Bagian empat belas
"Terus Dina bilang apa?" Gendis menatap Mentari yang kini tengah menyeruput capuchinonya dengan serius.
"Dina cuma bilang kalo Tante Tia bakalan mempertimbangkan tawaran kita," jelas Mentari.
Gendis mengernyit.
"Buset dah. Kaya perusahaan gede aja pake pertimbangan," ujarnya seraya menggeleng pelan.
"Iyalah. Namanya juga usaha, Ndis. Untung rugi musti dipertimbangkan sebelum mengambil langkah selanjutnya," imbuh Mentari. Kini gadis di depannya mengagguk-anggukan kepalanya.
Mentari kembali menyeruput capuchino dinginnya. Cuaca Bandung siang itu lumayan panas. Di tambah suasana kantin yang padat semakin membuat udara terasa pengap. Gendis menyuapkan sesendok jelly ke mulutnya dengan lahap. Saat ini mereka memang tengah berada di kantin fakultas IT yang di sekitarnya dikelilingi stan makanan manis yang selalu membuat Gendis ngiler setiap kali ke kantin ini. Hanya di fakultas IT mereka bisa menemukan makanan manis dan tradisional khas kota Kembang. Itu sebabnya Gendis suka sekali nongkrong di sini. Apalagi setiap dia ke sini, Mentari selalu berbaik hati mentraktirnya. Makanan yang begitu nikmat semakin nikmat karena ada embel-embel gratisan.
"Terus rencana lo sekarang apa?" tanya Gendis.
Mentari mengendikkan bahunya. "Aku belum ada rencana selain penawaran endorse kuenya Tante Tia," terang gadis berkerudung hitam itu.
"Jadi, IG gue nganggur dong nih?" ujar Gendis dengan lesu.
Kalau nggak ada endorse, gadis itu tak bisa membeli lipstik baru. Tabungannya akhir-akhir ini menipis akibat printan makalah yang tebalnya benar-benar membut Gendis mengelus dompet. Mana Difan belum mengganti uangnya lagi.
"Eh, iya si Difan," ujar Gendis tiba-tiba teringat pada pria itu.
Mentari mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan idolamu itu?"
Mendengar ucapan Mentari, Gendis berdecak sebal. Tidak tahu saja kalau si Difan naksir dia. "Itu ... kemarin dia minta nomer kamu," ujar Gendis, ragu.
Mata Mentari terbelalak, kemudian menatap tajam ke arah Gendis. "Jangan bilang kamu beneran kasih dia nomer aku?" tudingnya.
Gendis meggeleng seraya nyengir ke arah Mentari. "Teu bener," ujarnya.
"Bener?"
"Bener, Tar," ujar Gendis meyakinkan.
Mentari menatap tak percaya ke arah gadis di depannya. Gendis ini anaknya suka jahil. Ia bahkan suka melakukan hal-hal yang di luar dugaan. Jadi wajar jika Mentari merasa khawatir dengan ulah sahabatnya itu kali ini.
"Tapi...."
Nah kan!
"Apa?" Mentari memncingkan matanya.
"Tapi ... Abi lo ada dapet telepon dari nomer gak dikenal, gak?" Gendis menggigit bibir bawahnya. Takut-takut Mentari mengerti maksudnya dan memarahinya saat ini juga.
Tapi beruntunglah gadis itu menggeleng. Gendis menghembuskan napas lega.
"Gak ada?" tanyanya memastikan.
"Gak tahu," jawab Mentari polos. "Naon salahna?"
Baru saja Gendis ingin menceritakan kajadian dirinya yang mengerjai Difan, sosok pria dengan jambul ayam itu terlihat di ambang pintu kantin. Bersama dua oarang pria berdarah bule, Difan terlihat lebih mencolok.
Gendis menepuk keningnya saat melihat ketiga pria itu berjalan ke arah mejanya dan Mentari. Karena membelakangi pintu, jadi Mentari tidak memperhatikannya. Saat mereka tiba di depannya, Gendis menghujani Difan dengan tatapan sengit.
Difan tersenyum ke arah Mentari yang kini mendongak menatap tubuhnya yang berdiri menjulang tinggi di sampingnya. Alis gadis itu terangkat, sementara Gendis kini sudah mencium bau-bau kemodusan.
Difan kemudian menarik bangku kosong yang ada di samping gadis pemilik belah manggis itu. Menampilkan senyum maut yang bahkan Zulhan saja tidak tahan melihatnya. Pahit. Baru saja Gendis hendak melontarkan kata-kata tajam ke arah Difan, Mentari sudah berdiri dan menarik tangannya, kemudian melangkah meninggalkan Difan dan kedua temannya yang kini sama-sama menatapnya dalam diam.
Mentari risih. Sikap Difan yang seenaknya membuat gadis itu selalu bersikap waspada. Dia memang tergolong dalam satu dari sekian banyak gadis tidak peka di dunia, tapi kalau masalah modus-modus begini alarm di otaknya selalu merespon dengan sangat cepat.
