Bagian sebelas

Pukul sebelas siang suasana toko masih saja terlihat sepi. Hanya ada satu dua pembeli yang tengah melihat-lihat deretan kue kering yang ditaruh di dalam toples kaca. Dua gadis berkerudung itu masih berbincang dengan Dina. Sepertinya pembicaraan mereka sedang seru-serunya, hingga membuat mereka sesekali tertawa riang.

Dari balik meja kasir, Difan terus memperhatikan interaksi di antara mereka bertiga. Terutama gadis yang ketika tersenyum matanya langsung menyipit itu. Entah mengapa, Difan merasa tertarik dengan gadis yang beberapa hari lalu pernah membuat kamera tercintanya lecet. Iya, gadis itu adalah gadis yang sama yang membuat Difan berpikir harus menghubungi pengacara saat kameranya jatuh dan sedikit lecet.

Dia ingat sekarang. Nama gadis itu ternyata Mentari, anak tetangga di depan rumahnya. Gadis itu manis, dengan dua belahan di dagunya. Matanya yang menyipit ketika tersenyum atau tertawa, membuat sudut bibir Difan ikut melengkung. Ah, manisnya gadis itu. Kenapa Difan baru menyadari hal ini, padahal nyatanya mereka adalah tetangga? Ya, karena ia jarang melihat gadis itu keluar rumah sebelumnya.

Selama Difan tinggal di rumah, pertemuannya dengan gadis ini bisa dihitung dengan jari. Terakhir kali, ya ... sekitar tiga atau nggak dua hari yang lalu. Itu pun saat insiden terjatuhnya cinta pertama Difan yaitu kameranya. Bahkan meski bertetangga, mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Gadis itu mungkin pertama kali melihat Difan dan tahu nama pria itu hari ini.

"Fan," ujar Ibu Tia--ibunya-- dengan menepuk pundak Difan.

Difan yang sedang menatap ketiga gadis di depannya dengan tangan menumpu dagu, berjengit. "Ck, Ibu mah. Bikin Difan jantungan aja," ujarnya pada wanita separuh baya yang menatapnya dengan kening berkerut itu.

"Liatin siapa? Neng Mentari?" tebak wanita itu.

Difan menggeleng dengan cepat. Ibunya ini peka sekali. Padahal di depannya bukan hanya Mentari. Ada Gendis dan juga Dina di samping gadis pemilik belah manggis itu. Namun ibunya tahu saja kalau mata hati Difan hanya tertuju pada Mentari.

Ibu Tia memincingkan matanya, menatap curiga ke arah Difan. Namun Difan yang ditatap berpura-pura mengotak-atik komputer di depannya. Saat Difan tak menggubrisnya, wanita itu kemudian mengambil tempat duduk pada kursi kayu di samping Difan. Kini ia terfokus pada koran di tangannya.

"Bu?" panggil Difan, membuat Ibu Tia menoleh.

"Apa?!" jawab wanita itu serkatis. Mendengar nada bicara ibunya yang berubah, Difan terkekeh. Cepat sekali moodnya berubah.

Difan kemudian memperbaiki posisi duduknya. Kini tatapan sepenuhnya tertuju pada ibunya tercinta. "Seandainya nih ya, seandainya," mulai Difan. Ibunya mengagguk. "Seandainya Mentari jadi menantu Ibu, gimana?" tanya Difan tiba-tiba. Ibunya kembali megangguk-anggukan kepalanya dengan pelan.

"Jadi mantu gimana? Masa Neng Mentari mau ibu nikahin sama si Dina," ujar ibu Tia, membuat Difan memutar bola matanya.

"Dikira anak ibu cuma si Dina doang apa?"  Nada suara Difan terdengar tak terima.

Ibu Tia terkekeh pelan. " Jadi naon? Maksud kamu teh, mun Neng Mentari berjodoh sama kamu terus jadi mantu ibu?" ulang wanita itu, membuat Difan mengangguk dengan senyum mengambang. "Kaya Neng Mentari mau aja," lanjutnya yang seketika membuat Difan menggigit tali hoodynya dengan gemas.

"Seandainya, Bu, seandainya," ujar Difan. "Lagian Mentari pasti maulah sama Difan. Secara, Difan kan ganteng." Ibu Tia berdecih.

"Ganteng gak jadi jaminan," ujarnya membuat Difan menggaruk kepalanya. Wanita yang masih terlihat cukup segar di usiannya yang sudah mencapai kepala empat itu terkekeh melihat reaksi Difan, lalu melanjutkan ucapannya, "gak papa, Fan. Kamu kalau sama Neng Mentari, ibu setuju kok. Dia orangnya baik udah gitu sopan. Mana dia anggun, solehah lagi," pujinya.
Difan menatap dengan mata berbinar.

