Bagian dua puluh lima
Pra-Move On!
***
Difan merebahkan badannya pada tikar pandan yang digelar pada ruang tengah posko KKN. Badannya terasa encok gara-gara disuruh Gendis memanjat genteng tadi. Keringatnya bercucuran dengan rambut yang kini ikutan basah. Sehabis diguyur hujan semalam, salah satu desa terpencil di Kabupaten Bandung Barat itu kini terasa panas membakar. Untuk berada di dalam rumah saja rasanya luar biasa pengap. Di posko mereka ini belum ada listrik yang terpasang. Dan semalam saat hujan, genteng yang bocor membuat lilin yang mereka nyalakan tak bertahan lama.
Mereka ingin mengeluh namun, wejangan kepala rektorat saat pelatihan kemarin membuat mereka kembali bangkit. Mereka sadar, kalau mereka berda di tempat ini bukan tanpa alasan. Bukan hanya sekedar menjalankan poin ketiga dati tri dharma perguruan tinggi, tapi di sini mereka juga dilatih untuk mengabdi kepada masyarakat. Sebagai bentuk cinta kepada negara, masyarakat dan juga institusi mereka. Untuk itu, mereka diharapkan menjalankannya dengan ikhlas dan senang.
"Minum dulu, Fan," ujar Arya, salah satu teman satu kelempok Difan yang berasal dari jurusan teknik mesin yang saat ini berperan sebagai ketua kelompok mereka.
"Thanks, Ar," ujar Difan seraya bangkit dari posisi terlentangnya dan meraih segelas teh hangat yang Arya sodorkan. Maklum di sini tidak ada kulkas, jadi minum pun seadanya.
"Capek banget kayanya." Arya terkekeh. Wajah memerah Difan saat memanjat genteng di tengah terik matahari tadi membuatnya sedikit prihatin. Bagaimana tidak, Arya yang berada di bawahnya sambil memegang tangga kayu yang digunakan Difan saja tidak tahan dengan panas yang menusuk kulitnya. Apalagi Difan yang cengar cengir di atasnya.
"Gak capek, Ar. Cuma gerah aja," kilah Difan. Ia meletakkan gelas teh yang sudah tandas diminumnya itu di depannya.
"Tapi gila, si Gendis tadi heroin banget," ujar Arya kembali terkekeh saat mengingat aksi penyelamatan Gendis saat Difan hampir saja terpeleset di salah satu anak tangga tadi.
Difan terkekeh. Iya sih, heroin. Tapi kalau mendengar ulang kata-kata pedasnya setelah Difan turun dengan selamat, beh Difan rasanya ngeri. Meski malu pantatnya disangga seorang gadis pedas nan brutal seperti Gendis, namun mau tak mau ia mengakui ketangkasan gadis itu. Kalau tidak begitu mungkin saat ini tulang ekor Difan sudah patah akibat menindih krikil-krikil di bawahnya.
"Eh, tapi kok lo sama Gendis keliatan deket banget." Arya kembali berujar. "Jangan-jangan lo berdua ada apa-apa," tudingnya.
Sebelah alis Difan terangkat. Ia dan Gendis ada apa-apa? Yang benar saja. Yang ada, gadis itu akhir-akhir ini sering sekali mengibarkan bendera perang. Padahalkan awal-awal semester ia termasuk satu dari sekian fans berat Difan.
"Jangan mikir macem-macem. Gue gak ada apa-apa kok sama dia. Jadi tenang aja. Kalo lo suka, pepet aja," ujar Difan, alisnya ia naik turunkan. Menggoda Arya.
Arya yang digoda malah cengar cengir tak jelas. Difan jadi curiga. "Gue suka liat dia mencak-mencak saat lo goda dia," kekeh Arya.
Difan tersenyum seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Beberapa saat setelahnya, Gendis muncul dari arah pintu belakang. Dengan ponsel menempel di telinga, gadis itu melewati dua pria yang saat ini duduk bersandar pada tembok.