Dari kejauhan, Gendis sempat menoleh, kemudiam memeletkan lidahnya ke arah Difan. Mentertawai nasib buruk pria itu.
"Rasain," ujarnya namun hanya dengan gerakan mulut.
Di tempatnya duduk, Difan terdiam melongo. Inikah yang di namakan cinta bertepuk sebelah tangan?
"Penolakan yang halus," ujar Abrian dan Zulhan bersamaan.
Difan menghela napas kasar. Mentari...
"Yok, balik!" ajaknya seraya bangkit dari tempatnya duduk.
Dua kali sudah Mentari menolaknya secara terang-terangan. Kali ini bahkan tidak ada senyum di wajah gadis itu. Tatapannya datar tanpa ekspresi. Menilik dari sikap gadis itu, akan sangat sulit untuk mendapatkan hatinya.
"Lo sih, pedekatenya kurang asem banget," ujar Zulhan yang berjalan di samping Difan.
Difan menatap ke arah pria berkumis tipis itu. Alisnya terangkat, mencoba memahami maksud dari perkataan Zulhan barusan. "Kurang asem gimana maksud lo?"
"Di mana-mana, kalo pedekatenya kaya lo tadi, yang ada mangsa bakalan langsung kabur kali, Fan," imbuh Zulhan. Abrian mengangguk setuju.
"Lah, cara gue salah emang?" Kening Difan berkerut.
"Salahlah," Abrian menimpali. "Lo lupa ama teori pelan-pelan asal kelakonnya Prof. Di?"
"Yang mana?" Difan semakin mengerutkan keningnya. Teman-temannya ini kenapa suka sekali berbicara tersirat sih?
Kadar kepekaan Difan akhir-akhir ini lumayan buruk. Ia bahkan tidak mengerti apa yang sedang dua orang ini bicarakan. Ditambah lagi, Difan sudah jarang berkomunikasi dengan dosen bahasa. Yang ditemuinya beberapa bulan belakangan ini kebanyakan mantan-mantan insinyur yang nyamar jadi dosen. Wajarlah otaknya rada lambat kalau berurusan dengan bahasa kiasan.
"Itu loh, Fan, yang bilang, 'kalo kalian mempet cewek, jangan digas dulu. Pelan-pelan asal kelakon. Jangan langsung pedekate ke ceweknya, tapi dekati saja dulu bapaknya. Dijamin, senggeger jaran goyang kalah'," ujar Zulhan dengan suara medok, persis seperti suara Prof. Supardi.
Difan dan Abrian tergelak, menertawai ekspresi bule lokal itu. Suaranya yang sedikit cadel terdengar lucu saat memperagakan potongan dialog dosen Bahasa Indonsia mereka.
Mereka terus berjalan menelusuri koridor fakultas IT yang siang itu terlihat ramai, tanpa memperdulikan tatapan orang-orang di sekitar mereka. Memasuki lobi IT, Abrian sempat berjengit kaget karena teriakan heboh gadis-gadis yang berdiri di depan mading. Tanpa bertanya pun, mereka tahu apa yang membuat para gadis itu sampai berjingkrak-jingkrak seperti orang kesurupan.
Iya, siapa lagi kalau bukan karena kehadiran sang cassanova, Tuan Radifan Mahesa yang kalau kata Gendis ketampanannya menandingi Daniel Radcliffe, aktor tampan idolanya. Hidungnya bahkan sebelas dua belas dengan pemeran Harry Potter itu. Tapi sayang, Gendis sekarang sedang dalam mode kesal karena Difan. Jadi ketika melihat Difan, ia seperti melihat Lord Voldemort si kejam licik yang selalu membuatnya geregetan setiap kali menonton film Harry Potter.
Dan bukan tanpa alasan Gendis menyebut Difan sebagai seorang penyihir licik seperti di film fantasy kesukaannya itu. Difan sekarang itu songong. Mentang-mentang ganteng, seperti yang dikatakan Ibu Tia. Kalau sedang tebar pesona, Difan suka lupa daratan. Kemarin saja dia pura-pura lupa dengan Gendis. Padahal hidup mati, yang ngerjain makalahnya itu ya gadis ini. Hah, kasihan sekali gadis gincu itu. Dijadikan kacang lupa kulit oleh Difan.
Dari kejauhan, Difan berusaha menyembunyikan senyum bangganya. Karena sudah merasa terbiasa dengan tatapan-tatapan memuja itu, Difan terus berjalan dengan gaya sok cool, didampingi dua orang ajudan setianya.
Abrian berdecih saat melihat tingkah Difan. "Gaya keren. Padahal sekali kedip, dua tiga cewek kesurupan. Tapi masa iya, giliran mepet target langsung ditolak?" kelakar pria Arab Jawa itu diikuti suara tawa Zulhan.
Kini, wajah Difan berubah masam. Abrian seketika membuat mood anak mantan musisi itu down.
Bersambung...
***
Hah! Part ini ngaco.
Daku pusying mo nulis apa lagi 😫 Jadi hasilnya seadanya... maafkuen
Krisan tetap daku pentengin guys.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top