"Neng Mentari itu ya, Fan, sekarang udah jadi idola ibu-ibu sekompleks. Mantu idaman banget," tutur wanita itu. Difan diam menyimak. "Kata Dina juga, dia pandai masak. Hobi bikin kue dan mainnya tuh sama barang-barang di dapur. Ibu juga jarang banget lihat dia keluar rumah kalo gak ada kepentingan. Makanya, ibu jadi sangsi Neng Mentari mau sama kamu." Wanita itu kembali terkekeh.

Difan hanya merespon dengan anggukan dan sesekali menggumamkan kata 'terus'. Sepertinya ia mulai tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan Mentari.

"Tapi sayang, Fan, sampai sekarang Neng Mentari masih belum nerima proposal ta'aruf," imbuh Ibu Tia dengan sesekali menatap ke arah Mentari.

"Kenapa gitu?" tanya Difan sedikit penasaran.

"Ibu mana tahu. Kamu tanya aja sendiri," ujar wanita itu. "Eh, tapi ibu peringatin sama kamu ya, jangan berani-berani ngajak Neng Mentari pacaran!" lanjutnya.

"Kenapa gitu?" Difan kembali mengulang pertanyaan yang sama.

"Pokoknya jangan!" larangnya.

Difan mendengus. Ibunya ini memang suka membuat Difan penasaran. Bukannya takut, adrenalin Difan justru merasa tertantang. Entah mengapa, Mentari kini cocok mejadi target selanjutnya. Sepertinya kalau jadian dengan gadis itu, Difan tidak akan merasa khawatir akan dikecewakan. Baik dari Mentari sendiri, maupun dari pihak orangtuanya. Secara, Difan sudah lumayan kenal kalau dengan ayah Mentari.

"Iya, alasannya apa, Ibu Sayang?"

"Neng Mentari gak pacaran, Fan. Kamu juga mending tobat. Kuliah yang bener, jangan pacaran mulu. Selesaiin kuliah kamu, terus cari kerja dan bantuin ibu biayain si Dina," tukas wanita di depan Difan itu.

Sesaat hati Difan tertegun dengan ucapan ibunya. Selesaiin kuliah, kemudian cari kerja dan bantu biayain hidup Dina. Sebelumnya Difan tidak pernah sampai berpikir ke arah sana. Ibunya single mother, dengan penghasilan hanya di bawah rata-rata. Itu pun hanya dari usaha kue mereka. Dina, adik perempuannya yang sekarang menempati bangku kelas tiga SMA, dan sebentar lagi akan memasuki perguruan tinggi.

Otomatis mereka akan membutuhkan biaya yang lumayan besar. Tapi Difan, selama ini dia selalu membuat ibunya susah. Kuliah dia termasuk enak. Mungkin setiap harinya ia tidak meminta uang jajan, karena kalau sebatas untuk beli soto dia masih bisa menggunakan uang hasil sewa kameranya. Tapi untuk pengeluaran setiap semester, tetap saja ibunya yang menanggung. Difan sekarang jadi merasa dirinya tidak berguna. Padahal hanya dia laki-laki satu-satunya di keluarga mereka. Tapi dia sama sekali tidak bisa diandalkan.

Ia menggelengkan kepalanya. Ah, mulai saat ini sepertinya dia juga harus mencari pekerjaan sampingan. Kasihan kalau ibunya harus banting tulang sendirian.

"Kenapa sih?" tanya ibunya saat melihat Difan menggeleng, kemudian menganggukan kepalannya. "Jangan mikir yang nggak-nggak, kamu," lanjutnya membuat Difan memundurkan kepalanya.

"Enggak-enggak gimana?" tanyanya heran.

"Awas kalo kamu mikirin tentang kawin. Belum saatnya," ujar wanita itu yang malah membuat Difan tergelak.

"Su'udzon mulu Ibu mah."

****

"Udah siang nih, Din. Kayanya Teteh harus balik," ujar Mentari seraya menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Eh iya, Teh. Gak kerasa ya. Apa gak makan siang di sini dulu?" tawar Dina.

Dua gadis di depan Dina menggeleng. "Gak usah kayanya, Din. Ini kita harus ke kampus dulu soalnya," sahut Gendis. Gadis bertubuh kecil itu bangkit terlebih dahulu dari duduknya.

"Ya udah, deh. Besok-besok main lagi ya," ujar Dina. Wajahnya tampak tak rela melihat kedua gadis yang berusia lebih tua darinya itu pergi.

