet," ujarnya kemudian meniup kamera di tangannya. "Kalo aja gue gak kenal bapaknya, udah gue tuntut itu cewek," dumelnya kemudian kembali mengelus goresan kecil di kameranya.

"Lebay. Kenapa emang kalo lo kenal bapaknya?" tanya Abrian.

Difan mendengus, tangannya meraih botol minuman milik Abrian kemudian meneguknya hingga tandas. "Ya, gitu deh. Bapaknya rada galak," jawabnya terdengar sedikit berbisik.
Abrian menggelengkan kepalanya, memaklimi kelakuan absurd pria di depannya ini.

"Eh, lo nggak ikut ke resepsi Adara?" tanya Abrian, mengalihkan topik pembicaraan.

Difan menatap Abrian sekilas, kemudian mengendikan bahunya. "Gue ada acara. Jadi gak bisa hadir. Titip salam aja buat dia," jawab Difan singkat.

Abrian memincingkan matanya. "Ada acara? Kok gue gak percaya ya?"

"Apaan sih, lo. Gue besok mau tracking bareng anak-anak Rimba. Jadi gak bisa hadir karena harus nyiepin keperluan selama di hutan," kilahnya yang malah membuat Abrian berdecih.

"Bilang aja mau mengindar," tembak pria di samping Difan itu.

Difan kembali mengendikkan bahunya, kemudian mencomot gorengan yang dipesan Abrian beberapa saat lalu. "Nggak. Gue cuma mau refreshing aja. Ngilangin penat karena kuis dadakan seminggu ini."

Abrian tetap tak percaya. Ngilangin penat konon. Kuliah saja seminggu ini banyakan absen. Gimana mau ikut kuis?

"Lo kalo kaya gini buat ngelupain Adara, mending jangan deh," ujarnya memperingati. Difan sama sekali tidak menggubris. "Denger nih, bukannya menghapus jejak Adara, lo malah merusak masa depan lo. Jarang masuk kuliah, ikut kuis pun kalo lo mau," lanjutnya.

"Bukan gitu," sela Difan.

"Bukan gitu apaan? Gak usah ngeles, deh. Gue tahu yang ada di pikiran lo saat ini," ujar Abrian yang seketika membuat Difan menatap horor ke arahnya. "Gue bukan cenayang," lanjutnya, Difan terkekeh.

"Mending lo move on. Perbaiki diri biar calon mertua lo besok gak nolak lo mentah-mentah kaya bapaknya Adara," tutur Abrian.

Difan menghela napas panjang. "Lo kira move on itu kaya bikin telor ceplok? Panaskan minyak di wajan, ceplok bentar, dibalik terus angkat?" seloroh Difan seraya memperagakan cara membuat telor ceplok.

Abrian mendengus. Untuk yang satu ini ia setuju. Move on memang bukan perkara gampang. Ngomong doang mah gak bisa jadi jaminan. Jadi ia memaklumi hal itu. Tapi setidaknya, Difan mau berusaha dan berhenti menghindar. Seperti kata dosennya, hati itu gak usah dimanjain. Makin dimanja, tergores sedikit sakitnya na'ujubillah. Untuk itu Difan lebih baik move on saja. Dari pada galau berlarut-larut, entar hatinya kelamaan kosong jadi berhantu. Kalau sudah angker, mana ada cewek yang mampir. Begitulah kira-kira.

"Ya gak usah buru-buru juga. Santai aja," ujar Abrian. "Ada kalanya hati lo bakalan terbiasa dengan seiring berjalannya waktu," lanjutnya seraya menepuk pelan pundak Difan.

Difan terdiam. Ia masih belum yakin apakah bisa melupakan Adara atau tidak. Kenangan yang ada seakan sudah menumpuk di ingatannya. Setiap kali ingin meresetnya, otaknya malah semakin mumet dan langsung konslet, bayangan Adara semakin bebas berkelana di otaknya. Jadi untuk saat ini ia biarkan saja dulu. Kalau pun ia menghindar, itu semata-mata untuk mengurangi moment menyesakkan antara dirinya dengan Adara. Setidaknya, dengan tidak bertemu gadis itu rasa sakit di hatinya tidak berambah lagi. Begitu maksudnya.

"Jangan dilupain, tapi jangan dikenang juga. Coba deh, lo buat moment baru dengan orang yang baru. Mungkin dengan begitu, kenangan lama lo bisa tertimbun tanpa harus bersusah payah melupakannya," ujar Abrian akhirnya.

Bersambung...

****

Hola hola guys...

Hayo Move on!
Yang lagi jomblo gegara galmov mending buru-buru move on, cari yang lain. Bahaya kalo itu hati kelamaan kosong, entar keburu angker😅 *apasih

Hoke. Maafkeun daku terlalu banyak cakap. Ini daku nyerocos sebagai peralihan rasa, rasa dugdag karena habis digoncang bumi... huft😆😂

Kritik dan saran tetap daku tunggu guys..

Big love,
Raisa💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top