"Iya, Mentari. Lo tenang aja. Gue baik-baik aja kok di sini. Air juga banyak, jadi jangan khawatir gue gak mandi," ujarnya seraya terkekeh ringan.
Dua pria itu diam memperhatikan. Kini, gadis itu duduk pada bangku panjang terbuat dari kayu yang ada di depan posko. Entah mengapa, mendengar Gendis menyebut nama gadis itu Difan jadi teringat akan masalah yang menimpanya beberapa bulan yang lalu. Dan mendengar dari cerita Gendis kemarin kalau sampai saat ini gadis itu berusaha bangkit kembali, membuat sesuatu yang tak pernah terlintas sebelumnya sekarang menjadi beban bagi Difan.
Sudah satu bulan ini permasalahan Mentari menjadi permasalahannya juga. Ia tak mengerti kenapa hatinya juga merasa terbebani dengan apa yang menjadi masalah bagi gadis yang sempat menarik simpatinya itu. Yang jelas, saat ini pikirannya ikut terbagi dua. Di saat siang seperti ini biasanya ia akan memikirkan beberapa hal tentang skripsinya. Dan di malam hari, Mentari justru menjadi objek dari pikirannya.
"Eh, Fan?" Arya memegang bahu Difan, membuat pria itu tersadar dari lamunannya. Sesaat sebelum menyimak kelanjutan ucapan Arya, Difan menatap ke arah Gendis. Gadis itu sudah tidak lagi berbicara dengan seseorang lewat ponsel canggihnya. Kini ia tengah bercakap dengan beberapa gadis yang selama dua bulan ini menjadi gengnya.
"Kenapa, Ar?" tanya Difan seraya memusatkan perhatiannya pada pria berjanggut tipis di depannya.
"Udah jam dua lebih kan ya?" Difan seketika melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelah memastikan waktu saat itu, ia mengangguk membenarkan. "Kita perpisahan di balai desa jam berapa?"
Difan berdecak dengan bola mata memutar malas. Yang jadi ketuakan dia, kenapa gue yang ditanya, batin Difan. "Jam tigaan kayanya," jawabnya.
"Yaudah yok kumpulin anak-anak. Ajak siap-siap," ujar Arya seraya bangkit dari duduknya. Ia berjalan keluar posko diikuti Difan di belakangnnya, menghampiri beberapa rekannya yang lain.
***
"Terimaksih banyak adik-adik ini sudah mau ikut berperan dalam memajukan desa kami," ujar Pak Kepala Desa di hadapan semua mahasiswa KKN.
"Sama-sama, Pak. Kami senang bisa ikut memajukan desa kita ini," ujar mantan ketua BEM yang berdiri tepat di samping bapak kepala desa. Senyum ramah masih mengembang di wajahnya yang kini ditumbuhi jambang itu.
Di samping Abrian, Difan masih belum mengeluarkan suara. Sesaat Abrian sempat dibuat bingung. Dari tadi pria di sampingnya itu terlihat lebih banyak melamun. Tatapannya terlihat kosong dengan wajah yang terlihat lelah. Apa pekerjaannya di wilayah penempatannya begitu berat sampai-sampai pria itu kini terlihat seperti mayat hidup.
Sementara di depan mereka, kini Pak Kepala Desa dengan manta ketua BEM tengah berjabat tangan. Acara perpisahan hari itu pun usai. Sebagian mahasiswa kembali ke posko masinh-masing, dan sebagiannya lagi masih terlihat asik mengobrol di balai desa.
"Fan?" tegur Abrian mengagetkan Difan.
Pria yang di dagunya kini dipenuhi rambut-rambut halus itu menatap ke arahnya dengan kening berkerut.
"Lo kenapa?" tanya Abrian, mencoba mencari tahu sesuatu yang membuat sahabatnya itu tiba-tiba jadi terlihat linglung.
Difan menggeleng, kemudian mengusap tengkuknya dengan sedikit gugup. "Yan?" Kini dirinya yang memanggil Abrian.