"Oke, kapan-kapan kita mampir lagi deh," ujar Mentari seraya tersenyum ramah. "Makasih ya kuenya, enak. Kapan-kapan aku minta Tante Tia bikinin resepnya," lanjutnya yang membuat Dina ikut tersenyum.

Mereka kemudian berpamitan. Dina menyalami kedua gadis itu kemudian bercipika-cipiki.

"Kamu juga kapan-kapan main ke rumah dong, Din. Kita buat eksperimen bareng," ujar Mentari seraya menempelkan pipi kanannya dengan pipi Dina.
Remaja di depan Mentari itu hanya mengangguk sebagai jawaban.

Sebelum mereka melangkah keluar toko, seorang pria bertubuh tegap menghampiri. Di tangannya terdapat dua buah paper bag berukuran kecil.

"Kalian udah mau pulang?" tanya pria itu yang diangguki oleh kedua gadis di depannya.

"Cepet banget."

"Cepat apaan? Kita udah dari pagi di sini." Gendis menimpali.

"Perlu gue anter gak?" Pria itu kembali membuka suara.

"Nggak usah. Kita bawa motor kok." Kini giliran Mentari yang menjawab. Tatapannya masih saja waspada ketika melihat Difan. Pertemuan tidak disengaja mereka beberapa hari yang lalu masih membekas di otak Mentari. Cara pria itu menatapnnya membuat Mentari merasa jengkel.

"Oh, ya sudah kalau begitu. Ini, ibu nitipin sesuatu buat kalian," ujar Difan pada akhirnya. Ia menyodorkan paper bag di tangannya, kemudian langsung diraih oleh Gendis.

"Terimakasih," ujar kedua gadis itu bersamaan.

Mereka kemudian meninggalkan toko kue milik tetangga Mentari yang siang itu masih terlihat sepi. Gendis mengikuti Mentari saat gadis bergamis pink itu menaiki sepeda motornya dan menyalakan mesinnya.
Setelahnya, motor matic keluaran jepang itu melaju membelah jalanan kota Bandung yang siang itu terlihat sepi.

"Difan baik loh, Tar. Dia kalo di kelas suka bikin orang ngakak, lucu," ujar Gendis. Mentari mengerutkan dahinya di balik helm yang ia kenakan. Kenapa tiba-tiba jadi bahas Difan? Pria yang bahkan tidak mengerti cara menjaga pandangannya itu. Baik apanya coba?

"Udah gitu dia fames. Banyak cewek-cewek angkatan gue yang naksir sama doi. Gak heran sih, dia kan ganteng. Udah gitu homoris lagi," terang Gendis, namun hanya dianggap angin lalu oleh Mentari. Dia tidak tertarik dengan cowok fames atau cowok yang sekedar menang ganteng. Dilihat dari penampilannya, Difan bukan cowok baik-baik yang memiliki pengetahuan agama yang luas. Jadi, dia bukan tipe Mentari sama sekali.

Di belakangnya, Gendis masih saja mengoceh tentang Difan. Sementara kini, fokus Mentari buyar ke mana-mana. Hingga mereka tidak menyadari mobil di depan mereka berhenti dengan mendadak, dan refleks membuat Mentari menarik rem cakramnya.

"Astaghfirullah!" Mereka menyebut secara bersamaan.

Gendis yang merasa jengkel, hendak menghampiri mobil yang berhenti dengan seenaknya itu. Tapi karena sepertinya Mentari mengenal sang pemilik mobil, jadi ia menahan lengan Gendis ketika gadis itu hendak turun dari motor.

"Jangan dulu. Kayanya aku kenal pemilik mobil ini," ujar Mentari.

Gendis mengernyit, "terus kenapa kalo lo kenal? Main berhenti seenak jidatnya. Gak tahu apa, dia hampir bikin celaka anak orang?" dumelnya.

Dugaan Mentari benar. Beberapa saat kemudian, seseorang dari mobil itu keluar. Menampilkan sosok pria tegap dengan setelan baju koko putih lengkap dengan sarung dan juga sorbannya. Diam-diam Mentari tersenyum. Pria itu berjalan menghampiri mereka.

"Mentari?" Mentari mengangkat kepalannya yang sebelumnya tertunduk.

"Ustad Haidar," ujar Mentari terdengar lirih.

Gendis hanya menatap mereka secara bergantian. Ada yang aneh, pikirnya.

"Maaf ya, karena tadi kami ngerem dengan mendadak," ujarnya. Mentari hanya menjawab dengan anggukan kecil, kemudian kembali menundukan kepalanya. "Soalnya tadi ada kucing yang lewat, makanya supir saya tiba-tiba ngerem," lanjutnya.

Lagi-lagi Mentari hanya menjawab dengan anggukan kecil. "Gak papa kok, Ustad," lirihnya terdengar malu-malu.

Pria yang dipanggil dengan sebutan ustad Haidar oleh Mentari itu tersenyum, manis. Hingga membuat Gendis yang memperhatikan mereka terpukau beberapa saat.

"Kalau begitu, saya pamit dulu ya. Soalnya lagi buru-buru," pamitnya.

"Silakan, Ustad."

"Assalamualaikum," ujar pria itu kemudian kembali ke dalam mobilnya.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab kedua gadis itu secara bersamaan.
Gendis kembali memperhatikan ekspresi Mentari. Wajah gadis itu terlihat memerah dengan senyum yang terus mengambang.

"Kamu kenapa? Kok jadi kaya kucing gini?" tanyanya membuat Mentari mendongak ke arahnya.

"Apaan?"

"Kamu kok keliatan kaya kucing gitu sih? Malu-malu tapi mau," godanya saat melihat wajah Mentari yang masih saja memerah.

Gadis di depan Gendis itu tersenyum malu-malu kemudian memukul pelan lengan Gendis.

"Kamu bisa aja," ujarnya dengan suara yang terdengar aneh. Seperti terpaksa dibuat agar terdengar imut.

"Jangan-jangan kamu suka ya, sama Ustad tadi?" tebak Gendis, alisnya ia naik turunkan.

"Gendis apaan sih," kilah Mentari masih dengan senyum malu-malu.

Gendis tergelak kemudian mencolek lengan Mentari dengan gemas.

"Kirain si Kharisma Mentari gak bisa tertarik ama cowok," kelakar Gendis masih dengan suara tawa yang terdengar menjengkelkan di telinga Mentari.

"Kamu kira aku apaan? Aku kan cewek normal. Tertarik itu wajar, cuma cara mengekspresikannya itu berbeda. Bukan main pacar-pacaran," ujarnya. Gendis mengagguk-anggukan kepalanya, setuju dengan perkataan gadis ini. "Tipe cowok yang seharusnya kamu idolai itu kaya Ustad Haidar, Ndis. Sudah berkharisma, berilmu, soleh dan juga tampan. Bukan kaya Difan yang menang ganteng, tapi tidak paham tentang dasar memuliakan wanita," lanjutnya, membandingkan antara Difan dan ustad Haidar.

Gendis menaikkan sebelah alisnya. Kok dia kurang setuju ya, dengan ucapan Mentari? Ustad Haidar memang terlihat alim dan aura kharismatiknya pun tampak jelas. Tapi kenapa Mentari harus membandingkannya dengan Difan yang notabenenya lebih sering nongkrong di puncak dari pada di masjid?

"Lo kalo jatuh cinta sama seseorang, gak usah dibanding-bandingin deh, Tar. Setiap pandangan orang itu kan beda-beda. Jadi lo salah kalau cuma menilai baik buruknya orang cuma dari sudut pandang lo sendiri," ujar Gendis. Gadis itu menatap serius ke arah Mentari yang kini tampak terdiam setelah mendengar ucapanya.

"Lo pernah denger kan kata-kata yang bilang 'don't judge book by it's cover'?" Mentari mengangguk. "Nah, seperti itulah kira-kira. Mungkin penampilan luar orang tuh terlihat aneh dan buruk. Tapi kita gak tahu hatinya itu kaya gimana. Bisa jadi, lo liat orang dari luar tuh kaya preman, tapi lo gak tahu dia itu ternyata gak pernah absen buat ngerjain sholat wajib di masjid," lanjutnya.

Mentari masih terdiam. Benar juga apa yang Gendis katakan. Ia kemudian beristighfar berulang kali. Sudah berapa kali ia bersu'udzon terhadap Difan? Ah, sekarang dia jadi merasa bersalah.

"Kamu bener, Ndis," ujarnya.

"Iya, tapi aku gak bermaksud untuk menggurui ini. Hanya saling memperingati agar kita gak lalai, dan terbuai perangai setan. Tadi kita udah su'udzon, besok-besok kita gak tahu kalo tiba-tiba ada rasa benci yang terselip," ujarnya kemudian tersenyum teduh ke arah Mentari.

Si Gendis.

Ceplas ceplos begini, kalau sifat dewasanya sudah keluar omongannya tuh adem banget. Udah kaya Mamah Dedeh bahasanya. Langsung ngena gitu aja. Gak pake belok-belok dulu.
Makjleb dan Mentari langsung skak mat.


Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top