Pria yang masih duduk anteng di hadapan itu berdeham sebagai respon.
"Gue ... gue punya maksud baik," ujarnya dengan suara gagap.
Abrian semakin mengerutkan keningnya. Aih, ada apa dengan sahabatnya ini?
"Apa?" tanya Abrian.
Difan kemudian menceritakan masalah yang menimpa Mentari hingga gadis itu merasa terpuruk hingga saat ini. Ia juga menjelaskan tentang rasa simpatiknya. Sebab ia juga pernah merasakan apa yang Mentari alami. Jatuh terhempas oleh pengharapan semu yang berujung kecewaan. Mau marah, ia tak tahu harus pada siapa. Begitulah yang ia rasakan dulu, dan kini Mentari ikut merasakannya juga.
"Jadi maksud baiknya apa?" tanya Abrian tak sabaran.
"Gue mau ...."
"Mau apa? Ngomong yang jelas," cecar Abrian. Jengah juga ia lana-lama. Menguras waktu sih, si Difan.
"Gue mau lamar Mentari." Difan berujar dengan sekali tarikan napas.
Di tempatnya, Abrian terdiam melongo. Apa-apaan? batinnya. Setelahnya, Abrian menggetok kepala Difan.
"Lo masih belum apa-apa, kenapa berani sekali ngomongin soal lamaran? Udah mampu?" Abrian kembali mencecar Difan dengan pertanyaan.
Difan yang ditanya hanya mempu menelan salivanya. Ia mencium bau-bau ketidak setujuan dari Abrian.
"InsyaAllah, mampu kok. Bukankah Rasulullah menganjurkan kita untuk menyegerakan hal-hal baik seperti ini?" Difan membela diri.
Abrian mengembuskan napas berat. "Perjalanan kita masih panjang kali, Fan. Ini belum apa-apa udah berani ngomongin lamaran. Mau kasih makan apa anak orang?" Difan menggaruk kepalanya, "Gue tahu niatan lo emang baik. Tapi ini udah konsul ke Allah belum? Istikharah?" tudingnya.
"Istikharah sih belum. Tapi kan ini masih cuma niat aja, Yan." Difan kembali membela diri, "bukannya rezeki manusia sudah ada yang mengaturnya, Yan? Dan kemarin, kata lo juga rezeki orang yang sudah menikah dengan orang yang jomblo beda jauh. Dan sekarang apa yang harus gue khawatirin?" ujarnya membuat Abrian berdecak gemas.
"Dikira nikah itu gampang, Fan! Selain materi, lo juga harus bisa buat pasangan lo bahagia dunia akherat. Salah satu misi pernikahan dalam islam itu, untuk saling membimbing agar surga tuh lebih dekat saat bersama," jelas Abrian. "Dan satu lagi, setelah menikah pun dosa lo berlipat ganda. Saat itu, dosa istri lo pun bakalan jadi tanggung jawab lo juga," imbuhnya.
Difan terdiam. Lagi-lagi mereka berada pada posisi seperti ini. Di mana Difan mengajukan keinginannya, dan Abrian menyangkal dengan ribuan kalimat yang membuat Difan kembali pada posisi awalnya. Terdiam membisu dengan kalimat-kalimat yang kembali tertelan. Aih, Abrian selalu saja membuatnya merasa terpojok.
"Gue dukung kok niat baik lo ini. Tapi kalo menurut gue sih baiknya jangan sekarang. Lo sukses dulu. Buat Tante Tia bangga dengan perjuangan dia nyekolahin lo sampai sejauh ini," nasihat Abrian. "Istikharah perlu sebelum lo melangkah lebih jauh. Apalagi gue khawatir dengan niatan lo. Jangan-jangan cuma karena simpati semata."
Bersambung...
***
Maafkeun para typo dan ketidaknyambungan ini qaqa. Daku syudah puyeng:(
Jangan sungkan-sungkan buat kasih kritik dan saran ya. Saya masih penulis amatiran😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top